95 danatau kebun. Sebagai gambaran, rata-rata interaksi pada musim hujan hanya
berkisar 3 - 4 kali per bulan, sedangkan pada musim kemarau 3 – 5 kali per minggu.
Kenyataan ini seiring dengan Teori Pilihan Coleman dalam Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2007 yang mengatakan bahwa tindakan perseorangan
mengarah pada suatu tujuan, dimana tujuan dan juga tindakan ditentukan oleh nilai atau pilihan
preferency. Dalam hal ini aktor memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhan
mereka.
5.3 Faktor-faktor Penentu Interaksi
Sama halnya dengan pembahasan frekwensi interaksi, analisis faktor penentu interaksi difokuskan pada interaksi masyarakat untuk mengambil hasil
hutan kayu HHK. Pertimbangan utama mengapa hal ini dilakukan adalah: 1 pengambilanpemanfaatan hasil hutan kayu diyakini akan merusak kelestarian
dan daya dukung bahkan mengancam keberadaan TNGR, 2 kegiatan bercocok tanam di jalur hijau dilakukan secara resmi dan saat ini hanya diperbolehkan
untuk mengambil hasil tanaman yang telah dikembangkan, sedangkan penyerobotan kawasan di wilayah Lelongken dan Kampung Bali saat ini telah
ditertibkan dan masyarakat tidak boleh lagi melakukan aktivitas budidaya di kawasan tersebut, dan 3 kegiatan pendakian dilakukan dengan motif non
ekonomi sehingga tidak potensial mengancam kerusakan TNGR. Untuk mengetahui faktor penentu interaksi masyarakat dengan hutan
dilakukan analisis regresi berganda. Dalam hal ini sebagai variabel terikat dependent atau variabel respons adalah frekwensi interaksi untuk mengambil
hasil hutan kayu HHK, sedangkan variabel penjelas explanatory atau variabel
bebas independent terdiri atas beberapa variabel kuantitatif dan kualitatif.
Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap 9 sembilan variabel penjelas dengan koefisien regresi masing-masing disajikan pada Tabel 16 dan hasil
analisis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 14.
96 Tabel 16. Besarnya Koefisien Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Interaksi Masyarakat untuk Mengambil Hasil Hutan Kayu HHK
No Variabel Koefisien
Regresi t-Stat Nilai-P Keterangan
1. Konstanta a
4,574 2,128 0,036
2. Lokasi interaksi
X
1
5,135 3,929
0,000 Nyata pada
α = 1 3. WTP
X
2
-6,24E-05 -2,339 0,021 Nyata pada
α = 5 4.
Pengeluaran RT untuk makanan X
3
8,041E-06 1,547
0,125 Nyata pada α = 15
5. Pengeluaran RT selain makanan X
4
7,378E-06 1,186
0,239 6.
Penghasilan RT dari luar hutan X
5
-4,62E-06 -1,650 0,102 Nyata pada
α = 15 7.
Luas lahan usahatani X
6
-0,206 -0,372 0,711 8.
Aturan lokal dan kebiasaan turun- temurun dalam mengekstraksi HHK X
7
2,085 1,861
0,066 Nyata pada α = 10
9. Keterlibatan dalam HKm X
8
-3,944 -2,723 0,008 Nyata pada
α = 1 10. Kepemilikanpemeliharaan
sapi X
9
-1,411 -1,331 0,186 Nyata pada
α = 20 Ket.: R
2
= 0,397; R
2
Adj = 0,343
Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa ada 7 tujuh faktorvariabel yang dapat menjelaskan atau berpengaruh secara
nyata terhadap frekwensi interaksi masyarakat untuk mengambilmemanfaatkan hasil hutan kayu HHK. Ketujuh faktorvariabel tersebut lebih lanjut dapat
dipilahkan menjadi 3 tiga kategori sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan lestari
Sustainable Forest Management SFM. Kategori pertama berkenaan dengan kondisi biofisik TNGR, yaitu: lokasi interaksi X
1
; kategori kedua berkenaan dengan sosial budaya masyarakat, meliputi: WTP X
2
dan pengetahuan lokal atau kebiasaan turun-temurun dalam mengambil HHK X
7
; serta kategori ketiga berkenaan dengan ekonomi masyarakat, meliputi: pengeluaran untuk makanan X
3
, penghasilan dari luar hutan X
5
, keterlibatan dalam HKm X
8
, dan kepemilikan pemeliharaan sapi X
9
. Berkenaan dengan lokasi interaksi, ada kecenderungan penebangan liar
dilakukan di hutan yang jaraknya relatif jauh dari pemukiman atau jalan raya. Alasannya, di lokasi ini lebih aman untuk melakukan penebangan karena jauh
dari pemantauan petugas. Sementara di lokasi yang dekat pemukiman atau jalan raya, selain ada petugas juga banyak masyarakat lain yang melihat sehingga
kurang aman untuk melakukan penebangan. Pertimbangan lainnya dalam menentukan lokasi interaksi adalah ketersediaan pohon kayu yang sesuai
dengan kebutuhan dan permintaan pembeli. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa interaksi masyarakat untuk
memanfaatkan HHK secara nyata significant lebih banyak dilakukan di kawasan
97 TNGR dibandingkan tempat lainnya, ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi
sebesar 4,57. Artinya, frekwensi pengambilan HHK di kawasan TNGR 4,57 kali lebih banyak dibandingkan wilayah lainnya. Jadi dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tingkat kerawanan kawasan TNGR terhadap penebangan liar cukup tinggi. Selain karena lokasinya, lebih tingginya intensitas pengambilan
kayu di kawasan TNGR diduga disebabkan karena vegetasi tegakan kayu di kawasan ini masih lebih utuh dibandingkan dengan kawasan hutan lainnya.
Kenyataan ini mencerminkan bahwa kelestarian aspek biofisikekologis TNGR mengalami ancaman sehingga perlu dilakukan antisipasi sejak dini agar
keutuhan TNGR tetap terjaga. Menurut pengakuan masyarakat responden, mereka terpaksa melaku-
kan pengambilan kayu di hutan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan keluarga terutama kebutuhan makan. Kenyataan ini terbukti dari hasil analisis
yang menunjukkan bahwa pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan makan berpengaruh positif nyata
α = 15
terhadap interaksi HHK. Artinya, semakin besar pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan makan akan mengakibatkan
frekwensi interaksi HHK mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan tingkat penghasilan masyarakat yang masih berada di bawah standar garis kemiskinan
pedesaan NTB serta terbatasnya lapangan usaha di luar kehutanan menjadi pemicu masyarakat melakukan penebangan liar
illegal logging. Langkah yang bisa ditempuh guna menyelamatkan hutan termasuk
TNGR dari kegiatan penebangan liar illegal logging adalah meningkatkan
penghasilan masyarakat yang bersumber dari luar kehutanan. Hal ini seiring dengan hasil analisis yang meunjukkan bahwa penghasilan dari luar kehutanan
berpengaruh negatif nyata significant terhadap intensitas pengambilan HHK.
Artinya, semakin tinggi penghasilan yang bersumber dari luar kehutanan mengakibatkan semakin menurunnya intensitas interaksi HHK.
Faktor ekonomi lainnya yang juga dapat menjelaskan atau berpengaruh negatif secara nyata
significant terhadap intensitas interaksi HHK adalah keterlibatan masyarakat dalam Program HKm. Dari hasil analisis Tabel 16
dapat diketahui bahwa masyarakat peserta HKm intensitas interaksinya 3,94 kali lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang tidak terlibat dalam HKm.
Begitu pula halnya dengan kepemilikanpemeliharaan ternak sapi dapat menpengaruhi menurunkan secara nyata intensitas interaksi HHK, ditunjukkan
nilai koefisien regresi yang bertanda negatif. Interaksi HHK yang dilakukan oleh
98 masyarakat yang memelihara sapi 1,41 kali lebih rendah dibandingkan dengan
yang tidak memelihara. Kenyataan ini mencerminkan bahwa masyarakat tidak akan melakukan pencurian kayu
illegal logging di hutan TNGR manakala memiliki alternatif sumber penghidupan lain di luar hutan. Indikasi ini diperkuat
oleh hasil analisis yang menunjukkan bahwa luas lahan yang dimilikidigaraf mempunyai pengaruh negatif tidak nyata terhadap intensitas interaksi.
Tinggi rendahnya interaksi pengambilan kayu secara nyata significant
juga dipengaruhi oleh kesediaan masyarakat untuk membayar kelestarian WTP sumberdaya hutan. Dalam hal ini semakin tinggi WTP semakin rendah frekwensi
interaksi untuk pengambilan kayu dan sebaliknya koefisien regresi negatif. Hasil analisis ini menggambarkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan
pentingnya kelestarian sumberdaya hutan yang diwujudkan dalam bentuk WTP dapat mengendalikan mereka untuk melakukan penebangan liar.
Di sisi lain adanya pengetahuan dan kebiasaan lokal berkenaan dengan ekstraksi HHK yang diperoleh secara turun temurun berpengaruh positif nyata
significant terhadap intensitas interaksi, tercermin dari nilai koefisien sebesar
2,09.
Artinya, mereka yang memiliki pengetahuan tentang cara penebangan dan memiliki kebiasaan secara turun temurun akan melakukan interaksi 2,09 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengetahuan serupa. Keadaan yang relatif sama juga terjadi di Kawasan Taman Nasional Meru
Betiri TNMB, Jawa Timur. Hasil penelitian Tim Peneliti Balai Taman Nasional Meru Betiri 2002 menunjukkan kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduk di
daerah penyangga TNMB memiliki andil besar bagi kelestarian lingkungan hutan Taman Nasional. Secara sosial ekonomi daerah penyangga ini mengalami
kelangkaan tanah pertanian sehingga tidak memadai untuk hidup layak bagi penduduknya. Kondisi ini mengakibatkan tekanan perusakanpengambilan hasil
hutan terhadap TNMB. Disamping itu faktor kemiskinan, kurangnya kesadaran lingkungan dan rendahnya tingkat pendidikan memiliki hubungan signifikan
dengan tingkat motivasi dan pengambilan hasil hutan TNMB.
99
5.4 Intisari untuk Pemberdayaan