81 serta dengan mudah melakukan pengangkutan hasil jarahannya terutama pada
malam hari. 4 Pemukiman di Kawasan TNGR
Di Dusun Lelongken-Desa Sajang Resort Sembalun terdapat pemukiman masyarakat di dalam kawasan TNGR sebanyak ± 44 KK = 1 ha. Akan tetapi
keberadaan mereka di daerah tersebut telah ada sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional masih berstatus PPA. Pemukiman ini berada di pinggir jalan yang
menghubungkan antara Sembalun dengan Bayan. Aktivitas masyarakat adalah berusahatani pekebun dan perdagangan. Saat ini untuk mengantisipasi agar tidak
berkembang pemukiman baru di wilayah tersebut, maka dilakukan pembatasan areal pemukiman, yaitu seluas 1 ha. Meski demikian, keberadaan mereka di tempat
ini tetap menjadi ancaman terhadap perambahan kawasan TNGR. 5 Penggembalaan liar di Kawasan TNGR
Di Kecamatan Sembalun Resort Sembalun, pemeliharaan ternak sapi oleh masyarakat dilakukan dengan sistem dilepas bebas tidak dikandangkan
diikat. Dalam hal ini pakan ternak tidak disiapkan secara khusus melainkan digembalakan secara liar di wilayah sekitar, termasuk di kawasan TNGR.
Penggembalaan liar ini dilakukan di wilayah zona rimba yang berada di bagian Timur Laut TNGR Resort Sembalun. Wilayah ini berupa padang alang-alang
sehingga sangat potensial untuk dijadikan lokasi penggembalaan ternak sapi. Adanya penggembalaan liar ini dapat merusak tanaman yang ada di wilayah
tersebut sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem kawasan. Selain itu pada musim kemarau seringkali padang alang-alang ini dibakar oleh para
peternak dengan harapan agar tumbuh tunas yang baru sebagai makanan ternak. Kejadian ini terus berlangsung hingga saat ini dengan alasan telah
dilakukan secara turun temurun, bahkan sebagian masyarakat merasa dijajah oleh ternak jika dikandangkan dan disiapkan pakan setiap hari.
4.4.2. Permasalahan Pokok Berkenaan dengan Pengelolaan TNGR
Sriyanto dan Sudibjo 2005 dalam WWF 2006 mengemukakan bahwa secara umum permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan taman nasional
antara lain: 1 sebagian besar kawasan taman nasional belum memiliki tata batas yang jelas, 2 klaim masyarakat lokal terhadap tumpang tindih lahan
miliknya dengan kawasan taman nasional, 3 perambahan kawasan yang
82 umumnya terjadi di hampir setiap kawasan taman nasional sebagai akibat
kebutuhan lahan usaha pertanianperkebunan, 4 terbatasnya akses masyarakat lokal untuk pemanfaatan sumber daya alam kawasan taman nasional, 5 konflik
tumpang tindih kepent;ngan konservasi dengan sektor lain untuk kegiatan pembangunan jalan, sarana komunikasi, jaringan listrik, pipa air, latihan militer,
dan lain-lain, 6 data dan informasi mengenai keanekaragaman hayati dan fisik kawasan taman nasional masih sangat terbatas, dan 7 sarana dan prasarana
termasuk anggaran untuk pengelolaan taman nasional masih terbatas. Lebih lanjut Wiratno et al. 2004 mengemukakan perubahan perubahan
tataguna lahan di sekitar taman nasional juga telah meningkatkan akses pihak luar ke dalam kawasan mengakibatkan fragmentasi habitat yang tidak terelakkan
seperti yang terjadi di TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, TN Berbak, TN Bukit Tigapuluh, TN Bukit Barisan Selatan, TN Way Kambas, TN Tanjung Putting, serta
TN Kutai. Sementara berbagai konflik kepentingan juga terjadi di kawasan taman nasional, antara lain terjadi di TN Gunung Halimun, TN Bigani Nani Warta Bone
dan TN Lorentz emas, TN Kutai minyak bumi, dan Cagar Alam Dolok Tinggi Raja panas bumi.
Berkenaan dengan pengelolaan TNGR, hingga saat ini masih ditemukan beberapa permasalahan yang mengakibatkan kurang optimalnya berbagai bentuk
program dan kegiatan pengelolaan TNGR. Permasalahan-permasalahan dimaksud antara lain:
1 Koordinasi pengelolaan TNGR antara Balai TNGR dengan dinasinstansi terkait belum optimal terutama pada tingkat petugas di lapangan. Dalam hal
koordinasi penyusunan rencana program dan kegiatan, seringkali terjadi ketidaksinkronan sebagai akibat terjadinya benturan kepentingan. Di satu sisi
Balai TNGR adalah lembaga vertikal dimana program berikut pembiayaannya dikoordinasikan ke pusat sementara Dinas Kehutanan adalah dinasinstansi
otonom yang dikoordinir oleh pemerintah daerah. 2 Petugas keamanan lapangan Polhut dan pos-pos jaga masih dirasakan
kurang. Berdasarkan ketentuan, jumlah petugas saat ini 41 orang dianggap telah memadai, namun karena kondisi lapangan yang bergunung-gunung
dengan medan yang sulit dijangkau, maka sangat perlu dilakukan penambahan personil petugas lapangan polhut.
3 Dalam menjalankan tugas di lapangan, para petugas sering menghadapi dilema. Di satu sisi, aparat harus menegakkan aturan, tapi disisi lain para
83 pencuri kayu adalah masyarakat miskin yang terpaksa melakukan aktivitas ini
karena tidak ada pilihan lain dan hanya sekedar untuk makan. Kenyataan ini menjadi dilema bagi para petugas terjadi pertentangan antara upaya
penegakan hukum dengan hati nurani. 4 Sengketa pengelolaan obyek wisata Otak Kokok Joben yang berada di
kawasan TNGR; melibatkan pihak masyarakat, Pemda Lombok Timur, Pengusaha, dan Balai TNGR.
4.5 Perkembangan Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Rinjani