propinsi Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Utara dan Bali, pengadaan benih kurang terealisasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan respon pemda terhadap kebijakan pengadaan benih kurang berhasil karena: 1 bupati atau walikota terkendala
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang menyebutkan proyek yang nilainya
lebih dari Rp 50 juta harus melalui tender, 2 pemahaman aparat pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah terhadap peraturan berbeda, 3 para bupati
atau walikota takut kebijakan pengadaan benih melalui penunjukan langsung terkait dengan persoalan hukum, 4 proses administrasi persetujuan penggunaan
anggaran untuk pengadaan benih belum selesai, dan 5 pemda kurang percaya terhadap keputusan di tingkat pemerintah pusat.
2.5 Penggunaan Pupuk
Inpres yang secara eksplisit memuat tentang diktum penggunaan pupuk berimbang yaitu Inpres No 3 Tahun 2007. Dalam perkembangannya, instrumen
kebijakan penggunaan pupuk berimbang berubah menjadi penggunaan pupuk anorganik dan organik secara seimbang, pada Inpres No 8 Tahun 2008, seperti
ditunjukkan pada Lampiran 4. Inpres tentang Kebijakan Perberasan tidak mencantumkan harga pupuk bersubsidi, tetapi ditetapkan melalui Peraturan
Menteri Pertanian yang dikeluarkan setiap tahun. Berdasarkan perhitungan Kariyasa, Maulana dan Murdianto 2004, maka
Harga Eceran Tertinggi HET pupuk urea pada tahun 2004 adalah Rp 1 130 per kg, sehingga subsidi yang harus disediakan oleh pemerintah untuk melakukan
kebijakan subsidi sebesar Rp 251 per kg. Kebijakan HET dan subsidi pupuk
ini sebaiknya diterapkan untuk semua pasar domestik, mengingat kebutuhan pupuk untuk pasar nonsubsidi perkebunan besar hanya sebesar 7.17 persen
dari kebutuhan total, sehingga diperkirakan tidak berpengaruh banyak terhadap anggaran negara.
Darwis dan Nurmanaf 2004 menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi petani dalam membeli pupuk untuk digunakan pada usahatani
padi. Bagi petani di Jawa Barat, jumlah pupuk yang dibeli dipengaruhi oleh anjuran Penyuluh Pertanian Lapangan PPL, pendapatan dan harga pupuk itu
sendiri. Sedangkan petani di Sulawesi Selatan, dipengaruhi oleh pendapatan dari usahatani, PPL dan harga jual hasil panen.
Menurut Darwis dan Nurmanaf 2004, secara umum pemakaian pupuk Urea, SP36, KCl dan ZA tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan
dengan diterapkanya paket Desember 1998, dimana Kebijakan Desember 1998 melakukan pencabutan subsidi pupuk dan sekaligus pencabutan monopoli
distribusi pupuk. Bagi petani faktor yang mempengaruhi pembelian pupuk adalah PPL berkaitan dengan anjuran pemakaian pupuk berimbang dan
pendapatan usahatani padi yang berkaitan langsung dengan harga jual gabah.
Hanya sedikit petani yang mempermasalahkan harga pupuk yang merupakan dampak langsung penerapan kebijakan subsidi pupuk. Hal ini
diperkuat dengan pemakaian pupuk khusus Urea yang cenderung bertambah, bahkan melebihi rekomendasi pupuk berimbang. Dengan kondisi
seperti ini, disarankan agar pemerintah lebih memfokuskan pada perbaikan efisiensi penggunaan pupuk dan kestabilan harga produk, khususnya harga gabah.
Rachman 2003 menjelaskan adanya pemikiran petani bahwa pupuk urea adalah pupuk utama sedangkan jenis pupuk KCL dan SP-36 hanya bersifat
pelengkap telah menyebabkan tingkat penggunaan pupuk urea berlebih di tingkat petani. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya peningkatan
harga pupuk urea. Umumnya petani menggunakan pupuk urea antara 500 - 700 kg per ha, sebaliknya banyak petani yang tidak menggunakan KCL dan SP-36. Dosis
anjuran penggunaan pupuk urea, KCL dan SP-36 per hektar yaitu, 300: 100 :100. Penggunaan pupuk urea secara berlebih, sementara dosis anjuran penggunaannya
masih belum ada penyelesaian telah menyebabkan petani tidak berproduksi pada tingkat yang optimal.
Hasil penelitian Rachman et al. 2001 dalam Rachman 2003 di 5
propinsi sentra produksi padi ditemukan bahwa secara umum petani membeli pupuk urea, SP-36, KCL, dan ZA lebih mahal, masing-masing 18 persen, 1
persen, 31 persen, dan 19 persen dari harga yang seharusnya dibayar oleh petani. Hal ini mengundang makna bahwa petani belum menikmati kebijakan input yang
diterapkan pemerintah, sebagaimana tercirikan dari laba usahatani yang masih tergolong suboptimal.
Kariyasa dan Yusdja 2005 menjelaskan ada lima kondisi yang menyebabkan pendistribusian pupuk tidak efektif, yaitu Pertama, pemakaian
pupuk urea di tingkat petani melebihi dosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosis pemupukan urea yang dianjurkan pemerintah hanya
sebanyak 250 kg per ha, akan tetapi dalam prakteknya banyak petani menggunakan pupuk jenis ini berkisar 350-500 kg per ha. Kedua, pemilikan
lahan yang sempit 0.3 ha juga menyebabkan penggunaan pupuk kalau
dikonversi ke dalam satu hektar menjadi sangat tinggi. Ketiga, tidak adanya ketepatan dalam menghitung luas pertanaman komoditas pangan padi. Jumlah
rencana kebutuhan pupuk yang ditetapkan Departemen Pertanian yang merupakan usulan Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten secara umum lebih
rendah dari luas pertanaman sesungguhnya, sehingga jumlah permintaan pupuk selalu melebihi dari yang dialokasikan. Keempat, adanya ketidakdisiplinan
petani dalam menentukan pola tanam. Kelima, terjadi penggunaan pupuk di tingkat petani untuk kebutuhan yang bukan bersubsidi. Di daerah pantura,
banyak permintaan pupuk dari petani untuk kebutuhan tambak, bukan merupakan alokasi pupuk bersubsidi.
Tabel 6. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Jumlah Penggunaan Pupuk Pada Persamaan Simultan
No Variabel Penjelas P
2
P
3
P
4
P
6
P
7
P
8
P
9
1 Harga pupuk
Rpkg Rpkg
Rpkg Rpkg
Rpkg Rpkg
Rpkg 2
Rasio harga pupuk dengan gabah
Rpkg 3
Harga gabah petani Rpkg
Rpkg 4
Harga dasar gabah Rpkg
Rpkg 5
Luas areal panen 000 ha
000 ha 000 ha
000 ha 6
Luas areal intensifikasi
Ha 7
Proporsi areal sawah intensifikasi
8 Perubahan luas
areal irigasi Ha
9 Dummy Krisis
ekonomi D
10 Teknologi
T T
T 11
Lag subsidi pupuk Rp
miliar 12 Lag
penggunaan pupuk
Kgha Kgha Kuha Kgha
Kgha Kgha Jumlah
variabel 4 5 3 4 5
4 5 Keterangan : P
2
= Mulyana 1998; P
3
= Sitepu 2002; P
4
= Hutauruk dan Sembiring 2002; P
6
= Sugiyono 2005; P
7
= Sembiring 2007; P
8
= Sembiring et al 2008 dan P
9
= Kusumaningrum 2008
Tabel 6 menunjukkan instrumen kebijakan yang mempengaruhi jumlah penggunaan pupuk antara lain harga dasar gabah Sembiring, 2007; Sembiring et
al. 2008 dan lag subsidi pupuk Sugiyono, 2005. Studi yang memasukkan efek samping kebijakan subsidi sebagai variabel penjelas Mulyana,1998; Sitepu 2002;
Hutauruk dan Sembiring, 2002; Sugiyono, 2005; Sembiring, 2007; Sembiring et al. 2008; dan Kusumaningrum, 2008. Variabel penjelas utama yang
mempengaruhi penggunaan pupuk yaitu harga pupuk, artinya harga pupuk akan mempengaruhi jumlah pupuk yang digunakan oleh petani. Anggaran pemerintah
terhadap subsidi input diwakili oleh variabel penjelas lag subsidi pupuk.
2.6 Produktifitas Padi