116 Untuk pngeluaran bukan makanan, dibatasi hanya pada kebutuhan rutin
yang dianggap harus dipenuhi oleh sebagian anggota masyarakat, yaitu kopiteh dan gula. Kebutuhan ini sudah menyatu dengan masyarakat pedesaan secara
turun-temurun dan kepentingannya dianggap setingkat lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan makan. Pengeluaran rutin lainnya adalah
perawatan kesehatan, yaitu untuk sabun mandi dan sabun cuci. Khusus untuk pakaian, sebenarnya bukanlah merupakan pengeluaran rutin rumahtangga. Pada
umumnya pengeluaran ini dilakukan setahun sekali dan bagi sebagian keluarga bukan merupakan suatu keharusan. Kebutuhan untuk pembelian pakaian
biasanya dikeluarkan menjelang Hari Raya Idul Fitri danatau pada saat tahun ajaran baru khusus bagi mereka yang memiliki anak sekolah.
Menurut pengakuan masyarakat, dari berbagai komponen pengeluaran seperti yang diilustrasikan pada Tabel 23 di atas, yang harus selalu dipenuhi
adalah pengeluaran untuk makan sedangkan kebutuhan lainnya masih bisa ditunda. Inilah yang seringkali memicu masyarakat untuk mengambil jalan pintas
mengeksploitasi hasil hutan; di satu sisi ada tuntutan mendesak anggota keluarga harus makan, tetapi di sisi lain peluang kerja di luar kehutanan tidak
tersedia. Lebih lanjut jika pengeluaran keluarga ini dikaitkan dengan rata-rata
jumlah anggota keluarga sebesar 4,19 orang, maka pengeluaran per kapita masyarakat di kawasan TNGR sebesar Rp 122 561,- per kapita per bulan. Nilai
pengeluaran ini juga berada di bawah standar garis kemiskinan di pedesaan NTB. Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat di kawasan TNGR masih
termasuk kategori miskin.
7.3 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Rumahtangga
Dengan melihat rata-rata jumlah penghasilan Rp 507 839,- per bulan dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran Rp 513 533,- per bulan, maka
terjadi defisit sebesar Rp 5 694,- per bulan atau sebesar Rp 68 324,- per tahun. Berdasarkan komposisi ini tentunya dapat disimpulkan bahwa tingkat
pemenuhan kebutuhan keluarga belum tercukupi baru mencapai 99. Nilai nominal pengeluaran ini belum termasuk pengeluaran yang sifatnya insidental
seperti pengobatan, biaya sosial, rokok, dan pengeluaran tidak terduga lainnya. Jika semua pengeluaran ini dimasukkan maka defisit keuangan rumahtangga
akan semakin besar. Disamping itu jumlah dan komposisi pengeluaran
117 rumahtagga relatif konstan, sedangkan jumlah dan komposisi penerimaan
rumahtangga setiap saat berubah fluktuatif karena tidak ada sumber penerimaan rutin yang tetap dan pasti.
Dalam penelitian ini yang penting untuk dikaji adalah tingkat pemenuhan kebutuhan dengan penghasilan yang bersumber dari luar kehutanan. Dengan
mengasumsikan bahwa pendapatan dari hasil HKm adalah pendapatan luar kehutanan karena ada ijin resmi, maka rata-rata total penghasilan rumahtangga
dari luar kehutanan adalah sebesar Rp 342 979,- per bulan. Tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga dengan penghasilan sebesar ini baru mencapai 67.
Sementara itu jika sumber penghasilan hanya dari hasil hutan, maka tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga baru mencapai 32 dan akan semakin kecil jika
pengeluaran yang sifatnya insidental juga diperhitungkan. Selain itu karena sumber penghasilan dari luar kehutanan sifatnya fluktuatif, maka pada waktu-
waktu tertentu terutama musim kemarau, tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga dari penghasilan luar kehutanan relatif semakin kecil sehingga mereka
mengambil hasil hutan. Namun demikian, jika penghasilan yang diperoleh hanya digunakan untuk memenuhi keperluan konsumsi makan, maka penghasilan
yang bersumber dari luar kehutanan telah mencapi 98 dari kebutuhan konsumsi.
Dibandingkan dengan sumber lainnya, penghasilan dari hasil hutan relatif lebih pasti dan bisa diambildiperoleh sepanjang tahun. Lebih lanjut, jika
penghasilan dari hasil hutan sebesar Rp 164 860,- hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rutin makan sehari-hari sebesar Rp 349 993,- per bulan,
maka hampir separuh 47,10 dari kebutuhan keluarga telah dapat dicukupi Gambar 14.
Berkenaan dengan penghasilan dari luar kehutanan, salah satu sumber penghasilan masyarakat di kawasan TNGR adalah dari hasil pertanian.
Berdasarkan data dari BPS NTB 2006, rata-rata produktivitas padi ladang di kawasan TNGR sebesar 2,79 tonha dan padi sawah 5,04 tonha. Dengan tingkat
produksi ini, rata-rata penghasilan bersih petani harga gabah kering panen sebesar Rp 200 000,-ku adalah sebesar Rp 2 539 600,-ha untuk padi ladang
dan Rp 6 368 000,-ha untuk padi sawah. Jika dikaitkan dengan besarnya pengeluaran rumahtangga setiap bulannya, maka penghasilan dari 1 ha padi
ladang hanya akan dapat menutupi keperluan hidup keluarga selama ± 5 bulan dan hasil padi sawah ± 12,4 bulan. Dengan demikian, jika diasumsikan panen
118 padi ladang hanya 1 satu kali setahun dan sumber penghasilan keluarga hanya
dari hasil ladang, maka untuk dapat menjamin keperluan hidup keluarga, minimal setiap keluarga memilikimengusahakan 2,43 ha ladang. Sedangkan untuk padi
sawah asumsi 1 kali panen, minimal setiap keluarga memiliki 0,97 ha sawah atau 0,48 ha sawah asumsi 2 kali panen dalam setahun.
Gambar 14. Hubungan antara Keranjang Konsumsi dan Pendapatan Rumahtangga di Kawasan TNGR
Keterangan : MP
= Pengeluaran untuk makanan pokok Beras dan lauk-pauk BM
= Pengeluaran untuk selain makanan pokok PK
= Pengeluaran untuk perawatan kesehatan sabun mandi, sabun cuci, dan sampo
PA = Pengeluaran untuk biaya pendidikan anak
HLH = Penghasilan dari luar hutan
HHKm = Penghasilan dari hasil HKm HH
= Penghasilan dari hasil hutan LCWK = Penghasilan dari luar curahan waktu kerja
Keranjang Penghasilan Income Basket
HH : Rp 164 860,- H HKm : Rp 24 647,-
HLH : Rp 308 099,-
L. CWK : Rp 10 233,- Keranjang Konsumsi
Consumption Basket MP : Rp 349 993,-
PK : Rp 21 109,- BM : Rp 34 670,-
PA : Rp 37 683,- Lain : Rp 70 077,-
Ekuivalen Penghasilan
Rp 342.979,- Konsumsi
Rp 513.533,-
Dikompensasi - Rp 170 554,-
Pemberdayaan
GK Pedes NTB 2007 : Rp 130 867
KPK : Rp 122 561,- PPK : Rp 121 299,-
Masy Sekitar TNGR Saat ini
Masy Sekitar TNGR Masa y.a.d.
99
67 98
32 47
119
7.4 Upaya Pelestarian Hutan