78
4.4 Permasalahan Pokok Taman Nasional Gunung Rinjani TNGR
Berdasarkan hasil wawancara mendalam indepth interview dengan para pihak dan telaahan berbagai dokumen hasil kajian TNGR, dapat diinventarisir dua
permasalahan pokok TNGR, yaitu: 1 berkenaan dengan kondisi biofisik dan 2 berkenaan dengan pengelolaan.
4.4.1 Permasalahan Pokok Berkenaan dengan Kondisi Biofisik TNGR
Dari hasil observasi lapangan ditemukan beberapa permasalahan yang berpotensi mengganggu keamanan dan kelestarian TNGR, yaitu sebagai berikut:
1 PerambahanPenyerobotan Kawasan Kawasan TNGR yang rawan terhadap perambahanpenyerobotan adalah
wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan tanah milik danatau perkebunan rakyat. Salah satu kasus perambahanpenyerobotan kawasan TNGR
yang masih terjadi hingga saat penelitian ini dilakukan Februari 2008 adalah di wilayah Lelongken dan Kampung Bali, Desa Sajang; Kecamatan Sembalun. Di
wilayah ini kawasan TNGR berbatasan langsung dengan kebun milik masyarakat. Pada kebun miliknya, masyarakat menanammengembangkan
berbagai jenis tanaman perkebunan seperti kopi, kakao, dan pisang. Dalam prakteknya, pengembangan ini dilakukan hingga masuk ke kawasan TNGR
dengan alasan tidak mengetahui batas TNGR secara jelas. Dari hasil observasi diperoleh kenyataan bahwa batas antara kebun milik masyarakat dengan TNGR
hanya berupa tugu pal kecil berukuran 15 x 15 cm dengan tinggi ± 1 m dimana jarak antar pal relatif renggang 50 – 100 m dan sewaktu-waktu mudah dipindah
atau digeser posisinya. Di wilayah rambahan tersebut, selain melakukan kegiatan penanaman
kopi, pisang dan kakao, masyarakat juga merusak pohon-pohon kayu hutan yang dianggap mengganggu pertumbuhan tanamannya. Teknik yang dilakukan adalah
dengan cara melubangi batang pohon menggunakan bor atau membuat lekukan mencacah mengelilingi pangkal pohon dengan menggunakan parangkapak;
selanjutnya lubang atau bekas cacahan tadi diisi karbit racun dengan tujuan agar secara perlahan-lahan pohon yang bersangkutan menjadi mati dan
mengering. Kegiatan perambahan kawasan TNGR ini dimulai tahun 2000-an tahun 2003 sudah mulai panen dengan luas areal rambahan ± 3 ha dan terus
bertambah hingga pada saat dilakukan penelitian ini Februari 2008 telah mencapai ± 16 ha dengan jumlah masyarakat terlibat sebanyak 20 orang.
79 Dilihat dari awal waktu mulai terjadinya perambahan, nampak bahwa
penyerobotan kawasan ini telah berlangsung relatif lama ± 5 tahun, bahkan tanaman yang dikembangkan masyarakat di lokasi ini seperti kopi, kakao, dan
pisang telah mulai berbuah. Namun pada saat penelitian ini dilaksanakan, tanaman-tanaman tersebut sebagian sudah mulai ditebangdibabat dan
dilakukan penertiban kembali. Jika hal ini ditelaah lebih jauh, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan selama ini oleh petugas Balai
TNGR relatif longgar sehingga perambahanpenyerobotan kawasan ini dapat berlangsung lama; sesuatu yang sangat disayangkan. Belajar dari pengalaman
ini maka untuk kawasan-kawasan yang berbatasan langsung dengan perkebunan milik masyarakat perlu dilakukan antisipasi agar kejadian serupa
tidak terulang kembali. Kasus perambahan lainnya yang pernah terjadi di kawasan TNGR adalah
ketika hutan lindung yang berbatasan dengan TNGR di Kecamatan Batukliang Utara dibuka untuk Program Hutan Kemasyarakatan HKm dan diserahkan
pengelolaannya kepada Koperasi Pondok Pesantren Dasusshadiqien. Berdasarkan keputusan Ka Kanwil Dephutbun Propinsi NTB No 06KptsKwl-
42000, Tanggal 16 Pebruari 2000, ditetapkan bahwa luas areal HKm Kopontren Darusshadiqien adalah 1.042 ha. Akan tetapi setelah dilakukan pengukuran dan
pemetaan kembali pada tahun 2002, ternyata luasnya bertambah menjadi 1.809,5 ha melebihi target seluas 767,5 ha Dinas Kehutanan Propinsi NTB
2002. Bersamaan dengan program HKm tersebut, terjadi penyerobotan lahan
TNGR seluas 112 ha. Namun demikian, pada saat penelitian ini dilaksanakan Februari 2008, kegiatan perambahan sudah berhasil dihentikan dan
masyarakat perambah sudah tidak lagi melakukan aktivitas usahatani di kawasan TNGR dan saat ini menjadi zona rehabilitasi TNGR. Para pelaku
dengan menggunakan berbagai pendekatan telah berhasil dikeluarkan dari kawasan TNGR dengan perjanjian mereka masih diberikan hak untuk memetik
mengambil hasil dari tanaman yang dikembangkan di areal tersebut. Perambahan ini terjadi sebagai dampak dari mekanisme pendistribusian
hak pengelolaan yang dianggap kurang fair dan adil oleh masyarakat. Diantara peserta HKm ada yang didatangkan dari luar, sementara masyarakat yang
berdomisili di sekitar kawasan merasa lebih berhak banyak yang tidak
80 dilibatkan sehingga menimbulkan kecemburuan sosial. Hal ini memicu terjadinya
penyerobotanperambahan kawasan hingga ke wilayah TNGR. 2 Penebangan liar illegal logging
Penebangan liar illegal logging masih terus terjadi di beberapa tempat, terutama di kawasan TNGR yang berbatasan langsung dengan pemukiman,
seperti di wilayah Resort Aikmel, Sembalun, dan Resort Santong. Beberapa modus pencurian kayu yang terjadi di kawasan TNGR antara lain:
a. Dilakukan secara berkelompok ± 5 orang untuk kayu-kayu besar yang berada jauh di tengah hutan. Dalam hal ini peralatan disimpan di tengah
hutan, sedangkan para perambah pulang-pergi setiap hari. Untuk setiap kali operasi membutuhkan waktu sampai ± 8 hari. Agar terhindar dari
pengawasan petugas, maka mereka menyebar intel misalnya istri berpura- pura mengambil sayur di hutan sambil mengawasi petugas dan mengirim
pesan melalui sandi-sandi tertentu, bahkan ada juga yang menggunakan HP. b. Pengambilan kayu di tempat yang dekat terutama di daerah hutan yang
berada di pinggir jalan raya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan gergaji mesin chain saw yang memakai peredam suara. Di
tempat-tempat tertentu seperti di Jurang Koak-Pesugulan Resort Aikmel proses pengolahan kayu didukung adanya 1 buah serkel Gergaji mesin yang
bisa pindah-pindah; berada di pinggir jalan dengan alasan mengolah kayu kebun. Namun dalam kenyataannya, tidak menutup kemungkinan kayu
jarahan juga ikut diolah. Kasus lainnya di Dusun Selak Aik Desa Jurit, Resort Kembang Kuning; kaum laki-laki mengambil kayu balok dan istrinya
mengambil kayu bakar. Teknik penebangan yang dilakukan adalah batang pohon digergaji ¾ lalu dibiarkan dengan harapan agar pohon tersebut roboh
tertiup angin. Waktu penggergajian biasanya dilakukan setelah siang hari jam 12-an, sedangkan pengangkutan dilakukan pada jam 05 pagi danatau
setelah malam hari setelah magrib. 3 Terbukanya Akses Jalan melalui Kawasan TNGR
Di wilayah Sebau-Pesugulan, Desa Sapit Resort Aikmel, yaitu bagian timur kawasan TNGR dipotongdilalui oleh jalan umum yang menghubungkan
Kecamatan Swela dengan Kecamatan Sembalun. Pembukaan jalan ini membuat kawasan TNGR semakin rawan terhadap pencurian kayu karena dengan akses
jalan ini para pencuri kayu semakin mudah menjangkau kawasan hutan TNGR
81 serta dengan mudah melakukan pengangkutan hasil jarahannya terutama pada
malam hari. 4 Pemukiman di Kawasan TNGR
Di Dusun Lelongken-Desa Sajang Resort Sembalun terdapat pemukiman masyarakat di dalam kawasan TNGR sebanyak ± 44 KK = 1 ha. Akan tetapi
keberadaan mereka di daerah tersebut telah ada sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional masih berstatus PPA. Pemukiman ini berada di pinggir jalan yang
menghubungkan antara Sembalun dengan Bayan. Aktivitas masyarakat adalah berusahatani pekebun dan perdagangan. Saat ini untuk mengantisipasi agar tidak
berkembang pemukiman baru di wilayah tersebut, maka dilakukan pembatasan areal pemukiman, yaitu seluas 1 ha. Meski demikian, keberadaan mereka di tempat
ini tetap menjadi ancaman terhadap perambahan kawasan TNGR. 5 Penggembalaan liar di Kawasan TNGR
Di Kecamatan Sembalun Resort Sembalun, pemeliharaan ternak sapi oleh masyarakat dilakukan dengan sistem dilepas bebas tidak dikandangkan
diikat. Dalam hal ini pakan ternak tidak disiapkan secara khusus melainkan digembalakan secara liar di wilayah sekitar, termasuk di kawasan TNGR.
Penggembalaan liar ini dilakukan di wilayah zona rimba yang berada di bagian Timur Laut TNGR Resort Sembalun. Wilayah ini berupa padang alang-alang
sehingga sangat potensial untuk dijadikan lokasi penggembalaan ternak sapi. Adanya penggembalaan liar ini dapat merusak tanaman yang ada di wilayah
tersebut sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem kawasan. Selain itu pada musim kemarau seringkali padang alang-alang ini dibakar oleh para
peternak dengan harapan agar tumbuh tunas yang baru sebagai makanan ternak. Kejadian ini terus berlangsung hingga saat ini dengan alasan telah
dilakukan secara turun temurun, bahkan sebagian masyarakat merasa dijajah oleh ternak jika dikandangkan dan disiapkan pakan setiap hari.
4.4.2. Permasalahan Pokok Berkenaan dengan Pengelolaan TNGR