Latar Belakang LUKI KARUNIA

1 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan sustainable development yang dilakukan secara berencana dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah telah membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan dalam bidang perencanaan pembangunan sejak masa pembangunan. Tujuan dari setiap program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah dalam rangka untuk mencapai perubahan-perubahan ke arah yang positif. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya hal tersebut merupakan fenomena yang tidak sederhana karena terjadi interaksi antara faktor alam, sosial, ekonomi dan politik. Daerah-daerah dengan sumber daya yang relatif sedikit, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya biasanya memiliki pertumbuhan ekomomi yang cenderung lebih lambat bila dibandingkan dengan daerah-daerah yang memiliki sumber daya yang kaya dan beragam. Salah satu sumber ekonomi yang diharapkan dapat menolong bangsa ini keluar dari krisis ekonomi dan menghantarkan menjadi bangsa yang maju, adil dan makmur adalah sektor kelautan dan perikanan, seperti terlihat jelas selama masa krisis antara tahun 1997 sampai dengan 1999. Fakta menunjukkan selama krisis ada tiga permasalahan mendasar, yaitu 1 kurangnya sembilan bahan pokok dipasaran, 2 menurunnya kesempatan kerja yang mengakibatkan banyaknya proses PHK dan 3 menurunnya perolehan devisa. Ketiga permasalahan besar tersebut ternyata tidak terjadi pada sektor perikanan yang dibuktikan selama masa krisis ini, sektor perikanan masih menikmati pertumbuhan positif. Hal ini menunjukkan sektor perikanan sebenarnya merupakan sektor yang dapat diandalkan oleh bangsa Indonesia. Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya perikanan laut besar dan beragam dikarenakan total luas laut Indonesia adalah 5,8 juta km 2 . Menurut Aziz et al. 1998 potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia 2 adalah sebesar 6,18 juta ton per tahun, ikan demersal 1,78 juta ton per tahun, ikan karang konsumsi 75 ribu ton, udang penaid 74 ribu ton, lobster 4,80 ribu ton dan cumi-cumi 28,25 ribu ton. Melihat potensi yang sedemikian besar dan peran yang masih dapat diandalkan pada masa-masa yang akan datang, sektor perikanan ini sudah selayaknya diperhatikan. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan, khusunya sub sektor perikanan bertujuan diantaranya untuk: meningkatkan pendapatan nelayan, meningkatkan ketahanan pangan, meningkatkan produk- produk perikanan yang berdaya saing tinggi dan meningkatkan lapangan pekerjaan. Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan, serta untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya. Tujuan tersebut dewasa ini diperluas cakupannya, sehingga tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan, tetapi juga untuk meningkatkan konstribusi Sub Sektor Perikanan Tangkap terhadap perekonomian nasional, utamanya guna membantu mengatasi krisis ekonomi, baik dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa melalui ekspor, maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP Manggabarani 2005. Oleh karena itu pembangunan perikanan tangkap Indonesia dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang begitu besar seperti disebutkan diatas seharusnya dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional Indonesia, terutama terhadap tiga komponen penting pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, dan penurunan tingkat kemiskinan. Akan tetapi hal tersebut belum dapat dibuktikan oleh sektor perikanan terutama perikanan tangkap di Indonesia. Sebagai gambaran Departemen Kelautan dan Perikanan 2004 melaporkan, bahwa berdasarkan data Lembaga SMERU dan BPS tahun 2004, dari 8.090 desa pesisir di Indonesia yang notabene nya adalah masyarakat nelayan sebanyak 3,91 juta KK 16,42 juta jiwa penduduknya termasuk ke dalam peduduk miskin dengan Poverty Headcount Index PHI sebesar 0,32. 3 Paham kesejahteraan welfare sejalan dengan terma keadilan equality seperti dijelaskan Amartya Sen 1995 terkait penting dengan mengapa keadilan merupakan poin penting dalam peningkatan kesejahteraan dan keadilan terhadap apayang dimaksud dalam peningkatan kesejahteraan ini. Dua pertanyaan ini memang berbeda tetapi sebenarnya dua hal tersebut terkait satu sama lainnnya. Sen menyatakan bahwa kritik atau evaluasi terhadap suatu ketidakadilan tidak dapat dilakukan apabila kita tidak mengetahui secara tepat tentang apa yang dimaksud dengan ketidakadilan itu. Kritik terhadap keadilan lebih menyangkut pertanyaan kedua, yaitu keadilan terhadap apa. Misalnya, apakah keadilan terhadap pendapatan income, kekayaan wealths, kesejahteraan welfare, kesempatan opportunities, kesuksesan achievement, kebebasan freedoms dan atau terhadap hak-hak rights. Pendekatan umum yang dilakukan Sen 1995 dalam mengukur kesejahteraan adalah pengukuran atas jumlah orang miskin poverty head count dan secara agregat mengukur proporsi jumlah orang miskin terhadap total penduduk sebagai indeks kemiskinan poverty indexs. Orang miskin itu sendiri dirumuskan sebagai mereka yang pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan below poverty line, yang variasi ukurannya beraneka ragam tetapi orientasi pada dua variabel utama yaitu jumlah uang yang diperoleh atau asupan kalori perhari, artinya semakin besar jumlah penduduk miskin atau indeks kemiskinan semakin tidak sejahteran daerah itu. Pendekatan Sen yang menjadikan pengukuran atas jumlah orang miskin sebagi pengukuran kesejahteraan suatu daerah memberikan fakta bahwa Kabupaten Kepulauan Seribu adalah suatu contoh daerah dimana tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih rendah. Padahal, wilayah ini memiliki potensi dan sumber daya alam laut yang cukup besar. Pada bulan Juli Tahun 2001, Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2001 PP No 552001. Peraturan tersebut, berisi keputusan mengenai Pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta. Dengan demikian, Kepulauan Seribu, yang sebelumnya menjadi salah satu kecamatan di Kota Jakarta Utara, ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten administrasi. 4 Melalui peningkatan status itu, Pemerintah Kabupaten Pemkab Administrasi Kepulauan Seribu diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Begitu juga dengan pengelolaan Kepulauan Seribu dalam segala aspek, antara lain kelestarian lingkungan, konservasi sumberdaya alam, ekonomi, kesejahteraan rakyat dan sosial budaya. Fakta di lapangan menunjukkan hingga enam tahun terbentuk, Kepulauan Seribu masih dihadapkan dengan berbagai keterbatasan sarana dan ketertinggalan pembangunan. Sampai saat ini, dilihat dari sisi sosial ekonomi, kesejahteraan masyarakat Kepulauan Seribu masih sangat rendah, diindikasikan dari 4.920 kepala keluarga masih terdapat 660 keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan atau sekitar 13,5 Soebagio 2005. Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, minimnya sarana dan prasarana serta persebaran penduduk yang tidak merata menjadi kendala yang mengakibatkan semua kelurahan di Kepulauan Seribu termasuk dalam kategori desa tertinggal. Beberapa contoh terbatasnya sarana dan prasarana yang ada di wilayah Kepulauan Seribu, antara lain fasilitas kesehatan dan pendidikan. Tabel 1 dibawah tampak menggambarkan bahwa pada periode 1996-2000 fasilitas kesehatan yang terdapat di wilayah Kepulauan Seribu masih sangat sedikit. Tabel 1. Fasilitas kesehatan di wilayah kepulauan seribu tahun 1996-2000 Fasilitas Kesehatan Tahun Rumah Sakit Rumah Bersalin Poliklinik BKIA Puskesmas Pos KB Posyandu 1 2 3 4 5 6 7 8 1996 - - 1 6 4 10 13 1997 - - 3 4 4 10 10 1998 - - - 4 3 13 6 2000 - - - 4 4 4 22 Sumber: Kota Jakarta Utara Dalam Angka 1996-2000, BPS Seluruh desakelurahan yang ada di wilayah Kepulauan Seribu termasuk dalam kategori desa tertinggal Tabel 2. Kondisi ini terlihat dari nilai indeks komposit seluruh desakelurahan di Kepulauan Seribu yang masih lebih rendah bila dibandingkan dengan indeks komposit ketertinggalan dari desa- desakelurahan lain yang ada di wilayah DKI Jakarta. 5 Tabel 2 Indeks komposit ketertinggalan desa di wilayah kepulauan seribu Kode Kecamatan Kode Desa Indeks Komposit 1 2 3 4 5 020 Kep. Seribu Utara 002 Pulau Harapan 3.0526 010 Kep. Seribu Selatan 002 Pulau Pari 3.1053 010 Kep. Seribu Selatan 001 Pulau Tidung 3.2105 010 Kep. Seribu Selatan 003 Pulau Untung Jawa 3.2632 020 Kep. Seribu Utara 003 Pulau Kelapa 3.2632 020 Kep. Seribu Utara 001 Pulau Panggang 3.3158 Sumber: Publikasi Identifikasi dan Penentuan Desa Tertinggal 2002, BPS. Keterangan: Besarnya angka indeks komposit tersebut masih berada di bawah indeks komposit desakelurahan lain di wilayah DKI Jakarta Indeks ketertingalan desakelurahan untuk desakelurahan kepulauan Seribu sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan desakelurahan lain yang ada di wilayah DKI Jakarta Tabel 3. Tabel 3. Indeks komposit ketertinggalan kelurahan di wilayah DKI Kode Kecamatan Kode Desakelurahan Indeks Komposit 1 2 3 4 5 010 Jagakarsa Selatan 003 Ciganjur 3.8947 030 Cipayung Timur 005 Setu 3.7895 020 Menteng Pusat 003 Cikini 3.8421 050 Tambora Barat 010 Roa Malaka 3.8421 010 Penjaringan Utara 001 Kamal Muara 3.7895 Sumber: Publikasi Identifikasi dan Penentuan Desa Tertinggal 2002, BPS. Keterangan: Besarnya angka indeks komposit terendah beberapa kelurahan yang berada di wilayah DKI Jakarta Pada Tabel 4 dibawah ini digambarkan jumlah rumah tangga miskin dan anggota rumah tangga miskin yang mengalami kenaikan pada tahun 2008. Tabel 4 Perkembangan jumlah RT dan ART miskin kepulauan seribu Tahun Peningkatan NO Kecamatan 2004 2005 RT mis ART mis RT mis ART mis RT mis ART mis 1 2 3 4 5 6 7 8 1 Kep.Seribu Selatan 185 761 386 1.462 108.65 92.12 2 Kep Seribu Utara 267 1.099 656 2.373 145.69 115.92 Total 452 1.860 1.042 3.835 130.53 106.18 Sumber : BPS 2007 6 Seluruh rumah tangga miskin yang berada di wilayah Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu mengalami peningkatan yang sangat signifikan jika dibandingkan antara tahun 2006 dan tahun 2007, yaitu meningkat sebesar 123,89 persen Tabel 4. Sementara itu, apabila ditinjau per kecamatan dapat digambarkan bahwa pada tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara mengalami peningkatan, masing-masing sebesar 96,55 persen dan 142,41 persen jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di kedua kecamatan tersebut pada tahun 2006. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hingga tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang ada di Kabupaten Kepulauan Seribu semakin banyak. Tabel 5 Perbandingan jumlah dan persentase penduduk miskin Jumlah Penduduk Miskin 000 Persentase Penduduk Miskin KabKota 2005 2006 2005 2006 1 2 3 4 5 Kab. Adm. Kepulauan Seribu 3.40 3.20 14.64 16.64 Kota Jakarta Selatan 64.00 76.30 3.36 3.74 Kota Jakarta Timur 71.20 85.10 2.85 3.55 Kota Jakarta Pusat 28.50 43.60 3.17 4.92 Kota Jakarta Barat 57.40 89.50 2.84 4.22 Kota Jakarta Utara 91.70 109.40 6.48 7.58 Prop. DKI Jakarta 316.20 407.10 3.61 4.57 Sumber ; BPS 2007 Begitu pula apabila ditinjau dari segi penduduknya, menurut konsep kemiskinan dari Badan Pusat Statistik BPS disebutkan bahwa yang termasuk dalam kategori penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Meskipun dari segi jumlah penduduk miskin yang berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2007 sedikit mengalami penurunan, akan tetapi bila dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta secara keseluruhan persentase penduduk miskin yang ada di wilayah tersebut mengalami peningkatan 7 sebesar 2,00 persen hingga mencapai angka 16,23 persen dari seluruh jumlah penduduk miskin yang ada di DKI Jakarta Tabel 5. Angka kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu jauh diatas kota-kota lain yang ada di wilayah DKI Jakarta. Angka kemiskinan tersebut merupakan angka yang tertinggi di wilayah DKI Jakarta. Hal ini disebabkan antara lain karena tingkat kesejahteraan mereka yang semakin menurun. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 6 di bawah ini yang menggambarkan tahapan keluarga sejaktera di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2006. Tabel 6. Tahapan keluarga sejahtera Propinsi DKI Jakarta tahun 2006 KabKota PS KS-1 KS-2 KS-3 KS-3+ Jlh 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jakarta Selatan 205 0.06 52.293 15.9 92.234 28.2 133.314 40.7 49.570 15.1 327.616 Jakarta Timur 8.757 1.9 103.086 22.7 156.289 34.5 147.860 32.6 37.331 8.2 453.323 Jakarta Pusat 127 0.07 54.974 31.6 58.286 32.4 48.194 27.7 14.403 8.3 173.984 Jakarta Barat 1.208 0.4 71.006 21.4 115.462 34.7 108.093 32.5 36.554 11.0 332.323 Jakata Utara 11.825 4.2 54.153 19.4 100.003 35.9 87.929 31.6 24.616 8.8 278.526 Kep. Seribu 797 15.3 1.524 29.3 2.270 43.6 556 10.7 65 1.3 5.212 Sumber : BPS 2007 Selain dengan pendekatan rumah tangga dan penduduk, untuk melihat kondisi kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan jumlah keluarga. Menurut BKKBN, berdasarkan pendekatan keluarga tersebut terdapat beberapa tahapan keluarga sejahtera, yaitu keluarga pra sejahtera miskin, keluarga sejahtera 1 KS-1, keluarga sejahtera 2 KS-2, keluarga sejahtera 3 KS-3, dan keluarga sejahtera 3 plus KS-3+. Tabel 6 di atas dapat tampak bahwa berdasarkan tahapan keluarga sejahtera pada tahun 2008 terdapat 782 keluarga miskin pra sejahtera di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, yaitu mencakup sekitar 15,1 persen dari jumlah seluruh keluarga yang terdapat di wilayah tersebut. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di wilayah DKI Jakarta yang rata-rata di bawah 5 . 8 Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dikatakan cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang tepat dalam rangka untuk menanggulangi kemiskinan di wilayah tersebut. Apabila ditinjau dari segi potensinya, dapat diketahui bahwa Kepulauan Seribu memiliki potensi wilayah yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya. Dengan luas wilayah kurang lebih hampir 11 kali luas daratan Jakarta, yaitu luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan Kepulauan Seribu mencapai 6.997,50 km 2 , kondisi ini merupakan salah satu potensi yang menguntungkan bagi daerah tersebut yang dapat digunakan sebagai modal pembangunan daerah setempat apabila mampu dimanfaatkan dengan optimal. Akan tetapi, pada kenyataannya sampai saat ini masyarakat Kepulauan Seribu belum semaju yang dibayangkan bila dibandingkan dengan masyarakat yang ada di wilayah DKI Jakarta lainnya, sehingga hal ini menimbulkan adanya dugaan bahwa sumber daya yang dimiliki belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Kondisi ini mengharuskan pemerintah daerah untuk cermat dalam merumuskan dan menetapkan setiap kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan sektor perikanan tangkap di Kepulauan Seribu. Kebijakan pemerintah dibidang perikanan tangkap yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah misalnya, bisa berakibat kontra produktif terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan bila tidak dirumuskan dengan pertimbangan dan analisa yang komprehensif terhadap potensi, kebutuhan dan karakteristik sosial ekonomi. Fenomena kemiskinan nelayan tersebut juga dikemukanan oleh Fauzi 2005, bahwa sebagian besar nelayan Indonesia, yaitu pelaku perikanan tangkap berskala kecil perikanan pantai masih tergolong masyarakat miskin dengan pendapatan kurang dari US 10 per kapita per bulan. Apabila dikaitkan dengan Tujuan Pembangunan Milineum atau Millenium Development Goals MDGs pendapatan sebesar US 10 per kapita per bulan sudah termasuk ke dalam extreme poverty , karena lebih kecil dari US 1 per hari. Kondisi seperti demikian menggambarkan bahwa potensi sumberdaya kelautan dan perikanan belum dapat 9 dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Kemiskinan, ternyata juga telah menyebabkan rendahnya kapasitas masyarakat pesisir khususnya nelayan. Rendahnya kapasitas masyarakat nelayan, dapat dilihat dari kegiatan ekonomi yang mereka lakukan. Usaha nelayan biasanya bersifat individual, tradisional, dan biasanya hanya terpaku pada kegiatan penangkapan ikan saja, yaitu berupa ikan segar hasil tangkapan. Sedangkan kegiatan pasca-panen yang dapat menghasilkan nilai tambah justru dilakukan oleh pedagang dan pengolah ikan yang mengambil alih tugas-tugas peningkatan nilai tambah melalui perubahan bentuk produk proses pengolahan, perubahan waktu penjualan proses penyimpanan, dan perubahan tempat penjualan proses transportasi. Akibatnya porsi nilai tambah yang didapatkan oleh nelayan relatif kecil. Dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan tadi, sebenarnya pemerintah telah banyak melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan mengentaskan kemiskinan. Berbagai kebijakan pembangunan yang telah dilaksanakan diduga belum mampu menjadi pembangkit kinerja pembangunan perikanan tangkap yang berada di wilayah Kepulauan Seribu. Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka penelitian mengenai kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan dan kaitannya dengan variabel- variabel yang mempengaruhinya penting untuk dilakukan. Penelitian ini berjudul “Analisis Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu”.

1.2 Perumusan Masalah