Prinsip, Kriteria dan Indikator Kelestarian Hutan Rakyat

kelestarian hasil dan usaha, meliputi: 1 Kerjasama antar pemilik dalam pengelolaan hutan rakyat, 2 Kepastian pasar, 3 Kemampuan akses pasar, 4 Ketersediaan sistem informasi pasar dan 5 Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat. Kriteria untuk mencapai kelestarian fungsi ekologi dalam rangka kelestarian pengelolaan hutan rakyat untuk keperluan energi adalah tercapainya stabilitas ekosistem. Adapun indikator untuk kriteria ini adalah dampak positif kegiatan kelola produksi terhadap stabilitas ekosistem. Kriteria untuk mencapai kelestarian fungsi sosial dalam rangka kelestarian pengelolaan hutan rakyat untuk keperluan energi, yaitu: 1 Kejelasan sistem tenurial lahan dan pengelolaan hutan rakyat dan 2 Terciptanya kondisi pengembangan ekonomi masyarakat setempat. Adapun indikator untuk kriteria kejelasan sistem tenurial lahan dan pengelolaan hutan rakyat adalah pelaku pengelolaan hutan rakyat baik warga komunitas atau yang lain, dapat menjalankan usahanya sendiri atau bermitra. Indikator untuk kriteria terciptanya kondisi pengembangan ekonomi masyarakat setempat, meliputi: 1 Sumber-sumber ekonomi lain minimal tetap dan tidak terganggu oleh usaha hutan rakyat dan 2 Penerapan teknik-teknik produksi kegiatan pengelolaan hutan maupun pasca panen sejauh mungkin menggunakan tenaga kerja setempat. Selain itu Suhendang 2002 menyatakan bahwa pengelolaan hutan secara lestari adalah pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini tidak boleh mengorbankan daya dukung hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk generasi yang akan datang. Konsep pengelolaan hutan lestari mencakup pemahaman bahwa hutan memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Kelestarian fungsi ekonomi adalah keseluruhan hasil hutan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam melakukan berbagai tindakan ekonomi Suhendang 2002. Hal ini berarti sumberdaya hutan diharapkan memberikan manfaat dan menyokong pendapatan masyarakat serta dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan; 2. Kelestarian fungsi ekologis adalah berbagai bentuk jasa hutan yang diperlukan dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan misalnya untuk mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah, habitat flora dan fauna dan fungsi-fungsi hutan untuk mengendalikan penyakit tanaman pertanian. Artinya sumberdaya hutan diharapkan dapat menopang terciptanya keseimbangan dan kestabilan sehingga hutan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya; 3. Kelestarian fungsi sosial adalah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh hutan yang dapat memenuhi kepentingan umum, terutama bagi masyarakat di sekitar hutan untuk berbagai kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, misalnya penyediaan lapangan pekerjaan, penyediaan kayu bakar, penyediaan lahan untuk bercocok tanam, serta untuk berbagai fungsi yang diperlukan dalam rangka melaksanakan kegiatan pendidikan, pelatihan serta untuk kegiatan budaya dan keagamaan. Fungsi sosial budaya dari hutan adalah dapat menampung tenaga kerja masyarakat dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang mengedepankan aspek keadilan, kesejahteraan dan keberlanjutan Awang et al 2002 menyatakan bahwa kelestarian hutan rakyat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kebutuhan ekonomi masyarakat, pandangan- pandangan, kebutuhan penyelamatan lingkungan, dan sebagainya. Pemanfaatan hutan rakyat yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan lingkungan mengakibatkan hutan rakyat akan lestari. Faktor yang mengakibatkan tidak lestarinya hutan rakyat adalah eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil hutan rakyat. Dalam sistem sertifikasi Lembaga Ekolabel Indonesia, kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari, masing-masing fungsi kelestarian hutan produksi, sosial, dan ekologi mengembangkan kriteria-kriteria untuk penilaiannya masing-masing. Secara keseluruhan, aspek produksi mengembangkan 3 kriteria dan 18 indikator. Aspek sosial mengembangkan 4 kriteria dan 13 indikator. Sedangkan aspek ekologi mengembangkan 2 kriteria dan 6 indikator. Kriteria kelestarian untuk tingkat kesatuan pengelolaan hutan dan contoh indikatornya adalah sebagai berikut ITTO 1992 : 1. Kriteria keamanan sumber, contoh indikatornya yaitu ketetapan kawasan hutan tetap, rencana pengelolaan, kejelasan tata batas, tingkat penebangan, dan perambahan, serta perjanjian masa konsesi hutan. 2. Kriteria keberlanjutan hasil kayu, contoh indikatornya yaitu aturan yang jelas dan resmi tentang pemanenan, produktivitas tanah jangka panjang, inventarisasi tegakan sebelum penebangan, jumlah pohon atau volume pohon yang boleh ditebang per hektar, monitoring tegakan sisa tebangan, pencatatan hasil hutan tahunan, areal produksi yang bersih, dan pencatatan areal tebangan hutan. 3. Kriteria konservasi flora dan fauna, contoh indikatornya yaitu perlindungan ekosistem dalam areal konsesi hutan dan unit pengelolaan, serta tingkat gangguan vegetasi setelah penebangan. 4. Kriteria manfaat sosial ekonomi, contoh indikatornya yaitu jumlah tenaga kerja yang diserap, macam pekerjaan, dan jumlah volume pekerjaan yang dapat dikaitkan dengan pengelolaan hutan. 5. Kriteria pengalaman dalam perencanaan dan pengaturan, contoh indikatornya yaitu konsultasi kemasyarakatan dan rencana pengelolaan hutan dengan memasukkan pemanfaatan hutan secara tradisional. Berdasarkan kriteria dan indikator di atas, maka prinsip kelestarian produksi, ekologi dan sosial menjadi ukuran dalam pengelolaan hutan lestari. Khusus dalam penelitian ini hanya difokuskan pada beberapa kriteria dan indikator yang relevan dengan pengelolaan hutan rakyat. Prinsip kelestarian produksi akan difokuskan pada status lahan, teknik silvikultur dan pengaturan hasil. Prinsip kelestarian ekologi akan difokuskan pada keseimbangan ekosistem. Prinsip kelestarian sosial akan difokuskan pada manfaat ekonomi dan kerjasama antar petani hutan rakyat.

2.2 Kinerja Petani Hutan Rakyat dan Penyuluh Kehutanan

Kinerja merupakan terjemahan dari hasil kerja atau prestasi kerja seseorang dalam suatu organisasi, baik organisasi pemerintah maupun swasta. Kinerja didefinisikan sebagai catatan hasil-hasil yang diperoleh melalui fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama periode waktu tertentu, yaitu berupa kegiatan belajar-mengajar, kegiatan penyuluhan, kegiatan pemasaran dan lain-lain. Gibson 1996 menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang diinginkan dari perilaku dan kinerja individu yang merupakan dasar dari kinerja organisasi. Keberhasilan dari pelaksanaan kinerja organisasi dapat ditentukan melalui penilaian kinerja individu dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya untuk mencapai tujuan organisasi. Penilaian prestasi kerja dapat terpenuhi apabila penilaian mempunyai hubungan dengan pekerjaan dan adanya standar pelaksanaan kerja. Agar penilaian dapat dilaksanakan secara efektif, maka standar penilaian hendaknya berhubungan dengan hasil-hasil yang diinginkan setiap pekerja. Beach 1970 mendefinisikan penilaian kinerja adalah sebuah penilaian sistematis atas individu karyawan mengenai prestasi dalam pekerjaannya dan potensinya untuk pengembangan organisasi, yaitu pengembangan program kerja dan potensi individu untuk menyusun tindak lanjut dari program tersebut. Blanchard dan Spencer 1982 menjelaskan bahwa penilaian prestasi kerja atau kinerja merupakan proses organisasi yang mengevaluasi karyawan terhadap pekerjaannya. Robbins 1996 menjelaskan bahwa kinerja merupakan fungsi dari faktor kemampuan, faktor motivasi dan faktor kesempatan. Faktor kesempatan adalah tingkat kinerja yang tinggi, sebagian merupakan fungsi dari tidak adanya rintangan- rintangan yang mengendalikan karyawan itu. Meskipun seorang individu mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menjadi penghambat. Sehubungan dengan itu kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Gibson 1996 menjelaskan bahwa terdapat tiga variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: individu, organisasi dan psikologis. Variabel individu yang dapat mempengaruhi kinerja adalah variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Variabel organisasi yang dapat mempengaruhi kinerja terdiri dari variabel sumberdaya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Variabel penghargaan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada akhirnya secara langsung mempengaruhi kinerja individu. Sementara itu variabel psikologis yang dapat mempengaruhi kinerja terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel psikologis dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Kinerja petani sangat tergantung dari kemampuan, motivasi dan kesempatan yang ada. Oleh karena itu kinerja dapat dikatakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan Robbins 1996. Menurut Rogers dan Soemakers 1983 keberhasilan penyuluh memiliki kinerja yang baik tercermin dari pelaksanaan rangkaian tugasnya yang mencakup: 1 Kemauan dan kemampuan penyuluh menjalin hubungan secara langsung dengan para tokoh masyarakat, pemuka masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat, 2 Kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menjadi perantara sumber-sumber inovasi dengan pemerintahlembaga penyuluhan dan masyarakat petani sasarannya dan 3 Kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menyesuaikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan kebutuhan-kebutuhan yang dapat dirasakan oleh pemerintah atau lembaga penyuluhan dan masyarakat sasaran. Slamet 2003 menegaskan bahwa kualitas sumberdaya penyuluh harus mampu merespon perubahan perilaku para petani, yang ditentukan oleh kualitas interaksi antara petani dengan sumberdaya alamnya saja, juga sangat ditentukan oleh kualitas interaksi dengan pihak ketiga, seperti pedagang, sumber permodalan, dan sebagainya. Kinerja penyuluh kehutanan dapat dijabarkan melalui tugas, pokok dan fungsi penyuluh yang menjadi tanggungjawabnya selama penyuluh tersebut berprofesi sebagai tenaga fungsional di lapangan. Chamala et al 1997 berpendapat bahwa