141
Gambar 17. Tataguna Lahan di Sekitar TNGR Sumber: BPS NTB 2006.
Dari Gambar 17 di atas dapat diketahui bahwa potensiketersediaan lahan kering di sekitar TNGR cukup luas. Lahan kering ini umumnya berupa
tegalkebun yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu selain digunakan untuk berbagai kegiatan usahatani dan perkebunan, lahan ini sangat
potensial untuk pengembangan rumput pakan ternak. Sementara jenis penggunaan lainnya berupa ladanghuma, hutan, dan kolamlebakempang.
8.3 Evaluasi Keberhasilan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM di Kawasan Hutan Rinjani
Implementasi PHBM di Lingkar Rinjani dilaksanakan dalam berbagai bentuk, namun tetap dengan pola dan tujuan yang sama. Pengelolaan Hutan
Kemasyarakatan HKm diaplikasikan pada beberapa lokasi dengan melibatkan masyarakat sekitar dan di dalam hutan secara langsung. Disamping itu, terdapat
pengelolaan hutan dengan model lain seperti Hutan Cadangan Pangan HCP, Pengembangan Jalur Hijau, Penanaman Bawah Tegakan, dan lain-lain.
Akses pemanfaatan hutan yang dibuka luas ternyata belum sejalan dengan kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan sehingga masih
diperlukan peningkatan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan. Pengembangan PHBM yang telah diimplementasi sudah menunjukkan tingkat
keberhasilan secara ekonomi dan sosial tetapi secara fisik masih belum menunjukkan hasil yang nyata karena pada umumnya pengelola hutan masih
142 mengutamakan tanaman pangan. Berbeda dengan usaha yang dilakukan
dengan komoditas tanaman perkebunan yang memerlukan naungan maka pengelola akan berusaha mempertahankan keberadaan, kondisi, dan potensi
hutan. Jenis tanaman jangka panjang masih dipandang kurang menarik karena tidak disertai dengan property right yang akan memberi jaminan bagi
penguasaan hasil nantinya. Pengalaman di wilayah Pesugulan Lombok Timur, tahun 1980-an; ada kontrak pengelolaan hutan oleh masyarakat. Di lokasi
kontrak masyarakat diwajibkan menanam kayu manis dan setelah masa kontrak berakhir masyarakat dikeluarkan dari hutan. Bersamaan dengan itu, karena
merasa tidak memiliki hak atas kayu manis yang telah ditanam dan dipelihara bertahun-tahun, masyarakat kecewa dan membabat semua kayu manis yang
ada di areal tersebut. Rancang bangun enginering PHBM masih perlu diperbaiki dengan
menetapkan kawasan-kawasan hutan yang dapat dikembangkan menjadi lokasi PHBM, menyusun komposisi jenis-jenis yang tepat untuk memberi ekspektasi
ekonomi yang tinggi, menyusun mekanisme perizinan, perjanjian pengelolaan PHBM serta mengembangkan hubungan antara pemerintah dan masyarakat,
dan masyarakat dengan sumberdaya hutan. Hubungan yang kuat antara masyarakat dengan sumberdaya hutan serta kemitraan masyarakat dengan
pemerintah akan mendorong terjaganya hutan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih permanen, berkelanjutan serta mampu meningkatkan ekspektasi
ekonomi masyarakat. Menurut laporan hasil Studi Lapang Praktik-Praktik Sosial Forestry di
Pulau Lombok ditemukan hal-hal sebagai berikut: 1. Kondisi vegetasi hutan di areal HKm Desa Santong dan Desa Sesaot berupa
campuran tanaman pohon-pohonan jenis MPTS dan kayu-kayuan dengan kerapatan cukup tinggi dan cukup beragam walaupun jenis kayu-kayuan
relatif sedikit dibandingkan dengan MPTS. Kondisi tersebut menimbulkan kesan vegetasi di areal HKm tersebut bukan merupakan struktur hutan
sebagaimana yang dibayangkan dimana jenis kayu-kayuan masih dipandang sebagai komoditi utama, walaupun dari kerapatan dan stratifikasinya sudah
dapat dikatakan sebagai hutan. Dalam proses pembelajaran di lapangan terjadi perdebatan tentang komposisi jenis dan tingkat kerapatan bagaimana
143 yang dapat mengakomodir kepentingan kehutanan sekaligus kepentingan
kebutuhan masyarakat. 2. Di lokasi HKm ada keengganan masyarakat menanam kayu, baik di Desa
Sesaot, Desa Santong maupun Desa Sambelia, disebabkan antara lain oleh: a Sempitnya lahan garapan kurang dari 0,25 haKK.
b Sampai saat ini belum ada kepastian hak masyarakat terhadap tanaman kayu-kayuan di hutan. Hal ini menyebabkan kontraproduktif terhadap
kegiatan-kegiatan positif yang sudah dilakukan. Misalnya upaya rehabilitasi di Sambelia dan reboisasi di Santong sudah menunjukkan
harapan keberhasilan dimana tanaman sengon sudah berdiameter di atas 20 cm dan tinggi di atas 15 meter. Namun dengan tidak adanya kepastian
hak, masyarakat cenderung secara diam-diam menebang untuk mendapatkan lahan garapannya kembali.
c Kebijakan yang tidak mendorong bahkan menghambat masyarakat untuk mau menanam jenis kayu, antara lain pengaturan sharing benefit yang
tercantum dalam Perda Kabupaten Lombok Barat No. 10 Tahun 2003, yaitu untuk jenis kayu-kayuan dengan komposisi 80 bagian pemerintah
dan 20 untuk masyarakat; sedangkan untuk jenis non kayu sebaliknya.
8.4 Peraturan Perundangan tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan