Harga Gabah TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Metode Analisis Studi Terdahulu

2.9 Harga Gabah

Kariyasa 2003 mengutip kajian Kariyasa dan Adnyana bahwa penerimaan dan keuntungan petani padi MT III justru pada umumnya paling tinggi, padahal tingkat produksinya relatif paling rendah dibandingkan pada musim lainnya MT I dan MT II. Kondisi di lapangan ini sejalan dengan teori ekonomi, karena komoditas gabahberas penawarannya bersifat inelastis, dimana penurunan produksi yang terjadi MT III telah mampu memacu kenaikan tingkat harga yang lebih besar dibandingkan dengan penurunan produksi tersebut. Kinerja Harga Dasar Gabah HDG baru yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 1 725 per kg GKG Gabah Kering Giling yang dituangkan dalam Inpres No. 092002 dan mulai efektif berlaku 1 Januari 2003. Penetapan harga dasar baru sebesar Rp 1 725 per kg GKG atau setara dengan Rp 2 730 per kg beras asumsi rendemen dari GKG ke beras 63.2 persen, apakah terlalu tinggi atau rendah amat tergantung pada perkembangan harga beras di pasar internasioal. Dengan kurs rupiah sekitar Rp 8 500 sampai Rp 10 000 maka harga dasar baru tersebut sekitar 51.67 - 78.13 persen lebih tinggi dari harga FOB asumsi harga FOB US 180ton. Fenomena secara umum perubahan harga beras di Indonesia berkaitan erat dengan musim. Harga gabahberas akan cenderung turun pada musim panen raya dan cenderung meningkat pada musim paceklik. Harga beras biasanya mencapai puncaknya bulan Desember-Februari yaitu saat musim paceklik di sentra produksi padi. Harga beras akan mencapai titik terendah pada saat panen raya sekitar bulan Maret-Mei. Dalam periode dua minggu yaitu akhir Desember 2001 dan awal Januari 2002 terjadi lonjakan tajam harga beras di Jakarta sebesar 25 persen yang dinilai tidak wajar atau abnormal, padahal harga beras meningkat karena permintaan yang tinggi saat hari-hari besar atau akibat psikologis pasar peningkatannya antara 2 hingga 3 persen per bulan Deptan, 2002 dan Simatupang, 2002. Menurut Sudaryanto dan Agustian 2003 lonjakan harga yang tajam disebabkan oleh adanya tindakan spekulatif dalam perdagangan beras sebagai upaya meningkatkan rente ekonomi dari harga beras yang tiba-tiba dalam waktu singkat. Munculnya tindakan spekulatif ini dipicu oleh kondisi: 1 menurunnya volume beras yang diperdagangkan karena pada sebagian besar sentra produksi beras telah memasuki musim paceklik, 2 menurunnya pasokan beras ke Pasar Induk Jakarta karena adanya penurunan aktivitas ekonomi pengolahan dan distribusi sehubungan dengan panjangnya masa istirahat berkaitan dengan periode hari raya lebaran, natal dan Tahun Baru dalam periode lebih dari 2 minggu, 3 terjadinya gangguan distribusi akibat banjir di beberapa daerah 4 meningkatkan harga beras di pasar dunia, dan 5 kemungkinan antisipasi para pedagang karena adanya rencana kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, telepon dan kebijakan harga dasar gabahberas yang baru. Simatupang, Murdianto, Kariyasa dan Maulana 2005 menyimpulkan bahwa Harga Pembelian Pemerintah HPP gabah yang ditetapkan melalui Inpres No. 2 Tahun 2005 dapat terlaksana secara efektif dan berjalan relatif stabil. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa fakta berikut ini. Pertama, rata-rata harga GKP dan GKG yang diterima petani lebih tinggi dari HPP. Kedua, harga GKP di tingkat petani stabil pada tingkat harga yang cukup tinggi di atas HPP dan yang lebih penting kenaikan harga GKP lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga GKG. Dengan kata lain, Inpres No. 2 Tahun 2005 mampu meningkatkan pendapatan petani padi, karena dalam kenyataannya sebagian besar petani menjual gabahnya dalam bentuk GKP. Ketiga, semakin menyempitnya perbedaan harga GKP dengan GKG menunjukkan bahwa peningkatan harga gabah tahun 2005 benar-benar dinikmati oleh petani. Simatupang, Murdianto dan Maulana 2005 mengemukakan bahwa penurunan harga gabah petani pada tahun 2004 bersamaan dengan peningkatan cukup tinggi sekitar 25 persen harga beras impor. Seperti halnya harga gabah, harga beras yang dibayar konsumen di pasar domestik juga mengalami penurunan pada tahun 2004. Ini berarti, pada tahun 2004 pasar beras dan gabah domestik tersekat, tidak lagi terintegrasi dengan harga beras dunia. Akar penyebabnya ialah kebijakan pelarangan impor beras yang ditetapkan pemerintah sejak bulan Januari 2004, pada awalnya hanya pada masa panen raya, namun diperpanjang secara bertahap hingga sampai bulan Desember 2004 mendatang. Penurunan harga gabah tahun 2004 merupakan akibat dari perpaduan kesalahan kebijakan pelarangan impor dan melonjaknya produksi gabah domestik. Fakta bahwa harga Gabah Kering Giling GKG kerapkali di bawah Harga Dasar Pembelian Pemerintah HDPP dan harga beras selalu di bawah HDPP walaupun Gabah Kering Panen GKP di atas HDPP merupakan isu penting yang perlu dikaji lebih mendalam karena mengandung implikasi terhadap konstruksi kebijakan HDPP tersebut. Patut diduga HDPP untuk GKG dan beras kurang relevan atau terlalu tinggi terhadap GKP Simatupang, Murdianto dan Maulana, 2005. Pertama, pada umumnya petani menjual gabah dalam bentuk GKP, jarang dalam bentuk GKG dan praktis tidak pernah dalam bentuk beras. Oleh karena itu, HDPP untuk GKG dan beras kurang relevan dijadikan sebagai instrumen penyangga harga gabah petani. HDPP mestinya hanya untuk GKP saja. Harga GKG dan beras dibiarkan bebas berdasarkan kekuatan pasar. Kedua, dapat dipastikan HDPP untuk GKG dan beras relatif terlalu tinggi dibanding untuk GKP. Rasio harga Gabah Kering Giling dengan Gabah Kering Panen berdasarkan harga pasar di tingkat penggilingan adalah 1.16 sedangkan berdasarkan HDPP yang ditetapkan pemerintah 1.40. Rasio harga beras di tingkat konsumen dengan Gabah Kering Panen di tingkat penggilingan adalah 2.15, sedangkan berdasarkan HDPP yang ditetapkan pemerintah adalah 2.27. Hal inilah yang menyebabkan harga GKG dan harga beras dapat berada dibawah HDPP masing- masing, walaupun harga GKP di bawah HDPP-nya Ketiga, penetapan HDPP untuk GKG dan beras yang tidak konsisten, atau tegasnya terlalu tinggi relatif terhadap GKP, sementara transaksi GKG dan beras berdasarkan HDPP praktis hanya antara Bulog dan pengusaha kilang penggilingan padi, maka dapat dipastikan penetapan HDPP untuk GKG dan beras kurang bermanfaat bagi petani, lebih menguntungkan bagi Bulog dan mitra pengusaha kilang padinya, dan merugikan bagi negara. Keempat, penetapan tiga HDPP untuk GKP, GKG, beras yang tidak konsisten dapat menimbulkan kesulitan dalam monitoring dan evaluasi kinerja kebijakan HDPP tersebut. Jika harga GKP yang diterima petani selalu diatas HDPP, sementara GKG dan beras di bawah HDPP masing-masing, lantas apakah dapat disimpulkan kebijakan HDPP efektif atau tidak ? Harga produk mana yang akan diacu ? Kesulitan ini dapat diatasi dengan menetapkan HDPP untuk satu jenis produk gabah saja, yakni Gabah Kering Panen. Tabel 8. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Harga Gabah Pada Persamaan Simultan No Variabel Penjelas P 1 P 2 P 3 P 4 P 5 P 6 P 7 P 8 P 9 1 Harga Beras Eceran Rpkg Rpk g Rpkg 2 Harga Impor Beras ton