Lembaga Pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani

195 pemborosan sumberdaya, tidak efektif dan berkembangnya image negatif terhadap pembangunan. Bertolak dari pemikiran ini, koordinasi dan partisipasi antar stakeholder yang terlibat sangat diperlukan dengan dilandaskan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati peran dan tujuan masing-masing pihak, saling mendukung upaya pencapaian misi para pihak, dan saling bekerjasama mengatasi konflik. Guna mencapai optimalisasi pengelolaan maka perencanaan TNGR kedepan harus dilakukan secara terintegrasi dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam pelaksanaannya. Tahapan-tahapan kegiatan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut Abas 2005: 1 Melakukan identifikasi dan pemetaan stakeholders yang terkait mulai dari level masyarakat desa sampai dengan level provinsi berkaitan dengan implikasi otonomi daerah. 2 Melakukan analisis kebutuhan dan aspirasi stakeholders guna mengetahui skala prioritas yang harus didahulukan. Selanjutnya dilakukan akomodasi dan organisasi terhadap kebutuhan dan aspirasi tersebut. 3 Melakukan elaborasi terhadap pola-pola partisipasi yang berkembang dan mengupayakan kolaborasi dari pola-pola yang telah ada. 4 Melakukan analisis kapasitas institusi pada lembaga-lembaga yang terkait dengan perencanaan dan pengelolaan TNGR. Hal ini berkenaan dengan kualitas hubungan dan kerjasama antar institusi dalam melaksanakan program kerja pada wilayah TNGR. 5 Melakukan analisis terhadap regulasi yang terkait berkenaan dengan aspek partisipasi dan kerjasama, selanjutnya menterjemahkan dan menurunkannya ke dalam bentuk regulasi pada tingkat lokal. 6 Melakukan diskusi stakeholder secara bersama guna menemukan, membahas dan menskenariokan faktor kunci kesuksesan perencanaan partisipatif TNGR.

8.7 Lembaga Pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani

Berdasarkan Surat Keputusan Menhut No. 185Kepts97 tanggal 27 Mei 1997, pengelolaan TNGR dilakukan oleh “Unit Taman Nasional Gunung Rinjani”. Selanjutnya pada tahun 2002 berubah menjadi “Balai Taman Nasional Gunung Rinjani”; sesuai dengan Surat Keputusan Menhut No. 6186Kepts-II2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang “Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional Gunung Rinjani”. Berdasarkan SK tersebut, TNGR dibagi 196 menjadi 2dua wilayah pengelolaan dalam bentuk “Seksi Konservasi Wilayah SKW”, yaitu : 1 SKW I Lombok Barat untuk wilayah Kabupaten Lombok Barat dengan luas ± 12.357,67 ha 30 dan 2 SKW II Lombok Timur untuk wilayah Kabupaten Lombok Timur dengan luas ± 22.152,88 ha 53 dan Kabupaten Lombok Tengah dengan luas ± 6.819,45 ha 17. Mulai Bulan Maret 2007 Seksi Konservasi Wilayah SKW diganti menjadi “Seksi Pengelolaan Taman Nasional SPTN”. Untuk operasionalisasi di lapangan, masing-masing SPTN dibagi lagi menjadi resort-resort pengeloaan yang selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 30 berikut. Gambar 30. Struktur Organisasi Balai TNGR Balai Taman Nasional Gunung Rinjani selaku pengelola mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan taman nasional dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan fungsi: a. Penyusun rencana program dan evaluasi pengelolaan taman nasional b. Pengelolaan taman nasional c. Pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman nasional d. Perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran taman nasional e. Promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya f. Kerjasama pengelolaan taman nasional g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumahtangga Balai TNGR Klp. Fungsional Sub. Bag. TU SPTN I Lombok Barat SPTN II Lombok Timur Resort Senaru Resort Anyar Resort Santong Resort Aik Berik Resort Stiling Resort Joben Resort K.Kuning Resort Aikmel Resort Sembalun 197 Ujung tombak perlindungan dan pengamanan kawasan TNGR di lapangan dilakukan oleh Polhut Balai TNGR yang merupakan tenaga fungsional berjumlah 36 orang dan 5 orang Tenaga Pengamanan Hutan Lainnya TPHL yang merupakan tenaga non struktural total 41 orang. Jumlah ini sudah cukup mermadai karena berdasarkan ketentuan, jumlah polhut yang ideal adalah 1 berbanding 800-1000 ha. Jadi dengan demikian, bila dilihat dari luas TNGR 41 330 ha, maka jumlah polhut yang ada sudah ideal. Namun demikian dalam kenyataannya, kawasan TNGR merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dengan medan terjal yang sulit dijangkau, maka dengan jumlah petugas yang ada saat ini mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan dan pemantauan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan penambahan petugas dan posko- posko pengamanan terutama untuk kawasan-kawasan rawan gangguan dan medan sulit dijangkau. Selain Polhut, pada setiap resort terdapat tenaga yang membantu pengamanan hutan berjumlah 3 - 4 orang; yang merupakan gabungan dari Langlang Gawah relawan Dinas Kehutanan dan Langlang Buana relawan Balai TNGR. Sementara itu untuk menangani aspek sosial ekonomi dan aspek teknis budidaya seperti pemanfaatan jasa lingkungan, penangkaran dan pengawetan benih, serta teknik budidaya, dilakukan oleh tenaga Pengendali Ekosistem Hutan PEH. PEH merupakan PNS dari Balai TNGR; saat ini berjumlah 15 orang. Selain PEH, ada juga kelompok-kelompok pencinta lingkungan yang merupakan inisiatif masyarakatpemuda yang kemudian dibina dan difasilitasi oleh Balai TNGR. Kelompok-kelompok dimaksud antara lain: a. Kader konservasi; berjumlah 3-4 orang setiap resort b. Kelompok Masyarakat Peduli Arboretum KMPA di Resort Joben dengan jumlah anggota 25 orang c. Kelompok Masyarakat Peduli Hutan KMPH di Resort Kembang Kuning yaitu: KMPH Jeruk Manis dengan jumlah anggota 25 orang dan KMPH Mayung Polak, Desa Pengadangan dengan jumlah anggota 40 orang; merupakan gabungan Forter dan Guide. d. Gerakan Pemuda Peduli Lingkungan GP2L di Resort Aikmel dengan jumlah anggota 30 orang e. Kelompok Pencinta Alam KPA di Resort Santong dan Masyarakat Adat Bayan. 198 Dukungan dari berbagai pemangku kepentingan ini sangat membantu dalam mensukseskan program pengelolaan TNGR. Secara aktif Balai TNGR melaksanakan kemitraan pengelolaan dengan berbagai stakeholder terkait yang mencakup instansi pemerintah daerah terkait LSM, masyarakat adat, tokoh agama, kader konsrvasi, industri parawisata, pramu wisata, porter serta kelompok masyarakat sekitar kawasan. Bentuk dan lembaga mitra Balai TNGR secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 18. Dari aspek institusional, pelaksanaan pengelolaan TNGR masih bersifat parsial dan kurang terpadu; ditandai dengan pengelolaan yang hanya dilakukan oleh Balai TNGR saja, bahkan koordinasi dengan dinasinstansi terkait lainnya masih kurang jelas dan tegas. Seluruh kegiatan operasional yang berkenaan dengan TNGR merupakan tanggung jawab Balai TNGR. Koordinasi yang dilakukan hanya sebatas lingkup kegiatan saja dan masih belum ada kesepakatan atau kerjasama antar institusi atau sektor pembangunan yang bersifat terpadu dan permanen. Jika melihat potensi dan manfaat yang diberikan oleh TNGR maka menurut Abas 2005 sudah selayaknya pengelolaan dilakukan dengan kerjasama antar dinasinstitusi terkait dan didukung oleh partisipasi masyarakat secara maksimal seperti kerjasama dengan dinas pariwisata untuk pengelolaan pariwisata alam, dinas kehutanan untuk pengelolaan kawasan lindung maupun kawasan penyangga, kerjasama dengan dinas pertanian untuk mengelola budidaya pertanian maupun kerjasama lainnya seperti pengamanan kawasan, pengembangan daerah penyangga, pembinaan masyarakat sekitar hutan, pendidikan dan penyebaran informasi. Pengelolaan TNGR yang berkelanjutan memerlukan kelembagaan yang kuat baik menyangkut hubungan internal dan eksternal. Untuk memperkuat kapasitas kelembagaan perlu meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan instansi lain, baik dengan organisasi pemerintah maupun non pemerintah, dari dalam maupun luar negeri serta masyarakat luas dengan mengembangkan suatu sistem kemitraan. Kemitraan mengandung makna kebersamaan dalam melaksanakan setiap kegiatan dan komunikasi yang dibangun dengan baik agar kegiatan tidak saling tumpang tindih atau saling mengganggu dalam pelaksanaannya di lokasi Taman Nasional. Kerjasama tersebut dilaksanakan dalam berbagai bentuk antara lain pembangunan sarana dan prasarana, bidang penelitian, pembinaan daerah 199 penyangga dan lain-lain. Selain itu juga diperlukan koordinasi dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi pengelolaan agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai dengan baik. Hasil lebih lanjut yang diharapkan dari kegiatan koordinasi ini adalah terwujudnya kerjasama dan koordinasi yang baik antara pengelola kawasan dengan pihak lain serta untuk mendukung keberhasilan pengelolaan TNGR. Untuk koordinasi pengelolaan dilakukan secara terintegrasi dalam pengelolaan kawasan konservasi Integrated Management Conservation. Dalam koordinasi pengelolaan terpadu, pengelola TNGR, melaksanakan kebijakan yang bersifat nasional dari Departemen Kehutanan dan kebijakan dasar dalam regulasi otonomi daerah dari Dinas-dinas di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur yang dikoordinasikan oleh Bupati Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Dalam setiap kegiatan pengelolaan yang dilaksanakan, harus dilakukan kegiatan pemantauan dan evaluasi agar tingkat keberhasilan kegiatan yang telah dilaksanakan dapat diketahui, aspek kekuatan dan kelemahannya dapat dideteksi sehingga dapat dilakukan perbaikan- perbaikan terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan serta menyusun rencana perbaikan untuk kegiatan yang akan datang. Dalam pemantauan ini juga harus melibatkan instansi-instansi yang terkait dalam koordinasi pengelolaan. Permasalahan organisasi dan kelembagaan ini menyangkut masih lemahnya jaringan komunikasi vertikal dan horizontal. Koordinasi dan sinkronisasi dalam organisasi dan kelembagaan TNGR. Koordinasi dimaksud adalah upaya membangun kesepakatan atau kesepahaman dengan pihak-pihak terkait melalui pengembangan aspirasi dari bawah. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah mengembangkan komunikasi dan kolaborasi publik secara berkesinambungan melalui jaringan komunikasi antar seluruh stakeholder secara kebersamaan dalam kesetaraan dan kesejajaran peran dengan tetap berlandaskan pada keseimbangan ekoslogis, ekonomis, dan sosial. Sementara itu secara bersamaan dilakukan pendekatan sinkronisasi yang lebih ditujukan untuk menselaraskan kebijakan pusat dan daerah. Hal ini perlu dilakukan untuk memadukan berbagai kepentingan yang berkaitan dengan rencana pengembangan TNGR termasuk berbagai faktor eksternal serta keterkaitan kepentingan antara wilayah. Jika konservasi memang telah menjadi komitmen politik nasional, sudah semestinya penegakan pilar-pilar konservasi harus terus dilakukan. Untuk 200 melakukan hal ini diperlukan reoreintasi dan reposisi terhadap pelaksanaan konservasi secara nasional, maupun lokal. Pengelola kawasan TNGR tidak hanya banyak menjaga dan menonton kawasan TNGR, tetapi berupaya untuk menggali potensi dan memegang hakekat konservasi. Pihak pengelola perlu banyak berkomunikasi dengan masyarakat di sekitar kawasan TNGR mengingat masih lemahnya sense of belonging masyarakat terhadap kawasan TNGR. Komunikasi tidak hanya dalam bentuk pendekatan penyuluhan melainkan juga kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang pencapaian pilar-pilar konservasi tersebut. Dalam konteks ini, basis kemasyarakatan harus terus menjadi landasan pengelolaan kawasan konservasi TNGR. Pengembangan community based management perlu dilaksanakan mengingat kesejarahan kawasan TNGR yang memang begitu banyak kepentingan terhadap kawasan ini bahkan pemanfaatannya sudah lintas wilayah, seperti pemanfaatan jasa hidrologis oleh masyarakat di sekitar TNGR. Bertolak dari pemikiran ini, koordinasi dan partisipasi antar stakeholders yang terlibat sangat diperlukan dengan dilandaskan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati peran dan tujuan masing-masing pihak, saling mendukung upaya pencapaian misi para pihak, dan saling bekerjasama mengatasi konflik. Guna memastikan terselenggaranya koordinasi dan partisipasi antar stakeholder, maka perlu melakukan langkah-langkah Abas, 2005 sebagai berikut: - Membangun kesamaan persepsi antar stakeholder mengenai pengembangan TNGR secara terintegrasi - Membangun komitmen bersama antar stakeholder untuk meningkatkan koordinasi dan partisipasi - Membangun jaringan dan sistem informasi antar stakeholder - Membangun sistem koordinasi dan partisipasi antar stakeholder Berkenaan dengan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR secara lebih efektif dan efisien, maka sinkronisasi program dan kegiatan mutlak diperlukan. Satu kelompok sasaran harus dibina secara komprehensif dengan melibatkan para pihak terkait secara proporsional. Dengan demikian diperlukan adanya organisasi atau lembaga yang menjadi penggerak inisiator dan mengkoordinir kegiatan pemberdayaan. Untuk keperluan tersebut, ada 2 dua alternatif yang dapat dilakukan. Pertama, struktur organisasi Balai TNGR perlu ditambahkan “Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga SPKP”. 201 Seksi ini diharapkan menjadi penghubung stakeholders dengan tugas pokok dan fungsi tupoksi adalah sosialisasi dan koordinasi kegiatan pemberdayaan masyarakat, termasuk sebagai Pos Pengaduan TNGR Gambar 31. Kedua, seandainya SPKP tidak bisa dibentuk karena sudah ada ketentuan baku tentang struktur organisasi Balai TNGR, maka tugas pokok dan fungsi tupoksi SPKP harus dapat dilaksanakan oleh Kepala Balai TNGR atau pejabat yang ditunjuk. Gambar 31. Usulan Struktur Organisasi Balai TNGR 8.8 Pembiayaan untuk Pemberdayaan Pembiayaan untuk pengelolaan TNGR di masa mendatang membutuhkan inovasi berupa pencarian sumber-sumber pembiayaan baru selain dari sumber pembiayaan yang telah ada. Saat ini sumber pembiayaan berasal dari pemerintah pusat dan sebagian dari karcis masuk TNGR untuk pendakian. Alternatif lain pembiayaan TNGR antara lain dengan menjalin kerjasama dengan lembaga donor dari dalam maupun luar negeri, kerjasama usaha dengan tour operator dan penyelenggara wisata homestay, hotel dan lain-lain, masyarakat sekitar maupun kerjasama dengan LSM. Pariwisata alam di TNGR merupakan bagian dari pengelolaan kawasan konservasi dimana kepemilikan dan pemanfaatan TNGR adalah public goods. BALAI TNGR Klp. Fungsional Sub. Bag. TU SPTN I Lombok Barat SPTN II Lombok Timur Resort Senaru Resort Anyar Resort Santong Resort Aik Berik Resort Stiling Resort Joben Resort K.Kuning Resort Aikmel Resort Sembalun Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga SPKP Sosialisasi Koordinasi Posko Pengaduan 202 Oleh karena itu pengelolaan dan pembiayaan utama berasal dari public dan dipertanggung-jawabkan secara public pula. Beberapa alternatif sumber pembiayaan termasuk yang bersifat partisipatif antara lain: 1. Sumber Pembiayaan Utama Sumber utama pembiayaan TNGR adalah dari pemerintah pusat, berupa anggaran rutin, anggaran APBN, dana reboisasi, dana programproyek, atau dana pinjaman yang dibayar pemerintah pusat. Diharapkan untuk masa mendatang, pendapatan dari pariwisata alam ekowisata TNGR dapat membiayai operasional kegiatan pengelolaan sehingga dapat mengurangi beban biaya dari pemerintah. 2. Sumber Pembiyaan Pendukung Sumber pembiyaan pendukung ini berupa bantuan atau investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah propinsi danatau pemerintah kabupaten sebagai bagian dari rasa kepemilikan terhadap TNGR sebagai icon bagi masyarakat dan pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat. 3. Sumber Pembiyaan Partisipatif Sumber pembiayaan partisipasif ini berasal dari kalangan investor yang berusaha di kawasan TNGR. Selain itu sebagai wujud rasa tanggung jawab segenap lapisan masyarakat dapat dilakukan penarikan retribusi jasa lingkungan misalnya untuk air irigasi dan air minum. Penarikan retribusi air minum ini bisa dilakukan bersamaan dengan pembayaran rekening air bulanan bagi setiap pelanggan yang besarnya proporsional berdasarkan besar kecilnya konsumsi air. Untuk wilayah Kabupaten Lombok Barat, telah dikeluarkan Perda No 4 tahun 2007 tentang “Pengelolaan Jasa Lingkungan”. Dalam perda ini disebutkan bahwa obyek pembayaran jasa lingkungan meliputi: 1 berdasarkan manfaat langsung yang terdiri atas air permukaan dan air bawah tanah yang dikomersialkan, dan 2 berdasarkan manfaat tidak langsung yang terdiri atas wisata alam, hutan raya, hutan adat, hutan lindung, dan hutan wisata. 4. Sumber Pembiyaan Sukarela Pembiayaan dapat berupa sumbangan sukarela atau pinjaman tanpa bunga dan tidak mengikat. Pembiayan ini dapat berasal dari lembaga donor nasional dan internasional, Lembaga swadaya masyarakat ataupun 203 perorangan. Pembiayaan sukarela ini tetap harus dikoordinasikan dengan pemerintah pusat sebagai pemegang kendali keuangan TNGR. 5. Hasil Pengembangan Ekowisata Salah satu sumber penerimaan potensial adalah dari hasil pengembangan ekowisata, hanya saja biaya yang dialokasikan untuk konservasi relatif kecil, bahkan terjadi konflik dalam pengelolaan. Sebagai contoh, objek wisata Otak Kokoq Joben wilayah TNGR dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, tapi pelaksana-annya dikontrakkan ke pihak kedua dengan nilai kontrak untuk tahun 2007 sebesar Rp 158 700 000,- Dari jumlah tersebut hanya Rp 5 juta 3,15 diserahkan ke Balai TNGR untuk biaya konservasi. Selain sumber pembiayaan seperti yang disebutkan di atas, alternatif sumber pembiayaan lainnya adalah melalui keterlibatan lembaga keuangan perbankan. Dalam hal ini skim kredit yang selama ini diperuntukkan bagi masyarakatpengusaha kecil; dengan beberapa penyesuaianmodifikasi dapat dialokasikan untuk membiayai kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan sapi dengan model SIDASARI. Beberapa ketentuan dan modifikasi sehubungan dengan kredit pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR dengan model SIDASARI adalah: 1 Lembaga keuangan perbankan membiayai modal awal pembelian sapi yang akan dipelihara oleh kelompok sasaran 2 Masa tenggang waktu pengembalian grace period pinjaman adalah 4 - 5 tahun satu kali periode pemberdayaan 3 Bunga pinjaman disubsidi oleh pemerintah 4 Pengembalian modal pinjaman diperoleh dari hasil penjualan induk sapi yang telah digunakan untuk pemberdayaan 4 kali perguliran. Dukungan dan keterlibatan lembaga keuangan juga sangat dibutuhkan dalam rangka pengembangan kegiatan usaha kecil hasil hutan bukan kayu. Tujuannya adalah untuk memperkuat struktur permodalan kelompok melalui model kreditpembiayaan usaha kecil hasil hutan bukan kayu. Salah satu model dan mekanisme yang dapat diterapkan adalah model Kredit Usaha Mikro Pertanian Organik KUMPO yang dekembangkan oleh Kusmuljono 2007.

IX. SIMPULAN DAN SARAN

9.1 Simpulan

1. Bentuk interaksi masyarakat dengan hutan TNGR dapat dipilahkan menjadi 3 tiga, yaitu: 1 mengambilmemanfaatkan hasil hutan, 2 pendakian ke Puncak Rinjani danatau Danau Segara Anak, dan 3 bercocok tanam di kawasan TNGR. Interaksi masyarakat untuk mengambil hasil hutan kayu HHK secara nyata significant dipengaruhi oleh 7 tujuh faktor yang dapat dipilahkan menjadi 3 tiga kategori sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan lestari Sustainable Forest Management SFM, yaitu: 1 berkenaan dengan kondisi biofisik TNGR, yaitu: lokasi interaksi; 2 berkenaan dengan sosial budaya masyarakat, meliputi: WTP dan pengetahuan lokal atau kebiasaan turun- temurun dalam memanfaatkan hasil hutan kayu HHK; dan 3 berkenaan dengan ekonomi masyarakat, meliputi: pengeluaran untuk kebutuhan makanan, penghasilan dari luar hutan, keterlibatan dalam HKm , dan kepemilikanpemeliharaan sapi. 2. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNGR termasuk dalam kategori “sedang”. Meski demikian secara parsial persepsi terhadap manfaat fungsional dan manfaat keberadaan termasuk kategori “tinggi”. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat telah merasakan manfaat tidak langsung manfaat fungsional keberadaan TNGR sebagai pencegah banjir, longsor, dan pelindung dari badai. 3. Rata-rata penghasilan masyarakat di kawasan TNGR sebesar Rp 507 839,- per bulan dimana lebih dari 30-nya bersumber dari hasil hutan, sementara rata-rata pengeluaran sebesar Rp 513 533,- per bulan 68,15 diantaranya merupakan pengeluaran untuk kebutuhan makan. Pendapatan rumahtangga memiliki hubungan positif dengan partisipasi dalam pelestarian TNGR. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan kesejaheraan ekonomi, maka semakin besar kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelestarian TNGR. 4. Model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan TNGR berkelanjutan adalah model yang menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan TNGR yang disebut Mahar-Rinjani Masyarakat Harmonis dengan Hutan Rinjani. Ada 3 tiga alternatif model pemberdayaan yang dapat dilakukan, yaitu: 1 model yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat

Dokumen yang terkait

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 65 94

Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Batang Gadis (TNBG)

8 75 79

Model partisipatif perhutanan sosial menuju pengelolaan hutan berkelanjutan (Kasus pembangunan hutan kemasyarakatan pada kawasan hutan lindung di Pulau Lombok)

2 79 308

Model partisipatif perhutanan sosial menuju pengelolaan hutan berkelanjutan (Kasus pembangunan hutan kemasyarakatan pada kawasan hutan lindung di Pulau Lombok)

2 37 597

Persepsi, Motivasi dan Perilaku Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pengelolaan Kawasan Hutan (Kasus Kawasan Hutan sekitar Desa Gunung Sari di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

0 3 41

Analisis Pengelolaan Koridor antata Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun dengan Kawasan Hutan Lindung Gunung Salak Berdasarkan Kondisi Masyarakat Sekitar

0 4 181

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI PELESTARIAN HUTAN LINDUNG :Studi Kasus di Masyarakat Sekitar Hutan Gunung Simpang Cibuluh Cidaun Cianjur Selatan.

1 1 46

Model Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Jember

0 2 5

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 2 14

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 1 11