banyak dikonsumsi oleh industri-industri kecil seperti industri genting dan bata, serta industri makanan kerupuk dan brem. Pengolahan hasil kayu pada hutan rakyat
masih sangat terbatas. Pengolahan hasil dari hutan rakyat tersebut dipengaruhi pula oleh permintaan pasar. Kurangnya modal finansial dan keterampilan menjadi
hambatan tersendiri bagi petani hutan rakyat untuk melakukan pengolahan hasil hutan menjadi produk akhir yang memiliki nilai tambah tinggi.
2.1.3 Subsistem Pemasaran
Budidaya hutan rakyat di Jawa dengan hasil utama kayu berkembang karena adanya pasar termasuk yang mengatur perilaku efisiensi maupun gengsi yaitu:
untuk peralatan rumah tangga, peti kemas, pulp, dan lain-lain penggunaan Suharjito 2000. Mengingat pada saat ini posisi tawar petani yang lemah menyebabkan
pendapatan petani selalu kecil yang pada gilirannya tidak dapat merangsang petani untuk mengembangkan usahanya Hardjanto 2000.
Pemasaran kayu rakyat biasanya dilakukan seperti pemasaran hasil-hasil pertanian lainnya. Pemilik langsung menjual kayu rakyat yang masih berdiri kepada
para pembeli. Sebagian besar petani masih sangat kurang pengetahuannya dalam memasarkan hasil-hasil kayunya, belum adanya informasi pasar dan ditambah
kurangnya modal menyebabkan masih dominannya peran tengkulak yang membeli kayu-kayu dari rakyat dengan harga yang relatif rendah Hardjanto 2003
2.1.4 Subsistem Kelembagaan
Arifin 2005 menyebutkan bahwa definisi kelembagaan mencakup dua hal penting, yaitu: 1 Norma dan konvensi, dan 2 Aturan main. Selanjutnya dikatakan
bahwa kelembagaan juga dapat tidak ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi kelembagaan juga dapat ditulis secara formal seperti pada aturan
adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan menjadi bahasan yang relevan dalam konteks hutan rakyat karena perannya yang tak pernah lepas dalam upaya
pengembangan hutan rakyat. Karakteristik pengelolaan hutan rakyat di Indonesia sebagian besar masih bersifat subsisten, individual dikelola oleh keluarga, belum
mempunyai manajemen formal, dan belum profesional. Karakteristik seperti ini kurang memiliki daya saing dan tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dibanding
pedagang maupun industri. Sementara lembaga selain petani bersifat lebih solid dalam arti telah memiliki perencanaan usaha yang lebih baik karena mereka memiliki
informasi pasar Hardjanto 2000. Menurut Darusman dan Hardjanto 2006 dalam struktur sistem usaha, pihak
petani berada dalam posisi termiskinkan, dimana nasibnya ditentukan oleh pelaku lain. Dengan demikian strategi dan program pengembangan usaha kayu rakyat adalah
pemberdayaan dan peningkatan pendapatan petani, mewujudkan kelestarian usaha dan kelestarian sumberdaya kayu rakyat. Dengan demikian diperlukan kebijakan dan
program operasional dalam bidang: pemasaran, subsidi, pemanfaatan lahan terlantar, negara, peningkatan teknologi, permodalan, perencanaan sumberdaya hutan secara
terpadu dalam setiap kabupaten dan atau antar kabupaten. Permasalahan pengelolaan hutan rakyat masih sangat banyak. Permasalahan tersebut terdapat pada keempat sub
sistemnya yaitu sub sistem produksi, pengolahan, pemasaran dan kelembagaan. Prioritas penelitian yang harus dilakukan dalam mewujudkan kelestarian hutan rakyat
dan kelestarian usahanya dengan mengedepankan peningkatan manfaat yang diterima oleh petani pemiliknya. Menurut Hardjanto 2003 permasalahan, arah kebijakan dan
strategi perbaikannya dari hutan rakyat, disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Aspek permasalahan, arah dan strategi perbaikan, serta penelitian dan pengembangan hutan rakyat yang diperlukan.
Aspek Masalah
Arah dan strategi perbaikan
Penelitian Pengembangan
1. Produksi
- Ketersediaan lahan.
- Rentabilitas rendah.
- Peran terhadap
pendapatan masih rendah
- Akseshak guna terhadap lahan
negara. - Pengayaan
tanaman dengan sistem agroforestri,
baik oleh jenis kayu maupun non-
kayu. - Bentuk-bentuk
hak guna dan tenurial yang
adil dan aman.
- Jenis dan silvikultur
- pengayaan dalam sistem
agroforestri