akan diacu ? Kesulitan ini dapat diatasi dengan menetapkan HDPP untuk satu jenis produk gabah saja, yakni Gabah Kering Panen.
Tabel 8. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Harga Gabah Pada Persamaan Simultan
No Variabel Penjelas
P
1
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
P
9
1 Harga Beras
Eceran Rpkg
Rpk g
Rpkg 2
Harga Impor Beras ton
ton Rpkg
3 Harga Dasar
PadiGabah Rpkg Rp
kg Rp
kg Rp
kg Rp
kg Rpkg Rpkg Rpkg
4 Harga Pembelian
Pemerintah Rpkg
5 Nilai Margin
Pemasaran Rpkg Rpk
g Rpkg
6 Produksi Padi
000 ton
000 ton
000 ton
000 ton 000
ton Kg
7 Pengadaan Beras
oleh Bulog 000
ton 8 Trend
Waktu T T T T
9 Lag Harga Gabah
Rpkg Rpk
g Rpk
g Rpkg
Rpkg Rpkg Rpkg Jumlah
Variabel 3 7 5 3 4 3
3 3 5
Keterangan : P
1
= Hutauruk 1996; P
2
= Mulyana 1998; P
3
= Sitepu 2002; P
4
= Hutauruk dan Sembiring 2002; P
5
= Ritonga 2004; P
6
= Sugiyono 2005; P
7
= Sembiring 2007; P
8
= Sembiring et al 2008 dan P
9
= Kusumaningrum 2008
Tabel 8 menunjukkan ada sembilan variavel penjelas yang mempengaruhi harga gabah. Instrumen kebijakan yang mempengaruhi harga gabah yaitu harga
dasar gabah, sedangkan studi Kusumaningrum 2008 menggunakan Harga Pembelian Pemerintah HPP. Kebijakan perberasan dalam Inpres No 2 tahun
2005 dalam diktum keempat disebutkan harga pembelian oleh pemerintah.
2.10 Impor Beras
Dalam Inpres No. 9 Tahun 2002, pemerintah memberikan arahan bagaimana mengatur kebijakan impor beras yang melindungi petani dan
sekaligus melindungi konsumen dalam negeri. Menurut Mardianto dan Ariani 2004, salah satu cara adalah mengatur penetapan tarif impor. Saat ini tarif
impor beras yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar Rp. 430 per kg atau kurang lebih setara dengan 30 persen spesifik tarif saat itu.
Sawit 2005 mengemukakan bahwa tingkat tarif terhadap beras ternyata kurang efektif, karena terjadi penyeludupan beras. Sawit mengutip Tabor et al.
2002 bahwa pada periode 2002-2003, ditaksir tidak kurang dari 50 persen beras masuk Indonesia ke Indonesia melalui pelabuhan, terbanyak melalui selat Malaka
adalah ilegal. Masuknya beras ilegal tersebut menyebabkan harga gabah tingkat produsen di musim panen raya beberapa tahun malah lebih tinggi dari musim
paceklik atau musim panen gadu, akibatnya perdagangan antar pulau dan antar wilayah tidak bergairah, beras dari sentra produsen terhambat mengalir ke wilayah
konsumen, terutama ke perkotaan. Selain melalui penetapan tarif impor beras, pemerintah juga telah
melakukan pengaturan tata laksana impor, yaitu melarang impor beras pada saat panen raya. Melalui SK Menperindag No 9 Tahun 2004 tentang ketentuan
impor beras, telah diatur bahwa impor beras dilarang dalam masa satu bulan sebelum panen raya, pada saat panen raya dan dua bulan setelah panen raya.
Mengingat masa panen raya dapat bergeser karena anomali iklim, sehingga penentuan masa panen raya ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
Kasryno et al. 2001 mengemukakan bahwa mulai tahun 1994 Indonesia kembali menjadi negara importir beras yang besar di pasar internasional. Kondisi
ini antar lain di sebabkan peningkatan produksi beras dalam periode 1990 – 2000 rata-rata 1.3 persen sedangkan laju pertumbuhan permintaan adalah 2.3 persen per
tahun. Sedangkan Sawit 2007, mengemukakan sejak 1990, impor beras Indonesia terus meningkat. Puncak impor beras Indonesia terjadi pada periode
krismon 1998-1999. Kemudian, pemerintah mengeluarkan SK Mendag No. 439 tentang bea masuk, tertanggal 22 September 1998 dimana impor beras
dibebaskan, dengan bea masuk 0 persen. Indonesia mengalami serbuan impor beras pada 1998, 1999, 2002 dan 2003, yang besarannya mencapai masing-masing
84, 78, 42 dan 11 persen. Serbuan impor ini terjadi lebih parah, karena sebagian besar beras impor
itu masuk dalam Musim Panen Raya MPR dan Panen Gadu MPG. Pada periode 1998-99 dan 2000-03, jumlah beras impor yang masuk dalam periode itu
mencapai masing-masing 79 persen dan 77 persen. Ini mendorong secara langsung atau tidak langsung terhadap kekacauan pergerakan harga antar musim.
Harga gabah pada musim panceklik menjadi lebih rendah dari harga gabah di musim panen raya atau panen gadu. Ini juga mendorong terjadi dan meluasnya
kasus kejatuhan harga tingkat petani di bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Serbuan impor telah berdampak negatif terhadap perdagangan antar
musim, menyulitkan pemerintah untuk melindungi petani dari kejatuhan harga di musim panen padi.
Setelah terjadi kebanjiran impor 1998 dan 1999, kekacauan harga baru terjadi mulai 1999. Harga gabah di MPG jauh lebih rendah dari harga MPR Harga
gabah tingkat produsen sebaiknya dianalisa sesuai dengan pola panen padi, karena padi adalah komoditas musiman. Separoh dari luas total areal panen berlangsung
pada Musim Panen Raya, sedangkan pada Musim Panen Gadu mengambil peran 35 persen, dan sisanya 15 persen berlangsung pada Musim Paceklik MP.
Menurut Sawit 2007 apabila tidak ada intervensi pemerintah baik berupa pengamanan HPP maupun pengelolaan impor, maka harga gabah tingkat produsen
pasti akan jatuh di MPR, dan harganya melonjak pada MP. Kejatuhan harga beras di bawah HPP meluas, mencapai 43 persen pada 2003. Pergerakan harga antar
musim menjadi kacau, tidak seperti biasanya. Misalnya harga GKP pada MP atau MPG lebih rendah dari harga MPR. Ini artinya, banyak beras impor masuk pada
masa MPG dan stok itu, menyebabkan over supply sehingga mendorong harga turun di MP. Dengan pergerakan harga seperti itu, akan mengurangi insentif para
pelaku usaha, terutama UKM untuk membeli gabah, menggiling serta menyimpannya. Kejatuhan harga dasar meluas dan besar. Pemerintah kemudian
menetapkan tariff untuk beras Rp 430 per kg atau setara dengan 30 persen ad valorem pada waktu ditetapkan, Januari 2000.
Tabel 9. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Impor Beras Pada Persamaan Simultan
No Variabel Penjelas
P
1
P
2
P
3
P
4
P
6
P
7
P
8
P
9
1 Harga Impor
Beras ton US
kg US kg
Rpkg US
ton US ton
Rpkg 2
Harga Beras Tingkat Pengecer
Rpkg Rpkg Rpkg
Rpkg 3
Produksi Beras Domestik
000 ton
000 ton
000 ton 000 ton
000 ton 000 ton
Kg 4
Permintaan Beras Domestik
000 ton
000 ton 000 ton
5 Nilai Tukar
Rp US
kg Rp US
Rp US 6
Stok Beras Nasional Akhir
Tahun 000
ton 000 ton
000 ton 000 ton
000 ton Kg
7 Lag Stok Beras
Nasional lag
8 Tingkat Bunga
Pinjaman Bulog 9
Kecenderungan Waktu
T T
10 Jumlah Penduduk
Indonesia Juta
Jiwa 000
orang Juta
Jiwa 11 Pendapatan
per Kapita Indonesia
Rp juta
Rp juta
12 PDB Indonesia
Rp milyar
13 Penawaran Agregat
Rp milyar
14 Lag Impor
√ √
√ √
√ √
√ √
Jumlah variabel
6 7 7 4
6 5 8 6
Keterangan : P
1
= Hutauruk 1996; P
2
= Mulyana 1998; P
3
= Sitepu 2002; P
4
= Hutauruk dan Sembiring 2002; P
5
= Ritonga 2004; P
6
= Sugiyono 2005; P
7
= Sembiring 2007; P
8
= Sembiring et al 2008 dan P
9
= Kusumaningrum 2008
Pergerakan harga gabah antar musim terganggu lagi, pada 2002 dan 2003, karena adanya serbuan impor masing-masing sebesar 42 persen dan 11 persen.
Impor beras ternyata banyak masuk dalam bulan-bulan di mana masih panen yaitu di MPG, padahal pada periode itu suplai beras dalam negeri masih tinggi.
Hal ini menyebabkan bertambahnya suplai dan stok berlebih, sehingga telah mendorong harga tertekan di MP. Kasus kejatuhan harga gabah juga meluas
dalam periode itu. Pada waktu itu, kejatuhan harga di MP masing-masing 13 persen dan 42 persen.
Tabel 9 menunjukkan jumlah variabel penjelas yang mempengaruhi impor beras terdapat 14 variabel, tetapi hanya ada satu yang mewakili instrumen
kebijakan yaitu stok beras. Inpres No 9 tahun 2001 merupakan Inpres yang secara exsplist menyebutkan kebijakan perberasan. Sejak dikeluarkannya kebijakan
tersebut per 31 Desember 2001, diktum keempat menyebutkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen.
2.11. Stok Beras