195 pemborosan sumberdaya, tidak efektif dan berkembangnya image negatif
terhadap pembangunan. Bertolak dari pemikiran ini, koordinasi dan partisipasi antar stakeholder
yang terlibat sangat diperlukan dengan dilandaskan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati peran dan tujuan masing-masing pihak, saling mendukung
upaya pencapaian misi para pihak, dan saling bekerjasama mengatasi konflik. Guna mencapai optimalisasi pengelolaan maka perencanaan TNGR kedepan
harus dilakukan secara terintegrasi dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam pelaksanaannya. Tahapan-tahapan kegiatan yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut Abas 2005: 1 Melakukan identifikasi dan pemetaan stakeholders yang terkait mulai dari
level masyarakat desa sampai dengan level provinsi berkaitan dengan implikasi otonomi daerah.
2 Melakukan analisis kebutuhan dan aspirasi stakeholders guna mengetahui
skala prioritas yang harus didahulukan. Selanjutnya dilakukan akomodasi dan organisasi terhadap kebutuhan dan aspirasi tersebut.
3 Melakukan elaborasi terhadap pola-pola partisipasi yang berkembang dan mengupayakan kolaborasi dari pola-pola yang telah ada.
4 Melakukan analisis kapasitas institusi pada lembaga-lembaga yang terkait dengan perencanaan dan pengelolaan TNGR. Hal ini berkenaan dengan
kualitas hubungan dan kerjasama antar institusi dalam melaksanakan program kerja pada wilayah TNGR.
5 Melakukan analisis terhadap regulasi yang terkait berkenaan dengan aspek partisipasi dan kerjasama, selanjutnya menterjemahkan dan
menurunkannya ke dalam bentuk regulasi pada tingkat lokal. 6 Melakukan diskusi stakeholder secara bersama guna menemukan,
membahas dan menskenariokan faktor kunci kesuksesan perencanaan partisipatif TNGR.
8.7 Lembaga Pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani
Berdasarkan Surat Keputusan Menhut No. 185Kepts97 tanggal 27 Mei 1997, pengelolaan TNGR dilakukan oleh “Unit Taman Nasional Gunung
Rinjani”. Selanjutnya pada tahun 2002 berubah menjadi “Balai Taman Nasional Gunung Rinjani”; sesuai dengan Surat Keputusan Menhut No.
6186Kepts-II2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang “Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional Gunung Rinjani”. Berdasarkan SK tersebut, TNGR dibagi
196 menjadi 2dua wilayah pengelolaan dalam bentuk “Seksi Konservasi Wilayah
SKW”, yaitu : 1 SKW I Lombok Barat untuk wilayah Kabupaten Lombok Barat dengan luas ± 12.357,67 ha 30 dan 2 SKW II Lombok Timur untuk wilayah
Kabupaten Lombok Timur dengan luas ± 22.152,88 ha 53 dan Kabupaten Lombok Tengah dengan luas ± 6.819,45 ha 17. Mulai Bulan Maret 2007
Seksi Konservasi Wilayah SKW diganti menjadi “Seksi Pengelolaan Taman Nasional SPTN”. Untuk operasionalisasi di lapangan, masing-masing SPTN
dibagi lagi menjadi resort-resort pengeloaan yang selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 30 berikut.
Gambar 30. Struktur Organisasi Balai TNGR Balai Taman Nasional Gunung Rinjani selaku pengelola mempunyai
tugas melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan taman nasional dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan fungsi:
a.
Penyusun rencana program dan evaluasi pengelolaan taman nasional
b.
Pengelolaan taman nasional
c.
Pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman nasional
d.
Perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran taman nasional
e.
Promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
f.
Kerjasama pengelolaan taman nasional
g.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumahtangga
Balai TNGR
Klp. Fungsional Sub. Bag. TU
SPTN I Lombok Barat
SPTN II Lombok Timur
Resort Senaru
Resort Anyar
Resort Santong
Resort Aik Berik
Resort Stiling
Resort Joben
Resort K.Kuning
Resort Aikmel
Resort Sembalun
197 Ujung tombak perlindungan dan pengamanan kawasan TNGR di
lapangan dilakukan oleh Polhut Balai TNGR yang merupakan tenaga fungsional berjumlah 36 orang dan 5 orang Tenaga Pengamanan Hutan Lainnya TPHL
yang merupakan tenaga non struktural total 41 orang. Jumlah ini sudah cukup mermadai karena berdasarkan ketentuan, jumlah polhut yang ideal adalah 1
berbanding 800-1000 ha. Jadi dengan demikian, bila dilihat dari luas TNGR 41 330 ha, maka jumlah polhut yang ada sudah ideal. Namun demikian dalam
kenyataannya, kawasan TNGR merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dengan medan terjal yang sulit dijangkau, maka dengan jumlah petugas yang
ada saat ini mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan dan pemantauan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan penambahan petugas dan posko-
posko pengamanan terutama untuk kawasan-kawasan rawan gangguan dan medan sulit dijangkau. Selain Polhut, pada setiap resort terdapat tenaga yang
membantu pengamanan hutan berjumlah 3 - 4 orang; yang merupakan gabungan dari Langlang Gawah relawan Dinas Kehutanan dan Langlang
Buana relawan Balai TNGR. Sementara itu untuk menangani aspek sosial ekonomi dan aspek teknis
budidaya seperti pemanfaatan jasa lingkungan, penangkaran dan pengawetan benih, serta teknik budidaya, dilakukan oleh tenaga Pengendali Ekosistem Hutan
PEH. PEH merupakan PNS dari Balai TNGR; saat ini berjumlah 15 orang. Selain PEH, ada juga kelompok-kelompok pencinta lingkungan yang merupakan
inisiatif masyarakatpemuda yang kemudian dibina dan difasilitasi oleh Balai TNGR. Kelompok-kelompok dimaksud antara lain:
a. Kader konservasi; berjumlah 3-4 orang setiap resort b. Kelompok Masyarakat Peduli Arboretum KMPA di Resort Joben dengan
jumlah anggota 25 orang c. Kelompok Masyarakat Peduli Hutan KMPH di Resort Kembang Kuning yaitu:
KMPH Jeruk Manis dengan jumlah anggota 25 orang dan KMPH Mayung Polak, Desa Pengadangan dengan jumlah anggota 40 orang; merupakan
gabungan Forter dan Guide. d. Gerakan Pemuda Peduli Lingkungan GP2L di Resort Aikmel dengan jumlah
anggota 30 orang e. Kelompok Pencinta Alam KPA di Resort Santong dan Masyarakat Adat
Bayan.
198 Dukungan dari berbagai pemangku kepentingan ini sangat membantu
dalam mensukseskan program pengelolaan TNGR. Secara aktif Balai TNGR melaksanakan kemitraan pengelolaan dengan berbagai stakeholder terkait yang
mencakup instansi pemerintah daerah terkait LSM, masyarakat adat, tokoh agama, kader konsrvasi, industri parawisata, pramu wisata, porter serta
kelompok masyarakat sekitar kawasan. Bentuk dan lembaga mitra Balai TNGR secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 18.
Dari aspek institusional, pelaksanaan pengelolaan TNGR masih bersifat parsial dan kurang terpadu; ditandai dengan pengelolaan yang hanya dilakukan
oleh Balai TNGR saja, bahkan koordinasi dengan dinasinstansi terkait lainnya masih kurang jelas dan tegas. Seluruh kegiatan operasional yang berkenaan
dengan TNGR merupakan tanggung jawab Balai TNGR. Koordinasi yang dilakukan hanya sebatas lingkup kegiatan saja dan masih belum ada kesepakatan atau
kerjasama antar institusi atau sektor pembangunan yang bersifat terpadu dan permanen.
Jika melihat potensi dan manfaat yang diberikan oleh TNGR maka menurut Abas 2005 sudah selayaknya pengelolaan dilakukan dengan kerjasama antar
dinasinstitusi terkait dan didukung oleh partisipasi masyarakat secara maksimal seperti kerjasama dengan dinas pariwisata untuk pengelolaan pariwisata alam,
dinas kehutanan untuk pengelolaan kawasan lindung maupun kawasan penyangga, kerjasama dengan dinas pertanian untuk mengelola budidaya
pertanian maupun kerjasama lainnya seperti pengamanan kawasan, pengembangan daerah penyangga, pembinaan masyarakat sekitar hutan,
pendidikan dan penyebaran informasi. Pengelolaan TNGR yang berkelanjutan memerlukan kelembagaan yang
kuat baik menyangkut hubungan internal dan eksternal. Untuk memperkuat kapasitas kelembagaan perlu meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan
instansi lain, baik dengan organisasi pemerintah maupun non pemerintah, dari dalam maupun luar negeri serta masyarakat luas dengan mengembangkan suatu
sistem kemitraan. Kemitraan mengandung makna kebersamaan dalam melaksanakan setiap kegiatan dan komunikasi yang dibangun dengan baik agar
kegiatan tidak saling tumpang tindih atau saling mengganggu dalam pelaksanaannya di lokasi Taman Nasional.
Kerjasama tersebut dilaksanakan dalam berbagai bentuk antara lain pembangunan sarana dan prasarana, bidang penelitian, pembinaan daerah
199 penyangga dan lain-lain. Selain itu juga diperlukan koordinasi dalam kegiatan
pemantauan dan evaluasi pengelolaan agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai dengan baik. Hasil lebih lanjut yang diharapkan dari kegiatan koordinasi
ini adalah terwujudnya kerjasama dan koordinasi yang baik antara pengelola kawasan dengan pihak lain serta untuk mendukung keberhasilan pengelolaan
TNGR. Untuk koordinasi pengelolaan dilakukan secara terintegrasi dalam
pengelolaan kawasan konservasi Integrated Management Conservation. Dalam koordinasi pengelolaan terpadu, pengelola TNGR, melaksanakan kebijakan yang
bersifat nasional dari Departemen Kehutanan dan kebijakan dasar dalam regulasi otonomi daerah dari Dinas-dinas di Kabupaten Lombok Barat, Lombok
Tengah dan Lombok Timur yang dikoordinasikan oleh Bupati Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Dalam setiap kegiatan pengelolaan yang
dilaksanakan, harus dilakukan kegiatan pemantauan dan evaluasi agar tingkat keberhasilan kegiatan yang telah dilaksanakan dapat diketahui, aspek kekuatan
dan kelemahannya dapat dideteksi sehingga dapat dilakukan perbaikan- perbaikan terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan serta menyusun rencana
perbaikan untuk kegiatan yang akan datang. Dalam pemantauan ini juga harus melibatkan instansi-instansi yang terkait dalam koordinasi pengelolaan.
Permasalahan organisasi dan kelembagaan ini menyangkut masih lemahnya jaringan komunikasi vertikal dan horizontal. Koordinasi dan
sinkronisasi dalam organisasi dan kelembagaan TNGR. Koordinasi dimaksud adalah upaya membangun kesepakatan atau kesepahaman dengan pihak-pihak
terkait melalui pengembangan aspirasi dari bawah. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah mengembangkan komunikasi dan kolaborasi publik secara
berkesinambungan melalui jaringan komunikasi antar seluruh stakeholder secara kebersamaan dalam kesetaraan dan kesejajaran peran dengan tetap
berlandaskan pada keseimbangan ekoslogis, ekonomis, dan sosial. Sementara itu secara bersamaan dilakukan pendekatan sinkronisasi yang
lebih ditujukan untuk menselaraskan kebijakan pusat dan daerah. Hal ini perlu dilakukan untuk memadukan berbagai kepentingan yang berkaitan dengan
rencana pengembangan TNGR termasuk berbagai faktor eksternal serta keterkaitan kepentingan antara wilayah.
Jika konservasi memang telah menjadi komitmen politik nasional, sudah semestinya penegakan pilar-pilar konservasi harus terus dilakukan. Untuk
200 melakukan hal ini diperlukan reoreintasi dan reposisi terhadap pelaksanaan
konservasi secara nasional, maupun lokal. Pengelola kawasan TNGR tidak hanya banyak menjaga dan menonton kawasan TNGR, tetapi berupaya untuk
menggali potensi dan memegang hakekat konservasi. Pihak pengelola perlu banyak berkomunikasi dengan masyarakat di sekitar kawasan TNGR mengingat
masih lemahnya sense of belonging masyarakat terhadap kawasan TNGR. Komunikasi tidak hanya dalam bentuk pendekatan penyuluhan melainkan juga
kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang pencapaian pilar-pilar konservasi tersebut.
Dalam konteks ini, basis kemasyarakatan harus terus menjadi landasan pengelolaan kawasan konservasi TNGR. Pengembangan community based
management perlu dilaksanakan mengingat kesejarahan kawasan TNGR yang memang begitu banyak kepentingan terhadap kawasan ini bahkan
pemanfaatannya sudah lintas wilayah, seperti pemanfaatan jasa hidrologis oleh masyarakat di sekitar TNGR.
Bertolak dari pemikiran ini, koordinasi dan partisipasi antar stakeholders yang terlibat sangat diperlukan dengan dilandaskan pada prinsip kesetaraan,
saling menghormati peran dan tujuan masing-masing pihak, saling mendukung upaya pencapaian misi para pihak, dan saling bekerjasama mengatasi konflik.
Guna memastikan terselenggaranya koordinasi dan partisipasi antar stakeholder, maka perlu melakukan langkah-langkah Abas, 2005 sebagai berikut:
- Membangun kesamaan persepsi antar stakeholder mengenai pengembangan
TNGR secara terintegrasi - Membangun komitmen bersama antar stakeholder untuk meningkatkan
koordinasi dan partisipasi -
Membangun jaringan dan sistem informasi antar stakeholder -
Membangun sistem koordinasi dan partisipasi antar stakeholder Berkenaan dengan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di kawasan
penyangga TNGR secara lebih efektif dan efisien, maka sinkronisasi program dan kegiatan mutlak diperlukan. Satu kelompok sasaran harus dibina secara
komprehensif dengan melibatkan para pihak terkait secara proporsional. Dengan demikian diperlukan adanya organisasi atau lembaga yang menjadi penggerak
inisiator dan mengkoordinir kegiatan pemberdayaan. Untuk keperluan tersebut, ada 2 dua alternatif yang dapat dilakukan. Pertama, struktur organisasi Balai
TNGR perlu ditambahkan “Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga SPKP”.
201 Seksi ini diharapkan menjadi penghubung stakeholders dengan tugas pokok dan
fungsi tupoksi adalah sosialisasi dan koordinasi kegiatan pemberdayaan masyarakat, termasuk sebagai Pos Pengaduan TNGR Gambar 31. Kedua,
seandainya SPKP tidak bisa dibentuk karena sudah ada ketentuan baku tentang struktur organisasi Balai TNGR, maka tugas pokok dan fungsi tupoksi SPKP
harus dapat dilaksanakan oleh Kepala Balai TNGR atau pejabat yang ditunjuk.
Gambar 31. Usulan Struktur Organisasi Balai TNGR 8.8 Pembiayaan untuk Pemberdayaan
Pembiayaan untuk pengelolaan TNGR di masa mendatang membutuhkan inovasi berupa pencarian sumber-sumber pembiayaan baru selain dari sumber
pembiayaan yang telah ada. Saat ini sumber pembiayaan berasal dari pemerintah pusat dan sebagian dari karcis masuk TNGR untuk pendakian.
Alternatif lain pembiayaan TNGR antara lain dengan menjalin kerjasama dengan lembaga donor dari dalam maupun luar negeri, kerjasama usaha dengan tour
operator dan penyelenggara wisata homestay, hotel dan lain-lain, masyarakat sekitar maupun kerjasama dengan LSM.
Pariwisata alam di TNGR merupakan bagian dari pengelolaan kawasan konservasi dimana kepemilikan dan pemanfaatan TNGR adalah public goods.
BALAI TNGR
Klp. Fungsional Sub. Bag. TU
SPTN I Lombok Barat
SPTN II Lombok Timur
Resort Senaru Resort Anyar
Resort Santong Resort Aik Berik
Resort Stiling Resort Joben
Resort K.Kuning Resort Aikmel
Resort Sembalun
Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga
SPKP
Sosialisasi Koordinasi
Posko Pengaduan
202 Oleh karena itu pengelolaan dan pembiayaan utama berasal dari public dan
dipertanggung-jawabkan secara public pula. Beberapa alternatif sumber pembiayaan termasuk yang bersifat partisipatif antara lain:
1. Sumber Pembiayaan Utama Sumber utama pembiayaan TNGR adalah dari pemerintah pusat, berupa
anggaran rutin, anggaran APBN, dana reboisasi, dana programproyek, atau dana pinjaman yang dibayar pemerintah pusat. Diharapkan untuk masa
mendatang, pendapatan dari pariwisata alam ekowisata TNGR dapat membiayai operasional kegiatan pengelolaan sehingga dapat mengurangi
beban biaya dari pemerintah. 2. Sumber Pembiyaan Pendukung
Sumber pembiyaan pendukung ini berupa bantuan atau investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah propinsi danatau pemerintah kabupaten
sebagai bagian dari rasa kepemilikan terhadap TNGR sebagai icon bagi masyarakat dan pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat.
3. Sumber Pembiyaan Partisipatif Sumber pembiayaan partisipasif ini berasal dari kalangan investor yang
berusaha di kawasan TNGR. Selain itu sebagai wujud rasa tanggung jawab segenap lapisan masyarakat dapat dilakukan penarikan retribusi jasa
lingkungan misalnya untuk air irigasi dan air minum. Penarikan retribusi air minum ini bisa dilakukan bersamaan dengan pembayaran rekening air
bulanan bagi setiap pelanggan yang besarnya proporsional berdasarkan besar kecilnya konsumsi air.
Untuk wilayah Kabupaten Lombok Barat, telah dikeluarkan Perda No 4 tahun 2007 tentang “Pengelolaan Jasa Lingkungan”. Dalam perda ini
disebutkan bahwa obyek pembayaran jasa lingkungan meliputi: 1 berdasarkan manfaat langsung yang terdiri atas air permukaan dan air bawah
tanah yang dikomersialkan, dan 2 berdasarkan manfaat tidak langsung yang terdiri atas wisata alam, hutan raya, hutan adat, hutan lindung, dan
hutan wisata. 4. Sumber Pembiyaan Sukarela
Pembiayaan dapat berupa sumbangan sukarela atau pinjaman tanpa bunga dan tidak mengikat. Pembiayan ini dapat berasal dari lembaga donor
nasional dan internasional, Lembaga swadaya masyarakat ataupun
203 perorangan. Pembiayaan sukarela ini tetap harus dikoordinasikan dengan
pemerintah pusat sebagai pemegang kendali keuangan TNGR. 5. Hasil Pengembangan Ekowisata
Salah satu sumber penerimaan potensial adalah dari hasil pengembangan ekowisata, hanya saja biaya yang dialokasikan untuk konservasi relatif kecil,
bahkan terjadi konflik dalam pengelolaan. Sebagai contoh, objek wisata Otak Kokoq Joben wilayah TNGR dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Lombok
Timur, tapi pelaksana-annya dikontrakkan ke pihak kedua dengan nilai kontrak untuk tahun 2007 sebesar Rp 158 700 000,- Dari jumlah tersebut
hanya Rp 5 juta 3,15 diserahkan ke Balai TNGR untuk biaya konservasi. Selain sumber pembiayaan seperti yang disebutkan di atas, alternatif
sumber pembiayaan lainnya adalah melalui keterlibatan lembaga keuangan perbankan. Dalam hal ini skim kredit yang selama ini diperuntukkan bagi
masyarakatpengusaha kecil; dengan beberapa penyesuaianmodifikasi dapat dialokasikan untuk membiayai kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui
pengembangan sapi dengan model SIDASARI. Beberapa ketentuan dan modifikasi sehubungan dengan kredit pemberdayaan masyarakat di kawasan
penyangga TNGR dengan model SIDASARI adalah: 1 Lembaga keuangan perbankan membiayai modal awal pembelian sapi yang
akan dipelihara oleh kelompok sasaran 2 Masa tenggang waktu pengembalian grace period pinjaman adalah 4 - 5
tahun satu kali periode pemberdayaan 3 Bunga pinjaman disubsidi oleh pemerintah
4 Pengembalian modal pinjaman diperoleh dari hasil penjualan induk sapi yang telah digunakan untuk pemberdayaan 4 kali perguliran.
Dukungan dan keterlibatan lembaga keuangan juga sangat dibutuhkan dalam rangka pengembangan kegiatan usaha kecil hasil hutan bukan kayu.
Tujuannya adalah untuk memperkuat struktur permodalan kelompok melalui model kreditpembiayaan usaha kecil hasil hutan bukan kayu. Salah satu model
dan mekanisme yang dapat diterapkan adalah model Kredit Usaha Mikro Pertanian Organik KUMPO yang dekembangkan oleh Kusmuljono 2007.
IX. SIMPULAN DAN SARAN
9.1 Simpulan
1. Bentuk interaksi masyarakat dengan hutan TNGR dapat dipilahkan menjadi 3 tiga, yaitu: 1 mengambilmemanfaatkan hasil hutan, 2 pendakian ke
Puncak Rinjani danatau Danau Segara Anak, dan 3 bercocok tanam di kawasan TNGR. Interaksi masyarakat untuk mengambil hasil hutan kayu
HHK secara nyata significant dipengaruhi oleh 7 tujuh faktor yang dapat dipilahkan menjadi 3 tiga kategori sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan
lestari Sustainable Forest Management SFM, yaitu: 1 berkenaan dengan kondisi biofisik TNGR, yaitu: lokasi interaksi; 2 berkenaan dengan sosial
budaya masyarakat, meliputi: WTP dan pengetahuan lokal atau kebiasaan turun- temurun dalam memanfaatkan hasil hutan kayu HHK; dan 3 berkenaan dengan
ekonomi masyarakat, meliputi: pengeluaran untuk kebutuhan makanan, penghasilan dari luar hutan, keterlibatan dalam HKm , dan kepemilikanpemeliharaan
sapi. 2. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNGR termasuk dalam kategori
“sedang”. Meski demikian secara parsial persepsi terhadap manfaat fungsional dan manfaat keberadaan termasuk kategori “tinggi”. Hal ini
mengindikasikan bahwa masyarakat telah merasakan manfaat tidak langsung manfaat fungsional keberadaan TNGR sebagai pencegah banjir, longsor,
dan pelindung dari badai. 3. Rata-rata penghasilan masyarakat di kawasan TNGR sebesar Rp 507 839,-
per bulan dimana lebih dari 30-nya bersumber dari hasil hutan, sementara rata-rata pengeluaran sebesar Rp 513 533,- per bulan 68,15 diantaranya
merupakan pengeluaran untuk kebutuhan makan. Pendapatan rumahtangga memiliki hubungan positif dengan partisipasi dalam pelestarian TNGR. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan kesejaheraan ekonomi, maka semakin besar kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pelestarian TNGR. 4. Model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan TNGR berkelanjutan
adalah model yang menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan TNGR yang disebut Mahar-Rinjani Masyarakat Harmonis dengan Hutan
Rinjani. Ada 3 tiga alternatif model pemberdayaan yang dapat dilakukan, yaitu: 1 model yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat