191
8.6 Strategi Pemberdayaan
Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya akan sia-sia bila hal tersebut tidak disertai dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Kegiatan
pemberdayaan ini dapat meliputi peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam hayati tersebut. Sudarmadji
2002 mengemukakan bahwa strategi yang efektif dalam upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui suatu kegiatan kerjasama antara pihak
kawasan konservasi, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat LSM. Diharapkan dari upaya ini masyarakat dapat berperan aktif dalam kegiatan
konservasi dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat juga meningkat. Berdasarkan hasil kajian dan analisis serta observasi terhadap berbagai
gejala dan fenomena yang berkembang, maka dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR, semua aspek harus ditangani secara
komprehensif. Aspek biofisik, sosial-ekonomi-budaya, dan kelembagaan merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan saling mempengaruhi sehingga
keberhasilan program pemberdayaan masyarakat di kawasan ini sangat tergantung pada penanganan ketiga aspek di atas. Dalam pemberdayaan, tidak
cukup hanya ditangani salah satu aspek saja misalnya aspek ekonomi; melainkan semua aspek harus dibenahi secara komprehensif. Masyarakat yang
berada di pinggir kawasan TNGR meskipun melakukan penebangan liar illegal logging dengan alasan ekonomi, namun setelah ditelaah faktor ekonomi itu juga
erat kaitannya dengan aspek lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka pemberdayaan harus dilakukan
secara komprehensif menyangkut aspek ekonomi, sosial-budaya dan kelembagaan. Ketiga aspek ini merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan satu dengan lainnya sehingga harus dibenahi secara bersamaan; bukan diprioritaskan salah satu aspek. Berkenaan dengan pertimbangan di atas,
maka pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR harus dilakukan dengan melibatkan para pihak terkait. Namun
sebagaimana yang dikemukakan oleh Johnson dan Redmond 1992 dalam Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2007, pemberdayaan tidak boleh bermakna
“merobotkan” atau “menyeragamkan”. Pemberdayaan juga memberi ruang pada pengembangan keberagaman kemampuan individual.
Para pihak stakeholders yang idealnya harus terlibat antara lain: 1 masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan TNGR; 2 DinasInstansi terkait
192 seperti: Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Balai Taman Nasional Gunung
Rinjani, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pariwisata, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Bappeda, dan Lembaga
Keuangan; 3 pihak swasta yaitu perusahaan-perusahaan yang dapat dijadikan mitra dalam pengelolaan TNGR; dan 4 perguruan tinggi, lembaga-lembaga
penelitian dan pengembangan masyarakat, serta lembaga swadaya masyarakat LSM yang bergerak di bidang kehutanan seperti: WWF-Program Nusa
Tenggara, Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan YPMP, Rinjani Trek Management Board RTMB, dan LSM lainnya.
Berdasarkan berbagai fakta dan fenomena lapangan serta karakteristik masyarakat di kawasan pengangga TNGR, nampaknya ketiga tahapan
pemberdayaan seperti yang dikemukakan oleh Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2007 harus dilalui secara bertahap, yaitu: penyadaran, pengkapasitasan dan
pendayaan. Tahapan proses pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR diilustrasikan pada Gambar 29.
Pada tahap penyadaran, target sasaran diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian pemahaman secara utuh akan pentingnya melestarikan TNGR. Memang
selama ini masyarakat mengetahui pentingnya keberadaan hutan Rinjani termasuk TNGR, tapi belum memahami sepenuhnya manfaat tidak langsung serta
keterkaitan TNGR dengan kehidupan di sekitarnya sehingga pengetahuannya itu tidak seiring dengan sikap dan tindakan. Hal ini tercermin dari rendahnya partisipasi
dalam pelestarian hutan; mereka selalu mengharapkan insentif ekonomi langsung berupa materi dari apa yang dilakukan. Selain itu target sasaran diberi penyadaran
dan keyakinan bahwa sesungguhnya mereka dapat melakukan aktivitas usaha sebagai sumber pencaharian tanpa harus merusak hutan. Kegiatan ini dapat
dilakukan dengan memberikan penyuluhan melalui kelompokpaguyuban masyarakat lokal seperti kelompok yasinan, PAM Swakrsa, dan kelompok lainnya
atau melalui kunjungan langsung ke rumah target sasaran. Tahap berikutnya adalah pengkapasitasan atau peingkatan kapasitas
capacity building agar mereka memiliki kemampuan. Dalam hal ini dilakukan peningkatan kemampuan target sasaran baik secara individual maupun kelompok.
Peningkatan kapasitas individual antara lain dilakukan melalui kegiatan pelatihan keterampilan dan manajemen usaha. Sementara itu pengkapasitasan kelompok
atau organisasi target sasaran antara lain dilakukan melalui pengembangan Kelompok Usaha Bersama KUB atau Koperasi dan Badan Usaha Milik Masyarakat
193 BUMM. Kegiatan ini diikuti dengan peningkatan kemampuan manajerial berikut
aturan main organisasi. Menurut Campbel 2004, kenyataan yang selama ini patut dijadikan renungan berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat adalah: 1
proyek-proyek yang berorientasi pada pengembangan swadaya masyarakat baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga kerjasama lainnya
menunjukkan bahwa lembagaorganisasi yang dibentuk dalam rangka proyek tersebut tidak dapat berkembang dan bahkan hanya bertahan selama proyek, 2
lembaga-lembaga pelaksana pembangunan yang mensponsori pembentukan organisasi baru di masyarakat sebagai wadah pengembangan swadaya
masyarakat cenderung menerapkan peraturan dan kebijakan sesuai dengan skema proyek dengan menerapkan struktur terstandarisasi, dan 3 banyak pihak tidak
memahami perbedaan antara pengorganisasian dan pengembangan lembaga dengan pembentukan organisasi.
Tahap ketiga adalah pemberian daya dan pengembangan usaha sesuai dengan kepasitas, keterampilan dan peluang usaha yang tersedia. Misalnya,
pemberian kredit kepada suatu kelompok masyarakat miskin di kawasan hutan yang sudah melalui proses penyadaran dan pengkapasitasan, masih perlu
disesuaikan dengan kemampuan usahanya. Agar tujuan dari kegiatan pemberdayaan dapat dicapai secara optimal, maka
semua pihak stakeholders harus melaksanakan peran dan fungsinya secara maksimal sesuai dengan bidang tugas dan fungsi masing-masing. Kepada
kelompok sasaran dilakukan pembinaan secara simultan dari berbagai aspek. Dengan perkataan lain pembinaan harus dilakukan secara totalitas terhadap semua
aspek dan secara sinambung hingga kelompok sasaran betul-betul siap untuk mandiri dengan segala bekal yang telah diberikan.
Pelaksanaan pembinaan harus dilakukan oleh sebuah tim yang beranggotakan tenaga-tenaga teknis dan profesional secara lintas dinasinstansi
serta pihak-pihak lainnya yang berkepentingan termasuk perguruan tinggi dan LSM. Tim ini harus berada dalam satu koordinasi yang utuh sehingga
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Mengenai anggaran pelaksanaan, hendaknya tidak dilakukan pada
masing-masing dinasinstansi secara sektoral, melainkan dianggarkan secara khusus oleh pemerintah daerah setempat. Dengan demikian tumpang tindih
kegiatan serta pemborosan dana dapat dihindarkan. Selain itu kelompok sasaran memperoleh pembinaan dan bimbingan secara holistik dalam berbagai aspek.
194 Pelaku Koordinasi Pemberdayaan
Tahapan Pemberdayaan
Gambar 29. Pelaku dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar TNGR
Ket.: SPKP = Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga
Pengalaman pelaksanaan pembangunan, termasuk dalam pembangunan kehutanan, menunjukkan bahwa banyak terjadi kegagalan program disebabkan
oleh pendekatan yang bersifat top-down, parsial dan tidak terintegrasi serta adanya kesan proyek dalam masyarakat. Masing-masing pihak menyusun dan
melaksanakan program sendiri-sendiri secara terpisah tanpa adanya koordinasi. Konsekuensinya seringkali terjadi duplikasi program sehingga mengakibatkan
Penyadaran Peningkatan
Kapasitas Pendayaan
Masy. Hrmonis
dengan Hutan
Rinjani Mahar-
Rinjani
Input konstitusional : - Peraturan Per UU
- Awig-awig Input Sosbud Lembaga :
- Tata Nilai Kearifan Lokal - Lembaga Adat
- KMPH - KUBKoperasi
Input Ekonomi Lingk. : - Biofisik TNGR
- Lahan Milik - Infrastruktur
SPKP BALAI TNGR
Instansi Terkait
DISHUT
Perguruan Tinggi
Swasta LSM :
WWF LSM :
WWF LSM :
WWF YPMP
RTMB Lainnya
RTMB
195 pemborosan sumberdaya, tidak efektif dan berkembangnya image negatif
terhadap pembangunan. Bertolak dari pemikiran ini, koordinasi dan partisipasi antar stakeholder
yang terlibat sangat diperlukan dengan dilandaskan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati peran dan tujuan masing-masing pihak, saling mendukung
upaya pencapaian misi para pihak, dan saling bekerjasama mengatasi konflik. Guna mencapai optimalisasi pengelolaan maka perencanaan TNGR kedepan
harus dilakukan secara terintegrasi dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam pelaksanaannya. Tahapan-tahapan kegiatan yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut Abas 2005: 1 Melakukan identifikasi dan pemetaan stakeholders yang terkait mulai dari
level masyarakat desa sampai dengan level provinsi berkaitan dengan implikasi otonomi daerah.
2 Melakukan analisis kebutuhan dan aspirasi stakeholders guna mengetahui
skala prioritas yang harus didahulukan. Selanjutnya dilakukan akomodasi dan organisasi terhadap kebutuhan dan aspirasi tersebut.
3 Melakukan elaborasi terhadap pola-pola partisipasi yang berkembang dan mengupayakan kolaborasi dari pola-pola yang telah ada.
4 Melakukan analisis kapasitas institusi pada lembaga-lembaga yang terkait dengan perencanaan dan pengelolaan TNGR. Hal ini berkenaan dengan
kualitas hubungan dan kerjasama antar institusi dalam melaksanakan program kerja pada wilayah TNGR.
5 Melakukan analisis terhadap regulasi yang terkait berkenaan dengan aspek partisipasi dan kerjasama, selanjutnya menterjemahkan dan
menurunkannya ke dalam bentuk regulasi pada tingkat lokal. 6 Melakukan diskusi stakeholder secara bersama guna menemukan,
membahas dan menskenariokan faktor kunci kesuksesan perencanaan partisipatif TNGR.
8.7 Lembaga Pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani