UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
105 C selama 3 jam. Setelah itu didinginkan dalam desikator selama 30
menit, lalu ditimbang dan dicatat bobotnya. Pemanasan diulangi kembali dan ditimbang hingga diperoleh bobot yang konstan. Perhitungan kadar
air dilakukan dengan menggunakan rumus :
Keterangan : W
a
= Bobot sebelum dikeringkan gram W
b
= Bobot akhir setelah dikeringkan gram SNI 01-2891-1992
c. Penentuan Kadar Abu
Krus porselen dikeringkan di dalam tanur pada suhu 550 C
kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot wadah. Selanjutnya sebanyak 0,300 gram sampel pektin ditimbang dan
dimasukkan dalam krus porselen yang telah diketahui bobotnya, lalu dimasukkan dalam tanur pada suhu 550
C sampai pengabuan sempurna. Residu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh
bobot tetap. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan rumus :
Keterangan : W
= Bobot sampel awal gram W
1
= Bobot wadah + sampel setelah pemanasan gram W
2
= Bobot wadah kosong gram SNI 01-2891-1992
d. Penentuan Berat Ekivalen
Nilai berat ekivalen digunakan untuk perhitungan kadar galakturonat dan derajat esterifikasi. Berat ekivalen ditentukan dengan
menimbang sampel pektin sebanyak 0,500 gram dimasukkan dalam erlenmeyer 250 mL, lalu dilembabkan dengan 2 mL etanol absolut dan
dilarutkan dalam 100,0 mL air suling bebas CO
2
yang berisi 1,0 gram
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
NaCl serta ditambahkan 6 tetes indikator phenoftalein sebagai indikator. Campuran tersebut kemudian diaduk dengan cepat untuk memastikan
bahwa semua substansi pektin telah terlarut dan tidak ada gumpalan yang menempel pada sisi erlenmeyer. Titrasi dilakukan perlahan-lahan dengan
titran standar NaOH 0,1027 N sampai warna campuran berubah menjadi merah muda dan tetap bertahan selama setidaknya 30 detik.
Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013
e. Kadar Metoksil
Penentuan kadar metoksil dilakukan dengan menambahkan 25,0 mL NaOH 0,25 N ke dalam larutan netral dari penentuan BE
kemudian dikocok dengan benar dan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar dalam erlenmeyer tertutup. Selanjutnya ditambahkan
25,0 mL HCl 0,25 N dan 6 tetes indikator phenoftalein kemudian dititrasi dengan titran NaOH 0,1027 N hingga larutan berubah menjadi merah
muda.
Keterangan : Nilai 31 didapatkan dari bobot molekul metoksil yang berupa CH
3
O. Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013
f. Kadar Galakturonat
Kadar galakturonat dihitung dari mEk miliekivalen NaOH yang diperoleh dari penentuan BE dan kandungan metoksil.
Keterangan : = Diperoleh dari mEk NaOH untuk asam bebas pada penentuan BE
= Diperoleh dari mEk NaOH pada penentuan metoksil Nilai 176 diperoleh dari berat ekivalen terendah asam pektat.
Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
g. Derajat Esterifikasi
Derajat esterifikasi dihitung dari kadar metoksil dan kadar galakturonat yang telah diperoleh.
Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013
h. Viskositas Larutan Pektin
Pengujian viskositas dilakukan menggunakan viskotester HAAKE 6R terhadap setiap larutan pektin 1 dari masing-masing kondisi
ekstraksi menggunakan spindel R2 dengan kecepatan putar 60 rpm pada suhu ruang. Nilai viskositas dalam satuan centipoises cPs Goycoolea
dan Adriana, 2003.
3.6 Perbandingan Spektrum FTIR
Perbandingan spektrum FTIR pektin hasil ekstraksi dengan pektin standar dilakukan dengan menggunakan Spektroskopi IRPrestige-21
Shimadzu pada daerah 400-4000 cm
-1
dengan resolusi 2 cm
-1
dan 16 scan. Sampel uji dibuat dengan mencampurkan 20 mg serbuk pektin dengan
100 mg KBr untuk membuat pellet. Setelah didapatkan spektrum masing-masing, selanjutnya dibandingkan tiap serapan gugus fungsionalnya
antara pektin hasil ekstraksi dengan pektin komersial yang dibeli dari Cargill
®
dan Danisco
®
yang digunakan sebagai standar Gopi, et. al., 2014 dengan modifikasi.
3.7 Perbandingan Pektin Hasil Penelitian terhadap Pektin Komersial
Karakterstik pektin hasil penelitian selanjutnya dibandingkan dengan pektin komersial pektin Cargill
®
dan Danisco
®
yang digunakan sebagai standar. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kualitas pektin hasil penelitian
dengan merujuk pada standar mutu yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia Edisi V 2014, Food Chemical Codex 2004, dan IPPA 2003.
32
UN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penentuan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini berupa limbah kulit pisang kepok kuning yang diperoleh dari pengolahan kripik pisang di daerah
Ciputat di mana buah pisangnya disuplai dari Cilawu, Garut. Buah pisang kepok sering dimanfaatkan untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan
seperti kripik pisang, sehingga akan menyisakan kulit pisang yang kurang pemanfaatannya dan umumnya dibuang sebagai limbah. Pemilihan limbah
kulit pisang kepok ini adalah untuk memanfaatkan limbah terbuang yang sudah tidak digunakan menjadi suatu bahan baku produksi pektin yang
bernilai ekonomis. Cahyono 2009 mengungkapkan bahwa pektin terdistribusi secara
luas dalam jaringan tanaman dan umumnya terdapat pada dinding sel. Pisang kepok memiliki kulit buah yang cukup tebal dengan kandungan
pektin di dalamnya berkisar 10-21 Mohapatra, et. al., 2010. Pemilihan bahan baku kulit pisang kepok memiliki kelebihan yaitu diperoleh dengan
tidak mengeluarkan biaya karena berupa limbah organik yang dibuang begitu saja, sehingga dapat menekan biaya produksi pektin, dan diharapkan
dapat menghasilkan pektin dalam jumlah besar dan ekonomis tanpa mengurangi kualitas pektin yang dihasilkan.
4.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku
Determinasi tanaman bahan baku terlebih dahulu dilakukan untuk mengetahui identitas tanaman yang digunakan dan untuk menghindari
terjadinya kesalahan dalam pemilihannya. Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Cibinong, Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa bahan baku yang digunakan adalah benar tanaman pisang kepok
Musa balbisiana BBB dari famili Musaceae. Sertifikat hasil determinasi dapat dilihat pada Lampiran 1.