Kebijakan Stabilisasi Harga Implementasi Kebijakan Perberasan Tingkat Nasional .1 Kebijakan Perbenihan

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMETRIKA 6.1 Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model Ekonometrika

Lampiran 10 menunjukkan persamaan struktural yang memiliki nilai F statistik antara 1.41 – 10.00 yaitu jumlah permintaan beras, jumlah impor beras, kadar air gabah kering panen, dan luas areal panen, masing-masing 1.41, 3.01, 3.52, dan 4.76. Meskipun nilai F dari persamaan struktural jumlah permintaan beras impor lebih rendah dibandingkan dengan persamaan struktutral lainnya, tetapi ketiga peubah penjelas berbeda nyata dengan nol. Enam persamaan struktural yang memiliki nilai F antara 10 dan lebih kecil dari 100, yaitu penyaluran beras pemerintah, penyaluran beras Rakin, harga beras pembelian pemerintah dari Bulog, jumlah pengadan beras oleh Bulog, indeks diterima petani padi dan harga gabah kering panen masing-masing 12.51, 20.07, 25.81, 31.63, 33.62 dan 65.97. Sedangkan nilai F persamaan struktural lainnya yaitu persamaan struktural produktifitas, penyaluran beras Bulog, harga pupuk NPK, harga beras di pengecer, dan indeks dibayar petani padi, masing-masing 139.66, 140.22, 153.57, 178.32, dan 5872.14 Persamaan struktural yang memiliki nilai koefisien determinan dibawah 0.500 yaitu luas areal panen, kadar air gabah kering panen, penyaluran beras oleh Bulog, jumlah permintaan beras, jumlah beras impor dan penyaluran beras pemerintah, sedangkan sepuluh persamaan struktural lainnya memiliki koefisien determinan diatas 0.500 yaitu produktifitas padi, indeks diterima petani padi,indeks dibayar petani padi, harga pupuk NPK, harga gabah kering panen, harga beras pengecer, penyaluran beras Bulog, penyaluran beras Raskin, jumlah pengadaan beras oleh Bulog dan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog. Nilai VIF peubah penjelas dari kelima belas persamaan struktural memiliki nilai VIF yang lebih rendah dari sepuluh, artinya tidak ditemukan adanya multikolineriti diantara peubah penjelas. Hasil perhitungan dengan statistik Durbin h diperoleh bahwa persamaan struktural indeks diterima petani padi, indeks dibayar petani padi, kadar air gabah kering panen dan penyaluran beras Raskin ditemukan adanya serial korelasi karena nilai Dh lebih besar dari 1.645 pada α satu persen. Persamaan struktural lainnya tidak ditemukan serial korelasi. Sedangkan persamaan jumlah permintaan beras tidak menggunakan peubah bedakala, dengan nilai Dw persamaan struktural jumlah permintaan beras 3.29 yang menunjukkan adanya serial korelasi yang negatif.

6.2 Luas Areal Panen Padi

Koefisien determinasi R 2 sebesar 0.33152, berarti hanya 66.848 persen keragaman dalam variabel luas areal panen yang tidak mampu dijelaskan oleh kelima variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 4.76 berbeda nyata dengan nol pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari persamaan luas areal panen padi secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik perilaku luas areal panen padi. Persamaan luas areal panen dalam studi ini sebelumnya memasukkan HPP terhadap gabah kering panen, dimana HPGP secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil temuan peneliti terdahulu dengan menggunakan harga dasar padi, seperti Hutauruk, 1986; sedangkan Benu, 1996; Hutauruk dan Sembiring, 2002 menemukan bahwa harga dasar gabah menunjukkan hubungan yang positip tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Perubahan peubah penjelas dari HPGP menjadi HGKP ke dalam persamaan luas areal panen menyebabkan hasil yang berbeda dimana HGKP berhubungan negatif dengan LAPT dan secara statistik besaran parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Temuan penelitian ini berbeda dari hasil temuan oleh Mulyana 1998 dan Sugiyono 2005. Meskipun HGKP naik, ternyata luas areal panen berkurang. Kondisi tersebut dibuktikan dengan adanya konversi lahan setiap tahunnya, dimana secara nasional konversi lahan selama periode 1979-1999 mencapai 81 376 ha setiap tahunnya Isa, 2006. Konversi lahan semakin meningkat periode 1999-2002, yaitu sekitar 132 000 ha per tahun Pakpahan et al. 2006. Konversi lahan yang ditunjukkan Dirjen PLA jauh lebih tinggi dibandingkan data sebelumnya, dimana konversi lahan sawah mencapai 187 720 ha setiap tahunnya. Winoto 2005 mengemukakan bahwa dari total lahan sawah beririgasi 7.3 juta ha, hanya sekitar 4.2 juta ha yang dapat dipertahankan fungsinya. Hasil penelitian sebelumnya dengan menggunakan peubah kebijakan HPGP serupa dengan hasil temuan peneliti terdahulu dengan menggunakan harga dasar padi, seperti Hutauruk 1986; sedangkan Benu, 1996; Hutauruk dan Sembiring 2002 menemukan bahwa harga dasar gabah menunjukkan hubungan yang positip tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Luas areal panen padi tidak responsif dengan terhadap gabah kering panen baik jangka pendek maupun jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek - 0.240 dan jangka panjangnya -0.528, artinya kenaikan harga gabah kering panen satu persen menyebabkan penurunan luas areal panen padi 0.240 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 0.528 persen. Jadi peningkatan harga gabah kering panen berdampak kecil terhadap perubahan luas areal panen padi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Temuan penelitian ini dimana luas areal tidak responsif dengan HPGP dalam jangka pendek serupa dengan hasil temuan penelitian Hutauruk, 1986; Hutauruk dan Sembiring, 2002. tetapi hasil yang berbeda dalam jangka panjang, karena respon luas areal panen terhadap HPGP adalah elastis. Kondisi tersebut dapat diinterpretasikan bahwa harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen berpengaruh nyata dan berdampak besar terhadap peningkatan luas areal panen. Studi empiris dengan data tahunan yang dilakukan Mulyana 1998 menunjukkan bahwa harga gabah yang diterima petani berhubungan positip dengan luas areal panen menyebabkan perlu dilakukan respesifikasi model untuk persamaan luas areal, dengan memasukkan variabel eksogen rasio harga gabah kering panen dengan harga pupuk NPK. Rasio harga gabah kering panen dengan harga pupuk NPK berhubungan positif dengan Luas Areal Panen dan parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Luas areal panen padi tidak responsif dengan rasio harga gabah kering panen dengan harga pupuk NPK dengan elastisitas jangka pendek 0.045 dan jangka panjangnya 0.106, artinya kenaikan harga jagung produsen satu persen menyebabkan kenaikan luas areal panen padi 0.045 persen dan dalam jangka panjang 0.106 persen. Jadi peningkatan rasio harga gabah kering panen dengan harga pupuk NPK berdampak kecil terhadap perubahan luas areal panen padi. Harga jagung produsen berhubungan positif dengan luas areal panen dan parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Hubungan positip diantara harga jagung produsen dengan luas areal panen mengindikasikan bahwa trend harga jagung dan psdi searah pada waktu yang sama, artinya kenaikan harga jagung juga diikuti dengan naiknya harga padi. Temuan studi ini berbeda dengan temuan penelitian terdahulu, Hutauruk, 1996 dan Mulyana, 1998 bahwa harga jagung berhubungan negatif dengan luas areal panen dan secara statistik tidak nyata, berbeda dengan temuan penelitian ini. Temuan penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Benu, 1996; Hutauruk dan Sembiring, 2002 menemukan hubungan yang positif dan secara statistik berbeda nyata dengan nol. Tabel 41. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Areal Panen PersamaanPeubah Variabel Koefisien Nilai t ESR ELR Intercept -372.157 -0.47 Rasio Harga GKP dengan Harga Pupuk NPK RGPN 78.65979 0.14 0.045 0.106 Harga Jagung Produsen HJRTR 0.079811 0.41 0.177 0.412 Curah Hujan Rata-rata CHIT 0.859797 0.86 0.146 0.340 Nilai Tukar Petani Padi NTPP 457.7856 0.67E 0.398 0.926 Lag Luas Areal Panen LLAPT 0.569903 4.59A Keterangan: A nyata pada α= satu persen. E nyata pada α= 20 persen; Nilai h=1.905 Luas areal panen padi tidak responsif dengan harga jagung di produsen dengan elastisitas jangka pendek 0.177 dan jangka panjangnya 0.412, artinya kenaikan harga jagung produsen satu persen menyebabkan kenaikan luas areal panen padi 0.177 persen dan dalam jangka panjang 0.412 persen. Jadi peningkatan harga jagung produsen berdampak kecil terhadap perubahan luas areal panen padi. Temuan penelitian ini serupa dengan penelitian terdahulu, dimana luas areal tidak responsif terhadap harga jagung baik dalam jangka pendek dan jangka panjang Hutauruk, 1986; Benu, 1996; Mulyana, 1998; Hutauruk dan Sembiring, 2002; Kusumaningrum, 2008. Penelitian terdahulu oleh Hutauruk 1986 ; Benu 1996; Mulyana1998; dan Kusumaningrum 2008 menemukan bahwa curah hujan berhubungan positip dengan luas areal panen, dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Temuan penelitian ini serupa dengan hasil penelitian terdahulu tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Pengaruh perubahan iklim mempengaruhi luas areal panen, seperti ditunjukkan hasil penelitian Naylor et al. 2002. Hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa dampak El Nino menyebabkan luas areal panen di pulau Jawa dan Indonesia mengalami penurunan, diikuti dengan penurunan produktifitas dan produksi padi. Hasil penelitian tersebut juga mengemukakan bahwa pada tahun El Nino penurunan luas areal panen pada Musim Panen bulan Januari-April lebih besar dibandingkan dengan Musim Panen bulan September-Agustus. Dengan menggunakan data tahun 1983-1998, Naylor et al. 2002 menemukan bahwa perubahan 1 C pada SSTAs the Nino 3.4 sea-surface temperature anomalies menyebabkan penurunan produksi gabah sebesar 1.4 juta ton pada musim panen Agustus-September, lebih besar dibandingkan penurunan produksi pada musim panen Januari-April. Luas areal panen padi tidak responsif dengan curah hujan rata-rata dengan elastisitas jangka pendek 0.146 dan jangka panjangnya 0.340, artinya kenaikan curah hujan rata-rata satu persen menyebabkan kenaikan luas areal panen padi 0.146 persen dan dalam jangka panjang 0.340 persen. Jadi peningkatan curah hujan terhadap gabah kering panen hanya berdampak kecil terhadap perubahan luas areal panen padi. Luas areal panen tidak responsif terhadap curah hujan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada penelitian ini serupa dengan temuan penelitian Hutauruk, 1986; Benu, 1996; Ritonga, 2004; dan Kusumaningrum, 2008 Disamping curah hujan, nilai tukar petani padi juga berhubungan positip dengan luas areal panen tetapi secara statistik besaran parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Meskipun secara statistik tidak nyata, keputusan petani untuk meningkatkan luas areal padi dipengaruhi oleh nilai tukar petani padi, artinya semakin besar nilai tukar petani padi maka luas areal panen padi juga naik. Luas areal panen padi tidak responsif dengan nilai tukar petani padi dengan elastisitas jangka pendek 0.398 dan jangka panjangnya 0.926, artinya kenaikan nilai tukar petani padi satu persen menyebabkan kenaikan luas areal panen padi 0.398 persen dan dalam jangka panjang 0.926 persen. Jadi peningkatan rata-rata hari hujan berdampak kecil terhadap perubahan luas areal panen padi dalam jangka pendek tetapi berdampak besar dalam jangka panjang, karena nilai elastisitas jangka panjangnya mendekati satu. Nilai parameter peubah bedakala luas areal panen bernilai 0.569903 yang mendekati satu dan berbeda nyata dengan nol artinya nilai koefisien penyesuaiannya mendekati satu, yang menyiratkan bahwa ada tenggang waktu yang begitu lambat bagi petani untuk menyesuaikan luas areal panen padi sawah dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi karena dampak kebijakan pemerintah. Nilai parameter peubah bedakala penelitian ini 0.569903 lebih rendah dari nilai parameter peubah bedakala penelitian Mulyana, 1998; Hutauruk, 1996 untuk peubah bedakala luas areal panen di luar pulau Jawa, dan Hutauruk