Pembahasan Umum Model Peningkatan Kesejahteraan Nelayan

155 Tabel 42 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan di Kabupaten Kep. Seribu Faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan Koefisien Nilai t Pengaruh 1. Penguatan kelembagaan X 1 1. Organisasi nelayan 0.599 2.902 Nyata 2. Lembaga keuangan mikro 0.659 2.000 Nyata 3. Lembaga pemerintahan 0.439 2.902 Nyata 2. Pemberdayaan sumberdaya manusia X 2 4. Penyelenggaraan Penyuluhan 0.665 4.806 Nyata 5. Penyelenggaraan Pelatihan 0.669 4.806 Nyata 6. Penyelenggaraan Pendidikan 0.487 4.000 Nyata 3. Kewirausahaan X 3 7. Kepemilikan keterampilan berusaha 0.548 4.620 Nyata 8. Pengalaman berusaha 0.708 4.000 Nyata 9. Niat berusaha 0.753 4.620 Nyata Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM 2008. Tabel 43 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan Kabupaten Kep. Seribu Faktor Penentu X 1 Penguatan Kelembagaan X 2 Pemberdayaan sumberdaya manusia X 3 Kewirausahaan X 1 Penguatan kelembagaan 1,00 0.371 0.551 X 2 Pemberdayaan sumbedaya manusia 0.371 1,00 0.612 X 3 Kewirausahaan 0.551 0.612 1,00 Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM 2008.

5.1.6 Pembahasan Umum

Mengacu pada hasil analisis SEM dapat dibuktikan bahwa variabel penguatan kelembagaan, pemberdayaan SDM dan kewirausahaan berpengaruh positif terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Namun dalam konteks hubungan antara pemberdayaan sumberdaya manusia X2 dengan peningkatan kesejahteraan Y, nilai nilai C.R. critical ratio yang identik dengan nilai t -hitung menunjukkan angka 1.582 lebih rendah dari nilai t table 1.98 dan nilai probabilitas 0,114 0,05, sehingga 156 dapat dikatakan variabel pemberdayaan sumberdaya manusia berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap variabel kesejahteraan nelayan. Artinya, sekalipun Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan sumberdaya manusia, namun hasil implementasi kebijakan tersebut tidak dapat mempercepat pencapaian peningkatan kesejahteraan nelayan secara signifikan. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai komponen menunjukkan bahwa aspek penguatan kelembagaan X1 memiliki pengaruh yang paling besar yaitu 0.398 diikuti oleh kewirausahaan X3 sebesar 0.359, dan pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan X3 sebesar 0.239. Hasil ini sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Arif Satria 2008 yang mengatakan bahwa aspek kelembagaan dalam hal ini adalah segala piranti lembaga keuangan mikro dan kredit usaha rakyat sangat berpengaruh dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di pesisir khususnya nelayan. Aspek penguatan kelembagaan merupakan aspek yang paling penting menurut persepsi nelayan dengan nilai koefisien paling tinggi yaitu 0.398 tabel 43. Berdasarkan tabel diatas tampak kelembagaan keuangan mikro merupakan kelembagaan yang paling penting menurut para nelayan dengan nilai koefisien 0.659 dan secara uji hipotesis valid dan terpercaya. Sebaliknya mereka tidak terlalu menganggap penting keberadaan organisasi nelayan dan lembaga pemerintahan. Para nelayan menganggap adanya LKM dikarenakan kebutuhan mereka terhadap suatu lembaga yang dapat membantu mereka secara langsung mengenai permodalan dan bebas dari sistem ijon. Hal ini dikarenakan sebagian besar nelayan selalu menggunakan tengkulak dengan suku bunga yang relatif tinggi dalam memenuhi kebutuhan modal mereka. Tabel diatas juga menunjukkan bahwa aspek pemberdayaan sumber daya nelayan justru mempunyai peran yang paling kecil, menurut nelayan Kepulauan Seribu sebagai aspek yang mempengaruhi kesejahteraan mereka. Hasil ini menujukkan aspek pemberdayaan SDM tidak mempunyai peran yang lebih penting dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan. Hal ini dikarenakan dalam mencari nafkah sebagai nelayan mereka tidak membutuhkan adanya pemberdayaan yang berupa pendidikan, pelatihan dan penyuluhan Siswanto, 2008. Dari beberapa literatur ditemukan bahwa dari aspek demografi rumah tangga, nelayan memiliki beban ketergantungan yang relatif tinggi dengan indikasi dapat dijelaskan dari tingginya tingkat angka kelahiran dibandingkan dengan rumah tangga 157 lainnya. Kecenderungan ini tentunya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rumah tangga nelayan jauh lebih tinggi. Selanjutnya dalam kesehariannya dalam hal ini anak-anak keluarga nelayan secara lebih dini terlibat dalam pekerjaan nelayan. Hal ini tentu berimplikasi pada kelangsungan pendidikan keluarga nelayan. Dan siklus ini terus berputar, dimana minat untuk meningkatkan kualitas diri terutama melalui pendidikan menjadi sangat minim, karena orang tua maupun anak-anaknya lebih cenderung memikirkan kebutuhan dasar. Tabel 44 diatas menggambarkan keinginan mereka adanya program-program pemberdayaan yang berupa pelatihan dibandingkan penyuluhan atau pendidikan. Menurut persepsi mereka pendidikan tidak berkorelasi kuat terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Hal ini menunjukkan tidak ada korelasi yang cukup signifikan antara tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan nelayan di Kepulauan Seribu. Mereka lebih mementingkan adanya pemberdayaan berupa pelatihan. Hal ini dipahami karena pola pendidikan yang berkembang di Indonesia pada umumnya bersifat vertikal atau satu arah dan tidak dinamis, hal ini bertentangan dengan karakteristik masyarakat nelayan yang lebih cenderung terbuka dan dinamis. Berbeda dengan aspek pelatihan yang lebih bersifat lateral, tidak menggurui tetapi melibatkan langsung nelayan di dalamnya. Dari aspek kewirausahaan menunjukkan konsep Nikijuluw 2005 terbukti dengan hasil nilai kesadaran berusaha merupakan nilai yang paling tinggi pada aspek kewirausahaan. Nikijuluw 2005 mengemukakan bahwa dengan dasar kedua definisi ini, kewirausahaan UKM perikanan dapat diartikan sebagai kemampuan pelaku UKM perikanan dalam memulai dan menjalankan bisnisnya sedemikian rupa melalui langkah-langkah pengambilan resiko untuk mencapai keuntungan dan dalam rangka mengembangkan usahanya secara lebih jauh. Sederhananya, seorang wirausahaan adalah seorang yang pada akhirnya mampu menghasilkan keuntungan atau laba profit melalui usahanya. Bila dia pelaku UKM maka yang bersangkutan memiliki kemampuan, meskipun kecil atau menengah skala usahanya, untuk menjalankan bisnisnya dengan tetap menghasilkan laba di tengah situasi dan kondisi resiko yang melingkupi usahanya. Prijosaksono dan Bawono 2004 yang diacu dalam Nikijuluw 2005 memperkenalkan istilah kecerdasan wirausaha entrepreneurial intelligence yang menurut mereka adalah dasar bagi seseorang, siapapun dia, apakah pelaku UKM atau konglomerat, untuk membangun usahanya. Kecerdasan wirausaha adalah dorongan 158 hati dan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan kreativitas dan kekuatan pribadinya menjadi sebuah usaha atau bisnis yang bisa memberi nilai tambah bagi dirinya. Berdasarkan definisi ini, selanjutnya mereka mengatakan bahwa kecerdasan berwirausaha adalah kemampuan seseorang dalam mengenali dan mengelola diri serta berbagai peluang maupun sumberdaya disekitarnya secara kreatif untuk menciptakan nilai tambah maksimal bagi dirinya secara berkelanjutan.

5.2. Pengembangan Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan