Pengaruh Karakteristik Petani Hutan Rakyat terhadap Kinerja Petani
karakteristik petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo direfleksikan oleh indikator-indikator umur, pendidikan formal, dan pengalaman berusaha tani.
Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian di Irlandia yang dilakukan oleh Frawley et al 1975 yang menyatakan bahwa faktor penting yang menentukan
dalam kinerja adalah karakteristik individu dan faktor sosial. Selain itu juga Baugous 2007 yang menyatakan bahwa variabilitas kinerja individu dan langkah-langkah
perbedaan individunya tidak ada hubungannya. Dalam rangka melengkapi pembahasan dideskripsikan juga sebaran
karakteristik individu petani hutan rakyat disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10. Sebaran karakteristik individu petani hutan rakyat Indikator
Sebaran Petani Hutan Rakyat di
Kabupaten Ciamis Kabupaten Purworejo
n n
Umur tahun 24-44
31 31,00
14 28,00
45 - 63 56
56,00 29
58,00 64 - 84
13 13,00
7 14,00
Pendidikan formal tahun
3 -7 64
64,00 39
78,00 8 - 11
24 24,00
8 16,00
12- 16 12
12,00 3
6,00 Pendidikan non
formal jam 0-5
98 98,00
42 84,00
6-10 1
1,00 7
14,00 11-16
1 1,00
1 2,00
Pengalaman berusaha
tani tahun
1-18 40
40,00 30
60,00 19 - 34
50 50,00
13 26,00
35 -52 10
10,00 7
14,00 Pendapatan
Rpbulan 90.000 -
1.059.903 79
79,00 46
92,00 1.059.903
– 2.030.097
18 18,00
4 8,00
2.030.097 –
3.000.000 3
3,00 0,00
Rasio ketergantungan
keluarga 0,7 - 1
57 57,00
26 52,00
0,4 – 0,7
28 28,00
16 32,00
0,1 – 0,4
15 15,00
8 16,00
Umur
Selang umur responden petani hutan rakyat adalah 22 sampai 84 tahun. Rata- rata umur petani hutan rakyat adalah 50 tahun. Berdasarkan uji beda, tidak
terdapat perbedaan nyata indikator umur di Kabupaten Ciamis dan kabupaten Purworejo. Umur petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo yang memiliki umur
diatas 45 tahun hampir 71 persen sedangkan umur petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis mencapai 68 persen. Banyaknya petani hutan rakyat di rata-rata umur 50
tahun menunjukkan bahwa berkaitan dengan usaha hutan rakyat kurang diminati oleh golongan umur muda, hal ini ditandai dengan banyaknya generasi muda yang bekerja
diluar desanya atau bahkan keluar Kabupaten Ciamis dan Purworejo atau bekerja dalam sektor lain yang lebih menjanjikan.
Menurut undang-undang No 13 Tahun 2003, sebaran umur petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis maupun Kabupaten Purworejo masuk kategori angkatan kerja.
Sedangkan berdasarkan usia kerja dibagi juga dalam tiga kategori, yaitu golongan usia muda atau pra dewasa 20-39 tahun, usia dewasa 40-54 tahun, dan yang
berumur 55-65 termasuk golongan tua atau purna. Berdasarkan pembagian tersebut petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo sebagian besar
termasuk dalam usia kerja dewasa. Umur sangat berkaitan dengan kemampuan fisik, cara berfikir, dan merespons
terhadap suatu inovasi dalam menjalankan usahatani hutan rakyat. Petani hutan rakyat yang kebanyakan dari kelompok usia tersebut secara fisik sudah mulai berkurang
kemampuannya, pola pikirnya sudah lebih sulit berubah, serta kurang responsif terhadap inovasi yang ditawarkan. Sehingga fakta ini menunjukkan perlunya strategi
untuk mengantisipasi serta mengembangkan pengelolaan hutan rakyat melalui upaya mendorong cinta desa kepada generasi muda yang akan melanjutkan gerakan
pengelolaan hutan rakyat di masa mendatang. Umur merupakan salah satu indikator karakteristik petani yang memiliki
pengaruh positif tidak nyata terhadap kinerja petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo. Artinya pengaruh umur tidak memiliki kontribusi
yang berarti bagi kinerja petani hutan rakyat. Berapapun umur petani hutan rakyat,
kinerjanya sama. Hal ini disebabkan bahwa sebaran umur petani hutan rakyat relatif sama. Fakta lapangan menunjukkan bahwa petani hutan rakyat yang berumur tua dan
muda saling bekerjasama dalam melakukan aktivitas pengelolaan hutan rakyat, para petani baik yang berusia muda maupun usia tua di kedua kabupaten memiliki
kesamaan tujuan dalam mengelola hutan rakyat, sehingga mereka saling bekerjasama dan berinteraksi agar pengelolaan hutan rakyat yang mereka lakukan dapat berjalan
dengan baik. Dengan demikian bahwa pengaruh umur terhadap kinerja petani hutan rakyat
berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, Robbins 1996 seseorang sangat erat hubungannya dengan kinerja. Alasan yang memperkuat ungkapan ini adalah
produktivitas seseorang akan merosot dengan semakin tuanya seseorang, karena kecepatan, kecekatan, kekuatan, koordinasi merosot dengan perjalanan waktu, selain
faktor kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut dan kurangnya rangsangan intelektual juga akan mengurangi produktivitas.
Penelitian lain, Dahama dan Bhatnagar 1980 mengemukakan bahwa umur mempengaruhi kemampuan petani. Seiring dengan bertambahnya umur, ada
kemampuan yang bertahan atau menetap, ada juga kemampuan yang kemudian menurun kapasitasnya. Kemampuan yang terkait dengan kegiatan mental biasanya
relatif menetap atau bahkan lebih tinggi pada orang usia lebih tua dibandingkan dengan usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan oleh pengalaman hidup dan
kebijakan yang dimiliki. Petani hutan rakyat dengan usia lebih tua memiliki kemampuan mengelola hutan rakyat yang lebih baik dibandingkan dengan petani
yang berusia muda. Dapat dinyatakan bahwa petani hutan rakyat yang lebih tua memiliki pengetahuan, sikap positif, dan keterampilan dan wawasan yang lebih luas
dalam mengelola hutan rakyat dibandingkan dengan petani yang berusia muda. Pendapat lain yang berbeda dengan temuan ini adalah pendapat Salkind 1985
yang menyatakan bahwa umur secara kronologis dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu. Aziz 1995 dan Siahaan 2002 yang
menyimpulkan bahwa umur berkaitan dengan peningkatan pengetahuan masyarakat.
Pendidikan formal Pendidikan formal petani hutan rakyat secara umum 3 sampai 16 tahun. Pada
umumnya petani hutan rakyat umumnya hanya mengenyam pendidikan sampai level Sekolah Dasar SD. Petani hutan rakyat yang mengenyam pendidikan sampai SD di
Kabupaten Purworejo sebanyak 78 persen, sedangkan petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis sebanyak 65 persen. Dengan demikian sebanyak 22 persen petani
di Kabupaten Purworejo yang mengenyam pendidikan sampai lulusan SMP dan lulusan SMA. Sedangkan sebanyak 35 persen petani hutan rakyat di Kabupaten
Ciamis mengenyam pendidikan SMP dan lulusan SMA. Terdapat perbedaan nyata antara pendidikan formal petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten
Purworejo. Pendidikan petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo.
Pendidikan SD merupakan pendidikan jalur formal yang merupakan bagian dari pendidikan nasional yang bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia
seutuhnya sesuai dengan fitrahnya, yaitu pribadi yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, demokratis, menjunjung tinggi hak asasi
manusia, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat,
memiliki kepribadian yang mantap, mandiri, dan kreatif, serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan yang mampu mewujudkan kehidupan bangsa
yang cerdas dan berdaya saing di era global. Banyaknya petani yang berpendidikan SD mengakibatkan rendahnya
kemampuan petani hutan rakyat dalam mengelola hutan rakyat dengan baik karena dampak dari rendahnya pendidikan akan berimplikasi rendahnya respon petani dalam
pengelolaan hutan rakyat dalam menerima inovasi-inovasi dalam teknologi pengembangan hutan rakyat. Rendahnya tingkat pendidikan petani hutan rakyat
menuntut perlunya penyuluhan tentang pentingnya pendidikan formal dalam mengembangkan kehidupan petani hutan rakyat yang lebih baik.
Dengan melihat umur petani yang pada umur rata-rata 50 tahun, hal ini mengindikasikan pada zamannya pendidikan formal belum menjadi sebuah
kebutuhan dalam hidup. Hal ini disebabkan oleh pendidikan yang mahal dan masih terbatas serta jauh dari lingkungan tempat tinggal mereka. Namun saat ini keturunan
anak petani hutan rakyat sudah dengan mudah mengenyam pendidikan dasar 9 tahun yang gratis. Sehingga diharapkan generasi berikutnya dapat dengan mudah membantu
memecahkan permasalahan di bidang kehutanan khususnya dan bidang pertanian pada umumnya.
Pendidikan formal merupakan indikator terpilih dalam variabel laten di Kabupaten Purworejo tidak memiliki pengaruh kinerja petani hutan rakyat. Artinya
apapun pendidikan formalnya kinerja yang dihasilkan oleh petani hutan rakyat sama. Hal ini disebabkan oleh pendidikan formal petani hutan rakyat cenderung homogen
yaitu pendidikan SD sehingga tidak mampu digunakan untuk menjelaskan variabel terikat.
Hasil penelitian ini berbeda dengan Slamet 2003 mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan
–perubahan pada perilaku manusia. Hal senada yang dikemukakan Salam 1997, berpendapat bahwa pendidikan pada
hakekatnya merupakan usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan seseorang dapat melalui atau di luar sekolah dan dapat dialami selama hidup. Dengan
demikian melalui pendidikan, pengetahuan dan keterampilan seseorang akan bertambah, dan dengan pengetahuan yang luas dan pendidikan yang cukup, seseorang
diharapkan mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan produktif. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan sosial budaya masyarakat sehingga pilihan akan
pentingnya pendidikan bagi satu petani akan berbeda dengan petani lain dengan kondisi sosial budaya masyarakat pada tempat yang berbeda.
Pendidikan non formal
Pendidikan non formal yang dimaksudkan disini adalah lamanya petani hutan rakyat dalam mengikuti kegiatan pelatihan yang diselenggarakan baik oleh dinas
kehutanan atau dinas pertanian atau instansi lain. Data menunjukkan bahwa pelatihan yang pernah diikuti tergolong rendah, hanya kisaran 0 - 5 jam. Petani hutan rakyat
yang tidak mengikuti pendidikan non formal yaitu 84 persen untuk petani hutan
rakyat di Kabupaten Purworejo dan 98 persen untuk petani di Kabupaten Ciamis. Terdapat perbedaan nyata antara pendidikan non formal petani hutan rakyat di
Kabupaten Ciamis dengan petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo. Petani di Kabupaten Ciamis lebih sering mengikuti pelatihan karena banyaknya pelatihan yang
ditawarkan oleh berbagai pihak. Pendidikan non formal petani hutan rakyat sudah sesuai konstitusi yang ada
yaitu termasuk dalam pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, sebagaimana dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 26 ayat
1 dijelaskan bahwa pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah
dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Dalam ayat 2 dijelaskan pendidikan non formal berfungsi
mengembangkan potensi peserta didik warga belajar dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian professional. Sementara di ayat 3, disana disebutkan bahwa pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup life skills; pendidikan anak usia
dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan;
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Indikator pendidikan non formal di Kabupaten Ciamis tidak berpengaruh terhadap kinerja petani hutan rakyat. Artinya berapapun banyaknya pelatihan yang
diikuti tetapi kinerja yang dihasilkan petani hutan rakyat relatif sama. Hal ini disebabkan oleh jenis pelatihan yang diikuti petani hutan rakyat tidak semuanya
berhubungan dengan aspek pengelolaan hutan rakyat sehingga akibat minimnya pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat sehingga pengaruh terhadap
kinerja petani hutan rakyat tidak ada peningkatan signifikan. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Ciamis,
pelatihan yang diselenggarakan untuk petani hutan rakyat dalam 1 tahun terakhir mencapai 5 pelatihan. Namun demikian, masih sedikitnya partisipasi petani hutan
rakyat dalam mengikuti pelatihan menjadi salah satu fenomena meskipun pelatihan yang ditawarkan cukup banyak. Selain itu rendahnya pendidikan non formal
disebabkan oleh luasnya daerah bidang tanggungjawab setiap Dinas Kehutanan dan rendahnya kepedulian dari Pemerintah Daerah setempat dalam pelatihan tentang
pengelolaan hutan rakyat akibat minimnya pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dengan demikian sangat diperlukan kesempatan bagi petani hutan
rakyat untuk meningkatkan kemampuan dalam berusahatani melalui kegiatan- kegiatan pelatihan, penyuluhan, dan aktivitas pendidikan non-formal yang lainnya.
Hal ini sangat disadari bahwa pendidikan non formal bagi petani hutan rakyat sangat penting dan menjadi dasar utama untuk kemajuan petani hutan rakyat dalam
mengembangkan pengelolaan hutan rakyat. Hal ini mendorong perlunya ditingkatkan kuantitas dan kualitas pelaksanaan kegiatan pelatihan tentang pengelolaan hutan
rakyat baik dimulai dari aspek pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, penanganan hama dan penyakit, penebangan, pengolahan dan
pemasaran.
Pengalaman berusaha tani
Pengalaman responden petani hutan rakyat dalam mengelola hutan rakyat sangat bervariasi. Petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis rata-rata pengalaman
usaha hutan rakyatnya mencapai 20 tahun, di Kabupaten Purworejo mencapai 18 tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengalaman petani hutan rakyat dalam
mengelola usahatani hutan rakyat sudah cukup lama. Dengan demikian karena lamanya pengalaman tersebut mengakibatkan terbentuknya pengetahuan yang
berakumulasi tentang pengelolaan hutan rakyat. Berdasarkan hasil uji beda tidak ada perbedaan antara pengalaman berusaha tani petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis
dan Kabupaten Purworejo. Indikator pengalaman berusaha tani petani hutan rakyat di Kabupaten
Purworejo tidak berpengaruh terhadap kinerja petani hutan rakyat. Artinya bahwa lama tidaknya berusaha tani memberikan hasil yang sama dalam kinerja petani hutan
rakyat. Hal ini disebabkan karena pengetahuan yang dimiliki petani karena dari
pengetahuan yang berasal dari orang tua mereka yang sudah ada secara turun temurun, sehingga hal ini tidak banyak memberikan pengaruh dengan perbedaan
lamanya waktu untuk pengalaman berusaha tani. Selama menjalankan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan secara
tradisional, pada umumnya petani hutan rakyat kurang dalam melakukan intensitas dan diversifikasi usahatani hutan rakyatnya. Kebanyakan usahatani hutan rakyat
belum banyak melakukan pilihan atas komoditas-komoditas selain yang selama ini dilakukan secara turun-menurun. Berbagai alasan yang dikemukakan atas pilihan
komoditas yang selama ini ditanam antara lain: adanya kesesuaian dengan lahan, secara ekonomi menguntungkan, untuk memenuhi kebutuhan pangan, mudah dalam
budidayanya,dan sebagainya. Kurang inovatifnya petani hutan rakyat juga disebabkan oleh keterbatasan akses modal yang menyebabkan petani tidak bebas dalam memilih
komoditas antara lain: keterbatasan ketersediaan air, pengaruh cuaca, keterbatasan pengetahuan terhadap komoditas yang diinginkan.
Hasil penelitian ini yaitu tentang pengaruh pengalaman berusaha tani terhadap kinerja petani hutan rakyat berbeda dengan penelitian Sarwono 2002 menjelaskan
bahwa pengalaman memiliki pengaruh terhadap perilaku individu. Artinya bahwa apa yang telah dialami individu akan menjadi bekal dalam
membentuk dan memberikan kontribusi psikologis bagi seseorang untuk merespons berbagai stimulus yang datang padanya. Semakin berpengalaman petani
hutan rakyat maka petani hutan rakyat akan memiliki pengetahuan usahatani hutan rakyat yang cukup banyak.
Hasil ini juga berbeda dengan Padmowihardjo 1999 bahwa pengalaman merupakan suatu hasil proses belajar dan memiliki pengaruh terhadap perilaku
individu yang akan menjadi bekal dalam membentuk dan memberikan kontribusi psikologis bagi seseorang untuk merespons berbagai permasalahan yang
dihadapinya. Selanjutnya Sumarlan 2012 menyatakan bahwa panjangnya pengalaman bertani menyebabkan petani dapat melihat dengan cermat dan teliti
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan pertanian.
Pendapatan
Pendapatan responden petani hutan rakyat di lokasi penelitian per bulan berada dalam kisaran Rp. 90. 000 - Rp. 3.000.000 per bulan. Sumber pendapatan berasal dari
pertanian, berupa sawah, kebun, ladang dan ada juga dari dagang. Petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo hampir 92 persen memiliki pendapatan yang rendah,
sedangkan responden petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis hampir 80 persen juga memiliki pendapatan yang rendah. Sebanyak 8 persen responden petani hutan
rakyat di Kabupaten Purworejo memiliki pendapatan yang sedang dan 18 persen responden petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis juga memiliki pendapatan yang
sedang. Berdasarkan hasil uji beda terdapat perbedaan nyata antara pendapatan petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo.
Perbedaan tingkat pendapatan ini dipengaruhi oleh aksesibilitas dan tingkat kosmopolitan dari petani hutan rakyat. Petani di Ciamis cenderung lebih aktif
berhubungan dengan orang luar dibandingkan dengan petani hutan rakyat di Purworejo. Sehingga hal ini berpengaruh terhadap pola usaha yang dilakukan yang
pada akhirnya akan berhubungan pola pendapatan setiap keluarga. Berdasarkan indikator kemiskinan sayogyo, tingkat kemiskinan didasarkan
pada jumlah pendapatan per kapita per tahun yang disetarakan nilai tukar beras, yaitu kelompok miskin bila pendapatannya hanya setara dengan nilai tukar beras sebesar
360 kg sampai dengan 480 kg per kapitatahun. Berdasarkan data tersebut dengan asumsi harga beras Rp.5000 per kg maka jumlah petani hutan rakyat miskin di
Kabupaten Ciamis mencapai 51 persen dan di Kabupaten Purworejo mencapai 68 persen. Hal ini juga sejalan dengan standar menurut BPS 2008 yaitu karakteristik
rumah tangga miskin di Indonesia dikelompokkan dalam bidang sosial demografi, pendidikan, ketenagakerjaan dan perumahan.
Indikator pendapatan di Kabupaten Ciamis tidak berpengaruh terhadap kinerja petani hutan rakyat. Artinya berapapun pendapatan petani hutan rakyat, kinerjanya
tetap sama. Hal ini menunjukkan bahwa petani hutan rakyat masih menjadikan usaha tani hutan rakyat sebagai usaha sampingan saja. Selain itu disebabkan oleh masih
adanya peluang usaha sektor lain yang lebih menjanjikan, misalnya adanya usaha
ternak ayam dan ikan. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Sumarlan 2012 rendahnya
pendapatan petani disebabkan oleh petani kurang menguasai jalur pemasaran, komoditas yang ditanam kurang sesuai dengan permintaan pasar, petani tidak menjual
hasil tani dengan berkelompok, petani menjual hasil panen dalam bentuk mentah, penyuluh kurang aktif memberikan informasi pasar, harga saprodi yang mengalami
kenaikan dan upah tenaga kerja yang cukup tinggi. Masih rendahnya pendapatan petani hutan rakyat mengindikasikan perlunya pemecahan masalah yang senantiasa
turun-temurun. Permasalahannya yaitu di kualitas komoditas yang dijual, volume penjualan dan jalur pemasaran.
Rasio ketergantungan keluarga
Rasio ketergantungan keluarga petani hutan rakyat sebagian besar sebagian tergolong dalam kategori tinggi yaitu 0,1-0,4 dengan rataan 3 orang per keluarga.
Rasio tanggungan keluarga ini menunjukkan beban yang ditunjukkan dengan jumlah anggota keluarga yang harus ditanggung biayanya oleh kepala keluarga petani hutan
rakyat tersebut. Masih banyaknya tanggungan keluarga menunjukkan masih banyaknya anak keturunan petani hutan rakyat. Hal ini disebabkan program Keluarga
Berencana KB di masyarakat pedesaan belum memasyarakat. Rasio ini juga dapat menunjukkan tingkat kemampuan keluarga dalam hal kesejahteraan yang ditunjukkan
dengan pendapatan per kapita. Dari hasil uji beda diatas terlihat bahwa tidak terdapat perbedaaan antara petani Purworejo dan Ciamis dilihat dari indikator rasio
ketergantungan keluarga.