P e n g e n d a l i a n S o s i a l
| 59
penyimpangan terhadap norma tersebut. Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam pelaksanaan kontrol sosial, yaitu:
a. Sanksi yang bersifat fisik
Sanksi fisik adalah sanksi yang mengakibatkan penderitaan fisik pada mereka yang dibebani sanksi tersebut. Contohnya didera, dipenjara
dan lainnya. b.
Sanksi yang bersifat psikologik Sanksi psikologik adalah sanksi yang mengakibatkan penderitaan yang
dikenakan pada si pelanggar norma itu bersifat kejiwaan dan mengenai perasaan. Contohnya hukuman dipermalukan di muka umum,
diumumkannya segala kejahatan yang telah diperbuat dan sebagainya.
c. Sanksi yang bersifat ekonomik
Sanksi ekonomik adalah sanksi yang mengakibatkan penderitaan yang dikenakan pada si pelanggar norma itu berupa pengurangan kekayaan
atau potensi ekonominya. Contohnya pengenaan denda, penyitaan harta dan lainnya.
Pada prakteknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan. Untuk
mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan insentif-insentif positif. Insentif
adalah dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan perilaku-perilaku yang salah. Jenis insentif bisa
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: a.
Insentif yang bersifat fisik Insentif fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta tidak begitu
mudah diadakan. Rasa nikmat jasmaniah yang diperolah tidaklah akan sampai seekstrim rasa derita yan dirasakan di dalam sanksi fisik.
Misalnya jabatan tangan, usapan tangan di kepala dan lainnya. Insentf ini hanya sekedar simbol saja. Kebanyakan insentif fisik lebih tepat
dirasakan sebagai insentif psikologik.
b. Insentif yang bersifat psikologik
c. Insentif yang bersifat ekonomik
Insentif ekonomik kebanyakan berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang yang lebih banyak.
5.3 Efektif Tidaknya Kontrol Sosial
Apakah kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga-warga masyarakat agar selalu menyesuaikan diri
dengan norma-norma sosial? Untuk menjawab pertanyaan itu, ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya
sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat.
60 |
S O S I O L O G I K E S E H A T A N
a. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga yang
bersangkutan Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecenderungan
pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-
enforcing.
Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan menaati keharusan norma, begitu juga
sebaliknya. b.
Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya dan
semakin sedikitlah
jumlah penyimpangan-penyimpangan
dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok.
Dari penelitian Marsh menemukan bahwa semakin otonom suatu kelompok itu ditandai oleh semakin tidak adanya kesadaran pada
kelompok yang bersangkutan bahwa di luar kelompoknya itu hanyalah bagian saja dari kelompok lain yang lebih besar, maka semakin
sedikitnya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalamnya.
c. Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu
Makin beragam macam norma yang berlaku dalam suatu kelompok, maka antara norma itu tidak ada kesesuaian. Atau apabila
bertentangan, maka semakin berkuranglah efektifitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya, hal ini dikemukakan oleh Mayers.
Menurut Meyers, bahwa apabila seseorang dibebani norma oleh dua orang, sedangkan norma itu saling bertentangan yang satu
mengharuskan dilaksanakannya sesuatu tugas tertentu, sedangkan yang lainnya melarang dilaksanakannya sesuatu tugas tertentu,
sedangkan yang lainnya melarang dilaksanakannya tugas itu maka akibat akan timbul pekerti yang serba ragu-ragu dan tidak konstruktif
pada pihak yang menerima perintah norma itu. Maka berkuranglah kemampuan kontrol sosial untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
tugas tersebut dengan tegas, segera dan benar. Masyarakat modern, khususnya masyarakat kota. Oleh adanya norma-
norma yang amat beragam. Sekian banyak gugus norma sosial yang bersifat heterogen berlaku pada saat bersamaan di dalam masyarakat
modern yang amat kompleks itu. Norma-norma tersebut, seringkali bertentangan, sehingga ndividu-individu sering kali dibandingkan
dalam menentukan norma-norma manakah yang seharusnya diturut. Hidup di tengah-tengah sekian banyak macam norma yang saling
berlainan dan bertentangan, seseorang bisa saja melanggar sesuatu norma tertent dengan sengaja. Namun dengan tetap mendapatkan
pembenaran dari norma yang lain.
P e n g e n d a l i a n S o s i a l
| 61
d. Besar-kecilnya dan bersifat anomie-tidaknya kelompok masyarakat
yang bersangkutan Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang
saling mengindentifikasikan dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik kesamaan anomie
keadaan tidak bisa saling mengenal, semakin bebaslah individu- individu untuk berbuat semaunya. Dan kontrol sosial pun akan lumpuh
tanpa daya. Masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face to face. Tanpa bisa
bersembunyi di balik sesuatu anomie dan tanpa bisa sedikitpun memanipulasi situasi keterogenitas norma. Maka warga masyarakat
primitif yang kecil hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu
terasa amat kuatnya, sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya, sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap
memperhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan. Beda halnya dengan masyarakat modern yang besar, anomie,
kompleks dan heterogen. Melemahnya kekuatan kontrol sosial yang informal d masyarakat modern menyebabkan diintroduksikannya di
dalam masyarakat modern itu sejumlah badan-badan kontrol sosial yang berstatus formal, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Badan-badan pelaksana kontrol sosial yang terorganisir, berfungsi mengatasi kelemahan-kelemahan kontrol sosial yang ada. Penambahan
kontrol sosial formal di dalam masyarakat modern ini sering kali belum bisa menandingi efektifitas kontrol sosial informal di
masyarakat-masyarakat primitif.
e. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran
yang terjadi Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan
konsekuan, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran menegang agen-agen kontrol sosial
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor tersebut: 1.
Ekstrim tidaknya pelanggaran norma itu Apabila pelanggaran itu bersifat kecil dan tidak seberapa berarti,
maka biasanya para petugas kontrol sosial akan bersikap toleran saja. Kalau pelanggaran-pelanggaran itu ringan-ringan saja, para
petugas kontrol sosial akan berpura-pura tidak melihatnya atau tidak akan mengacuhkannya. Jika pelanggaran-pelanggaran itu
terjadi cukup keterlaluan dan atau berulang, maka di dalam hal ini
62 |
S O S I O L O G I K E S E H A T A N
kontrol sosial akan membiarkan saja. Kriteria yang dipakai untuk menetapkan apakah suatu pelanggaran norma tertentu itu masih
tidak apa-apa atau sudah keterlaluan, didasarkan pada ukuran tradisi sosial setempat.
2. Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi
Di dalam situasi krisis, batas toleransi kontrol sosial terhadap pelanggaan-pelanggaran norma sosial mungkin berubah. Apa yang
semula normaliter dianggap sebagai sesuatu pelanggaran yang amat keji, pada situasi-situasi krisis mungkin sekali bisa dimengerti
sebagai perbuatan-perbuatan yang selayaknya dimaafkan. Dan kontrol sosial akan menjadi keras dan tegas kembali sesegera
suasana krisis hilang dan suasana damai pulih kembali. Dengan kata lain, di dalam suasana-suasana krisis yang dilakukan di dalam
daerah damai yang masih berjalan normal. Situasi sebaliknya dalam keadaan krisis mungkin pula bisa terjadi kontrol sosial tidak
semakin melunak, melainkan semakin mengeras.
3. Status dan reputasi yang ternyata melakukan pelanggaran
Status dan reputasi individu yang melanggar norma sering kali pula merupakan faktor yang mempengaruhi sikap subjektif para petugas
kontrol sosial di dalam melaksanakan kontrol sosialnya itu. Seseorang yang mempunyai status superior kaliber, kakap atau
memiliki popularitas, lazim mendapatkan perlakuan-perlakuan khusus dari masyarakat sekelilingnya, antara lain juga dari para
pelaksana kontrol sosial. Para pelaksana kontrol sosial cenderung untuk menganggap bahwa pelanggaran-pelanggaran borma yang
dilakukan oleh orang-orang berstatus dan bereputasi tinggi itu terjadi secara tidak sengaja atau setidak-tidaknya tidak
mengandung motif jahat dan karenanya tidak perlu dikontrol secara terlampau keras.
Di samping memberikan perlakuan lunak di dalam hal-hal tertentu kepada warga masyarakat yang berstatus tinggi, kontrol sosial di
dalam hal-hal yang lain malahan berlaku sebaliknya, tidak bersikap toleran, akan tetapi justru malahan menurut adanya konformitas
yang penuh. Tanpa membolehkan adanya penyimpangan atau kelunakan sedikit pun.
4. Asasi tidaknya nilai moral yang terkandung di dalam norma yang
terlanggar Norma yang dilanggar, dalam arti mengandung nilai yang berasasi
atau tidakkah norma itu, ternyata ikut pula mempengaruhi sampai sejauh manakah petugas kontrol sosial mungkin bisa bersikap
toleran. Kontrol sosial akan lebih diterapkan secara lunak apabila
P e n g e n d a l i a n S o s i a l
| 63
menghadapi persoalan-persoalan yang tidak seberapa lazim daripada kalau menghadapi persoalan-persoalan yang dinilai amat
prinsipil serta menyangkut kesejahteraan rohani masyarakat. Batas penentu manakah nilai yang asasi dan mana pula yang tidak asasi
selalu bisa saja berubah.
5.4 Bentuk Kontrol Sosial