VII. HUBUNGAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA DENGAN PARTISIPASI DALAM PELESTARIAN HUTAN
7.1 Struktur Pendapatan Rumahtangga
Secara teoritis, kebutuhan hidup anggota rumahtangga dapat dipenuhi melalui dua sumber pendapatan, yaitu dari pencurahan tenaga kerja
labour income dan dari luar pencurahan tenaga kerja non labour income. Pendapatan
yang bersumber dari pencurahan tenaga kerja berasal dari pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan; sementara yang bersumber dari luar pencurahan tenaga
kerja berasal dari transfer income dan property income
Struktur pendapatanpenghasilan rumahtangga seperti yang disajikan pada Tabel 22 mencerminkan bahwa masyarakat yang berdomisili di kawasan
TNGR pada umumnya mengandalkan penghasilan rumahtangga dari hasil pencurahan tenaga kerja
labour income. Hanya 6 orang 4 dari 150 orang responden memiliki penghasilan dari luar curahan waktu kerja, yaitu kiriman
anggota keluarga yang menjadi TKI ke luar negeri. Rata-rata besarnya penghasilan rumahtangga di kawasan TNGR sebesar Rp 507 839,- per bulan
dimana lebih dari 30-nya bersumber dari hasil hutan tidak termasuk hasil HKm. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat ketergantungan ekonomi
masyarakat akan hasil hutan secara relatif masih cukup tinggi. Lebih lanjut khusus bagi masyarakat yang berinteraksi dengan TNGR, sebanyak 48,69
penghasilan keluarga bersumber dari hasil hutan. Pendapatan inilah yang harus dikompensasi dengan menciptakan alternatif kegiatan ekonomi produktif bagi
masyarakat sekitar sehingga mereka tidak lagi melakukan pengambilan hasil hutan terutama hasil hutan kayu. Bahkan dari 150 orang responden, terdapat 9
orang 6 diantaranya tidak memiliki sumber penghasilan selain dari hasil hutan. Mereka hanya mengandalkan penghasilan dari kegiatan mengekstraksi
hasil hutan berupa kayu, madu, dan rumput. Sementara itu khusus bagi masyarakat yang memiliki sumber penghasilan dari areal HKm, jenis hasil
produksi yang diperoleh dari lokasi HKm relatif sama dengan hasil kebun milik masyarakat sekitar, yaitu berupa pisang, kopi, kakao, dan berbagai hasil
tanaman semusim.
112 Tabel 22. Struktur dan Rata-rata Nilai Pendapatan Rumahtangga di Kawasan
TNGR Sumber Penghasilan
Nilai Penghasilan Persen
No Rumahtangga
Rpbln 1 Hasil
Hutan a. Hasil hutan kayu HHK
135 627,- 26,70
b. Hasil hutan bukan kayu HHBK 29 233,-
5,76 Total hasil Hutan
164 860,- 32,46
2 Hasil dari
HKm 24
647,- 4,85
3 Luar Kehutanan 308 099,-
60,67 4 Pendapatan Luar CWK
10 233,- 2,02
Total Pendapatan Rumahtangga 507 839,-
100,00 Struktur dan besarnya penghasilan rumahtangga seperti disajikan pada
Tabel 22 memperlihatkan bahwa penghasilan utama bersumber dari luar kehutanan bukan hasil interaksi dengan hutan. Sementara itu penghasilan dari
hutan dominan bersumber dari hasil hutan kayu HHK. Keadaan ini mengisyaratkan bahwa sumber penghasilan yang diandalkan dari hasil hutan
TNGR adalah berupa kayu kayu balok dan kayu bakar. Implikasinya, perlu segera diantisipasi dan dibuat kebijakan yang menciptakan alternatif kegiatan
ekonomi produktif yang dapat mengkompensasi penghailan keluarga yang bersumber dari hutan TNGR.
Kontribusi pendapatan seperti yang disajikan pada Tabel 22 di atas tidak baku dan statis, melainkan sewaktu-waktu berubah. Perubahan dimaksud
terutama sangat tergantung pada ketersediaan lapangan kerja di luar kehutanan. Dikatakan demikian karena penghasilan dari luar kehutanan sangat fluktuatif dan
sebagian besar bersumber dari hasil berburuh tani. Sementara sumber penghasilan yang relatif tetap adalah dari hasil interaksinya dengan hutan. Ketika
lapangan kerja di luar kehutanan tidak tersedia misalnya musim kemarau, maka satu-satunya andalan masyarakat untuk memperoleh penghasilan demi
mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari adalah dari hasil hutan. Ketersediaan lapangan kerja di luar kehutanan umumnya didominasi oleh
kegiatan-kegiatan di bidang pertanian. Karena itu pada musim penghujan, dimana masyarakat sekitar melakukan aktivitas usahatani, banyak membutuhkan
113 tenaga kerja buruh tani sehingga tidak banyak yang melakukan interaksi
dengan hutan; mereka lebih memilih untuk bekerja sebagai buruh tani. Keputusan untuk memilih kegiatan di luar kehutanan merupakan
keputusan yang tepat karena didasarkan pada pertimbangan yang rasional. Pertimbangan pertama, lokasi kegiatan berburuh tani relatif dekat dengan tempat
tinggalnya, sementara untuk pengambilan hasil hutan lokasinya cukup jauh sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak. Pertimbangan kedua, secara
ekonomi hasil yang diperoleh dari kegiatan di luar kehutanan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil kehutanan
opportunity cost tinggi. Sebagai contoh, hasil yang diperoleh setiap kali berinteraksi dengan hutan berkisar antara
Rp 10 000,- sampai Rp 20 000,- per hari belum termasuk biaya, sedangkan ongkos menjadi buruh bangunan berkisar antara Rp 35 000,- sampai Rp 45 000,-
per hari dan buruh tani berkisar antara Rp 10 000,- sampai Rp 15 000,- per hari. Pertimbangan ketiga, pengambilan HHK dihadapkan pada resiko penangkapan
aparatpetugas, sedangkan kegiatan lainnya dapat dilakukan dengan tenang dan aman tanpa resiko.
Dilihat dari struktur penghasilan, sebagian besar 60,67 penghasilan masyarakat bersumber dari luar kehutanan. Hal ini mencerminkan bahwa
perekonomian masyarakat di sekitar TNGR bertumpu pada kegiatan-kegiatan ekonomi di luar kehutanan dan berbasis pertanian. Dalam hal ini adalah kegiatan
pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, buruh tani, buruh lainnya, perdagangan, dan jasa. Kontribusi masing-masing kegiatan terhadap
penerimaan rumahtangga dari luar kehutanan disajikan pada Gambar 13. Dari berbagai sumber penghasilan luar kehutanan seperti ditunjukkan
pada Gambar 13, kontribusi terbesar adalah dari kegiatan buruh tani; akan tetapi peluang kerja ini sifatnya musiman dan biasanya tersedia pada musim hujan
untuk 1 - 2 kali musim tanam sehingga tidak bisa dijadikan andalan mata pencaharian masyarakat sepanjang tahun. Dengan perkataan lain kegiatan ini
tidak memiliki jaminan kepastian dan keberlanjutan hasil karena sangat tergantung pada musim dan aktivitas pertanian usahatani di kawasan sekitar
TNGR. Padahal, dari hasil survei ditemukan 81 rumahtangga responden 54 mengandalkan pendapatanpenghasilan dari kegiatan berburuh tani.
114
Gambar 13. Kontribusi Masing-masing Kegiatan terhadap Penerimaan Rumahtangga dari Luar Kehutanan.
Penghasilan dari luar hutan lainnya bersumber dari jasa transportasi ojek dan jasa yang berkenaan dengan kegiatan ekowisata, yaitu sebagai porter
dan pemandu dalam kegiatan pendakian. Nampaknya kegiatan ini akan terus berkembang seiring dengan pertumbuhan kegiatan ekowisata. Sumber lainnya
adalah dari hasil pertanian dan perkebunan, hanya saja tidak semua masyarakat memilikinya. Dari 150 responden, hanya 59 orang 39,33 yang memiliki lahan
pertanian dan 48 orang 32 memiliki lahan perkebunan. Aktivitas ekonomi lain yang juga banyak digeluti masyarakat di sekitar
kawasan TNGR adalah pemeliharaan sapi. Kegiatan ini selain dilakukan untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga, juga digunakan tenaganya untuk
mengolah lahan pertanian serta dijadikan tabungan yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menutupi keperluan mendesak. Jenis sapi yang dikembangkan
masyarakat sekitar TNGR adalah sapi bali dengan rata-rata jumlah sapi yang dipelihara 1 - 2 ekor. Dari hasil survei ditemukan adanya 29 rumahtangga
19,33 responden yang memiliki pendapatan dari hasil ternak sapi. Lebih lanjut jika jumlah penghasilan ini dikaitkan dengan rata-rata jumlah
anggota keluarga sebesar 4,19 orang, maka pendapatan perkapita masyarakat di kawasan TNGR adalah sebesar Rp 121 299,- per bulan. Nilai pendapatan ini
masih berada dibawah standar garis kemiskinan di pedesaan NTB BPS NTB 2007 sebesar Rp 130 867,- per kapita per bulan.
115
7.2 Struktur Pengeluaran Rumahtangga