Pasca Panen TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Metode Analisis Studi Terdahulu

menggunakan VUB, variabel boneka untuk memisahkan elastisitas permintaan pupuk. Rachman 1978 dan Rachman dan Montgomery 1980 telah mengadaptasikan model David 1975 untuk Jawa dan Bali, dengan melakukan penyesuaian dengan memasukkan persentase sawah yang beririgasi teknis dan semi teknis. Widodo 1989 menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas dimana satu dari empat model fungsi produksi tersebut dipengaruhi oleh luas lahan, urea, TSP, kombinasi urea dengan TSP, pestisida, jumlah jam kerja ternak, dan efisiensi teknis index Farrel. Persamaan identitas produksi padi yaitu luas areal panen dikalikan produktifitas padi tonha, sedangkan produksi beras adalah perkalian antara produksi padi dengan suatu angka konversi k sebesar 0.63. Ada juga studi yang menggunakan angka konversi k sebesar 0.65, seperti Hutauruk 1996.

2.8 Pasca Panen

Inpres No 2 Tahun 2005 pada Lampiran 1 secara eksplisit menyebutkan perlunya dukungan kebijakan bagi pengembangan penanganan pasca panen gabahberas guna meningkatkan kualitas dan mengurangi kehilangan hasil. Pemerintah melalui Inpres, yang ditunjukkan pada Lampiran 3 menentukan persyaratan terhadap Harga Dasar gabah dan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering panen dan Gabah Kering Giling. Pranadji dan Hutabarat 1998 mengutip Winarno 1982 mengemukakan bahwa sejak penanaman padi jenis unggul VUTN, High-Yield Variety meluas pada tahun 1970-an, pada panen musim penghujan atau panen raya kebanyakan padi tidak mempunyai kekeringan dan mutu yang cukup untuk disimpan lama. Persentase Kadar Air KA gabah yang dikeringkan oleh Pabrik Penggilingan Kecil PPK, Pabrik Penggilingan Besar PPB dan Koperasi Unit Desa KUD, tergantung pada kepada siapa beras yang dihasilkan tersebut akan dipasarkan. Untuk Dolog Bulog, KA gabah maksimum 14.5 persen, sebelum digiling jadi beras gabah lama dan baru sama saja. Sedang untuk memenuhi pasaran umum, misalnya Pasar Induk Cipinang, cukup dikeringkan hingga KA 16-17 persen. Jika dikeringkan hingga KA 14.5 persen, selain lama dan biaya lebih besar yang dihasilkan dari gabah ber KA 16-17 persen. Apalagi jika berasal dari gabah baru harga akan dapat lebih tinggi lagi. Menurut Pranadji dan Hutabarat 1998, kegiatan pengeringan padi sebagai bagian dari unit bisnis penggilingan padi lebih banyak dikuasai olek PPK Pabrik Penggilingan Kecil, PPB Pabrik Penggilingan Besar dan KUD besar, dan nilai tambahnya tidak jatuh ke petani. Ketiga, koordinasi yang bersifat kelembagaan antara Departemen Pertanian, Perindustrian, Koperasi dan Bulog perlu lebih diserasikan agar memberi iklim yang lebih merangsang bagi perkembangan KUD dan organisasi yang mendukungnya. Keempat, penggunaan jenis teknologi lantai jemur untuk kegiatan pengeringan padi dalam sepuluh tahun mendatang agaknya masih sebagai alternatif teknik termurah dan memenuhi patokan pasaran umum kota besar dan BULOG. Pada musim panen raya atau cenderung bulan Maret – Juni, pengeringan gabah dilakukan dan diarahkan untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh DologBulog. Sebab harga beras yang dibayar Dolog Bulog lebih tinggi daripada pasar umum lokal. Sedang dari panen gadu September–Januari pengeringan dilakukan untuk gabah yang akan dijual ke pasar umum, karena harga di pasaran umumnya lebih tinggi dibanding DologBulog. Hal ini berkaitan erat sekali dengan sistem pemasaran beras, yang umumnya dikuasai oleh kegiatan penggilingan padi. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dalam suatu usaha yang bertujuan demi keuntungan atau komersial, kegiatan pengeringan agaknya sukar dipisahkan dengan penggilingan padi. Sebab, biasanya pedagang tidak langsung mengambil keuntungan dari selisih harga antara harga sebelum pengeringan dan sesudah pengeringan. Keuntungan atau nilai tambah diambil dari hasil setelah gabah digiling dan hasil samping seperti sekam, bekatul, menir dan lain-lain yang berguna sebagai pakan ternak. Kegiatan pengeringan, walaupun penting, hanya merupakan salah satu tahap kegiatan dalam proses penggilingan padi Menurut Azahari 2003 mekanisme pertanian khususnya usaha jasa alsintan telah menjadi kebutuhan dasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan perberasan nasional. Hal tersebut terkait dengan usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi dan efisien usahatani padi serta peningkatan mutu hasil gabahberas. Usaha pelayanan jasa alsintan sudah mulai berkembang terutama di daerah sentra produksi padi, namun dalam operasionalnya di temukan beberapa kendala sehingga perkembangannya sangat lamban dan bahkan kurang memadai bila dilihat dari luas areal dan kebutuhan alsintan Jenis peralatan jasa alsintan atau suku cadang yang dapat disediakan oleh usaha penggilingan padi meliputi: alat pengolahan tanah, alat perontok, alat penyemprot hama tanaman, peralatan panen, peralatan pengering gabah, alsintan penyediaan air irigasi dengan pompa, dan peralatan lainnya yang sudah biasa digunakan oleh unit usaha pelayanan jasa alsintan.

2.9 Harga Gabah