83 pencuri kayu adalah masyarakat miskin yang terpaksa melakukan aktivitas ini
karena tidak ada pilihan lain dan hanya sekedar untuk makan. Kenyataan ini menjadi dilema bagi para petugas terjadi pertentangan antara upaya
penegakan hukum dengan hati nurani. 4 Sengketa pengelolaan obyek wisata Otak Kokok Joben yang berada di
kawasan TNGR; melibatkan pihak masyarakat, Pemda Lombok Timur, Pengusaha, dan Balai TNGR.
4.5 Perkembangan Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Rinjani
Gambar 10 mengilustrasikan perkembangan tataguna lahan kawasan TNGR yang merupakan hasil pengolahan data citra landsat tahun 1997, 2002, dan 2006
dengan menggunakan ArcView GIS. Dari hasil analisis ini nampak bahwa hingga tahun 2006 peruntukan lahan TNGR didominasi oleh hutan lahan kering primer,
yaitu mencapai lebih dari 17 000 ha 41. Peruntukan terbesar kedua adalah untuk hutan lahan kering sekunder yang mencapai sekitar 10 000 ha 24, sementara
Hutan Tanaman hanya 0,22. Jadi dengan melihat komposisi peruntukan lahan ini dapat dikatakan bahwa vegetasi hutan TNGR cukup bagus mengingat lebih dari
65-nya berupa hutan. Suatu hal yang cukup menggembirakan, dari Gambar 10 terlihat bahwa vegetasi hutan, baik hutan lahan kering primer maupun hutan lahan
kering sekunder cenderung mengalami peningkatan seiring dengan penurunan luas lahan terbuka lahan yang dulunya hutan dan menjadi terbuka karena ada sebab
tertentu dan penurunan luas semak belukar. Peningkatan vegetasi hutan ini secara normal tentunya akan dapat meningkatkan kelestarian dan daya dukung
TNGR dalam berbagai bentuk multifungsinya. Peta perubahan tata guna lahan TNGR dapat dilihat pada Lampiran 8, 9, dan 10.
Pada periode 1997-2002, total luas hutan TNGR mengalami peningkatan padahal bersamaan dengan mulainya era reformasi yang sering diartikan
kebebasan termasuk kebebasan menebang hutan oleh masyarakat. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa penebangan liar yang terjadi di Hutan Rinjani belum
sampai menembus TNGR mengingat berada pada wilayah yang topografinya bergunung-gunung dengan medan terjal yang sulit dijangkau. Penjarahan hutan
terjadi hanya pada hutan lindung dan hutan produksi yang berada di kawasan penyangga TNGR. Peningkatan luas hutan ini terus berlangsung, bahkan untuk
periode berikutnya 2002-2006 terjadi peningkatan total luas hutan yang cukup signifikan.
84
Gambar 10. Perkembangan Tataguna Lahan Kawasan TNGR Secara parsial, peningkatan luas hutan pada periode 1997–2002 relatif
kecil; selain bersamaan dengan awal reformasi, juga pada periode ini merupakan awal peralihan pengelolaan dari KSDA ke unit Taman Nasional Gunung Rinjani
sehingga tidak terurus dengan baik. Namun pada periode berikutnya 2002 – 2006 setelah dilakukan penataan dan peningkatan pengelolaan, luas hutan
primer maupun sekunder mengalami peningkatan yang cukup besar. Peningkatan luas hutan ini sebagai akibat dari berbagai kegiatan rehabilitasi dan
penanaman di beberapa tempat yang dimulai sejak tahun 2000, yaitu melalui pembinaan daerah penyangga dan tanggkapan air. Menurut informasi dari kantor
Balai TNGR, ada 3 tiga program utama yang dilakukan berkenaan dengan peningkatan jumlah vegetasi hutan TNGR, yaitu: 1 pengembangan jalur hijau di
wilayah Pesugulan sampai dengan Pancor Manis bagian Selatan TNGR yang dimulai sejak tahun 2000, 2 penanaman pohon di wilayah Kembang Sri Resort
Kembang Kuning dan Resort Joben yang dimulai tahun 2000, dan 3 penanaman dan rehabilitasi, yaitu di wilayah Aikmel sampai dengan Srijata zona
rehabilitasi – bagian Selatan TNGR yang dilakukan tahun 2000 serta pada tahun 2003 dilakukan penanaman di wilayah zona rehabilitasi Aik Berik bekas
penyerobotan kawasan TNGR bersamaan dengan Program HKm.
85 Bersamaan dengan peningkatan luas hutan, pada periode 2002–2006
luas lahan terbuka awalnya hutan dan menjadi terbuka karena sebab tertentu mengalami penurunan yang sangat drastis. Namun pada periode yang sama luas
tanah terbuka dari awal terbuka mengalami peningkatan. Peningkatan luas tanah terbuka ini disinyalir sebagai akibat terjadi kebakaran hutan. Begitu pula
dengan savana, pada periode 2002–2006 juga mengalami peningkatan. Diduga hal ini terjadi sebagai akibat pembakaran padang alang-alang yang dilakukan
oleh para penggembala dengan harapan agar tumbuh tunas yang baru sebagai tempat penggembalaan.
Lebih lanjut dilihat dari aspek kualitas, dapat disimpulkan bahwa kondisi TNGR semakin membaik. Dalam hal ini indikator yang digunakan sebagai
parameter penentu membaiknya kondisi TNGR adalah kerapatan vegetasi tanaman yang juga merupakan hasil pengolahan data citra TNGR 1997, 2002,
dan 2006. Perkembangan kerapatan vegetasi dari masing-masing kategori hasil pengolahan data citra sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 11
mencerminkan terjadinya pergeseran kerapatan vegetasi. Pada periode 2002- 2006 terjadi peningkatan luas kawasan dengan begetasi “sangat rapat” dan
“agak rapat”, bersamaan dengan terjadinya penurunan luas kawasan dengan vegetasi “rapat” dan vegetasi “renggang”. Artinya, sebagian kawasan dengan
kerapatan vegetasi “rapat” meningkat menjadi “sangat rapat” dan sebagaian dengan vetasi “renggang” menjadi “agak rapat”.
Visualisasi perubahan kerapatan vegetasi kawasan TNGR yang merupakan hasil pengolahan data citra tahun 1997, 2002, dan 2006 disajikan
pada Lampiran 11, 12, dan 13.
86
Gambar 11. Perkembangan Kerapatan Vegetasi TNGR
V. INTERAKSI MASYARAKAT DENGAN T AMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI TNGR
5.1 Bentuk dan Jenis Interaksi
Interaksi yang dimaksudkan adalah aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani TNGR. Dari hasil wawancara
responden, wawancara mendalam indepth interview dengan informan kunci,
serta hasil Fokus Group Discussion FGD dapat disimpulkan bahwa secara garis
besar interaksi masyarakat dengan TNGR dapat dipilahkan menjadi 3 tiga, yaitu: 1 mengambil memanfaatkan hasil hutan, 2 kegiatan pendakian, dan
3 kegiatan bercocok tanam di kawasan TNGR. Selain dari ketiga bentuk interaksi ini, beberapa orang pemilik ternak sapi khusus di wilayah Resort
Sembalun melakukan penggembalaan liar di kawasan TNGR. Akan tetapi ternaknya dilepas berkeliran di kawasan sekitar tanpa dilakukan pengawasan
dan pengembalaan ini bukan semata-mata ditujukan di kawasan TNGR. Dengan demikian, maka dalam penelitian ini penggembalaan liar di kawasan TNGR tidak
dianalisis dan dibahas secara detail. 1 Kegiatan Mengambil Memanfaatkan Hasil Hutan
Bentuk interaksi masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan TNGR adalah mengambil mengekstraksi hasil hutan, baik di kawasan TNGR maupun
kawasan hutan lainnya. Hasil hutan yang diambil mulai dari hasil-hasil hutan yang tidak diperbolehkan untuk diekstraksi seperti kayu dan perburuan satwa
hingga hasil-hasil hutan yang diijinkan untuk diekstraksi seperti rumput, pakis sayur, madu, serta hasil-hasil hutan bukan kayu lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 150 orang responden yang diwawancarai, sebanyak 138 orang 92 melakukan interaksi dengan hutan.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 60 orang 43,48 diantaranya atau 40 dari total responden melakukan interaksi dengan TNGR. Selebihnya melakukan
interaksi dengan hutan lindung, hutan produksi dan hutan kemasyarakatan HKm. Jenis kegiatan yang dilakukan dalam berinteraksi dengan hutan Tabel
12 adalah mengambil mengekstraksi hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu sayurpakis, madu, berburu, dan rumput.
Dilihat dari jumlah masyarakat yang melakukan interaksi, dapat dikatakan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap Hutan Rinjani relatif tinggi.
Ketergantungan ini juga tercermin dari pemanfaatan hutan sebagai salah satu