Pengaruh Lingkungan Penyuluh Kehutanan terhadap Kinerja Penyuluh
penyuluh untuk menjadi tumpuan petani berkonsultasi mencari solusi, dihargai keberadaannya oleh petani, dan mendapat respons yang baik dari petani.
Dalam rangka melengkapi pembahasan berikut dideskripsikan sebaran lingkungan penyuluh kehutanan. Selengkapnya disajikan dalam Tabel 23.
Tabel 23. Sebaran lingkungan penyuluh kehutanan Faktor
indikator Sebaran
Kabupaten Ciamis
Kabupaten Purworejo
n n
Lingkungan penyuluh
kehutanan Rendah
0,00 0,00
Sedang 31
62,00 19
76,00 Tinggi
19 38,00
6 24,00
Organisasi Rendah
1 2,00
0,00 Sedang
30 60,00
16 64,00
Tinggi 19
38,00 9
36,00 Dukungan
Pemerintah Daerah
Rendah 0,00
0,00 Sedang
46 92,00
13 52,00
Tinggi 4
8,00 12
48,00 Dukungan
masyarakat Rendah
4 8,00
0,00 Sedang
24 48,00
20 80,00
Tinggi 22
44,00 5
20,00 Lingkungan dalam mengamati organisasi diukur untuk menganalisis
keberadaan organisasi penyuluh. Penelitian menemukan bahwa, di kedua kabupaten, lingkungan penyuluhan memiliki pengaruh positif nyata terhadap kinerja penyuluh
kehutanan. Artinya, semakin mendukung lingkungan penyuluhan maka semakin tinggi kinerja penyuluh kehutanan. Dengan demikian, dukungan lingkungan menjadi
penentu bagi kualitas kinerja penyuluh kehutanan. Temuan ini sejalan dengan teori kinerja yang menyatakan bahwa kinerja merupakan fungsi dari motivasi, kemampuan
dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan lingkungan di kedua kabupaten tergolong sedang. Indikator dukungan lingkungan penyuluhan kehutanan
di kedua kabupaten sedikit berbeda. Di Kabupaten Ciamis dukungan lingkungan penyuluhan kehutanan direfleksikan oleh dua indikator yaitu organisasi dan
pengakuan dari masyarakat. Sedangkan di Kabupaten Purworejo direfleksikan oleh indikator organisasi dan pengakuan dari masyarakat ditambah dengan dukungan
pemda. Hal ini dapat dijelaskan bahwa keberadaan organisasi penyuluh yang cukup baik dapat meningkatkan kinerja penyuluh kehutanan. Sehingga kepastian peran dan
fungsi sesuai tugas pokoknya dapat dijalankan sesuai harapan semua pihak. Saat ini keberadaan organisasi penyuluh kehutanan dilokasi penelitian masih
dipadukan dengan tupoksi yang lain mengingat keberadaan badan penyuluhan di setiap kabupaten memiliki nilai strategis yang berbeda-beda. Misalnya di Kabupaten
Purworejo, Badan penyuluhan digabungkan dengan tupoksi ketahanan pangan sehingga hal ini dapat mengakibatkan berpengaruh pada kinerja penyuluh kehutanan
dengan tugas pokok utamanya. Selain itu juga dengan berpisahnya dengan dinas teknis terkait mengakibatkan sulitnya berkoordinasi dan komunikasi antar instansi
terkait sebagai pelaksana dengan seluruh pemangu kepentingan yang ada. Organisasi
penyuluhan di lokasi penyuluhan sejak desentralisasi penyuluhan pertanian perikanan dan kehutanan, maka tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengurusnya.
Sehubungan terbatasnya anggaran daerah maka respon organisasi penyuluhan di daerah juga cukup beragam. Di Kabupaten Ciamis, organisasi penyuluhan sudah
dibentuk sebagai sebuah Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan, sementara di Kabupaten Purworejo, badan penyuluhan disatukan dengan
Badan Ketahanan Pangan. Lingkungan dalam mengamati dukungan organisasi diukur untuk menganalisis
penghargaan material dan non material dari Pemerintah Daerah untuk penyuluh. Lingkungan penyuluh kehutanan dalam mengamati organisasi di Kabupaten Ciamis
dan Purworejo rata-rata skor sedang mencapai 60 persen dan 64 persen dari penyuluh kehutanan. Berdasarkan uji beda, tidak ada perbedaan lingkungan penyuluh
kehutanan dalam mengamati organisasi di Kabupaten Ciamis dan Purworejo. Hal ini dapat dijelaskan bahwa adanya perhatian dari Pemerintah Daerah berupa insentif atau
bantuan sarana transportasi memberikan dorongan kepada penyuluh kehutanan untuk bekerja lebih baik.
Lingkungan penyuluh kehutanan dalam mengamati dukungan pemerintah daerah di Kabupaten Ciamis dan Purworejo rata-rata skor sedang mencapai 92 persen
dan 52 persen dari penyuluh kehutanan. Berdasarkan uji beda, ada perbedaan
lingkungan penyuluh kehutanan dalam dukungan pemerintah daerah di Kabupaten Ciamis dan Purworejo.
Selain itu hal ini juga terkait erat dengan indikator dukungan kelembagaan Pemerintah Daerah dalam hal pendanaan. Hal ini dapat dilihat dari dukungan pihak
Pemerintah Daerah maupun DPRD dalam hal alokasi pendanaan dalam APBD yang mendukung penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dengan baik. Pendanaan dari
Pemda Ciamis untuk penyuluhan kehutanan sebesar Rp. 200.000.000 untuk tahun 2011 dan dukungan dana dari APBD Kabupaten Purworejo sekitar Rp. 87.000.000.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bidang lain, Rangkuti 2007 yang menyatakan bahwa rendahnya wewenang pelaksana program menunjukkan rendahnya dukungan
dari Pemerintah daerah. Lingkungan dalam mengamati pengakuan dari masyarakat diukur untuk
menganalisis penghargaan dari masyarakat dengan menilai kemampuan penyuluh untuk menjadi tumpuan petani berkonsultasi mencari solusi, dihargai keberadaannya
oleh petani, dan mendapat respons yang baik dari petani. Lingkungan penyuluh kehutanan dalam mengamati pengakuan dari masyarakat di Kabupaten Ciamis dan
Purworejo rata-rata skor sedang mencapai 48 persen dan 80 persen dari penyuluh kehutanan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penghargaan dari masyarakat terhadap
penyuluh kehutanan masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan uji beda, tidak ada perbedaan lingkungan penyuluh kehutanan dalam mengamati dukungan dari
masyarakat di Kabupaten Ciamis dan Purworejo. Keberadaan penyuluh kehutanan sangat dirasakan manfaatnya oleh petani di
kedua kabupaten sehingga petani merasa terbantu dalam mengelola usahataninya. Rasa terimakasih ini terwujud dalam bentuk penghargaan dan pengakuan atas jasa
penyuluh kehutanan. Situasi ini, secara psikologis, memberikan semangat bagi penyuluh kehutanan untuk meningkatkan kinerjanya yaitu membantu petani agar
mampu mandiri. Lingkungan adalah dukungan yang diberikan berbagai kelompok dalam
masyarakat yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan program hutan rakyat. Lingkungan yang dimaksudkan adalah terkait organisasi, dukungan pemda
dan pengakuan dari masyarakat. Dukungan dari masyarakat memegang peranan penting. Hal ini menunjukkan bahwa unsur pengakuan penyuluh kehutanan dari
petani hutan rakyat cukup besar. Besarnya pengaruh ini sejalan dengan penelitian pada bidang lain, yaitu Effendy 2009 yang menyatakan bahwa pentingnya faktor
eksternallingkungan dalam proses penyuluhan berupa persepsi positif masyarakat atas peran petani pemandu.
4.8.3.
Pengaruh Motivasi Penyuluh Kehutanan terhadap Kinerja Penyuluh Kehutanan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo faktor motivasi penyuluh berpengaruh tidak nyata pada kinerja
penyuluh kehutanan. Artinya, kinerja setiap penyuluh memiliki kinerja yang sama atau tidak ada variasi pada kinerja setiap penyuluh baik penyuluh di Kabupaten
Ciamis maupun di Kabupaten Purworejo Pada dasarnya, sebagaimana temuan penelitian, motivasi penyuluh kehutanan
tergolong sedang, namun apa yang menjadi harapan penyuluh dalam bekerja belum tercapai secara optimal. Indikator motivasi penyuluh di kedua Kabupaten terlihat
sedikit berbeda. Motivasi penyuluh di Kabupaten Ciamis direfleksikan oleh empat indikator yaitu pengembangan potensi diri, pengakuan petani, kebutuhan untuk
berpretasi, dan kebutuhan untuk kekuasaan, sedangkan motivasi penyuluh di Kabupaten Purworejo direfleksikan oleh tiga indikator, yaitu pengakuan petani,
kebutuhan untuk berpretasi, dan kebutuhan untuk kekuasaan. Secara umum rata-rata skor untuk faktor motivasi ini menunjukkan skor sedang. Hal ini juga dapat diketahui
dari masing-masing indikatornya. Selengkapnya disajikan dalam Tabel 24.
Tabel 24. Sebaran motivasi penyuluh kehutanan Faktor
indikator Sebaran
Kabupaten Ciamis
Kabupaten Purworejo
n n
Motivasi penyuluh
kehutanan Rendah
0,00 0,00
Sedang 28
56,00 16
64,00 Tinggi
22 44,00
9 36,00
Faktor indikator
Sebaran Kabupaten
Ciamis Kabupaten
Purworejo n
n Pengembang
an potensi diri
Rendah 0,00
0,00 Sedang
39 78,00
18 72,00
Tinggi 11
22,00 7
28,00 Pengakuan
dari petani Rendah
0,00 1
4,00 Sedang
27 54,00
13 52,00
Tinggi 23
46,00 11
44,00 Kebutuhan
akan berprestasi
Rendah 0,00
0,00 Sedang
32 64,00
14 56,00
Tinggi 18
36,00 11
44,00 Kebutuhan
akan kekuasaan
Rendah 0,00
2 8,00
Sedang 36
72,00 15
60,00 Tinggi
14 28,00
8 32,00
Motivasi penyuluh kehutanan dalam mengembangkan potensi diri diukur untuk menganalisis kemampuan penyuluh dalam rangka peningkatan kualitas diri
mengikuti pendidikan formal, pelatihan, uji coba lapang teknologi spesifik lokasi dan lain-lain untuk menjadi lebih baik.
Motivasi penyuluh kehutanan dalam mengembangkan potensi diri di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo rata-rata skor sedang mencapai 78 persen dan 72
persen dari penyuluh kehutanan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kemampuan penyuluh untuk mengikuti pendidikan formal, pelatihan masih sangat rendah. Hal ini
dikarenakan umur penyuluh kehutanan yang sebagian besar sudah tua dan hal ini mengakibatkan minat untuk mencari inovasi baru sangat berat. Disamping itu hal ini
juga dipengaruhi tingkat pendidikan penyuluh yang masih perlu ditingkatkan terutama yang lulusan SMA. Berdasarkan uji beda, tidak ada perbedaan motivasi
penyuluh kehutanan dalam kemampuan mengembangkan potensi diri di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo.
Motivasi penyuluh kehutanan dalam mengamati pengakuan dari petani diukur untuk menganalisis kemampuan penyuluh untuk menjadi tumpuan petani
berkonsultasi mencari solusi, tingkat penghargaan keberadaannya oleh petani, dan mendapat respons yang baik dari petani.
Motivasi penyuluh kehutanan dalam mengamati pengakuan dari petani di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo rata-rata skor sedang mencapai 54
persen dan 52 persen dari penyuluh kehutanan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penyuluh kehutanan menginginkan mendapatkan respon yang positif dalam hal
pengakuan, sehingga ukuran keberhasilannya selalu disandarkan pada keberhasilan petani hutan rakyat. Berdasarkan uji beda, tidak ada perbedaan motivasi penyuluh
kehutanan dalam mengamati pengakuan dari petani di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo.
Motivasi penyuluh kehutanan dalam mengamati kebutuhan akan berprestasi diukur untuk menganalisis Pengukuran berdasarkan tingkat keinginan untuk
berprestasi,tingkat keinginan untuk berkompetisi, dan tingkat ketidaktergantungan terhadap gaji atau imbalan. Motivasi penyuluh kehutanan dalam mengamati
kebutuhan akan berprestasi di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo rata-rata skor sedang mencapai 64 persen dan 56 persen dari penyuluh kehutanan. Hal ini
dapat dijelaskan bahwa keinginan penyuluh kehutanan untuk berprestasi cukup besar dan juga keinginan untuk berkompetisi dengan sesama penyuluh kehutanan maupun
penyuluh lainnya juga besar. Berdasarkan uji beda, tidak ada perbedaan motivasi penyuluh kehutanan dalam mengamati kebutuhan akan berprestasi di Kabupaten
Ciamis dan Kabupaten Purworejo. Motivasi penyuluh kehutanan dalam mengamati kebutuhan akan kekuasaan
diukur untuk tingkat keinginan untuk menduduki jabatan penting, tingkat keinginan untuk bersaing dalam mendapatkan pengaruh. Motivasi penyuluh kehutanan dalam
mengamati kebutuhan akan kekuasaan di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo rata-rata skor sedang mencapai 72 persen dan 60 persen dari penyuluh
kehutanan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa motivasi penyuluh untuk menduduki
jabatan sangat kecil, karena penyuluh sudah menyadari bahwa tugas pokoknya secara fungsional adalah sebagai penyuluh yang tugasnya mengabdi kepada petani hutan
rakyat. Berdasarkan uji beda, tidak ada perbedaan motivasi penyuluh kehutanan dalam mengamati kebutuhan akan kekuasaan di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten
Purworejo.
Kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Ciamis tidak dipengaruhi oleh keempat indikator motivasi yaitu pengembangan potensi diri, pengakuan petani,
kebutuhan untuk berpretasi, dan kebutuhan untuk kekuasaan, kalaupun ada pengaruh namun tidak signifikan artinya kontribusi keempat indikator tersebut. Kinerja
Penyuluh kehutanan ditinjau dari keempat indikator tersebut adalah sama. Hal ini terjadi karena upaya pengembangan potensi diri yang dilakukan penyuluh kehutanan
di Kabupaten Ciamis tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Pengakuan petani terhadap keberadaaan penyuluh di kedua kabupaten tidak sebanding dengan apa yang
diinginkan dan dilakukan penyuluh sehingga tidak mampu mendorong penyuluh untuk menngkatkan kinerjanya. Penyuluh kehutanan di kedua kabupaten juga merasa
bahwa kebutuhan berprestasi dan kebutuhan untuk kekuasaan dalam diri mereka tidak akan banyak membantu dalam menngkatkan karir mereka. Hal ini sebagai akibat
adanya kebijakan otonomi daerah yang tidak memperhatikan pentingnya penyuluhan kehutanan dalam mendorong atau meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan masyarakat desa. Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan energi seseorang yang dapat
menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri motivasi intrinsik
maupun dari luar individu motivasi ekstrinsik. Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya,
baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik,
manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja prestasi seseorang.
Pada dasarnya motivasi dapat mendorong penyuluh untuk bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan produkitvitas
kerja penyuluh sehingga berpengaruh pada pencapaian tujuan lembaga penyuluhan. Sumber motivasi ada tiga faktor, yakni 1 Kemungkinan untuk berkembang, 2 Jenis
pekerjaan, dan 3 Apakah mereka dapat merasa bangga menjadi bagian dari petani tempat mereka bekerja. Di samping itu terdapat beberapa aspek yang berpengaruh
terhadap motivasi kerja penyuluh, yakni: kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, kebutuhan untuk kekuasaan, rasa aman dalam bekerja, mendapatkan
gaji yang adil dan kompetitif, lingkungan kerja yang menyenangkan, penghargaan atas prestasi kerja, dan perlakuan yang adil dari organisasi penyuluh. Dengan
melibatkan penyuluh dalam pengambilan keputusan, pekerjaan yang menarik dan menantang, kelompok dan rekan-rekan kerja yang menyenangkan, kejelasan akan
standar keberhasilan, output yang diharapkan serta, bangga terhadap pekerjaan dan umpan balik dari petani dapat menjadi faktor pemicu peningkatan kinerja penyuluh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peubah motivasi penyuluh berpengaruh tidak nyata pada kinerja penyuluh kehutanan. Hal ini berbeda dengan Bestina 2006
yang menyimpulkan bahwa motivasi penyuluh berpengaruh nyata pada kinerja mereka. Selain itu adanya pengaruh motivasi pada kinerja penyuluh sejalan dengan
Alfikri 2009 yang menemukan bahwa motivasi berpengaruh nyata pada kinerja penyuluh KB.
Hasil penelitian ini berbeda dengan Bahua 2011 menunjukkan bahwa peubah motivasi berpengaruh nyata pada kinerja penyuluh pertanian. Dimensi motivasi
penyuluh yang berhubungan erat dengan kinerja penyuluh pertanian adalah: 1 pengembangan potensi diri, meliputi: harapan berkesempatan mengikuti pendidikan
formal, pelatihan dan melakukan percobaan lapangan teknologi spesifik lokasi dan 2 kebutuhan untuk berafiliasi, meliputi: keinginan untuk diterima orang lain di
lingkungan penyuluh tinggal dan bekerja, keinginan untuk dihormati, keinginan untuk maju dan tidak gagal dan keinginan untuk ikut serta berpartisipasi.
Penelitian lain yang berbeda adalah Siagian 2002 yang menjelaskan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja individu yakni: kinerja, motivasi,
kemampuan, dan tugas yang tepat. Selain itu Mangkunegara 2001 menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja individu adalah: 1 Faktor kemampuan dan
2 Faktor motivasi yang terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Rokhimah 2007, yang menyimpulkan bahwa motivasi kerja berpengaruh
nyata pada kinerja karyawan.
Perbedaan hasil penelitian ini karena disebabkan oleh motivasi penyuluh yang relatif seragam yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah daerah. Hal ini dapat
dilihat dari kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam pengembangan penyuluh yang dapat dilihat dari anggaran untuk lembaga penyuluhan yang masih terbatas. Hal
ini berarti, tinggi rendahnya motivasi penyuluh tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi kinerja penyuluh kehutanan. Ketidakberartian ini bukan berarti motivasi
penyuluh kehutanan tidak penting bagi kinerja penyuluh kehutanan, namun lebih disebabkan hal-hal yang mendorong penyuluh untuk bekerja optimal belum sesuai
harapan penyuluh serta pekerjaan yang dilakukan oleh penyuluh kehutanan merupakan pekerjaan yang bersifat rutin dan cenderung seragam sesuai dengan
tupoksi yang telah ditetapkan oleh pemerintah.