Prioritas Model Pemberdayaan Model Pemberdayaan .1 Alternatif Model Pemberdayaan Masyarakat

169

8.5.2 Prioritas Model Pemberdayaan

Hasil analisis menunjukkan bahwa tanpa keterlibatan yang menguntungkan secara ekonomi bagi masyarakat di sekitar kawasan TNGR, tidak akan bisa dicapai penyelamatan sumberdaya hutan TNGR secara lestari. Karena itu pemberdayaan ekonomi produktif masyarakat menjadi suatu keharusan untuk dipenuhi. Setiap model dan kegiatan pemberdayaan memiliki kelebihan dan kelemahan, serta beberapa diantaranya bersifat spesifik lokasi seperti Arboretum Terpadu dan Pendakian Berwawasan Lingkungan. Artinya, tidak mungkin untuk diterapkan di daerah lain mengingat potensi yang tersedia tidak mendukung. Meskipun setiap bentuk kegiatan memiliki kekhasan dalam pelaksanaan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun berdasarkan potensi dan sasaran yang diinginkan serta berbagai keterbatasan dalam pelaksanaannya, maka perlu disusun skala prioritas. Penentuan prioritas dilakukan dengan menggunakan Analisis Hirarki Proses AHP. Dalam hal ini kriteria pertimbangan yang digunakan sebagai dasar penentuan prioritas disesuaikan dengan kriteria pemanfaatan hutan secara lestari sebagaimana ditegaskan pada Pasal 15 ayat 3 PP No 34 Tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan”; yaitu mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Ketiga aspek ini memiliki keterkaitan dan keterpaduan dalam hubungannya dengan pengelolaan TNGR secara lestari. Karena itu para pakar yang dihubungi dalam penelitian ini memberikan bobot kepentingan yang sama terhadap ketiga aspek ini, yaitu 0,333. Dalam analisis lebih labjut, setiap aspekkriteria dijabarkan lagi menjadi beberapa sub kriteria. Penentuan sub kriteria ini didasarkan pada pertimbangan kemungkinan keberhasilan dan keberlanjutan dari kegiatan pemberdayaan. Gambar 21 memperlihatkan struktur hirarki penentuan prioritas dengan bobot masing-masing kriteria dan sub kriteria. 170 Gambar 21. Bobot Masing-masing Kriteria dan Sub Kriteria Penentuan Prioritas Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR Aspekkriteria ekonomi dijabarkan lagi secara lebih rinci menjadi 5 lima sub kriteria, yaitu: 1 jumlah tenaga kerja masyarakat yang bisa dilibatkan, 2 kebutuhan modal untuk pelaksanaan kegiatan, 3 pendapatan yang diperoleh, 4 lama waktu menunggu hasil, dan 5 peluang pasar untuk output yang dihasilkan. Berkenaan dengan bobot penilaian, untuk sub kriteria 2 dan 4 dilakukan secara terbalik. Untuk sub kriteria 2; makin tinggi modal yang dibutuhkan maka nilainya semakin rendah dan sebaliknya. Pertimbangan ini dimaksudkan agar dengan sejumlah biaya yang tersedia, jumlah kelompok sasaran yang dapat dijangkau menjadi lebih banyak. Begitu pula dengan sub kriteria 4; makin lama waktu menunggu hasil, maka nilainya makin kecil dan sebaliknya. Pertimbangan ini ada kaitannya dengan kondisi perekonomian masyarakat yang berada di bawah standar garis kemiskinan sehingga membutuhkan penghasilan dalam waktu singkat untuk mencukupi keperluan hidup keluarganya. Kelima sub kriteria ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan ekonomi dari pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR. Meskipun demikian, bobot dari masing-masing sub indikator ini berbeda-beda tergantung urgensinya dalam menjamin keberhasilan kegiatan pemberdayaan. Gambar 21 di atas memperlihatkan bahwa bobot tertinggi adalah pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Paling tingginya bobot dari kedua sub kriteria ini disebabkan karena salah satu tujuan pemberdayaan adalah peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja bagi Model Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi 0,333 EkologiBiofisik 0,333 Sosbud 0,333 0,122 Pendapatan 0,056 Vegetasi H 0,036 Masa tunggu 0,015 Kebt. Modal 0,037 Pasar 0,278 Potensi Lahan 0,122 Jlh TK terlibat 0,065 Konflik Sosial 0,021 Ketramp. M 0,248 Kesadaran LH Hutan Keluarga 0,168 Arboretum Terpadu TNGR Pendakian Berwawasan L 0,068 Hutan Kompensasi 0,099 Pengemb. Usaha HHBK 0,211 Peternakan Sapi 0,268 171 masyarakat di sekitar kawasan TNGR agar dapat mengkompensasi pendapatannya yang selama ini bersumber dari hasil hutan TNGR. Aspek ekologibiofisik dijabarkan menjadi 2 dua sub kriteria, yaitu: vegetasi hutan TNGR dan potensi lahan yang tersedia untuk kegiatan pemberdayaan. Meskipun peningkatan vegetasi hutan TNGR dirasakan perlu, namun sub kriteria potensi lahan diberikan bobot lebih tinggi dengan pertimbangan bahwa kegiatan pemberdayaan tidak akan dapat berlangsung tanpa adanya mediakawasan yang menjadi media pelaksanaannya. Sementara itu aspek sosial budaya dijabarkan menjadi 3 tiga, yaitu: 1 kemungkinan terjadinya konflik sosial, 2 keterampilan masyarakat sasaran, dan 3 kesadaran lingkungan. Dalam hal ini penumbuhan kesadaran lingkungan diberikan bobot tertinggi. Alasannya, kalau kesadaran lingkungan telah menjadi bagian dari tata nilai dalam kehidupan masyarakat maka keberlanjutan kelestarian hutan dapat dijamin atau dengan perkataan lain masyarakat hidup harmonis dengan hutan dalam hal ini TNGR. Dalam hal penilaian kriteria 1, kegiatan yang kemungkinan menimbulkan konflik sosial tidak akan menjadi prioritas untuk dilaksanakan. Alasannya, kegiatan pemberdayaan tidak akan berhasil dengan baik dan tidak akan berkesinambungan jika antar warga masyarakat terjadi konflik tidak harmonis. Hasil analisis menunjukkan bahwa prioritas utama kegiatan pemberdayaan berbeda-beda menurut kriteria penilaian. Pada Gambar 22 disajikan hasil analisis urutan prioritas pada setiap kriteria berserta kontribusi masing-masing sub kriteria dalam penentuan prioritas. Akan tetapi yang ditampilkan hanya lima jenis kegiatan menurut urutan prioritasnya. Berdasarkan kriteria ekonomi, priotitas utama pemberdayaan adalah pengembangan usaha HHBK disusul peternakan sapi. Dasar pertimbangan yang paling dominan mengapa usaha HHBK menjadi prioritas adalah penyerapan tenaga kerja yang paling besar dibandingkan kegiatan lainnya. Namun dari aspek pendapatan, masih lebih rendah dibandingkan dengan peternakan sapi. Dari segi ekologibiofisik, yang menjadi prioritas pemberdayaan adalah peternakan sapi terutama sekali karena pertimbangan ketersediaan lahan yang paling banyak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa peternakan sapi dapat dilakukan di semua wilayah sekitar TNGR, sedangkan kegiatan lain cenderung bersifat spesifik lokasi. Sebaliknya dari aspek vegetasi, sama sekali peternakan sapi tidak memiliki keunggulan dibandingkan kegiatan lain. 172 Prioritas kegiatan pemberdayaan menurut pertimbangan sosial budaya adalah Arboretum Terpadu TNGR. Pertimbangan utamanya adalah karena kegiatan ini dapat menumbuhkembangkan kesadaran lingkungan khususnya berkenaan dengan pelestarian hutan. Hal ini sesuai dengan sasaran utama pengembangan Arboretum Terpadu TNGR adalah sebagai media pendidikan dan pembelajaran lingkungan bagi masyarakat. Selengkapnya hasil analisis urutan prioritas kegiatan pemberdayaan pada masing-masing kriteria dapat dilihat pada Gambar 22 berikut. Gambar 22. Urutan Prioritas Pemberdayaan dan Kontribusi Sub Kriteria pada Setiap Kriteria Penilaian a K. Ekonomi b K. Ekologi c K. Sosbud 173 Selanjutnya berdasarkan pertimbangan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya secara komprehensif; meliputi 10 sepuluh sub kriteria seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang menjadi prioritas untuk dikembangkan adalah peternakan sapi. Prioritas berikutnya adalah pengembangan usaha kecil HHBK dan yang terakhir adalah pendakian berwawasan lingkungan. Selengkapnya mengenai hasil analisis prioritas dan kontribusi masing-masing kriteria pada setiap kegiatan pemberdayaan disajikan pada Gambar 23 dan Gambar 24. Gambar 23. Prioritas Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR Gambar 24. Kontribusi Masing-masing Kriteria pada Setiap Kegiatan Pemberdayaan Meskipun pengembangan ternak sapi menjadi prioritas bedasarkan pertimbangan keseluruhan sub kriteria, namun secara parsial yang menjadi prioritas berbeda-beda tergantung kriteria dan sub kriteria yang menjadi dasar pertimbangan. Dari hasil analisis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 25 dapat diketahui bahwa pengembangan ternak sapi menjadi prioritas kegiatan 174 pemberdayaan berdasarkan pertimbangan: tenggang waktu menunggu hasil yang relatif lebih cepat dibandingkan kegiatan lainnya, peluang pasar output yang dihasilkan lebih besar, pendapatan relatif lebih besar, keterampilan masyarakat sasaran lebih siap, serta potensi lahan yang tersedia. Gambar 25. Urutan Prioritas Kegiatan Pemberdayaan pada Masing-masing Sub Kriteria Berbeda dengan sub kriteria peningkatan vegetasi hutan TNGR, yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan adalah Hutan Kompensasi; bukan peternakan sapi. Hal ini disebabkan karena salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan adalah penanaman pohon kayu sehingga vegetasi TNGR menjadi meningkat semakin baik. Pada kriteria peningkatan kesadaran lingkungan hidup termasuk kelestarian sumberdaya hutan, yang menjadi prioritas adalah Arboretum Terpadu TNGR. Hal ini sesuai dengan misi dan tujuan dari pengembangan kegiatan ini adalah sebagai media penyadaran dan pembelajaran lingkungan. Sebaliknya dari segi kemungkinan terjadinya konflik sosial, justru peternakan sapi paling memungkinkan menimbulkan konflik sosial sebagai akibat terjadinya kecemburuan sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini yang menjadi prioritas pengembangan adalah pengembangan Hutan Keluarga dan pengembangan usaha Hasil Hutan Bukan Kayu. Kemungkinan terjadinya konflik sosial sebagai akibat dari pelaksanaan kedua kegiatan ini relatif kecil karena diusahakan pada lahan milik pribadi sehingga tidak ada yang merasa diperlakukan tidak adil. 175 Prioritas kegiatan ditinjau dari kebutuhan modal adalah Pendakian Berwawasan Lingkungan. Artinya, biaya yang perlu disiapkan untuk pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan ini relatif kecil dibandingkan kegiatan lainnya. Kecilnya kebutuhan biaya untuk kegiatan ini karena biaya yang diperlukan hanya untuk pembinaan masyarakat. Selanjutnya ditinjau dari jumlah tenaga kerja masyarakat yang bisa dilibatkan, kegiatan yang menjadi prioritas adalah pengembangan usaha Hasil Hutan Bukan Kayu. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh semua masyarakat di kawasan TNGR karena pengembangannya juga dapat dilakukan pada lahan pekarangan dengan melibatkan semua lapisan masyarakat tanpa membutuhkan keterampilan khusus. Lebih lanjut, selain berdasarkan hasil Analisis Hirarki Proses AHP dengan 10 sub kriteria penilaian seperti yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa pertimbangan logis dan empiris yang diidentifikasi dapat dijadikan alasan mengapa pengembangan ternak sapi menjadi prioritas kegiatan pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR, yaitu: 1. Hasil analisis regresi faktor penentu interaksi masyarakat dengan hutan Tabel 16, menunjukkan bahwa kepemilikanpemeliharaan ternak sapi secara nyata dapat meredam kegiatan penebangan liar illegal logging. Secara finansial, dengan memelihara 1 satu ekor sapi, dapat mengkom- pensasi penghasilan rumahtangga yang bersumber dari hasil hutan. 2. Distribusi spacial pengembangan ternak sapi Gambar 16 menyebar di seluruh kawasan penyangga TNGR. Hal ini mencerminkan bahwa pemeliharaan sapi telah familier dan bahkan membudaya di kalangan masyarakat. Kenyataan ini didukung oleh hasil survei yang menunjukkan bahwa dari 150 rumahtangga contoh, sebanyak 73 rumahtangga 48,67 diantaranya memilikimemelihara ternak sapi dengan jumlah kepemilikan bervariasi antara 1 – 4 ekor dimana pengembangannya diintegrasikan dengan kegiatan pertanian. 3. Pengembangan ternak sapi di kawasan penyangga TNGR sesuai dengan peta lokasi produksi peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat untuk wilayah Pulau Lombok. Bahkan Kecamatan Aikmel, Wanasaba, dan Sembalun merupakan sentra pengembangan ternak sapi di Pulau Lombok. Disamping itu dalam rangka meningkatkan produktivitas dan populasi sapi potong di Propinsi Nusa Tenggara Barat, pemerintah memberikan bantuan modal usaha kepada kelompok peternak sapi potong melalui pemanfaatan dana Counterpart Fund-Second Kennedy Round CF-SKR Tahun 2008. Kegiatan 176 ini dilakukan di beberapa tempat termasuk di kawasan penyangga TNGR, yaitu 1 Kecamatan Batukliang Utara, 2 Kecamatan Montong Gading, dan 3 Kecamatan Pringgasela 4. Potensi dan daya dukung pengembangan sapi cukup memadai; selain ketersedian rumput pakan yang dapat diambil dari kawasan TNGR khusus di wilayah Resort Joben, juga tersedia lahan milik berupa sawah danatau kebun yang dapat digunakan untuk pengembangan rumput pakan. Selain itu ketersediaan limbah pertanian berupa jerami serta berbagai jenis legum yang dapat di ambil di kawasan sekitar, merupakan sumber pakan yang sangat potensial. 5. Pengembangan sapi dapat memberikan manfaat ganda; selain menjadi sumber penghasilan keluarga, juga dapat diintegrasikan dengan kegiatan pertanian, yaitu dimanfaatkan tenaganya untuk mengolah lahan pertanian. Pengembangannya dapat dilakukan dengan sistem “zero waste” dan “zero cost”. Artinya, limbah ternak berupa kotoran feces dan sisa pakan dijadikan pupuk kandang kompos untuk tanaman; sedangkan limbah pertanian berupa jerami danatau dedaunan digunakan sebagai pakan ternak sapi. 6. Dari segi ekoligis aspek lingkungan, kotoran feces sapi dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas yang dapat digunakan untuk memasak keperluan dapur sebagai pengganti kayu bakar. Hal ini akan dapat menekan terjadinya penebangan liar illegal logging. Selain itu feces limbah biogas bersama dengan sisa pakan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos pupuk kandang. Penggunaan pupuk kandang ini akan dapat mengurangi terjadinya pencemaran lahan sebagai akibat penggunaan pupuk kimia pupuk anorganik dan sekaligus dapat menjadi salah satu alternatif sumber penghasilan keluarga. Jadi dengan demikian tekanan terhadap lingkungan hutan dapat berkurang karena 2 dua alasan utama, yaitu: 1 penebangan liar illegal logging tidak akan dilakukan masyarakat dengan alasan ekonomi sebab mereka telah memiliki sumber penghasilan keluarga, dan 2 penebangan liar illegal logging tidak akan dilakukan masyarakat dengan alasan kebutuhan kayu bakar karena telah dikomversi dengan penggunaan biogas. 7. Khusus untuk wilayah Resort Sembalun, pengembangan bahan bakar alternatif berupa biogas dari kotoran feces sapi akan dapat menjadi insentif bagi masyarakat khususnya peternak untuk mengikat dan mengkandangkan 177 ternaknya sehingga secara tidak langsung dapat menekan, bahkan menghilangkan penggembalaan liar di kawasan TNGR. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pengembangan sapi sebagai prioritas pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR bukanlah statis. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa prioritas lainnya yang potensial untuk dikembangkan adalah usaha kecil hasil hutan bukan kayu HHBK, akan tetapi usaha ini sangat tergantung pada permintaan dan harga dari output yang dihasilkan. Pada saat penelitian ini dilakukan awal tahun 2008, permintaan pasar dan harga dari beberapa produk hasil hutan bukan kayu HHBK dalam keadaan tidak menentu sehingga tidak ada insentif ekonomi bagi masyarakat untuk mengembangkannya. Dimasa yang akan datang, seandainya kepastian pasar dan harga produk HHBK dapat dijamin, maka kegiatan ini akan menjadi prioritas pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR. Terjaminnya pasar dan harga produk HHBK dengan sendirinya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Beberapa alasan rasional lainnya yang dapat dijadikan pertimbangan mengapa pengembangan HHBK dapat menjadi prioritas pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR adalah penyerapan tenaga kerja yang paling besar dibandingkan kegiatan lainnya dan potensi lahan pengembangan cukup tersedia karena dapat dilakukan di pekarangan rumah, di kebun, pematang sawah danatau di bawah tegakan pohon. Keunggulan lain dari pengembangan HHBK adalah lama waktu menunggu hasil relatif cepat dibandingkan dengan kegiatan lainnya serta kemungkinan terjadinya konflik sosial relatif kecil karena dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat sehingga tidak rentan terhadap munculnya kecemburuan sosial dalam masyarakat lihat Gambar 25. 178 p8.5.3 Pengembangan Model Prioritas Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemeliharaan sapi selama ini dilakukan dengan cara semi intensif, yaitu ternak dikandangkan pada malam hari, sedangkan siang hari digembalakan untuk mencari makan sendiri. Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR; sesuai dengan ketersediaan dan daya dukung lahan serta sasaran yang diinginkan, pengembangan sapi hendaknya dilakukan secara intensif, dimana ternak dikandangkan dan diberi makan tidak hanya rumput, melainkan juga dari libah pertanian. Selain itu agar output yang dihasilkan tidak hanya berupa ternak, maka perlu dilakukan upaya pemanfaatn limbah untuk dijadikan biogas dan kompos. Biogas dapat digunakan sendiri oleh peternak sehingga dapat mengkomversi penggunaan minyak tanah danatau kayu bakar yang akan berimplikasi pada penurunan penebangan liar illegal logging. Begitu juga dengan kompos, selain dapat digunakan sendiri bagi yang punya lahan, juga dapat dijual untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Beberapa model pengembangan ternak sapi yang selama ini telah dilakukan di Pulau Lombok dapat dipertimbangkan sebagai dasar penyusunan model pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR. Di kalangan masyarakat Pulau Lombok telah berkembang secara turun temurun sistem gaduh dalam pemeliharaan ternak bahasa setempat disebut “pengkadasan”. Pengkadasan adalah suatu istilah di Pulau Lombok yang digunakan berkenaan dengan pemeliharaan ternak, termasuk sapi. Dalam hal ini pemilik modal masyarakat yang punya kemampuan ekonomi membelikan ternak sapi untuk dipelihara oleh peternak bahasa setempat disebut “pengadas”. Anak sapi yang dihasilkan dibagi secara bergiliran antara peternak dan pemilik; dan jika induknya dijual, maka nilai tambah dari induk ini juga dibagi sesuai dengan kesepakatan. Kegiatan ini murni hubungan antar masyarakat pedesaan tanpa adanya campur tangan pemerintah atau pihak lain dan merupakan perwujudan rasa kepedulian masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi terhadap masyarakat ekonomi lemah. Lebih lanjut sistem pengkadasan ternak seperti ini disebut “Sistem Sumba Kontrak”. Model lainnya yang dikembangkan berkeanaan dengan pembinaan dan pemberdayaan peternak dan menunjukkan keberhasilan cukup menggembirakan adalah “Sistem Pengkadasan Sapi Lombok Tengah SPSLT” Arman 2007; Kertanegara Maskur 2007. Metode yang diterapkan dalam sistem ini adalah pengkadasan secara bergulir, dimana setiap peternak mendapatkan bantuan 179 berupa 3 tiga ekor sapi induk bunting dengan masa pemeliharaan oleh masing-masing peternak adalah 12 - 15 bulan kemudian digulirkan ke pengadas lain. Di Kabupaten Lombok Barat, sistem yang dikembangkan oleh Dinas peternakan Lombok Barat adalah pengembangan sapi melalui program “ Penguatan Modal Usaha Kelompok PMUK”. Dalam hal ini petani peternak diberikan 1 ekor sapi bibit betina untuk dipelihara dengan pola 1 – 1 – 4. Artinya, petani peternak diberikan bantuan 1 satu ekor sapi dan dikembalikan 1 satu ekor ukuran yang sama seperti bantuan yang diberikan dengan masa pelihara 4 empat tahun. Dari segi perkembangan jumlah ternak, model ini telah menunjukkan keberhasilan yang menggembirakan. Sebagai contoh: bantuan PMUK pada kelompok “Mule Jati” Kecamatan Narmada, selama 2 dua tahun September 2006 – September 2008 jumlah ternak sapi berkembang dari 80 ekor menjadi 183 ekor. Saat ini Suadnya et al. 2008 sedang melakukan ujicoba 2 dua model pemberdayaan peternak sapi di Kabupaten Lombok Barat, yaitu: 1 Model 1 menggunakan pola 1 – 2 – 5, yang berarti peternak diberikan bantuan satu ekor sapi siap bunting, kemudian mengembalikan dua ekor anaknya selama kurun waktu lima tahun. Satu ekor anak sapi yang dikembalikan untuk perguliran dan satu ekor menjadi milik kelompok untuk modal usaha kelompok; sedangkan i nduk dan turunan lainnya menjadi milik peternak. Dengan pola ini maka kelompok memperoleh modal penguatan dan petani terus terikat dalam kelompok. 2 Model 2 merupakan penggabungan antara pola PMUK dengan pola bantuan sapi penggemukan sapi potong. Dalam hal ini petani diberikan bantuan 2 dua ekor, sapi satu betina dan satu jantan. Sapi betina dikelola dengan pola PMUK 1-1-4 sedangkan sapi jantan disamping dimaksudkan sebagai pejantan, juga dikelola seperti pola bagi hasil bantuan penggemukan sapi dengan pembagian keuntungan 60 peternak dan 40 kelompok. Pola ini menguntungkan karena pola PMUK dijadikan sebagai upaya tabungan oleh peternak, sedangkan pola penggemukan sapi potong diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan keuangan jangka pendek atau kebutuhan sehari-hari petani dan keluarganya. Bagian hasil 40 untuk kelompok sangat berguna untuk penguatan modal kelompok dan insentif buat pengurus kelompok. 180 Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat di sekitar TNGR, model “Sumba Kontrak” dinilai kurang sesuai karena dalam model ini tidak ada upaya pemupukan modal kelompok murni hubungan antar personil masyarakat. Selain itu karena pembagian hasil dilakukan secara bergilir, maka perkembangan kepemilikan peternak relatif lambat. Misalnya selama 4 empat tahun pemeliharaan, peternak baru memiliki 1 satu ekor sapi bunting dan 1 satu ekor sapi lepas sapih asumsi pertumbuhannya normal dan terus dipelihara. Kenyataan ini tidak sesuai dengan masyarakat di kawasan penyangga TNGR yang membutuhkan biaya hidup setiap hari. Dengan demikian keberlanjutan usahanya tidak dapat dipertahankan karena kemungkinan besar ternaknya dijual untuk menutupi kebutuhan keluarga. Sama halnya dengan pola 1 – 2 – 5 dan kombinasi PMUK dengan penggemukan yang sedang dikembangkan Suadnya et al. 2008. Pada pola 1 – 2 – 5, meskipun ada usaha pemupukan modal kelompok, namun dengan sistem ini selama 5 lima tahun pemeliharaan, peternak baru memiliki 1 satu ekor induk dan 2 dua ekor sapi dewasa kelamin. Begitu pula dengan kombinasi PMUK dengan penggemukan, masatenggang waktu perguliran relatif lama, yaitu 4 empat tahun sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan sosial bagi kelompok masyarakat lainnya, bahkan justru akan memicu dilakukannya penebangan liar illegal logging. Berdasarkan hasil kajian dan sasaran yang diinginkan, maka model yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR adalah Sistem Pengkadasan Sapi Lombok Tengah SPSLT. Namun demikian, sistem dan mekanismenya perlu dilakukan modifikasi disesuaikan dengan sasaran pemberdayaan dan karakteristik masyarakat di kawasan penyangga TNGR. Sistem ini selanjutnya diberi nama “SISTEM PENGKADASAN SAPI RINJANI SIDASARI”. Ketentuan dan implementasi dari model pengembangan sapi dengan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani SIDASARI adalah sebagai berikut: 1 Setiap masyarakatpeternak sasaran harus tergabung dalam suatu kelompok yang anggota-anggotanya ditentukan sendiri oleh anggota kelompok yang bersangkutan. 2 Setiap peternakmasyarakat sasaran mendapatkan bantuan berupa 3 tiga ekor Sapi Bali bibit induk dalam keadaan bunting untuk dipelihara selama 12 – 15 bulan. 181 3 Setelah masa pemeliharaan berakhir, induk sapi tersebut kemudian digulirkan ke sasaran pengadas lain dalam keadaan bunting sebagaimana keadaan pada waktu penerimaan. Pada waktu induk digulirkan, diperkirakan umur anak sapi telah mencapai 6 enam bulan atau lepas sapih. Proses yang sama juga akan berlangsung pada pengadas kedua, ketiga dan keempat. 4 Anak sapi yang dihasilkan, yaitu sebanyak 3 ekor selanjutnya menjadi milik peternak 2 ekor dan 1 ekor lainnya dialokasikan untuk dana konservasi dan penguatan modal kelompok. 5 Pengembangan selanjutnya dari 2 ekor milik peternak adalah satu ekor untuk sapi bibit dikembangbiakkan terus sebagai sumber penghasilan ekonomi keluarga dalam jangka panjang dan satu ekor lainnya diarahkan untuk sapi penggemukan yang dapat dijual setiap 4 – 5 bulan masa pemeliharaan sehingga dapat digunakan untuk menutupi keperluan ekonomi keluarga sehari-hari. 6 Anak sapi lainnya 1 ekor yang merupakan bagian kelompok dan dana konservasi dipelihara oleh peternak yang bersangkutan hingga berumur 30 tigapuluh bulan atau siap digulirkan kepada kelompok sasaran yang lain. Pemeliharaan ini dilakukan dengan sistem bagi hasil sesuai kesepakatan, dihitung sejak umur 6 bulan saat induknya digulirkan hingga berumur 30 bulan. Alokasi penggunaan: 1 nilai tambah keuntungan pemeliharaan dibagi oleh peternak imbalan atas pemeliharaan dan kelompok sebagai penguatan modal kelompok, sedangkan nilai awal pemeliharaan umur 6 bulan digunakan sebagai dana konservasi 7 Selama masa pemeliharaan oleh suatu kelompok, maka kelompok yang akan menjadi sasaran berikutnya ikut mengawasi kegiatan yang dlakukan oleh kelompok sebelumnya. 8 Pengembangan Model SIDASARI akan dapat berhasil secara berkelanjutan dengan syarat: 1 pemberdayaan dilakukan secara bertahap, diawali dengan penyadaran dan pengkapasitasan kelompok sasaran. 2 setiap peternak harus memelihara 2 - 3 ekor sapi sehingga dapat mencukupi kebutuhan keluarga, 3 pemeliharaan sapi dilakukan secara intensif, yaitu dikandangkan dan diberi pakan secara rutin, dan 4 sapi dikandangkan secara berkelompok kolektif untuk memudahkan pengamanan serta dimaksudkan agar kotorannya feces dapat digunakan sebagai sumber penghasil biogas dan kompos, dimana lokasi pembuatan kandang 182 diusahakan berdekatan dengan pemukiman sehingga gas yang dihasilkan dapat dengan mudah dialirkan ke perumahan mereka peternak sasaran danatau penduduk di sekitarnya. Gambar 26 mengilustrasikan model pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TNGR melalui pengembangan ternak sapi dengan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani SIDASARI. Pada model ini dirumuskan skenario perguliran dan dilengkapi dengan estimasi perkembangan jumlah ternak selama masa pembinaan. Selain itu dilakukan juga estimasi kebutuhan lahan untuk pengembangan rumput pakan, jumlah feces dan biogas yang dihasilkan hingga kompensasi kayu bakar dan jumlah pohon yang dapat diselamatkan tidak ditebang. Pada Model SIDASARI Gambar 26; tenggang waktu untuk setiap periode pembinaan dirancang berlangsung selama 4 empat tahun atau empat kali perguliran dengan pertimbangan sebagai berikut: 1 Secara biologis, dalam rentang waktu 4 tahun diperkirakan induk sapi yang dipelihara telah mengalami 4 empat kali melahirkan sehingga perlu dilakukan peremajaan. 2 Secara teknis, lahan yang telah dipersiapkan oleh setiap peternak sasaran untuk pengembangan rumput pakan adalah untuk kebutuhan 3 tiga ekor sapi sesuai dengan jumlah induk awal yang dipelihara. Setelah induk digulirkan tahun ke-2, jumlah sapi milik peternak hanya 2 dua ekor sehingga 1 satu ekor lainnya milik TNGR dan kelompok harus tetap dipelihara peternak yang bersangkutan supaya sesuai dengan jumlah rumput yang telah disiapkan. 3 Pada tahun ke-4 diharapkan sapi milik peternak telah melahirkan sehingga sapi milik TNGR dan kelompok dapat dijual dan dialokasikan sesuai dengan ketentuan yang telah tetapkandisepakati. 4 Perlu dilakukan evaluasi setelah empat tahun pembinaan atau empat kali perguliran guna penyempurnaan program untuk periode-periode berikutnya. Setiap periode pembinaan dibagi menjadi 4 empat tahap ditandai dengan perguliran ternak yang dilakukan setiap tahun atau dengan perkataan lain masa pengkadasan setiap kelompok sasaran berlangsung selama 1 tahun. Jadi dalam tenggang waktu 4 tahun masa pembinaan, jumlah masyarakat yang diberdayakan dengan 30 ekor sapi mencapai 40 rumahtangga jumlah sasaran pada setiap tahap pemberdayaan sebanyak 10 rumahtangga. 183 Dengan sistem pemeliharaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 26, setiap peternak sasaran memiliki 2 ekor sapi dalam masa 1 satu tahun pemeliharaan. Pada awal tahun ke-4, anak sapi bagian TNGR dan kelompok yang dihasilkan dari kelompok pengadas tahun pertama siap digulirkan umur 30 bulan. Pada saat itu, ternak dijual atau digunakan untuk pemberdayaan kelompok sasaran lainnya, akan tetapi pada periode pemberdayaan berikutnya, bukan periode yang bersangkutan. Nilai tambah pemeliharaan dibagi antara peternak dan kelompoknya kas kelompok, sedangkan nilai awal digunakan sebagai dana konservasi. Begitu pula dengan sapi milik peternak pengadas pertama juga melahirkan pada akhir tahun ke-4. Hasil analisis lebih lanjut dapat diestimasi biogas yang dihasilkan dari 30 ekor sapi yang dipelihara dapat mencukupi kebutuhan 6 – 14 rumahtangga dengan rata-rata anggota keluarga 4 orang. Jika dikaitkan dengan rata-rata kebutuhan kayu bakar sebesar 1,68 m 3 rumahtanggatahun, maka biogas yang dihasilkan akan dapat mengkonversi penggunaan kayu bakar sebesar 10 – 24 m 3 tahun atau setara dengan 20 – 48 pohon kayu mahoni umur 10 sepuluh tahun rata-rata volume kayu = 0,5 m 3 pohon. Ada 2 dua alasan utama digunakannya kayu mahoni sebagai standar perhitungan konversi kayu bakar pada Gambar 26, yaitu: 1 kayu mahoni merupakan salah satu kayu endemik di kawasan TNGR, dan 2 permintaan kayu mahoni relatif besar dibandingkan jenis kayu lainnya, baik untuk kayu bakar maupun untuk kebutuhan industri kerajinan; menjadikannya rawan terhadap penebangan liar illegal logging Jadi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan 30 ekor sapi dengan model SIDASARI dalam kurun waktu 4 empat tahun akan dapat mengurangi penebangan liar illegal logging atau menyelamatkan pohon kayu di hutan TNGR sebanyak 200 – 480 pohon. Jumlah pohon yang diselamatkan tidak ditebang ini hanya merupakan konversi dari biogas yang dihasilkan dengan jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 30 ekor untuk setiap kelompok dimana masing-masing kelompok dapat menyelamatkan 20-48 pohontahun atau rata-rata setiap rumahtangga sebesar 2 – 4,8 pohontahun. Dengan demikian selama 4 empat tahun, jumlah pohon yang dapat menyelamatkan sebagai berikut: kelompok I = 80-192 pohon 4 tahun, kelompok II = 60-144 pohon 3 tahun, kelompok III = 40-96 pohon 2 tahun, dan kelompok IV = 20-48 pohon 1 tahun. Jumlah ini belum termasuk berkurangnya penebangan sebagai akibat 184 adanya sumber penghasilan baru bagi kelompok sasaran yang berjumlah 40 rumahtangga. Jumlah pohon yang dapat diselamatkan dari penebangan liar illegal logging sehubungan dengan konversi penggunaan biogas bervariasi tergantung pada jenis kayunya. Sebagai ilustrasi, ukuran volume kayu dari beberapa jenis pohon disajikan pada Tabel 29. Berdasarkan data volume ini, maka dengan skenario konversi biogas Gambar 26, jumlah pohon yang dapat diselamatkan masing-masing sebagai berikut: jati umur 10 tahun sebanyak 147-353 pohon, sengon umur 5 tahun 127-304 pohon, dan akasia umur 10 tahun sebanyak 65-157 pohon. Tabel 29. Jenis dan Volume Beberapa Jenis Kayu Menurut Umur No Jenis Kayu Umur th Vol. kayu m3 Sumber Informasi 1 Mahoni 10 0.5 Dinas Kehutanan Propinsi NTB 2 Jati 5 0.3 10 0.68 15 1.46 Laboratorium Kultur Jaringan SEAMEO BIOTROP http:sl.biotrop.orgproduk_detil.php?id_produk=7 3 Sengon 5 0.79 http:www.trubus- online.co.idmod.php?mod=publisherop=viewarticle cid=1artid=1411 0.98 Di Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat 4 Akasia 3 0.03 5 0.30 10 1.53 http:io.ppi-jepang.orgarticle.php?id=66 POTENSI HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM MENSEQUESTER KARBON: Studi kasus di Hutan Tanaman Akasia dan Pinus Oleh : Ika Heriansyah Selanjutnya sebagai dasar perhitungan estimasi pada Gambar 26 adalah sebagai berikut: 1 Kebutuhan pakan : 30 – 35 kgekorhr 10 dari berat badan 2 Kebutuhan rumput : 21 – 24,5 kgekorhr 70 dari pakan 3 Produksi rumput : 250 tonhath 4 Jumlah feces : 10 – 15 kgekorhr 5 Produksi Gas : 0,023 – 0,040 m 3 kg feces 6 Kebutuhan minyak tanah : 0,75 ltrRThr anggota keluarga 4 orang 7 1 m 3 biogas setara dengan : 0,5 – 0,6 ltr minyak tanah 8 Kebutuhan kayu bakar : 1,68 m 3 RTth anggota keluarga 4 orang 9 1 pohon mahoni umur 10 th : 0,5 m 3 kayu bakar 10 Bahan baku kompos : 50 – 60 dari feces 185 Anak I umur 42 bulan 1 kali beranak Anak II umur 30 bulan siap bunting Anak III umur 18 bln dara Ank IV umur 6 bl 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60 63 66 69 72 75 78 81 U R A I A N TAHUN I TAHUN II TAHUN III TAHUN IV Kumulatif akhir th ke-4 I PS LS DK I PS LS DK I PS LS DK I PS LS DK I PS LS DK 1. Jumlah induk sapi ekor 30 30 30 30 30 2. Jumlah Anakan ekor: a. Milik kelompok 10a 10b 10c 10d 20cd 10b b. Milik Peternak.: 1 Biibit 10a 10b 10c 10d 10a 10a1 20cd 10b 2 Potong 10a 10b 10c 10d 10a 20cd 10b 3. Jumlah masy. sasaran RT: 10 10 10 10 40 4. Estimasi kebt rumput kghr 630 - 735 630 - 735 630 - 735 630 - 735 5. Estimasi kebt. lahan ha 0,92 – 1,07 0,92 – 1,07 0,92 – 1,07 0,92 – 1,07 6. Estimasi jumlah feces kghr 300 - 450 300 - 450 300 - 450 300 - 450 7. Estimasi hasil biogas m 3 hr 6,90 – 18,00 6,90 – 18,00 6,90 – 18,00 6,90 – 18,00 8. Estimasi RT dg Biogas RT 6 - 14 6 - 14 6 - 14 6 - 14 24 - 56 9. Estimasi bahan kompos kghr 150 - 270 150 - 270 150 - 270 150 - 270 10. Estimasi kompensasi KB m 3 th 10 - 24 10 - 24 10 - 24 10 - 24 100 - 240 11. Estimasi penyelamatan kayu phth 20 - 48 20 - 48 20 - 48 20 - 48 200 - 480 Gambar 26. Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar TNGR melalui Kegiatan Pemeliharaan Sapi dengan Pendekatan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani SIDASARI Ket. 1 KA = Kawin Alam; BT = Bunting; LH = Lahir; IB = Kawin Suntik; LK = Laktasi; Kolom berwarna = masa pemeliharaan peternak pengadas; I = Induk; PS = Pra Sapih; LS = Lepas Sapih; DK = Dewasa Kelamin; KB = Kayu Bakar 2 Data jumlah sapi adalah kondisi pada setiap akhir tahun 3 Estimasi untuk No 4 – 11 adalah untuk 30 ekor sapi 4 Asumsi tingkat reproduksi 100 Umur Sapi bln BT1 BT2 BT3 BT4 KA LH1 LH2 LH3 LH4 LK1 LK2 LK3 LK4 IB1 IB2 IB3 IB11 LH11 BT11 PENGADAS I PENGADAS II PENGADAS III PENGADAS IV MODEL PERGULIRAN DALAM PENGEMBANGAN TERNAK SAPI LK11 186 Pengembangan sapi dengan model SIDASARI Gambar 26 akan dapat dilaksanakan jika ketersediaan dan daya dukung sumberdaya khususnya lahan untuk pengembangan rumput cukup memadai. Pada Gambar 26, estimasi kebutuhan rumput dihitung sebesar 70 dari kebutuhan pakan rata-rata kebutuhan pakan 30 – 35 kgekorhari. Standar ini didasarkan pada hasil survei yang menunjukkan bahwa rata-rata peternak di Pulau Lombok termasuk di kawasan penyangga TNGR memberian pakan berupa rumput kepada ternaknya sebesar 70 dari kebutuhan pakan, Sisanya 30 bersumber dari bahan lain seperti limbah pertanian, legum, dedaunan, dan berbagai jenis pakan lainnya. Estimasi kebutuhan pakan yang disajikan pada Gambar 26 adalah kebutuhan untuk 30 ekor sapi dengan proporsi 70 rumput, yaitu 630 – 735 kghari. Dengan jumlah kebutuhan ini serta produktivitas rumput sebesar 250 tonhath, maka areal lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan rumput sebesar 0,92 – 1,07 ha asumsi pengembangan dilakukan secara monokultur. Dengan demikian, maka untuk setiap peternak dengan jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 3 tiga ekor, akan membutuhkan lahan seluas 0,09 - 0,11 ha lahan untuk pengembangan rumput dengan sistem monokultur. Tabel 30 mengilustrasikan kebutuhan lahan untuk pengembangan rumput pakan pada beberapa skenario pengembangan. Tabel 30. Luas Lahan yang Dibutuhkan Setiap Peternak 3 ekor Sapi untuk Pengembangan Rumput dengan Beberapa Skenario Penanaman Komposisi Rumput Pakan No Uraian 100 rumput 70 rumput 1 Kebutuhan rumput untuk 3 ekor sapi kghr 90 - 105 63 – 73,5 2 Kebutuhan lahan untuk rumput pakan ha a. Pola Monokultur 0,13 – 0,15 0,09 – 0,11 b. Pola Agroforestri: 1 20 lahan untuk rumput 0,66 – 0,77 0,46 – 0,54 2 30 lahan untuk rumput 0,44 – 0,51 0,31 – 0,36 3 50 lahan untuk rumput 0,26 – 0,31 0,18 – 0,21 3 Rata-rata kepemilikan lahan sawah ha 0,15 4 Rata-rata kepemilikan lahan tegalkebun ha 0,39 Dari Tabel 30 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata luas lahan yang dimiliki masyarakat di kawasan penyangga TNGR masih memungkinkan untuk mengembangkan rumput pakan. Dengan perkataan lain, berdasarkan kebutuhan 187 lahan untuk pengembangan rumput baik secara monokultur maupun pola agroforestri, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat di kawasan penyangga TNGR memungkinkan untuk mengembangkan 3 tiga ekor sapi secara intensif. Selanjutnya dari hasil analisis dapat diketahui bahwa dengan model pemberdayaan SIDASARI ini jumlah kelompok sasaran pemberdayaan dapat berkembang setiap tahun. Hal ini karena dengan jumlah sapi yang sama dapat digunakan secara berulang untuk pemberdayaan kelompok sasaran yang berbeda bergulir setiap tahun. Pada Gambar 27 disajikan perkembangan jumlah sapi secara kumulatif yang dimiliki oleh peternak sasaran selama masa pemberdayaan dan pembinaan 4 tahun. Tahap awal periode pertama pemberdayaan dilakukan pembinaan pada setiap resort TNGR, masing-masing 1 satu kelompok sasaran dengan jumlah anggota sebanyak 10 sepuluh rumahtangga. Jadi secara keseluruhan jumlah kelompok sasaran pada tahun pertama adalah 9 sembilan kelompok atau 90 sembilan puluh rumahtangga; sehingga jumlah sapi yang dibutuhkan sebanyak 270 ekor. Jumlah masyarakat yang diberdayakan dapat dibuat meningkat secara konstan setiap tahun sehingga dengan jumlah induk sapi yang tetap sama 270 ekor, jumlah masyarakat yang diberdayakan selama 4 empat tahun berjumlah 360 rumahtangga. Sebagai wujud nyata dari hasil pemberdayaan adalah setiap masyarakat sasaran memiliki ternak sapi sendiri yang dapat dikembangbiakkan sebagai sumber penghasilan keluarga. Jika diasumsikan tingkat reproduksi 100, maka dengan sistem yang dikembangkan, dalam waktu 1 satu tahun setiap masyarakat sasaran peternak akan memiliki 2 dua ekor sapi dan diharapkan terus berkembang hingga pasca pemberdayaan. Berkenaan dengan pemeliharaan dan pengembangan lebih lanjut setelah masa pengkadasanpenggaduhan berakhir induknya digulirkan ke peternak sasaran berikutnya, selain memelihara anak sapi miliknya, peternak juga diharapkan memelihara anak sapi yang merupakan bagian TNGR dan kelompok hingga sapi tersebut berumur 30 tiga puluh bulan atau lebih. Alasannya, peternak tetap memlihara 3 tiga ekor karena lahan pengembangan rumput pakan yang disiapkan adalah untuk kebutuhan 3 tiga ekor sesuai dengan jumlah induk awal yang dipelihara. Diharapkan pada waktu sapi milik TNGR dan kelompok dijual, sapi miliknya telah melahirkan sehingga peternak tetap memlihara 3 tiga ekor. Pemeliharaan dilakukan dengan sistem bagi hasil antara peternak dengan kelompoknya untuk danamodal kelompok, dimana yang 188 dibagi adalah nilai tambah pemeliharaan, sedangkan nilai awal ternak digunakan sebagai dana konservasi. Jadi anak sapi milik TNGR dan kelompok yang dihasilkan oleh kelompok sasaran tahun ke-1 dapat dijual pada tahun ke-4, hasil kelompok tahun ke-2 dapat dijual pada tahun ke-5, hasil kelompok tahun ke-3 dapat dijual pada tahun ke-6, dan hasil kelompok tahun ke-4 dapat dijual pada tahun ke-7. Pada Gambar 27 disajikan estimasi perkembangan kumulatif jumlah ternak yang dimiliki masyarakatpeternak sasaran sebagai wujud nyata dari hasil pemberdayaan. Estimasi ini dihitung dalam 3 tiga skenario, yaitu skenario A dengan asumsi tingkat reproduksi 100, tingkat kematian 0 dan sex ratio 50; skenario B dengan asumsi tingkat reproduksi 85, tingkat kematian 5 dan sex ratio 50, dan skenario C dengan asumsi tingkat reproduksi 85, tingkat kematian 5 dan sex ratio 50 yang dihitung sejak anak I tingkat reproduksi dan tingkat kematian induk sama dengan skenario A. Perkembangan jumlah sapi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 17. Gambar 27. Estimasi Perkembangan Jumlah Kumulatif Sapi yang Dimiliki Peternak Sasaran Selama Masa Pembinaan Ket.: Skenario A : Asumsi Tingkat Reproduksi 100, Tingkat Kematian 0 dan Sex Ratio 50 Skenario B : Asumsi Tingkat Reproduksi 85, Tingkat Kematian 5 dan Sex Ratio 50 Skenario C : Asumsi Tingkat Reproduksi 85, Tingkat Kematian 5 dan Sex Ratio 50; dihitung sejak anak I Tingkat Reproduksi Tingkat Kematian Induk = Skenario A 189 Pada Gambar 27 di atas dapat diketahui bahwa jumlah sapi milik peternak pada tahun 1 – 3 adalah sama antara skenario A dan skenario C. Pada tahun ke-4, sapi milik peternak sudah mulai melahirkan anak yang pertama sehingga jumlah sapi pada skenario A lebih besar dibandingkan skenario C karena pada skenario C mempertimbangkan tingkat reproduksi dan resiko kematian, sedangkan pada skenario A tidak diperhitungkan. Alasan penggunaan skenario C, yaitu hanya mempertimbangkan resiko kematian dan tingkat reproduksi pada anak pertama karena induk sapi awal telah diseleksi terlebih dahulu dan dalam keadaan bunting. Asumsi tingkat reproduksi dan tingkat kematian didasarkan pada hasil penelitian dan kajian tentang tingkat reproduksi dan tingkat kematian Sapi Bali Pane 1990; Kadarsih 2004; Tanari 2007. Sebelum kegiatan penggemukan sapi berjalan efektif 3 tahun pertama pembinaan atau selama menunggu hasil perkembangbiakan sapi yang dipelihara, maka salah satu alternatif sumber penghasilan keluarga income periodicity yang dapat digunakan untuk mencukupi keperluan sehari-hari adalah pengembangan usaha kecil agroindustri berbasis komoditi lokal oleh ibu-ibu rumahtangga sasaran. Alternatif kegiatan lainnya yang potensial untuk dikembangkan adalah pembuatan kompos karena bakan baku berupa limbah pakan dan feces telah tersedia serta bahan campuran lainnya seperi abu sekam dan serbuk gergaji dapat diperoleh di wilayah sekitar. Selain itu, teknologi pembuatan kompos relatif sederhana sehingga masyarakat tidak kesulitan untuk melakukannya. Manfaat ekonomi pembuatan kompos antara lain hasil kajian Yuwono et al. 2005 di Kabupaten Pemalang; mengemukakan bahwa dari 3 000 kg bahan baku pembuatan kompos diperoleh kompos jadi sebanyak 2 000 kg dengan harga pokok sebesar Rp 266,-kg termasuk harga limbah ternak dan harga jual di pasaran berkisar antara Rp 400,- sampai Rp 450,- per kg. Jika harga limbah ternak dan biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan karena dihasilkan sendiri oleh peternak, maka harga pokok menjadi Rp 121,-kg. Sementara itu biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan kompos yang dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong, Pasuruan dengan menggunakan bahan utama kotoran sapi Puslitbang Peternakan 2007 adalah sebagai berikut: 1 kompos curah Rp 250,-kg, 2 kompos blok Rp 250,-kg, 3 kompos granula Rp 450,-kg, dan 4 kompos bokhasi Rp 1 200,-kg. Biaya ini termasuk pengeluaran untuk pembelian bahan baku utama kotoran sapi sebesar Rp 100,- per kg. 190 Berkenaan dengan model pengembangan sapi melalui SIDASARI, setiap kelompok peternak sasaran 10 rumahtangga dengan 30 tiga puluh ekor sapi, jumlah feces yang dihasilkan setiap hari dan potensial untuk dijadikan bahan baku pembuatan kompos adalah 300 – 450 kghari. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa selain dapat memberikan manfaat ekonomi seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengembangan sapi dengan model SIDASARI juga dihasilkan biogas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah danatau kayu bakar sehingga dapat menekan penebangan liar illegal logging. Estimasi perkembangan jumlah pohon yang dapat diselamatkan tidak ditebang disajikan pada Gambar 28. Gambar 28. Perkembangan Jumlah Pohon yang Dapat Diselamatkan Tidak Ditebang sebagai Hasil Konversi Penggunaan Kayu Bakar ke Biogas Penebangan liar illegal logging dari tahun ke tahun dapat ditekan; ditandai dengan jumlah pohon yang dapat diselamatkan tidak ditebang secara kumulatif terus mengalami peningkatan seiring dengan jumlah populasi sapi hasil pemberdayaan. Data yang disajikan pada Gambar 28 di atas merupakan hasil pemberdayaan yang dilakukan pada 9 sembilan resort TNGR. Pada setiap resort dilakukan pembinaan terhadap 1 satu kelompok sasaran yang beranggotakan 10 sepuluh rumahtangga dengan 30 tiga puluh ekor sapi. Dengan skenario pengem- bangan seperti telah dijelaskan di atas, maka selama masa pembinaan 4 tahun di 9 resort TNGR dapat diestimasi jumlah pohon 1 pohon = 0,5 m 3 yang tidak ditebang untuk kebutuhan kayu bakar secara kumulatif mencapai 1 258 – 4 355 pohon. 191

8.6 Strategi Pemberdayaan

Dokumen yang terkait

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 65 94

Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Batang Gadis (TNBG)

8 75 79

Model partisipatif perhutanan sosial menuju pengelolaan hutan berkelanjutan (Kasus pembangunan hutan kemasyarakatan pada kawasan hutan lindung di Pulau Lombok)

2 79 308

Model partisipatif perhutanan sosial menuju pengelolaan hutan berkelanjutan (Kasus pembangunan hutan kemasyarakatan pada kawasan hutan lindung di Pulau Lombok)

2 37 597

Persepsi, Motivasi dan Perilaku Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pengelolaan Kawasan Hutan (Kasus Kawasan Hutan sekitar Desa Gunung Sari di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

0 3 41

Analisis Pengelolaan Koridor antata Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun dengan Kawasan Hutan Lindung Gunung Salak Berdasarkan Kondisi Masyarakat Sekitar

0 4 181

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI PELESTARIAN HUTAN LINDUNG :Studi Kasus di Masyarakat Sekitar Hutan Gunung Simpang Cibuluh Cidaun Cianjur Selatan.

1 1 46

Model Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Jember

0 2 5

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 2 14

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 1 11