Latar Belakang Kinerja Petani Hutan Rakyat Dan Penyuluh Kehutanan Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah
hutan, yakni minimal harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan oleh rata-rata pemilikan lahan di Pulau Jawa sangat sempit. Dengan sempitnya pemilikan lahan
setiap keluarga, hal ini mendorong kepada pemiliknya untuk memanfaatkan seoptimal mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada umumnya pemilik
berusaha memanfaatkan lahan dengan membudidayakan tanaman-tanaman yang bernilai tinggi dan cepat menghasilkan. Hamparan hutan rakyat yang kompak dengan
luasan cukup biasanya ditemui pada petani yang memiliki lahan di atas rata-rata, pada lahan marginal dan pada lahan terlantar Hardjanto 2000.
Pengusahaan hutan rakyat memiliki peranan besar didalam pengembangan ekonomi pedesaan mengingat kegiatan yang terlibat baik langsung maupun tidak
langsung dalam kegiatan yaitu produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan kelembagaan cukup banyak. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam usaha hutan
rakyat ini cukup banyak, antara lain: pemilik lahan, petani penggarap, buruh tani, pekerja kasar, sampai dengan pedagang dan industri serta pemerintah daerah. Hal ini
juga berdampak pada perkembangan perekonomian desa Hardjanto 2003. Pengusahaan hutan rakyat juga mampu memberikan lapangan pekerjaan
terhadap tenaga kerja produktif, mampu menstimulir usaha ekonomi produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan rakyat, bahkan hutan rakyat
juga terbukti mampu meminimalisir dampak krisis moneter. Dalam rangka meningkatkan peran hutan rakyat dalam perekonomian desa, maka perlu adanya
intensifikasi pengelolaan hutan rakyat, sehingga hutan rakyat lebih mampu melebarkan spektrum perannya dalam meningkatkan perekonomian khususnya di
pedesaan sebagai basis usaha hutan rakyat. Makin intensifnya pengusahaan hutan rakyat secara umum akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan
kontribusi pendapatan yang lebih luas, karena para pelaku yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat makin banyak. Dengan terjadinya peningkatan pendapatan
dari masing-masing individu yang terlibat dalam pengusahaan hutan maka secara tidak langsung, usaha hutan rakyat ini akan ikut mendongkrak perekonomian
pedesaan Darusman dan Hardjanto 2006
Namun demikian, penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa kinerja petani hutan rakyat di Pulau Jawa saat ini masih rendah Hardjanto 2003; Daniyati
2009; Sumarlan 2012. Hardjanto 2003 menyatakan adanya beberapa variabel atau faktor internal yang berpengaruh melemahkan pengembangan usaha kayu rakyat,
yaitu: pemilikan lahan sempit, kelembagaan masyarakat, teknologi pemanenan dan pasca panen, keterbatasan modal dan aksesnya, tingkat pendidikan petani rendah,
keterbatasan informasi dan aksesnya, ketergantungan besar pada tengkulak, belum adanya rencana yang bersifat strategis, dan kelangkaan petani yang berkualitas.
Daniyati 2009 menjelaskan bahwa petani hutan rakyat kurang memiliki kemampuan mengolah hasil hutannya.
Demikian juga
Sumarlan 2012 menyatakan bahwa kinerja petani hutan rakyat rendah.
Kinerja petani hutan rakyat dipengaruhi dalam menjalankan fungsi dan peran dapat berasal dari dalam individu dan dari luar individu. Salah satu faktor eksternal
yang berhubungan dengan kinerja petani hutan rakyat adalah penyuluh kehutanan. Pemberdayaan petani hutan rakyat dalam rangka meningkatkan kinerjanya
merupakan upaya untuk membangun kemandirian petani dengan kualitas kinerja yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan kualitas kinerja penyuluh kehutanan yang tinggi.
Penyuluh kehutanan harus memiliki kompetensi, motivasi dan kemandirian yang tinggi untuk melaksanakan fungsi pembinaan dan pendampingan dalam menjalankan
tugas pokok dan fungsinya. Keberadaan penyuluh kehutanan merupakan salah satu ujung tombak
pembangunan kehutanan di lapangan. Penyuluh kehutanan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mendidik dan mengajak masyarakat sekitar hutan
agar mau dan mampu ikut terlibat di dalam pengelolaan hutan secara lestari. Kondisi ideal yang dapat menunjang keberhasilan penyuluhan kehutanan adalah kesadaran,
kerelaan dan kesiapan penyuluh tersebut untuk mampu mendampingi masyarakat dengan berada di tengah-tengah atau bila perlu menetap bersama masyarakat
Suprayitno 2008. Pusbinluhhut 2003 menyebutkan bahwa strategi yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat adalah melalui usaha pendampingan. Dalam hal ini,
pendamping atau penyuluh dan masyarakat membentuk hubungan kemitraan yang di
dalamnya terdapat pola hubungan koordinasi, kooperasi, dan kolaborasi Suporahardjo 2005.
Beberapa hasil penelitian tentang kinerja penyuluh kehutanan menunjukkan bahwa kinerja dan kompetensi penyuluh kehutanan masih perlu ditingkatkan
Asmoro 2009 dan Hadiyanti 2002. Hasil penelitian Hadiyanti 2002 mengungkapkan bahwa kinerja penyuluh kehutanan dalam pelaksanaan tugasnya di
Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat menunjukkan kinerja rendah. Asmoro 2009 menyatakan bahwa kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Purwakarta dan
Kuningan Provinsi Jawa Barat menunjukkan kinerja sedang. Demikian juga hasil evaluasi Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional II Kementerian
Kehutanan yang melingkupi Wilayah Pulau Jawa dan Nusa Tenggara tahun 2011 menyatakan bahwa permasalahan dalam penyuluhan kehutanan adalah kuantitas dan
kualitas penyuluh kehutanan. Berdasarkan data dari Pusat Pembinaan Penyuluhan Kementerian Kehutanan sampai dengan Bulan Maret 2011, jumlah keseluruhan
penyuluh kehutanan se-Indonesia adalah sebanyak 3.770 orang yang tersebar di Pusat, Dinas Kehutanan ProvinsiBadan Koordinasi Penyuluh, Dinas Kehutanan
KabupatenKotaBadan Pelaksana Penyuluhan, dan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kepala Badan Pengembangan
Penyuluhan Kehutanan Kementerian Kehutanan juga menekankan bahwa jumlah Penyuluh Kehutanan Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat
masih sangat kurang. Jumlah penyuluh kehutanan di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 725 orang, sedangkan di Provinsi Jawa Barat 480 orang. Penelitian ini juga akan
mengkaji kinerja penyuluh kehutanan yang salah satunya dihubungkan dengan kinerja petani hutan rakyat dan faktor-faktor internal maupun eksternal yang
berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan. Inilah yang menjadi fokus perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
Hadiyanti 2002 menyatakan bahwa penelitian di Kabupaten Cianjur tentang penyuluh kehutanan yang difokuskan pada pengetahuan atas content area, process
area, keinovatifan penyuluh dan akses terhadap jaringan komunikasi menjelaskan bahwa tingkat kinerja penyuluh secara nyata dipengaruhi oleh faktor internal yang
meliputi: 1 Tingkat pendidikan, 2 Pengalaman kerja, 3 Persepsi terhadap tanggungjawab, 4 Persepsi terhadap tugas pokok dan 5 Sikap terhadap
tanggungjawab dan faktor eksternal yang berhubungan kinerja penyuluh kehutanan meliputi: 1 Jumlah kompensasi, 2 Tingkat pengakuan keberhasilan, 3 Intensitas
hubungan interpersonal, 4 Intensitas supervisi, dan 5 Tingkat ketersediaan sarana dan prasarana penyuluhan. Faktor internal dan eksternal lainnya yang diduga
dapat berhubungan kinerja penyuluh adalah motivasi terutama motivasi untuk berprestasi dan iklim organisasi penyuluh sebagai lembaga yang menaungi para
penyuluh kehutanan. Penelitian terhadap kinerja penyuluh kehutanan menjadi sangat penting sebagai upaya untuk mengadakan pembinaan dan peningkatan
profesionalismenya sesuai tuntutan pembangunan dibidang kehutanan serta dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kehutanan pada umumnya
dan kualitas penyuluh kehutanan pada khususnya. Petani berada pada usia
produktif dan pengalaman beragribisnis cukup lama, namun belum ditunjang oleh pendidikan formal dan non formal yang tinggi serta belum didukung oleh luas
penguasaan lahan pertanian yang memadai. Asmoro 2009 menyatakan bahwa kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten
Purwakarta dan Kuningan tergolong sedang. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara motivasi berprestasi dengan kinerja penyuluhan kehutanan terampil. Terdapat
hubungan positif sangat nyata antara iklim organisasi dengan kinerja penyuluhan terampil. Sub peubah motivasi berprestasi yang berhubungan dengan kinerja
penyuluh kehutanan terampil adalah berusaha menghindari kegagalan, sedangkan sub peubah iklim organisasi yang berhubungan dengan kinerja penyuluhan kehutanan
terampil adalah rasa tanggung jawab, standar atau harapan tentang kualitas pekerjaan, ganjaran atau reward, rasa persaudaraan dan semangat tim.
Penelitian tentang kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan serta faktor-faktor yang berhubungannya masih sangat terbatas. Penelitian ini menelaah
lebih mendalam tentang kinerja petani hutan rakyat dan kinerja penyuluh kehutanan dengan melihat faktor-faktor yang berhubungan dan rekomendasi dalam peningkatan
kinerja petani hutan rakyat maupun penyuluh kehutanan. Dalam penelitian ini kinerja
petani hutan rakyat diukur dengan pencapaian penerapan prinsip pengelolaan hutan lestari. Fokus penelitian yang mengkaitkan kinerja petani hutan rakyat dengan
pencapaian pengelolaan hutan lestari belum mendapat perhatian dalam penelitian- penelitian sebelumnya.