V. INTERAKSI MASYARAKAT DENGAN T AMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI TNGR
5.1 Bentuk dan Jenis Interaksi
Interaksi yang dimaksudkan adalah aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani TNGR. Dari hasil wawancara
responden, wawancara mendalam indepth interview dengan informan kunci,
serta hasil Fokus Group Discussion FGD dapat disimpulkan bahwa secara garis
besar interaksi masyarakat dengan TNGR dapat dipilahkan menjadi 3 tiga, yaitu: 1 mengambil memanfaatkan hasil hutan, 2 kegiatan pendakian, dan
3 kegiatan bercocok tanam di kawasan TNGR. Selain dari ketiga bentuk interaksi ini, beberapa orang pemilik ternak sapi khusus di wilayah Resort
Sembalun melakukan penggembalaan liar di kawasan TNGR. Akan tetapi ternaknya dilepas berkeliran di kawasan sekitar tanpa dilakukan pengawasan
dan pengembalaan ini bukan semata-mata ditujukan di kawasan TNGR. Dengan demikian, maka dalam penelitian ini penggembalaan liar di kawasan TNGR tidak
dianalisis dan dibahas secara detail. 1 Kegiatan Mengambil Memanfaatkan Hasil Hutan
Bentuk interaksi masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan TNGR adalah mengambil mengekstraksi hasil hutan, baik di kawasan TNGR maupun
kawasan hutan lainnya. Hasil hutan yang diambil mulai dari hasil-hasil hutan yang tidak diperbolehkan untuk diekstraksi seperti kayu dan perburuan satwa
hingga hasil-hasil hutan yang diijinkan untuk diekstraksi seperti rumput, pakis sayur, madu, serta hasil-hasil hutan bukan kayu lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 150 orang responden yang diwawancarai, sebanyak 138 orang 92 melakukan interaksi dengan hutan.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 60 orang 43,48 diantaranya atau 40 dari total responden melakukan interaksi dengan TNGR. Selebihnya melakukan
interaksi dengan hutan lindung, hutan produksi dan hutan kemasyarakatan HKm. Jenis kegiatan yang dilakukan dalam berinteraksi dengan hutan Tabel
12 adalah mengambil mengekstraksi hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu sayurpakis, madu, berburu, dan rumput.
Dilihat dari jumlah masyarakat yang melakukan interaksi, dapat dikatakan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap Hutan Rinjani relatif tinggi.
Ketergantungan ini juga tercermin dari pemanfaatan hutan sebagai salah satu
87 sumber pendapatan ekonomi rumahtangga dan berbagai keperluan domestik
lainnya seperti sumber kayu bakar, kayu bangunan, sayur, bahkan tempat berusahatani.
Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis dan Lokasi Interaksi
Lokasi Interaksi No
Jenis Interaksi TNGR Luar HKm
Total TNGR
Resp Persen
1. Memanfaatkan Hasil Hutan Kayu HHK a.
Kayu BalokBangunan
1 3
- 4 2,90 b.
Kayu Bakar
50 35 - 85
61,59 c. Kayu Balok dan Kayu Bakar
9 1
- 10
7,25 2. Memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK
a. Hanya HHBK 12
- 12
8,70 b. HHBK HHK
13 12
- 25
18,12 3. Lainnya
27 27 19,57
Total yang berinteraksi 60
51 27
138 100,00
Berkenaan dengan jenis kegiatan interaksi, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar 71,74 masyarakat melakukan pengambilan hasil hutan
kayu HHK, terutama kayu bakar. Lebih lanjut jika ditelaah secara seksama khusus bagi masyarakat yang melakukan interaksi dengan TNGR, seluruhnya
100 melakukan pengambilan hasil hutan kayu HHK. Dari 60 orang yang melakukan interaksi dengan TNGR, 10 orang 16,67 diantaranya melakukan
pengambilan kayu balokbahan bangunan Tabel 12. Artinya, mereka ini setiap saat melakukan penebangan berbagai jenis kayu di kawasan TNGR sehingga
akan berimplikasi terhadap penurunan kelestarian daya dukung kawasan. Di sisi lain adanya rencana kebijakan pemerintah untuk mencabut subsidi
BBM minyak tanah akan mengakibatkan ketidakmampuan masyarakat untuk membeli minyak tanah. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk kembali
menggunakan kayu sebagai sumber utama bahan bakar rumahtangga sehingga pada akhirnya akan memicu penebangan liar
illegal logging termasuk di kawasan TNGR. Sebagai gambaran, hingga tahun 2006 BPS Propinsi NTB
2006, penggunaan kayu sebagai bahan bakar di 37 desa yang berbatasan dengan TNGR masih cukup besar, yaitu 77,26 dari seluruh rumahtangga yang
ada. Dikhawatirkan angka ini akan terus bertambah seiring dengan penerapan kebijakan ini. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan dan antisipasi sejak
dini agar kawasan TNGR tidak terancam kepunahan.
88 Pelaku interaksi dalam sebuah rumahtangga pada umumnya adalah
suami kepala keluarga dan ada juga yang melibatkan istri ibu rumahtangga. Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa kegiatan pengambilan kayu
balokbahan bangunan, berburu binatang danatau burung, serta pencarian madu hanya dilakukan oleh kaum laki-laki kepala keluarga; sedangkan untuk
pengambilan sayur pakis hanya dilakukan oleh kaum perempuan ibu rumahtangga. Sementara itu untuk pengambilan kayu bakar dilakukan baik oleh
laki-laki kepala keluarga maupun perempuan ibu rumahtangga. Dari segi pelaksanaan interaksi, sebanyak 99 orang 66 melakukannya
secara terang-terangan, selebihnya mengakui melakukan interaksi secara sembunyi-sembunyi. Interaksi yang dilakukan secara terang-terangan adalah
pengambilan hasil hutan bukan kayu HHBK serta kegiatan di lokasi HKm luar kawasan TNGR, sedangkan pengambilan hasil hutan kayu HHK terutama kayu
balokbahan bangunan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Adapun inisiatif untuk berinteraksi dengan hutan, diakui sebagian besar responden 51,33 atas
inisiatif sendiri dan 9,33 diajak temantetangga. Dalam pelaksanaannya, kegiatan interaksi dilakukan secara sendiri-
sendiri perorangan dan ada juga yang dilakukan secara berkelompok. Kegiatan yang dilakukan secara perorangan antara lain pengambilan kayu bakar, mencari
madu dan sayur kadang-kadang juga dilakukan secara berkelompok; sedangkan kegiatan yang dilakukan secara kelompok adalah pengambilan kayu
balokkayu bangunan dan berburu binatang. Interaksi kelompok ini dilakukan karena mengalami kesulitan untuk melakukannya sendiri. Dari 150 orang
responden yang diwawancarai, sebanyak 49 orang 32,67 mengaku melakukan interaksi secara sendiri-sendiri, 79 orang 52,67 secara
bekelompok, dan 10 orang 6,67 kombinasi keduanya. 2 Kegiatan Pendakian
Kegiatan pendakian treking ke Puncak Rinjani danatau Danau Segara
Anak tidak hanya dilakukan masyarakat sekitar kawasan TNGR, melainkan juga masyarakat yang datang dari berbagai penjuru baik dari dalam maupun dari luar
Pulau Lombok, bahkan yang lebih banyak adalah dari mancanegara. Kegiatan pendakian ini berlangsung sepanjang tahun terutama sekali musim kemarau,
kecuali ada badai atau cuaca tidak memungkinkan sehingga membahayakan para pendaki.
89 Interaksi yang dilakukan masyarakat dengan kawasan TNGR berupa
pendakian ini jarang dilakukan, bahkan hanya orang-orang tertentu saja yang melakukannya. Kegiatan ini dilakukan bukan karena motif ekonomi, melainkan
sekedar untuk mandi berendam pada kolam air panas yang terdapat di sekitar Danau Segara Anak atau di kolam pemandian air panas lainnya di kawasan
TNGR yaitu antara lain adalah Aik Kalaq di hulu Kali Putih ± 100 m dari Segara
Anak, Goa Susu, Goa Taman, Goa Payung dan Sebau. Kegiatan ini diyakini
dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit kulit karena mengandung belerang. Di kaki Gunung Baru di tengah danau terdapat mata air yang bisa
digunakan untuk menguji benda pusaka. Disamping itu ada juga yang bertujuan hanya sekedar untuk memancing di Danau Segara Anak.
Secara umum karena kegiatan pendakian bukan bermotif ekonomi, maka kegiatan ini tidak terlalu menghawatirkan terhadap kerusakan vegetasi TNGR.
Kecuali itu, yang perlu diantisipasi adalah masalah kebersihan dan pengambilan ranting-ranting kayu kering untuk memasak para pendaki. Justru
berkembangnya kegiatan wisata pendakian treking memberikan efek ganda
multiplier bagi tumbuh dan berkembangnya sektor-sektor lainnya sehingga membuka peluang bagi pengembangan ekonomi lokal. Peluang usaha ini
menjanjikan dilihat dari jumlah pendaki yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu seperti ditunjukkan pada Gambar 12.
Gambar 12. Perkembangan Jumlah Pendaki ke Danau Segara Anak danatau Puncak Rinjani melalui Jalur Pendakian Resmi Sembalun dan Senaru
Sumber: Hasil Registrasi Rinjani Trek Management Board,
2004-2007
90 Bagi setiap pendaki yang melalui jalur pendakian resmi Sembalun dan
Senaru diharuskan membayar karcis masuk pendakian. Besarnya harga tiket Tabel 13 memasuki kawasan TNGR untuk kegiatan pendakian
trekking dibedakan antara pendaki lokal dengan pendaki dari luar dan karcis masuk ini
dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Tabel 13. Perkembangan Harga Tiket untuk Pendakian di TNGR
Harga Tiket WisatawanPendaki Rp No Uraian
Lokal Asing 1.
2003 - 2006 1 000,-
25 000,- 2.
Juni 2006 3 000,-
50 000,- 3.
1 April 2008 5 000,-
100 000,- Sumber: Koperasi Sinar Rinjani, Sembalun 2008.
Berkenaan dengan harga tiket masuk pendakian; jika diasumsikan jumlah pendaki tetap seperti tahun 2007, maka dapat diperkirakan penghasilan dari
karcis masuk pendakian sebesar Rp 413 185 000,- per tahun, yaitu sebesar Rp 403 200 000,- dari pendaki luar dan Rp 9 985 000,- dari penduduk pendaki
lokal. Akan tetapi penghasilan dari para pendaki lokal tidak dapat diprediksi karena banyak yang tidak mau membayar dengan alasan merupakan milik
bersama dan dari dulu tidak pernah membayar setiap mau melakukan pendakian. Selain itu para pendaki lokal, banyak yang melakukan pendakian
melalui jalur-jalur pendakian tidak resmi dan biasanya mencari jalan pintas yang lebih dekat.
Besarnya tarif masuk kawasan TNGR ini merupakan hasil kesepakatan antara Balai TNGR sebagai badan pengelola kawasan,
Rinjani Trek Management Board RTMB sebagai badan pengelola trekking Rinjani, serta
Koperasi dan Agen Pendakian sebagai pelaksana di lapangan. Dana yang diperoleh dari tarif masuk ini selanjutnya didistribusi secara proporsional
sebagaimana disajikan pada Tabel 14 berikut.
91 Tabel 14. Alokasi PenggunaanDistribusi Dana Tiket Pendakian TNGR
No Nilai Tiket
Rp DistribusiAlokasi Keterangan
A. Tiket wisatawanpendaki luar asing: 1. 25.000,-
- Rp 15.000,- untuk TNGR - 40 untuk pemda kabupaten - 30 untuk pemda propinsi
- 15 untuk Kas Neg PNBP - 15 untuk dana konservasi
- 7.500,- untuk koperasi - 2.500,- untuk desa
2. 50.000,- - 25.000,- untuk TNGR
- 80 untuk TNGR PNBP - 20 untuk dana konservasi
- 7.500,- untuk koperasi - 15.000,- dana emergency Disimpan di Koperasi
- 2.500,- untuk desa 3. 100.000,-
- 50.000,- untuk TNGR Distribusi seperti No 2
- 50.000,- untuk RTMB Operasional RTMB tidak ada
lagi penyandang dana B. Tiket wisatawanpendaki lokal:
5.000 - 1.000,- untuk koperasi
- 1.000,- untuk emergency - 3.000,- untuk desa dan - 70 untuk desa ybs.
konservasi - 30 untuk desa tetangga
Sumber: Koperasi Sinar Rinjani, Sembalun 2008.
Ket.: PNBP = Penerimaan Negara Bukan Pajak
3 Kegiatan Bercocok Tanam di Kawasan TNGR Kegiatan bercocok tanam dilakukan pada zona pemanfaatan intensif di
wilayah Resort Joben, dan sebagian Resort Kembang Kuning. Pemanfaatan kawasan TNGR oleh masyarakat ini atas ijin resmi dari Balai TNGR melalui
program “Jalur Hijau” dengan lebar ± 20 m di sepanjang pinggir kawasan TNGR yang berbatasan langsung dengan tanah milik masyarakat. Tujuan utamanya
adalah untuk meredam masyarakat agar tidak merambah dan melakukan penebangan liar
illegal logging di kawasan TNGR terutama dalam menghadapi krisis ekonomi pada akhir dekade 90-an.
Kegiatan ini dimulai Tahun Anggaran 19992000, yaitu memberikan hak kelola kepada masyarakat yang berada di pinggir kawasan dengan luas areal
pengelolaan untuk setiap orang rata-rata sepanjang 50 m dan lebar 20 m dari pinggir kawasan. Jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini sekitar 200
92 orang dimana penentuan kelompok sasaran ditetapkan secara musyawarah yang
difasilitasi oleh kepala desa setempat. Jenis tanaman yang boleh dikembangkan di tempat ini adalah tanaman endemik lokasi, yaitu berupa buah-buahan seperti
durian dan nangka serta di bawah tegakan bisa dikembangkan rumput gajah, empon-empon, danatau tanaman semusim lainnya dengan catatan tidak boleh
melakukan pengolahanpembongkaran tanah agar tidak terjadi gangguan terhadap ekosistem di wilayah yang bersangkutan.
Hasil pengamatan petugas di lapangan menunjukkan bahwa program jalur hijau ini dapat meredam gangguan terhadap TNGR. Akan tetapi setelah
dilakukan monitoring dan evaluasi, ditemukan adanya penyimpangan terhadap jenis komoditi yang dikembangkan. Beberapa diantaranya mengembangkan
tanaman kopi dan vanili, dimana kedua jenis tanaman ini tidak dianjurkan untuk dikembangkan di kawasan ini dengan alasan bukan endemik lokasikawasan.
Selain diperbolehkan menanam beberapa jenis buah-buahan danatau tanaman endemik lainnya, masyarakat yang diberi hak kelola diharuskan
menanam pohon kayu-kayuan danatau memelihara pohon kayu yang telah ada sebelumnya. Namun dalam kenyataannya ada keengganan masyarakat untuk
menanam dan mengembangkan kayu-kayuan dengan alasan tidak boleh ditebang atau dijual sehingga tidak ada manfaat ekonomi yang diperoleh.
Kenyataan ini mencerminkan sikap dan perilaku masyarakat yang selalu berorientasi manfaat ekonomi jangka pendek. Saat ini masyarakat tidak
diperkenankan lagi mengusahakan jalur hijau; tetapi mereka masih diperbolehkan mengambil hasil tanaman yang telah dikembangkan sebelumnya.
Selain di jalur hijau TNGR yang dilakukan secara resmi, sekitar 20 orang anggota masyarakat Dusun Lelongken dan Kampung Bali, Desa Sajang
Resort Sembalun melakukan kegiatan bercocok tanam secara tidak resmi penyerobotan kawasan sebagaimana telah dijelaskan sebelumya. Banyak
faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, antara lain: ketidakjelasan batas kawasan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, kesadaran dan
kejujuran masyarakat, serta responsibilitas masyarakat untuk memanfaatkan peluang yang menguntungkan dirinya. Karena itu diperlukan penyadaran
komprehensif baik aspek hukum maupun lingkungan bagi masyarakat sekitar agar turut menjaga keutuhan kawasan dan biofisik TNGR.
93
5.2 Frekwensi Interaksi