II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan
2.1.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Secara sederhana, konsep pemberdayaan mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapat akses dan kontrol atas sumber-sumber hidup yang
penting. Konsep pemberdayaan merupakan konsep baru, mulai dikaji secara mendalam sejak dekade 70-an, berkembang terus sampai sekarang. Belum ada
gambaran yang memuaskan tentang konsep empowerment sampai saat ini. Konsep pemberdayaan empowerment berkembang sejak lahirnya gerakan
Eropa modern pada pertengahan abad 18, di mana muncul gelombang pemikiran baru yang menentang kekuasaan mutlak dari agama gereja dan raja. Dalam
perjalannya sampai kini telah mengalami proses dialektika dan akhirnya menemukan konsep ke masa kini-an, yang telah umum digunakan di berbagai
negara Riyanto 2005. Konsep pemberdayaan pada dasarnya dibangun dari ide yang
menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. Terdapat dua
kecenderungan proses pemberdayaan, yaitu: Pertama adalah proses
pemberdayaan yang menekankan ke proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar
individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dilengkapi dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui
organisasi. Kecenderungan proses dapat pula disebut sebagai kecenderungan
primer dari makna pemberdayaan. Kedua adalah kecenderungan sekunder yang
lebih menekankan melalui proses dialog. Kecenderungan ini terkait dengan kemampuan individu untuk mengontrol lingkungannya. Agar kecenderungan
primer dapat terwujud, maka harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu. Pemberdayaan juga berarti pembagian kekuasaan yang adil equitabel
sharing of power sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses
dan hasil-hasil pembangunan. Sedang dari perspektif lingkungan, pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumber daya alami dan
pengelolaannya secara berkelanjutan Dirjen PHKA 1999 dalam Rianto 2005. Rapport 1984, mengemukakan bahwa pemberdayaan empowerment
adalah cara meningkatkan kemampuan masyarakat community dan
13 kelembagaan organisasi sehingga mampu menguasai atau berkuasa untuk
menentukan arah kehidupannya. Sementara itu Haeruman dan Eriyatno 2001 menekankan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya merupakan upaya untuk
menjamin hak-hak masyarakat dalam mengatur hidupnya. Ini berarti juga penciptaan suatu iklim yang kondusif agar masyarakat dapat mendayagunakan
sumberdaya yang tersedia dan potensi masyarakat secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan, martabat, dan keberadaannya dalam kehidupan
bermasyarakat. Lebih lanjut Chambers 1987 menegaskan bahwa paradigma baru pembangunan dan pemberdayaan masyarakat mencakup 4 empat aspek,
yakni: people centered, participatory, empowering, dan sustainable. Sementara itu Parson et al. 1994 menekankan pentingnya masyarakat menguasai
keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupan dirinya dan masyarakat sekitarnya yang menjadi bagian dari tanggung
jawab sosialnya. Dengan demikian, menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2007;
pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah “proses instan”. Sebagai sebuah proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan, yaitu:
1 Tahap penyadaran; pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka berhak
untuk mempunyai sesuatu 2 Tahap pengkapasitasan capacity building; untuk dapat diberikan daya atau
kuasa maka yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu 3 Tahap pendayaan empowerment; kepada target diberikan daya,
kekuasaan, otoritas atau peluang; sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki.
Konsep pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan oleh WWF- Indonesia adalah konsep pemberdayaan yang dikemukakan oleh Wulandari et al.
2006, yaitu “proses yang menuntun masyarakat mengenali jatidirinya, membangun kepercayaan diri, kapasitas, tanggung jawab, dan kemampuan
mengatasi berbagai tantangan”. Dalam kaitannya dengan konservasi dan pengelolaan sumberdaya hutan; “pemberdayaan” adalah kondisi dimana
masyarakat dimampukan dan dijamin haknya untuk mengakses sumberdaya hutan dan memanfaatkannya secara lestari demi kesejahteraan mereka. Bahkan
menurut Hidayati et al. 2006, pemberdayaan masyarakat di dalam dan di
14 sekitar hutan merupakan salah satu kunci sukses pembangunan kehutanan
nasional. Masyarakat sekitar hutan termasuk masyarakat hukum adat yang hidup
secara tradisional di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan keberadaannya telah diakui oleh pemerintah. Dalam rangka pengelolaan hutan
yang berbasis pada peran masyarakat, maka prinsip dasar yang harus dikembangkan adalah Dirjen PHKA 1999 dalam Rianto 2005 :
a. Prinsip Co-Ownership yaitu bahwa kawasan hutan adalah milik bersama yang harus dilindungi secara bersama-sama, untuk itu ada hak-hak
masyarakat di dalamnya yang harus diakui namun juga perlindungan yang harus dilakukan bersama;
b. Prinsip Co-OperationCo-Management yaitu bahwa kepemilikan bersama mengharuskan pengelolaan hutan untuk dilakukan bersama-sama seluruh
komponen masyarakat stakeholder yang terdiri dari pemerintah, masyarakat dan ORNOP yang harus bekerja bersama;
c. Prinsip Co-Responsibility yaitu bahwa keberadaan kawasan hutan menjadi tanggung jawab bersama karena pengelolaan kawasan hutan merupakan
tujuan bersama. Ketiga prinsip tersebut di atas dilaksanakan secara terpadu sehingga
fungsi kelestarian hutan dapat tercapai dengan melibatkan secara aktif peran serta masyarakat sekitar hutan. Namun demikian agar masyarakat mampu
berpartisipasi maka perlu keberdayaan baik ekonomi, sosial dan pendidikan. Menurut Hairiah et al. 2003, bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang
berkembang dewasa ini dalam rangka pemberdayaan masyarakat, meliputi : 1. Perhutanan Sosial Social Forestry
Perhutanan Sosial yaitu upayakebijakan kehutanan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar
hutan. Produk utama dari perhutanan sosial berupa kayu dan non kayu buah, bunga, daun, kulit kayu dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam
prakteknya dapat berupa pembangunan hutan tanaman man made forest atau penanaman pohon-pohon pada lahan milik masyarakat yang
dimanfaatkan bagi perusahaan besar.
15 2. Hutan kemasyarakatan Community Forestry dan Hutan Rakyat Farm
Forestry Hutan kemasyarakatan adalah hutan yang perencanaan,
pembangunan, pengelolaan dan pemungutan hasil hutan serta pemasarannya dilakukan sendiri oleh masyarakat yang tinggal di sekitar
hutan. Pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pihak pemerintah instansi kehutanan yang membantu masyarakat, dengan mengutamakan keuntungan
bagi seluruh masyarakat bukan untuk keuntungan individu semata. Hutan rakyat adalah hutan di mana petanipemilik lahan menanam
pepohonan di lahannya sendiri. Mereka biasanya telah mengikuti pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan kehutanan ataupun memperoleh bantuan untuk
kegiatan kehutanan. Bentuk agroforestry mungkin dipilih dan diterapkan pada kedua
kegiatan tersebut bila pepohonan ditanam bersama dengan tanaman pertanian dan atau peternakan. Dengan demikian hutan kemasyarakatan dan
hutan rakyat tidak selalu identik dengan agroforestry, karena agroforestry adalah pemanfaatan lahan terpadu tanpa batasan kepemilikan lahan. Namun
dapat pula dilakukan dengan model agroforestry, dengan mencampur tanaman pangan, perkebunan dan atau peternakan. Batasannya adalah
pemanfaatan lahan yang permanen, yang dilakukan dalam satu kawasan, dengan waktu penanaman bergiliran atau bersamaan dalam satu kawasan
campuran. 3. Hutan Serba Guna Multiple Use Forestry
Hutan Serba Guna adalah praktek kehutanan yang mempunyai dua atau lebih tujuan pengelolaan, meliputi produksi, jasa dan keuntungan lainnya.
Dalam penerapan dan pelaksanaannya dapat menyertakan tanaman pertanian atau kegiatan peternakan. Walaupun demikian hutan serba guna
tetap merupakan kehutanan dan bukan merupakan bentuk pemanfaatan lahan terpadu sebagaimana agroforestry yang secara terencana diarahkan
pada pengkombinasian kehutanan dan pertanian untuk mencapai beberapa tujuan yang terkait dengan degradasi lingkungan serta problema masyarakat
di perdesaan.
16 4. Forest Farming
Istilah forest farming sebenarnya mirip dengan multiple use forest, yang digunakan untuk upaya peningkatan produksi lahan hutan, yaitu tidak melulu
produk kayu, tetapi juga mencakup berbagai bahan pangan dan hijauan. 5. Ecofarming
Ecofarming adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat mungkin tercapainya keharmonisan dengan lingkungannya. Dalam hal
tertentu ecofarming dapat memasukkan komponen pepohonan atau tumbuhan berkayu lainnya sehingga disebut agroforestry.
Dari kelima bentuk rehabilitasi hutan tersebut, bentuk kedua Hutan Kemasyarakatan yang telah mendapat sambutan positif dari masyarakat,
sementara bentuk pertama Perhutanan Sosial sedang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan.
2.1.2 Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Lingkar Rinjani
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM merupakan upaya pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui pengelolaan
sumberdaya hutan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Hasil analisis kebijakan PHBM NTB
menyebutkan bahwa implementasi PHBM di Lingkar Rinjani dilaksanakan dalam berbagai bentuk, namun tetap dengan pola dan tujuan yang sama. Pengelolaan
Hutan Kemasyarakatan HKm diaplikasikan pada berbagai tempat dengan menggerakkan masyarakat sekitar dan di dalam hutan untuk terlibat secara
langsung. Disamping itu, terdapat pengelolaan hutan dengan model lain seperti Hutan Cadangan Pangan HCP, Pengembangan Jalur Hijau, Penanaman
Bawah Tegakan, dan lain-lain. HKm pada lokasi Santong seluas ± 720 ha di
kelola kelompok masyarakat sekitar kawasan dalam bentuk Koperasi Tani Koptan Maju Bersama. Komoditas perkebunan yang dikelola adalah Kopi,
sedangkan jenis kayu-kayuan yang ditanam adalah Sengon. Pengelolaan areal eks HPH di kawasan Monggal dilakukan masyarakat
sekitar hutan dengan komoditas perkebunan yang dikelola adalah Vanilli, Kakao dan Cengkeh dengan jenis kayu-kayuan Rajumas. Pengelolaan HCP di kawasan
Kekait dikelola masyarakat Desa Kekait dengan menggunakan jenis-jenis
17 tanaman pangan seperti padi gogo, jagung, pisang, nangka, dan lain-lain dengan
jenis kayu-kayuan Mahoni. Kawasan Sesaot dikelola dengan model HKm serta telah membentuk KMPH Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan dengan
menggunakan jenis tanaman yang lebih variatif, antara lain: pisang, durian, nangka, kopi, dan lain-lain dengan jenis kayu-kayuan Sengon. Koperasi Pondok
Pesantren Darussadiqien mengelola HKm seluas 1.042 ha yang melibatkan masyarakat sebanyak
± 4.000 orang meliputi 4 Desa Aik Berik, Lantan, Stiling, dan Wajageseng dengan komoditas utama berupa pisang, durian, nangka,
manggis, dan lain-lain dengan jenis kayu-kayuan Sengon dan Mahoni. Pengelolaan Jalur Hijau di Sapit melibatkan masyarakat sebanyak
± 900 orang dalam Kelompok Tani Rimba Sejahtera dengan komoditas perkebunan adalah
Vanilli, Mangga, Pisang, dan lain-lain sedangkan jenis kayu-kayuan Sengon. Berbagai bentuk PHBM dapat ditemukan hampir di semua wilayah
KabupatenKota di NTB. Hasil produksi telah meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar 25-30 , namun upaya rehabilitasi hutan yang dilakukan
belum menunjukkan hasil yang nyata, mengingat jenis tanaman kayu-kayuan baru akan menampakan hasilnya dalam jangka waktu yang lama.
Kegiatan penebangan liar illegal logging pada lokasi yang dikelola PHBM sangat jarang ditemui karena pengamanan hutan yang dilakukan
pemerintah bersama masyarakat sebagai pengelola sangat efektif. Adanya komitmen untuk melestarikan hutan serta hubungan yang saling berkait antara
masyarakat dengan sumberdaya hutan menyebabkan hutan akan tetap terjaga dan terpelihara. Jenis tanaman yang dikembangkan masyarakat seperti Kopi,
Kakao, Vanilli sangat memerlukan naungan sehingga penebangan kayu-kayuan akan berdampak negatif pada tanaman perkebunan kegagalan tanaman,
penurunan produksi, dan lain-lain. Pengembangan MPTS dengan jenis buah- buahan Mangga, Manggis, Nangka, Durian, dll tetap berfungsi sebagai
pengatur tata air dan konservasi tanah. Hubungan ekologi yang berkait dengan hubungan ekonomi masyarakat tersebut menyebabkan masyarakat akan
berusaha menjaga dan melestarikan sumberdaya hutan yang dikelolanya. Secara langsung kelompok-kelompok masyarakat membentuk satuan
pengamanan hutan seperti KMPH yang akan selalu berusaha menjaga dan melestarikan hutan secara progresif.
Permasalahan utama adalah jaminan penguasaan hasil yang belum mempunyai kepastian property right sehingga sebagian masyarakat pengelola
18 hutan masih ragu-ragu dalam mengusahakan jenis-jenis tanaman jangka
panjang seperti durian, nangka, mlinjo, dan lain-lain. Hasil penelitian Kusumo et al. 2004 melaporkan bahwa Program HKm di
Pulau Lombok memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan ekonomi masyarakat yang terlibat di dalamnya, namun sebaliknya terjadi perrmasalahan
biofisik yang cukup serius, yaitu penutupan lahan yang cukup terbuka 20- 30. Hal ini mengindikasikan adanya gangguan ekologis di kawasan tersebut
sehingga memiliki kecenderungan terjadiya erosi. Angka penutupan lahan tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Amiruddin et al. 2001 yang
menemukan bahwa total tutupan lahan kolektif berkisar 21,5 - 85,14 . Temuan lainnya adalah perambahan hutan yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Sapit dan Perigi. Dari 300 hektar areal hutan yang mendapat izin pengelolaan dari pemerintah daerah, berkembang menjadi 600 hektar
menuju Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Hasil analisis Muktasam et al. 2003 menemukan bahwa kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan
merupakan faktor penentu dalam pengembangan agroforestry di Pulau Lombok. Salah satu kelemahan dari konsep HKm selama ini adalah ketergesaan
pelaksana kegiatan yang langsung menuju kepada pemenuhan aspek ekonomi dengan melupakan tahapan pengembangan institusi dan ekologi. Sebagai
dampak dari ketergesaan tersebut, maka mengakibatkan munculnya pengelolaan Hutan Kemasyarakatan yang tidak terpola.
2.1.3 Pemberdayaan Masyarakat pada Kawasan Hutan di Mancanegara A Filipina
Filipina telah melakukan kebijakan pemberdayaan masyarakat yang disebut The Community Forest Stewardhip Agreement CFSAs. CFSAs ini mulai
diberlakukan sejak tahun 1982, yaitu dengan dikeluarkannya Program Sosial Kehutanan Terpadu Integrated Social Forestry Program = ISFP. Selanjunya
ISFP ini dilaksanakan melalui program hutan kemasyarakatan Community Forest Program = CFP Riyanto 2005.
Dalam kenyataannya tidak ada program yang berhasil karena fasilitas dasar seperti komunikasi, transportasi, peralatan survai, dan arah yang jelas
serta kemampuan teknis personil kurang memadai.
19
B. Thailand
Pada tahun 1987, Proyek Kehutanan Sosial di dataran tinggi pegunungan di Thailand The Thailand Upland Social Forest Project = USFP
dimulai dengan usaha kerjasama Departemen Kehutanan Kerajaan Thailand RFD dan Chiang Mai, Kasertsart, dan Khon Kaen University, dengan bantuan
dana dan bantuan teknis dari Ford Foundation. Strategi yang diterapkan dalam USFP adalah menjalankan kerjasama melalui dua tingkat. Pertama, Departemen
Kehutanan bekerjasama pada tingkat daerah dengan didampingi dari Fakultas Kehutanan dan Fakultas Ilmu Sosial dan anggota ORNOP. Kedua, Departemen
Kehutanan merumuskan rencana penggunaan kawasan dengan masyarakat lokal Riyanto 2005.
Dalam pelaksanaannya, proyek kehutanan sosial di dataran tinggi pegunungan di Thailand menghadapi beberapa permasalahan hukum yang tidak
dapat diselesaikan berkaitan dengan pengelolaan areal hutan berdasarkan program hutan perdesaan dan program alokasi kawasan hutan nasional.
C. India
Kebijakan Nasional Joint Forest Manajement JFM dilaksanakan secara nasional sejak 1990, setelah Departemen Lingkungan dan Kehutanan Pusat
mengeluarkan himbauan dalam bentuk resolusi kepada seluruh negara bagian untuk lebih memperhatikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Program ini menekankan kerjasama antara masyarakat yang ada di sekitar hutan dengan Departemen Kehutanan dalam mengelola hutan untuk
keuntungan kedua belah pihak. Dalam mengelola hutan keduanya berbagi peran, tangung jawab, dan hasil hutan yang dituangkan dalam sebuah
kesepakatan. Untuk keperluan tersebut, masyarakat desa harus membentuk kelompok yang disebut Forest Protection Committees FPCs. JFM ini telah
dilaksanakan di 27 negara bagian dan sudah menghimpun 36.000 FPC yang mengelola hutan seluas 11 juta hektar Riyanto 2005.
Hasil pengamatan Iswantoro 2001 dalam Rianto 2005 menunjukkan bahwa Kebijakan Kehutanan India Tahun 1988 merupakan titik pijakan
pengelolaan hutan masa selanjutnya. Kebijakan ini tidak lagi menekankan sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan, tetapi mementingkan
pemeliharaan stabilitas lingkungan melalui preservasi dan restorasi keseimbangan ekologi dan meningkatkan tutupan hutan forest cover. Namun