Kinerja Petani Hutan Rakyat
pengelolaan hutan rakyat yaitu kelestarian fungsi produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosial di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo.
Kelestarian fungsi produksi diukur melalui indikator status lahan, keberlanjutan produksi kayu dan pengaturan hasil. Dalam hal status lahan akan dibahas tentang
status lahan areal hutan rakyat berdasarkan bukti kepemilikan, keberlanjutan produksi kayu akan dibahas dari aspek teknis silvikultur dalam hutan rakyat, dalam pengaturan
hasil akan dibahas tentang perilaku penebangan oleh petani hutan rakyat. Berdasarkan status lahan Lampiran 12, petani hutan rakyat status lahan hutan
rakyatnya sudah merupakan hak milik. Hal ini sudah ditandai dengan surat kepemilikan baik berupa sertifikat tanah maupun berupa surat girik. Petani hutan
rakyat di Kabupaten Ciamis sebanyak 73 persen kepemilikan lahan hutan rakyat ditandai dengan surat sertifikat dan 27 persen ditandai dengan surat girik. Sementara
itu petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo sebanyak 80 persen kepemilikan lahan hutan rakyat ditandai dengan sertifikat dan 20 persen ditandai dengan surat
girik. Dengan adanya bukti kepemilikan ini memberikan kepastian dalam pengelolaan
hutan rakyat jangka panjang sehingga dapat memberikan alternatif dalam pemilihan jenis pohon yang umurnya cukup panjang. Dengan kepastian lahan yang ditunjukkan
oleh bukti kepemilikan menurut petani akan memberikan ketenangan petani dalam melakukan budidaya pohon di areal hutan rakyat. Hal ini sesuai dengan Salam et al
2005 yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan manfaat dan peningkatan kualitas sumberdaya hutan perlu keamanan jangka panjang bagi masyarakat dalam
melakukan aktivitas pengelolaan hutan. Teknik silvikultur juga menjadi ukuran dalam kelestarian fungsi produksi.
Berdasarkan data penelitian Lampiran 13, teknik silvikultur yang dilakukan petani hutan rakyat meliputi persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemangkasan,
penjarangan dan pemeliharaan. Berikut dideksripsikan kegiatan-kegiatan dalam teknik silvikultur di hutan rakyat dan dibandingkan dengan acuan teknik silvikultur
yang ideal menurut Mawardi 2012 dan Sumarna 2012.
Kegiatan persiapan lahan merupakan kegiatan petani hutan rakyat dalam menyiapkan areal lokasi untuk kegiatan penanaman. Data penelitian menunjukkan
bahwa petani sudah melakukan kegiatan penyiapan lahan. Kegiatan penyiapan lahan petani hutan rakyat dalam penyiapan lahan dilihat dari kemampuan yang cukup baik
dilihat dari ukuran tata waktu, ukuran, jenis alat dan tata urutan kegiatan untuk penyiapan lahan hutan rakyat. Kegiatan persiapan lahan secara khusus biasanya
dilakukan ketika akan melakukan penanaman di hutan rakyat yang baru. Biasanya persiapan lahan baru untuk hutan rakyat dilakukan 1-2 bulan sebelum penanaman
dilakukan. Petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis melakukan kegiatan persiapan lahan selama 1 bulan sebelum penanaman sebanyak 82 persen dan 12 persen petani
hutan rakyat melakukannya 2 bulan sebelum penanaman, sedangkan petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo sebanyak 92 persen melakukannya 1 bulan sebelum
penanaman dan 8 persen melakukannya 2 bulan sebelum penanaman. Berdasarkan persyaratan silvikultur yang baik persiapan lahan sebaiknya dilakukan 2 bulan
sebelum dilakukan penanaman. Penataan areal penanaman dimaksudkan untuk mengatur tempat dan waktu,
pengawasan serta keperluan pengelolaan hutan rakyat. Tidak ada perbedaan teknis antara petani di Kabupaten Ciamis dengan di Kabupaten Purworejo. Pembersihan
lapangan dilakukan oleh petani hutan rakyat dengan beberapa kegiatan yang meliputi menebang pohon-pohon sisa, mengumpulkan semak belukar, alang-alang dan
rumput-rumputan, membakar sampah-sampahnya. Selanjutnya dilakukan pengolahan tanah. Petani hutan rakyat melakukan pengolahan tanah diperlukan pada tanah-tanah
yang padat dengan cara mencangkul dan membalik tanah dengan kedalaman 20 - 25 cm, kemudian bongkahan tanah dihancurkan. Selanjutnya tanah pada jalur-jalur
tanaman dihaluskan dan dibersihkan, kemudian dibuat lubang tanaman. Kegiatan persiapan lahan ini dilakukan secara berkelompok diantara para
tetangga di sekitar rumah atau ada juga yang perorangan. Hal ini sangat tergantung dari luas hutan rakyat dan kemampuan ekonomi dari pemilik lahan. Kegiatan
persiapan lahan meliputi kegiatan pengolahan tanah, pemasangan ajir, pembuatan lubang tanaman dan pemupukan. Dalam kegiatan pengolahan tanah, para petani
biasanya menggunakan cangkul untuk membalikan dan menggemburkan tanah. Dalam rangka meningkatkan kesuburan tanah, para petani memberikan pupuk berupa
kotoran ternak baik sapi atau kerbau yang sudah dilakukan proses pengomposan sebelumnya. Ada juga petani yang menggunakan pupuk non organik untuk
melakukan pemupukan, misalnya urea. Setelah dilakukan pengolahan tanah selanjutnya dilakukan pemasangan ajir untuk penanda tanaman pohon saja. Biasanya
ajir dibuat dari bambu. Namun kebanyakan petani tidak melakukan pemasangan ajir secara baik. Mengingat lahan untuk hutan rakyat sebagian besar lahan dengan pola
agroforestri, maka pembuatan lubang tanaman juga dilakukan secara tidak teratur. Kegiatan kedua dalam teknik silvikultur adalah pembibitan. Dalam kegiatan
pembibitan, petani hutan rakyat memanfaatkan bibit yang bersumber dari anakan dibawah pohon tua atau membibitkan atau melakukan pembelian. Petani hutan rakyat
di Kabupaten Ciamis melakukan penyediaan bibitnya melalui anakan alami 55 persen, membeli 30 persen dan membuat persemaian 15 persen. Sementara itu petani
hutan rakyat di Kabupaten Purworejo melakukan penyediaan bibit melalui anakan alami sebanyak 40 persen, membeli sebanyak 56 persen dan membuat persemaian
sebanyak 4 persen. Alasan petani hutan rakyat dengan masih tingginya pemanfaatan cabutananakan pohon dan pembelian karena unsur kepraktisan dan kualitas. Jenis
pohon dominan yang ditanam yaitu Sengon dan Jati. Penyiapan bibit oleh petani melalui permudaan cabutan memang banyak dilakukan karena tidak memerlukan
biaya. Sementara itu teknik penyiapan bibit semacam ini memiliki beberapa kelemahan yaitu dari sisi tingkat daya tumbuh yang rendah untuk ditanam di
lapangan sehingga persentase keberhasilan tumbuh sangat kecil. Menurut teknik silvikultur, dalam rangka ketersediaan bibit sebaiknya petani memiliki persemaian
bibit sebagai tanda keberlanjutan dalam persiapan penanaman. Kegiatan ketiga dalam teknik silvikultur yaitu penanaman. Kegiatan penanaman
dilakukan oleh petani hutan rakyat dilakukan pada musim hujan, yaitu dalam Bulan Oktober sampai Januari. Hal ini sudah dipahami petani bahwa bibit yang baru
ditanam menghendaki banyak air dan udara lembab. Bibit yang ditanam di hutan rakyat adalah bibit cabutan atau anakan yang disemai dalam bedeng tabur dan
biasanya ukurannya berkisar 25-30 cm. Dalam hal penanaman, umumnya petani hutan rakyat jarang memperhatikan jarak tanam. Adapun jarak tanam yang ada di
lapangan sangat bervariasi dari 2 m x 3 m, 3 m x 3 m dan 3 m x 4 m. Petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis melakukan pembuatan jarak tanam 2 m x 3 m sebanyak
75 persen, 3 m x 3 m sebanyak 15 persen, 3 m x 4 m sebanyak 1 persen dan sisanya 8 persen tidak memiliki jarak tanam. Sementara itu petani hutan rakyat di Kabupaten
Purworejo melakukan pembuatan jarak tanam 2 m x 3 m sebanyak 82 persen, 3 m x 3 m sebanyak 4 persen, 3 m x 4 m sebanyak 10 persen dan sisanya 4 persen tidak
memiliki jarak tanam. Maksud tidak memiliki jarak tanam yaitu kondisi hutan rakyat yang kerapatan pohonnya kadang kondisinya sangat rapat kadang pada lokasi lain
sangat jarang. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon dan kualitas kayu yang diharapkan. Menurut teknik silvikultur yang baik jarak tanam
dapat dilakukan pada jarak 2 m x 2 m atau 2,5 m x 2,5 m. Kegiatan keempat dalam teknik silvikultur yaitu kegiatan pemeliharaan.
Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan petani hutan rakyat meliputi penyulaman, pendangiran, pemupukan dan penyemprotan hama dan penyakit.
Penyulaman adalah kegiatan mengganti bibit tanaman yang mati atau hilang karena sesuatu hal. Dalam hal penyulaman, hampir sebagian besar petani sangat jarang
melakukan kegiatan penyulaman di hutan rakyat. Petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis sebanyak 90 persen tidak melakukan penyulaman, sebanyak 10 persen
melakukan penyulaman. Petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo 94 persen tidak melakukan penyulaman dan 6 persen melakukan penyulaman. Seharusnya
penyulaman dilakukan dua kali, yaitu 2-4 minggu setelah penanaman dan setelah pohon berumur satu tahun.
Pendangiran yaitu kegiatan menggemburkan tanah di sekitar pohon dengan tujuan untuk memperbaiki sifat fisik dan aerasi tanah. Hal ini berhubungan dengan
kualitas tempat tumbuh dari pohon di hutan rakyat. Petani hutan rakyat rata-rata melakukan pendangiran di lahan miliknya 2 kali dalam sebulan. Petani hutan rakyat.
Petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis melakukan kegiatan pendangiran selama 5- 10 kali dalam setahun sebanyak 83 persen dan sebanyak 17 persen melakukan
pendangiran kurang dari 5 kali dalam setahun. Sementara itu Petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo melakukan kegiatan pendangiran selama 5-10 kali dalam
setahun sebanyak 90 persen dan sebanyak 10 persen melakukan pendangiran kurang dari 5 kali dalam setahun.
Kegiatan pemupukan adalah kegiatan untuk menambahkan nutrisi kedalam tanah agar kesuburan tanah meningkat. Petani biasanya melakukan pemupukan pada
saat awal penanaman. Pemupukan berikutnya dilakukan petani biasanya pada menjelang musim tanam tanaman pertanian. Petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis
melakukan kegiatan pemupukan sebanyak 1-2 kali per tahun dengan pupuk kandang sebanyak 74 persen, sementara sisanya 18 persen melakukan dengan pupuk bukan
organik, 2 persen melakukan pemupukan dengan frekuensi 3-4 kali per tahun dan 6 persen melakukan pemupukan 3
– 4 kali per tahun dengan pupuk bukan organik. Menurut teknik silvikultur yang baik pemupukan dilakukan hingga umur 18 bulan
dengan rincian sebagai berikut: pada saat pembuatan lubang tanam, pada minggu kedua, pada bulan ke tiga, pada bulan ke tujuh, pada bulan ke dua belas, dan pada
bulan ke delapan belas. Kegiatan penyemprotan hama dan penyakit hanya di lakukan beberapa petani
saja. Biasanya kalau hama dan penyakit menyerang, petani melakukan pembiaran atau memotong cabang yang kena hama dan penyakit tersebut. Petani hutan rakyat di
Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo hampir tidak menentu melakukan kegiatan penyemprotan hama dan penyakit. Hal ini dikarenakan mahalnya obat untuk
menyemprot hama dan penyakit tersebut. Kegiatan kelima dalam teknik silvikultur yaitu kegiatan pemangkasan. Kegiatan
pemangkasan adalah kegiatan memotong cabang yang paling bawah dengan tujuan untuk menghasilkan kualitas kayu yang baik. Biasanya pemangkasan cabang
dilakukan untuk mendapatkan kayu pertukangan. Dalam hal pemangkasan, petani melakukan pemangkasan hanya dilakukan pada saat pohon masih kecil, namun kalau
sudah besar pemangkasan sama sekali tidak dilakukan. Petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis melakukan pemangkasan tidak tentu dilakukan sebanyak 80
persen dan 1 kali selama 1 tahun sebanyak 20 persen. Sementara itu petani hutan
rakyat di Kabupaten Purworejo tidak tentu dilakukan sebanyak 86 persen dan 1 kali selama 1 tahun sebanyak 14 persen.
Kegiatan keenam dalam teknik silvikultur yaitu kegiatan penjarangan. Kegiatan penjarangan yaitu kegiatan menebang pohon yang kurang baik agar pohon yang lain
disekitarnya tumbuh dengan normal. Secara umum petani hutan rakyat tidak melakukan penjarangan pohon sesuai dengan tujuan utamanya, melainkan
penjarangan dilakukan untuk mendapatkan hasil antara berupa pendapatan. Kondisi itu sangat berhubungan pertumbuhan dan kualitas pohon itu yang ada di hutan rakyat.
Penjarangan dilakukan menurut pengetahuan masing-masing pemiliknya, sehingga hal itu berpengaruh pada mutu kayu yang dihasilkan menjadi kurang baik. Petani
hutan rakyat di Kabupaten Ciamis melakukan penjarangan 3 tahun sekali sebanyak 76 persen dan 24 persen melakukan penjarangannya tidak tentu. Sementara itu petani
hutan rakyat di Kabupaten Purworejo melakukan penjarangan 3 tahun sekali sebanyak 74 persen dan 26 persen melakukan penjarangannya tidak tentu.
Pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan rakyat ditunjukkan dengan pola pemanenan yang dilakukan atas dasar kebutuhan yang tidak terencana mengakibatkan
berkurangnya stok persediaan pohon yang dimiliki petani hutan rakyat. Fenomena menunjukkan bahwa sampai saat ini petani belum dapat mengubah pola
pemanenannya meskipun adanya perkembangan permintaan dari industri yang menginginkan kualitas pohon dan kayu yang lebih baik misalnya syarat minimum
diameter pohon yang diperkenankan. Selain itu ketidakteraturan siklus pengelolaan hutan rakyat berkaitan pula dengan belum adanya pengaturan pengelolaan hutan
rakyat yang direncanakan secara bersama-sama atau secara komprehensif. Sehingga seluruh keputusan dalam pengelolaan hutan rakyat berada sepenuhnya pada masing-
masing petani, yang umumnya lebih mendasarkan keputusannya kepada kebutuhan dirinya sendiri. Petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo
seluruhnya melakukan pengaturan hasil dengan konsep daur butuh, yaitu kapan petani butuh, pohon langsung ditebang.
Semua petani hutan rakyat melakukan kegiatan penebangan tidak teratur sesuai dengan istilah daur butuh, namun prinsip keberlanjutan usaha tani hutan rakyat sudah
dilakukan yaitu dengan menerapkan tebang 1 dan tanam 1. Prinsip ini dilakukan dengan menggunakan prinsip minimum, yang pada kenyataannya petani hutan rakyat
melakukannya melebihi prinsip tersebut. Rasio tebang dan tanam yaitu 1 banding lebih dari 1.
Berdasarkan data pada umumnya petani hutan rakyat memanen pohonnya paling banyak setahun dua kali. Waktu penebangan biasanya menjelang Idul Fitri dan
pada tahun ajaran sekolah dimulai, karena kedua waktu tersebut kebutuhan rumah tangga meningkat tajam. Mengenai jenis dan jumlah volume kayu yang dipanen
kurang mendapatkan perhatian, dalam hal ini disesuaikan dengan kebutuhan petani hutan rakyat. Metode pengaturan hasil hutan rakyat di atas sangat spesifik dan
berbeda dengan metode pengaturan hasil konvensional yang biasa diterapkan pada hutan alam atau hutan negara, karena mereka lebih menekankan pada pengelolaan
individu pohon per pohon dan bukan pengelolaan kawasan hutan. Petani hutan rakyat menganggap yang penting adalah terjaminnya kelestarian produksi sehingga mereka
dapat secara kontinyu memanen produksi kayu miliknya. Menurut teknik silvikultur yang baik, penebangan dilakukan sesuai kebutuhan, pohon sengon bisa dipanen
setelah berumur 5-7 tahun dengan diameter 30 cm. Pemanenan kayu sengon dapat dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu putaran masa tanam. Sementara itu untuk
usia panen jati diperpendek hingga usia dibawah lima belas tahun. Penebangan dilakukan oleh 3-5 orang dengan menggunakan chainsaw, serta membuat takik rebah
dan takik balas. Kelestarian fungsi ekologi dimaksudkan bahwa hutan rakyat harus menjaga
keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat belum secara seksama mempertimbangkan dampak pada lingkungan hidup,
terutama aspek fisik seperti erosi dan banjir serta keanekaragaman hayati yang ada di hutan rakyat.
Indikator keseimbangan ekosistem yaitu adanya keseimbangan unsur tanah dan air di hutan rakyat. Berdasarkan data petani hutan rakyat memiliki kepedulian dan
informasi tentang manfaat pengelolaan hutan rakyat bagi ekosistem. Salah satunya keseimbangan unsur tanah, petani di Kabupaten Ciamis dan Purworejo sudah
melakukan upaya keseimbangan tanah melalui pengolahan tanah. Pengolahan tanah dilakukan dengan menyiapkan secara fisik pilihan pola tanam. Sebanyak 75 persen
petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan 60 persen petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo menggunakan pilihan pola tanam agroforestri Lampiran 13 a
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hutan rakyat merupakan model agroforestricampuran pertanian kehutanan telah memberikan keseimbangan
ekosistem lingkungan hidup. Pada umumnya jenis pohon utama hutan rakyat adalah Sengon dan Jati. Jenis tanaman buah-buahan diantaranya Mangga, Nangka, Durian,
Melinjo, Petai, dan Pisang. Tanaman semusim ialah kacang-kacangan, jagung, umbi- umbian, singkong, dan lain-lainnya. Petani menyadari bahwa disaat luas kepemilikan
lahan yang sempit, maka pilihan mengkombinasikan tanaman pertanian dan tanaman kehutanan dalam satu hamparan pengelolaan yang sama adalah pilihan yang tepat.
Berdasarkan data Lampiran 13 model hutan rakyat agroforestri telah menciptakan hamparan hutan yang terdiri dari berbagai jenis kayu keras dan tanaman
pangan serta buah-buahan. Hutan rakyat dengan model ini menyimpan keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibanding model hutan rakyat yang satu
jenis pohon saja atau hutan rakyat pola homogen. Hutan rakyat yang memadukan berbagai jenis tanaman akan lebih baik dibanding hutan rakyat yang hanya terdiri satu
jenis tanaman saja. Hutan rakyat dengan pola tanam campuran akan menyajikan banyak sumberdaya yang dibutuhkan satwa. Hutan rakyat dengan pola agroforestri
yang ditumbuhi bermacam-macam tanaman menyediakan banyak pilihan kepada satwa untuk tempat mencari makan, berlindung, membangun sarang dan tempat
berkembangbiak. Satwa yang sering hadir biasanya burung dan lebah. Pohon-pohon yang menghasilkan bunga akan banyak dikunjungi burung dan lebah. Pada saat
berbuah, pohon-pohon tersebut akan banyak dikunjungi satwa pemakan buah, seperti mamalia dan burung. Dengan demikian hutan rakyat campuran telah menjadi habitat
yang sangat berharga bagi pelestarian satwa. Dalam hal aspek keseimbangan untuk dapat menjaga erosi Lampiran 13,
petani hutan rakyat merasakan bahwa hutan rakyat campuran sangat penting dalam
mencegah laju erosi. Selain itu pengolahan tanah yang baik sangat membantu dalam mengurangi laju erosi. Dalam pengolahan tanah di lahan yang miring, petani hutan
rakyat sering membuat terasering dan sengkedan. Pembuatan teras dan sengkedan ini dapat mencegah terjadinya erosi di kawasan hutan rakyat
. Namun perawatan
sengkedan dan teras tidak dilakukan kontinyu sehingga kondisinya kurang terawat dengan baik.
Kelestarian fungsi sosial direfleksikan dengan manfaat ekonomi bagi masyarakat, kerjasama antar petani dan pelaku dan kejelasan batas areal hutan rakyat.
Manfaat ekonomi dari hutan rakyat dirasakan dengan baik oleh responden petani hutan rakyat. Dalam fungsi ini baik di Kabupaten Ciamis maupun di Kabupaten
Purworejo memiliki banyak persamaan dalam kinerjanya. Manfaat ekonomi hutan rakyat dirasakan oleh semua petani hutan rakyat.
Pendapatan dari pola hutan rakyat agroforestri membuktikan keunggulan kompetitifnya dari sisi ekonomi di banding pola monokultur. Berkaitan dengan
kondisi tersebut, maka pola agroforestri selalu menjadi pilihan sebagian besar petani hutan rakyat Lampiran 12
Sistem pengembangan usaha hutan rakyat melibatkan banyak pihak yang terkait dan bersifat komplek, karena itu usaha hutan rakyat tersebut telah membentuk
suatu sistem. Dalam sistem usaha hutan rakyat, ditemukan adanya lingkungan yang berhubungan sistem tersebut. Lingkungan yang dimaksud terdiri dari penyediaan
sarana produksi hutan rakyat berupa bibit, pupuk, alat-alat produksi pertanian dan teknologi, masyarakat setempat sebagai sumber tenaga kerja atau buruh, konsumen
industri pengolah kayu dan konsumen akhir. Sementara itu secara lingkungan makro kondisi sistem pasar, kondisi makro ekonomi, sosial-budaya dan teknologi juga ikut
berhubungan pengelolaan hutan rakyat. Kerjasama dalam level teknis sangat mudah ditemui di lapangan pada saat petani melakukan kegiatan teknis silvikultur dalam
pengelolaan hutan rakyat. Mulai dari penyiapan lahan, pembibitan penanaman bahkan pemanenan dilakukan melalui kerjasama antar petani atau bahkan dengan pihak lain
misalnya pemanenan dengan tengkulak pemanenan.
Kepemilikan tanah hutan rakyat yang selama ini digarap dengan jelas oleh petani hutan rakyat memberikan kepastian petani hutan rakyat dalam melakukan
pengelolaan terhadap hutan rakyat mereka. Dengan demikian syarat utama ini memberikan keleluasaan secara sosial terhadap petani untuk dapat mengelola hutan
rakyat secara serius. Batas yang jelas antar pemilik hutan rakyat di lapangan biasanya ditandai dengan batas alam dan batas buatan berupa tanaman atau pohon yang
menjadi ciri atau batas wilayah pengelolaan masing-masing petani hutan rakyat. Sebaran kinerja petani hutan rakyat, setelah dilakukan skoring terhadap
masing-masing kinerja setiap petani hutan rakyat didapatkan skor sedang baik petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis maupun Kabupaten Purworejo. Demikian juga
skor sedang untuk kinerja setiap kelestarian fungsi produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosial. Selengkapnya disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran kinerja petani hutan rakyat Peubah
Kategori Skor
Kabupaten Ciamis
Kabupaten Purworejo
n n
Kinerja petani hutan rakyat
Rendah 32
– 117 0,00
0,00 Sedang
117 – 203
83 83,00 41 82,00 Tinggi
203 - 288 17 17,00
9 18,00
Kelestarian fungsi produksi
Rendah 20
– 73 0,00
0,00 Sedang
73 – 180 86 86,00 39 78,00
Tinggi 127
– 180 14 14,00 11 22,00
Kelestarian fungsi ekologi
Rendah 8
– 29 0,00
0,00 Sedang
29 - 51 99 99,00 48 96,00
Tinggi 51 - 72
1 1,00
2 4,00
Kelestarian fungsi sosial
Rendah 4
– 15 1
1,00 0,00
Sedang 15 - 25
89 89,00 47 94,00 Tinggi
25 - 36 10 10,00
3 6,00
4.4. Hasil Tahapan Analisis Faktor dan Analisis Jalur Kinerja Petani Hutan
Rakyat
Analisis faktor kinerja petani hutan rakyat dilakukan untuk mengetahui indikator-indikator yang valid dan reliabel, dari indikator-indikator yang diusulkan,
dalam mengukur variabel yang telah ditetapkan. Ringkasan hasil pengujian analisis faktor dengan SPSS 16, berupa indikator terpilih disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengujian analisis faktor kinerja petani hutan rakyat
Kabupaten Variabel laten
Indikator terpilih Loading
factor
Ciamis 1. Karakteristik
petani hutan rakyat X
11
1. Umur X
111
2. Pendidikan non formal X
113
3. Pendapatan X
115
0,959 0,972
0,450
2. Faktor lingkungan
fisik X
12
1. Komposisi jenis tanaman yang ditanam X
121
2. Luas hutan rakyat X
122
3. Produktivitas hutan rakyat X
123
-0,323 0,809
0,753
3. Kompetensi penyuluh
kehutanan menurut
persepsi petani X
13
1. Manajerial X
131
2. Interaksi sosial X
132
3. Kemampuan bidang keahlian X
133
4. Kepemimpinan X
134
0,888 0,946
0,952
0,932 4. Lingkungan
sosial budaya X
14
1. Kepercayaan antar sesama X
141
2. Hubungan sosial X
142
3. Ketaatan terhadap aturan X
143
4. Kearifan lokal X
144
0,893 0,835
0,661 0,743
5. Kinerja penyuluh
kehutanan X
15
1. Pelaksanaan kegiatan sosial X
151
2. Penyusunan program penyuluhan X
152
3. Pemanfaatan sumberdaya lokal X
153
4. Penyelenggaraan penyuluhan X
154
5. Manajemen organisasi X
155
0,583 0,922
0,729 0,897
0,858 6. Kinerja
petani hutan rakyat Y
11
1. Kelestarian fungsi produksi Y
111
2. Kelestarian fungsi ekologi Y
112
3. Kelestarian fungsi sosial Y
113
0,614 0,572
-0,698 Purworejo
1. Karakteristik petani hutan
rakyat X
11
1. Umur X
111
2. Pendidikan formal X
112
3. Pengalaman berusaha tani X
114
0,838 -0,725
0,640
Kabupaten Variabel laten
Indikator terpilih Loading
factor
2. Faktor lingkungan
fisik X
12
1. Komposisi jenis tanaman yang ditanam X
121
2. Produktivitas hutan rakyat X
123
3. Kelestarian hutan rakyat X
124
0,593 0,824
0,831
3. Kompetensi penyuluh
kehutanan menurut
persepsi petani X
13
1. Manajerial X
131
2. Interaksi sosial X
132
3. Kemampuan bidang keahlian X
133
4. Kepemimpinan X
134
0,907 0,843
0,933
0,691 4. Lingkungan
sosial budaya X
14
1. Kepercayaan antar sesama X
141
2. Ketaatan terhadap aturan X
143
3. Kearifan Lokal X
144
0,864 0,720
0,769 5. Kinerja
penyuluh kehutanan
X
15
1. Pelaksanaan kegiatan sosial X
151
2. Penyusunan program penyuluhan X
152
3. Pemanfaatan sumberdaya lokal X
153
4. Penyelenggaraan penyuluhan X
154
5. Manajemen organisasi X
155
0,667 0,907
0,839 0,787
0,859 6. Kinerja
petani hutan rakyat Y
11
1. Kelestarian fungsi produksi Y
111
2. Kelestarian fungsi sosial Y
113
0,784 0,784
Setelah dilakukan analisis faktor dengan CFA, pengujian untuk melihat pengaruh variabel bebas dengan variabel terikat akan dilakukan dengan analisis jalur
regresi berganda. Analisis jalur dilakukan dengan bantuan SPSS 16. Hasil SPSS dapat dijadikan dasar sebagai layak tidaknya menggunakan analisis jalur.
Selanjutnya untuk model kinerja petani hutan rakyat Y
11
di Kabupaten Ciamis diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Persyaratan normalitas dan linearitas
Gambar 3. Hasil uji normalitas dan linearitas kinerja petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis
Jika residual berasal dari distribusi normal, maka nilai-nilai sebaran data lihat noktah akan terletak disekitar garis diagonal. Terlihat bahwa sebaran data pada
Gambar 4 tersebar disekeliling garis lurus tersebut tidak terpencar jauh dari garis lurusdiagonal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persyaratan normalitas dan
linearitas terpenuhi.
b. Persyaratan multikolinearitas Tabel 4 Ringkasan
b
model analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di Ciamis Model
R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate 1
.842
a
.708 .675
.57001009
a. Predictors: Constant, Y
21
, X
12
, X
13
, X
11
, X
14
b. Dependent Variable: Y11
Selanjutnya disajikan koefisien analisi jalur kinerja petani hutan rakyat di Ciamis dalam Tabel 5.
Tabel 5 Koefisien
a
analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di Ciamis
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error
Beta Tolerance VIF
1 Constant 1.136E-16 .081
.000 1.000
X
11
.064 .117
.064 .545
.589 .483
2.071 X
12
.087 .090
.087 .963
.341 .814
1.229 X
13
.437 .146
.437 3.000
.004 .312
3.205 X
14
.384 .145
.384 2.652
.011 .317
3.155 X
15
.039 .086
.039 .453
.653 .907
1.103
a. Dependent Variable: Y
11
Model regresi yang baik, adalah apabila tidak terdapat multikolinearitas atau adanya korelasi yang kuat antara variabel bebas. Jika Variance Inflation Factors
VIF 5 maka variabel tersebut mempunyai persoalan multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya. Pada tabel di atas terlihat bahwa nilai VIF dari semua variabel
bebas 5 artinya tidak terdapat persoalan multikolinearitas. Dengan demikian, analisis jalur regresi berganda layak digunakan sebagai alat
analisis. Kelayakan menggunakan model regresi juga dapat dilihat dari tabel ANOVA pada hasil SPSS disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6 ANOVA
b
analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di Ciamis Model
Sum of Squares
df Mean Square
F Sig.
1 Regression
34.704 5
6.941 21.362
.000
a
Residual 14.296
44 .325
Total 49.000
49
a. Predictors: Constant, X
15
, X
12
, X
13
, X
11
, X
14
b. Dependent Variable: Y
11
Dalam Tabel 9 terlihat bahwa tingkat signifikan dari F hitung adalah 0,000. Karena signifikan jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi layak digunakan
untuk memprediksi kinerja petani hutan rakyat Y
11
. Dari hasil analisis di atas, dapat disusun persamaan jalur sebagaimana berikut:
Y
11
= 0,064X
11
+ 0,087 X
12
+ 0,437X
13
+ 0,384X
14
+ 0,039X
15
; R
2
= 0,708 Interpretasi:
Dari hasil analisis dengan SPSS 16 di atas diperoleh informasi obyektif sebagai berikut:
1 R
2
= 0,708 menandakan bahwa pengaruh bersama dari karakteristik petani hutan rakyat X
11
, faktor lingkungan fisik X
12
, faktor kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani X
13
, faktor lingkungan sosial budaya X
14
dan faktor kinerja penyuluh kehutanan X
15
terhadap kinerja petani hutan rakyat Y
11
adalah sebesar 0,708 atau 70,8 persen, sisanya 29,2 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
2 Secara parsial, karakteristik petani hutan rakyat X
11
berpengaruh tidak nyata sig =0,589 0,05 terhadap kinerja petani hutan rakyat Y
11
. Terlihat bahwa koefisien lintas X
11
adalah 0,064. Hal ini berarti besarnya pengaruh X
11
terhadap Y
11
adalah 0,064 atau 6,4 persen. 3 Secara parsial, faktor lingkungan fisik X
12
berpengaruh tidak nyata sig =0,341 0,05 terhadap kinerja petani hutan rakyat Y
11
. Terlihat bahwa koefisien lintas X
12
adalah 0,087. Hal ini berarti besarnya pengaruh X
12
terhadap Y
11
adalah 0,087 atau 8,7 persen . 4 Secara parsial, faktor kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani
X
13
berpengaruh sangat nyata sig =0,004 0,01 terhadap kinerja petani hutan rakyat Y
11
. Terlihat bahwa koefisien lintas X
13
adalah 0,437. Hal ini berarti besarnya pengaruh X
13
terhadap Y
11
adalah 0,437 atau 43,7 persen. 5 Secara parsial, faktor lingkungan sosial budaya X
14
berpengaruh nyata sig =0,011 0,05 terhadap kinerja petani hutan rakyat Y
11
. Terlihat bahwa koefisien lintas X
14
adalah 0,384. Hal ini berarti besarnya pengaruh X
14
terhadap Y
11
adalah 0,384 atau 38,4 persen. 6 Secara parsial, faktor kinerja penyuluh kehutanan X
15
berpengaruh tidak nyata sig =0,653 0,05 terhadap kinerja petani hutan rakyat Y
11
. Terlihat bahwa koefisien lintas X
15
adalah 0,039. Hal ini berarti besarnya pengaruh X
15
terhadap Y
11
adalah 0,039 atau 3,9 persen.
Selanjutnya untuk model kinerja petani hutan rakyat Y
11
di Kabupaten Purworejo diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Persyaratan normalitas dan linearitas
Gambar 4. Hasil uji normalitas dan linearitas kinerja petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo
Jika residual berasal dari distribusi normal, maka nilai-nilai sebaran data lihat noktah akan terletak disekitar garis diagonal. Terlihat bahwa sebaran data pada
Gambar 5 sebagian besar tersebar disekeliling garis lurus tersebut tidak terpencar jauh dari garis lurusdiagonal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persyaratan
normalitas dan linearitas terpenuhi. b. Persyaratan multikolinearitas
Tabel 7 Ringkasan
b
model analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di Purworejo Model
R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate 1
.664
a
.441 .293
.84066413
a. Predictors: Constant, X
15
, X
12
, X
14
, X
11
, X
13
b. Dependent Variable: Y
11
Selanjutnya disajikan koefisien analisi jalur kinerja petani hutan rakyat di Purworejo dalam Tabel 8.
Tabel 8 Koefisien
a
analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di Purworejo
Model Unstandardized
Coefficients Standardized
Coefficients t
Sig. Collinearity
Statistics B
Std. Error Beta
Tolerance VIF 1
Constant
3.207E-16 .168
.000 1.000
X
11
-.195 .187
-.195 -1.044 .309
.845 1.183
X
12
.308 .175
.308 1.758
.095 .960
1.042 X
13
.566 .202
.566 2.794
.012 .718
1.392 X
14
-.176 .179
-.176 -.983
.338 .917
1.090 X
15
-.133 .196
-.133 -.678
.506 .770
1.299
a. Dependent Variable: Y
11
Model regresi yang baik, adalah apabila tidak terdapat multikolinearitas atau adanya korelasi yang kuat antara variabel bebas. Jika VIF 5 maka variabel
tersebut mempunyai persoalan multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya. Pada Tabel 11 terlihat bahwa nilai VIF dari semua variabel bebas 5 artinya tidak terdapat
persoalan multikolinearitas. Dengan demikian, analisis jalur regresi berganda layak digunakan sebagai alat analisis. Kelayakan menggunakan model regresi juga dapat
dilihat dari tabel ANOVA pada hasil SPSS disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 ANOVA
b
analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di Purworejo Model
Sum of Squares
df Mean Square
F Sig.
1
Regression 10.572
5 2.114
2.992 .037
a
Residual 13.428
19 .707
Total 24.000
24
a. Predictors: Constant, X
15
, X
12
, X
14
, X
11
, X
13
b. Dependent Variable: Y
11
Dalam Tabel 9 terlihat bahwa tingkat signifikan dari F hitung adalah 0,037. Karena signifikan lebih kecil dari 0,05, maka model regresi layak digunakan untuk
memprediksi Y
11
. Dari hasil analisis di atas, dapat disusun persamaan jalur sebagaimana berikut:
Y
11
= -0,195X
11
+ 0,308X
12
+ 0,566X
13
- 0,176X
14
- 0,133X
15
; R
2
= 0,441 Interpretasi:
Dari hasil analisis dengan SPSS 16 di atas diperoleh informasi obyektif sebagai berikut:
1 R
2
= 0,441 menandakan bahwa pengaruh bersama dari karakteristik petani hutan rakyat X
11
, faktor lingkungan fisik X
12
, kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani X
13
, lingkungan sosial budaya X
14
dan kinerja penyuluh kehutanan X
15
terhadap kinerja petani hutan rakyat Y11 adalah sebesar 0,441 atau 44,1 persen, sisanya 55,9 persen dipengaruhi oleh faktor lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini. 2 Secara parsial, karakteristik petani hutan rakyat X
11
berpengaruh tidak nyata sig =0,309 0,05 terhadap kinerja petani hutan rakyat Y
11
. Terlihat bahwa koefisien lintas X
11
adalah -0,195. Hal ini berarti besarnya pengaruh X
11
terhadap Y
11
a dalah │-0,195│= 0,195 atau 19,5 persen.
3 Secara parsial, faktor lingkungan fisik X
12
berpengaruh tidak nyata sig =0,095 0,05 terhadap kinerja petani hutan rakyat Y
11
. Terlihat bahwa koefisien lintas X
12
adalah 0,308. Hal ini berarti besarnya pengaruh X
12
terhadap Y
11
adalah 0,308 atau 30,8 persen. 4 Secara parsial, kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani X
13
berpengaruh nyata sig =0,012 0,05 terhadap kinerja petani hutan rakyat Y
11
. Terlihat bahwa koefisien lintas X
13
adalah 0,566. Hal ini berarti besarnya pengaruh X
11
terhadap Y
11
adalah 0,566 atau 56,6 persen. 5 Secara parsial, lingkungan sosial budaya X
14
berpengaruh tidak nyata sig =0,338 0,05 terhadap kinerja petani hutan rakyat Y
11
. Terlihat bahwa koefisien lintas X
14
adalah -0,176. Hal ini berarti besarnya pengaruh X
14
terhadap Y
11
ada lah │-0,176 │ = 0,176 atau 17,6 persen.
6 Secara parsial, kinerja penyuluh kehutanan X
15
berpengaruh tidak nyata sig =0,506 0,05 terhadap kinerja petani hutan rakyat Y
11
. Terlihat bahwa koefisien lintas X
15
adalah -0,133 Hal ini berarti besarnya pengaruh X
15
terhadap Y
11
a dalah │-0,133│= 0,133 atau 13,3 persen.