Ketahanan Pangan TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Metode Analisis Studi Terdahulu

Pengalaman Bulog yang dianggap sukses dalam melaksanakan stabilisasi harga beras, mendorong Poulton, C et al. 2006 menyarankan model Bulog Indonesia sebagai model untuk melaksanakan stabilisasi harga pangan di Afrika. Bagi Pearson, S.et al. 1997, kebijakan stabilisasi harga yang membutuhkan pembiayaan besar diimplementasikan oleh Bulog. Ellis 1993 mengemukakan bahwa pada musim surplus produksi bulan Februari-Mei, Bulog melakukan pembelian gabahberas sekitar 1.3 juta ton dengan menggunakan kebijakan harga dasar gabah. Disisi lain, Yonekura 2005 melakukan studi tentang tahapan reformasi kelembagaan Bulog menjadi perusahaan publik. Cummings Jr et al. 2006 mempelajari pengalaman negara-negara di Asia tentang stabilisasi harga biji-bijian. Studi tersebut menunjukkan bahwa stabilisasi harga biji-bijian berdampak positip terhadap pertumbuhan sektor pertanian, pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Cummings Jr et al. 2006 menunjukkan dengan data empiris bahwa pengalaman beberapa negara di Asia, khususnya Indonesia, Pakistan, Fhilippina dan India berbeda dalam menghadapi stabilisasi harga biji-bijian. Timmer 2000 memandang bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan dimensi ”makro” dari ketahanan pangan. Smith, L. D 1997 mengemukakan bahwa stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah akan berimplikasi terhadap kestabilan makroekonomi.

2.14 Ketahanan Pangan

Suryana dan Swatika 1997 menyimpulkan konsep ketahanan pangan dari studi terdahulu, seperti Soetrisno 1996, Andersen 1994, Soekirman 1996, dan Sahardjo 1996 sebagai pangan yang harus tersedia dalam kuantitas yang cukup dengan kualitas yang memadai pada waktu dan tepat, serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat 1996 menyebutkan bahwa ketahanan pangan terdiri dari dimensi yaitu ketersediaan availability, akses access dan manfaat utilization. Menurut Simatupang 2007, kerangka pikir yang dianut pemerintah dalam merancang kebijakan ketahanan pangan ialah: 1 harga yang terjangkau dan stabil cukup untuk menjamin bahwa semua konsumen akan dapat memperoleh makanan yang cukup sesuai dengan kebutuhan hidupnya, 2 tingkat harga di konsumen merupakan refleksi dari kecukup-sediaan pangan, 3 stabilisasi harga beras pada tingkat yang terjangkau cukup untuk menjamin ketahanan pangan, 4 produksi domestik merupakan sumber pengadaan yang paling handal untuk menjamin kecukup-sediaan pangan, dan 5 oleh karena itu swasembada pangan merupakan strategi yang paling efektif untuk kebijakan ketahanan pangan dalam jangka panjang. Salah satu permasalahan yang diteliti Rindayati 2009 di propinsi Jawa Barat yaitu peranan pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dalam konteks implementasi desentralisasi fiskal. Kebijakan yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan kinerja perekonomian, peningkatan ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan adalah kombinasi antara peningkatan pengeluaran sektor pertanian, peningkatan dana kesehatan dan pendidikan serta peningkatan harga gabah. Artinya kombinasi kebijakan tersebut akan berdampak pada kinerja fiskal daerah yang semakin baik. Melalui simulasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 20 persen menyebabkan peningkatan pendapatan sektor pertanian sehingga jumlah penduduk miskin menurun. Peningkatan pendapatan dan penurunan jumlah penduduk miskin menyebabkan terjadinya peningkatan rata-rata konsumsi beras, energi dan protein yang merupakan cerminan adanya peningkatan akses pangan dan diversifikasi pangan dari sumber karbohidrat kepada pangan sumber protein. Dengan demikian pengurangan jumlah penduduk miskin dan peningkatan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu, akan berdampak pada kinerja fiskal daerah yang semakin baik karena beban subsidi dari pemerintah berkurang dan pendapatan dari pajak akan meningkat. Baliwati 2001 melakukan studi tentang ketahanan pangan rumah tangga didesa Sukajadi, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor menemukan bahwa sebagai besar 82.0 persen rumah tangga petani berada pada kondisi ketidaktahanan pangan, dengan rincian 51.0 persen rawan pangan dan 31.0 persen sangat rawan pangan. Ketidaktahanan pangan tersebut disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap pangan baik secara fisik maupun ekonomi. Selanjutnya Baliwati 2001 menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai kedudukan yang strategis untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga. Modal sosial yaitu serangkaian nilai, kepercayaan dan jaringan sosial sehingga dapat dilakukan kordinasi dan kerjasama yang bersifat mutualisme untuk memecahkan masalah bersama. Sedangkan kebijakan di bidang pendidikan, perubahan teknologi, pemanfaatan masukan secara lokal dan sarana irigasi memberikan dampak positif dalam jangka panjang sedangkan kebijakan dalam bentuk subsidi memberikan dampak sangat positif dalam jangka pendek. Nurmalina 2007 menyebutkan atribut- atribut yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem ketersediaan beras, yaitu dimensi ekologi: 1 ketersediaan lahan dengan sistem irigasi, 2 produktifitas usahatani, 3 konversi lahan sawah, 4 kesesuaian lahan, dan 5 pencetakan sawah. Dimensi ekonomi: 1 perubahan upah riil buruh tani, 2 jumlah rumah tangga pertanian dengan luas lahan lebih besar dari 0.5 ha, 3 nilai tukar petani, 4 jumlah tenaga kerja pertanian, dan 5 produksi padi. Dimensi sosial budaya: 1 penduduk, 2 pertumbuhan konsumsi per kapta, 3 rumah tangga pertanian yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, 4 persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung, dan 5 perempuan berpendidikan. Dimensi kelembagaan: 1 keberadaan lembaga pemerintah yang terkait dengan benih, 2 keberadaan lembaga keuangan mikro, 3 keberadaan lembaga pemerintah Balai Penelitian Tanaman Pangan dan Hortikultura, dan 4 keberadaan lembaga pemerintah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Dimensi teknologi: 1 mesin pengering gabah, 2 mesin pembersih gabah, 3 pompa air, dan 4 mesin pemberantas jasad pengganggu.

2.15 Simulasi Kebijakan Sastrohoetomo 1984 melakukan lima skenario simulasi kebijakan, yaitu: