Buku Ajar SOSIOLOGI KESEHATAN

(1)

Dewi Rokhmah

Jember University Press Jl. Kalimantan 37 Jember 68121 Telp. 0331-330224, psw. 319, 320 E-mail: upt-penerbitan@unej.ac.id

Anggota IKAPI No. 127/JTI/2011 Anggota APPTI No. 036/KTA/APPTI/X/2012

9 7 8 6 0 2 9 0 3 0 7 0 9 ISBN 602903070-1 ISBN: 978-602-9030-70-9

Membangun Generasi Menuju Insan Berprestasi N

U IVE

R R E S B IT

M Y

EJ

Sosiologi


(2)

Buku Ajar

SOSIOLOGI KESEHATAN

Oleh:

Drs. Husni Abdul Gani, M.S.

Dewi Rokhmah, S.K.M., M.Kes.


(3)

SOSIOLOGI KESEHATAN

Diterbitkan oleh UPT Penerbitan UNEJ

Jl. Kalimantan 37 Jember 68121

Telp. 0331-330224, Voip. 0319, Fax. 0331-339029

E-mail: upt-penerbitan@unej.ac.id

Hak Cipta @ 2014

Cover/Layout: Noerkoentjoro W.D.

Perpustakaan Nasional RI – Katalog Dalam Terbitan 614

H Husni Abdul Gani, dkk

s Sosiologi Kesehatan/oleh Husni Abdul Gani, dkk.--Jember: Jember University Press, 2014 xii, 156 hlm. ; 23 cm.

ISBN: 978-602-9030-70-9

1. KESEHATAN MASYARAKAT I. Judul

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak tanpa ijin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, maupun microfilm.


(4)

iii

Mata Kuliah Sosiologi Kesehatan merupakan mata kuliah dasar yang menjadi prasyarat dalam peminatan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku (PKIP) Fakultas Kesehatan Masyarakat, dimana didalamnya terdapat teori dasar sosiologi dan pengembangan aplikasinya dalam bidang kesehatan masyarakat. Mata kuliah ini akan menjadi rujukan dasar dalam pengembangan perkuliahan di bagian PKIP serta menjadi rujukan awal dalam mengembangkan penelitian dalam bidang promosi kesehatan dan ilmu perilaku terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, hadirnya sebuah buku ajar untuk mata kuliah Sosiologi Kesehatan sangat diperlukan.

Buku ajar Sosiologi Kesehatan ini adalah buku ajar yang cukup istimewa karena merupakan buku ajar pertama yang memadukan dua keilmuan dasar yaitu sosiologi dan kesehatan masyarakat, dimana penulis berharap dapat membantu mahasiswa dan praktisi kesehatan masyarakat dalam memahami paradigma sehat dalam kacamata ilmu sosial, serta konsep sosiologi dalam konteks kesehatan masyarakat.

Semoga buku ajar Sosiologi Kesehatan ini dapat memperkaya khasanah referensi dalam bidang kesehatan masayarakat bagi mahasiswa dan seluruh pembaca. Segala bentuk saran dan kritik sangat kami harapkan dalam perbaikan buku ini ke depan. Terima Kasih dan Kami ucapkan selamat membaca dan menikmati buku ini.

Jember, Februari 2015 Ketua Bagian PKIP FKM Universitas Jember


(5)

iv Bismillahirahmanirahim

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga Buku Ajar Sosiologi Kesehatan ini dapat diterbitkan. Buku ini disusun oleh penulis atas pertimbangan minimnya buku pegangan mata kuliah Sosiologi Kesehatan terutama bagi mahasiswa kesehatan khususnya pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat. Buku ini terdiri dari beberapa bab yang membahas teori sosiologi dan penerapannya pada bidang kesehatan masyarakat (Kependudukan dan Kesehatan, Kemiskinan dan Kesehatan, Keseimbangan Lingkungan dan Kesehatan, Bencana dan Kesehatan serta Gender dan Kesehatan).

Buku Sosiologi Kesehatan ini sangat sesuai digunakan oleh mahasiswa kesehatan dari berbagai jurusan (Kesehatan masyarakat, Kedokteran, Keperawatan, Kebidanan, Farmasi) maupun para praktisi yang sudah bekerja di Institusi pemerintah (pegawai Dinas Kesehatan, Puskesmas, Rumah Sakit, BKKBN) maupun bagi masyarakat yang

consernt di bidang public health.

Semoga buku ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kemampuan seluruh pembaca dalam memahami konsep sosialogi dalam konteks kesehatan masyarakat. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan buku ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membanguan sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jember, Februari 2015 Penulis


(6)

v

Halaman

Kata Pengantar ... iii

Prakata ... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Gambar ... x

Daftar Tabel ... xi

BAB 1 PENGERTIAN DAN METODE-METODE SOSIOLOGI ... 1

1.1 Definisi Sosiologi dan Sifat Hakikatnya ... 2

1.1.1 Definisi Sosiologi ... 2

1.1.2 Hakikat Sosiologi ... 4

1.2 Obyek Sosiologi ... 5

1.3 Metode-Metode Dalam Sosiologi ... 5

Bahan Diskusi ... 7

Rangkuman ... 7

Soal Latihan ... 8

Tindak Lanjut ... 8

Daftar Bacaan ... 8

BAB 2 INTERAKSI SOSIAL ... 9

2.1 Pengertian Interaksi Sosial ... 2

2.2 Jenis Tindakan Sosial ... 10

2.3 Pengambilan Peranan Dalam Interaksi Sosial ... 11

2.4 Syarat Terjadinya Interaksi Sosial ... 12

2.5 Bentuk Interaksi Sosial ... 13

2.5.1 Proses-proses yang Asosiatif ... 14

2.5.2 Proses-proses yang Disosiatif ... 18

Bahan Diskusi ... 20

Rangkuman ... 21

Soal Latihan ... 21

Tindak Lanjut ... 21

Daftar Bacaan ... 21

BAB 3 STRATIFIKASI SOSIAL ... 23

3.1 Definisi Stratifikasi Sosial ... 23

3.2 Terjadinya Lapisan Masyarakat ... 24

3.3 Sifat Sistem Lapisan Masyarakat ... 25


(7)

vi

3.6 Dasar Stratifikasi Sosial ... 28

3.7 Unsur-Unsur Stratifikasi Sosial ... 28

3.8 Mobilitas Sosial (Sosial Mobility) ... 31

Bahan Diskusi ... 33

Rangkuman ... 33

Soal Latihan ... 34

Tindak Lanjut ... 34

Daftar Bacaan ... 34

BAB 4 KELOMPOK DAN KELEMBAGAAN SOSIAL ... 35

4.1 Kelompok-Kelompok Sosial ... 35

4.1.1 Tipe-Tipe Kelompok Sosial ... 36

4.1.2 Kelompok-Kelompok Sosial yang Tidak Teratur ... 46

4.2 Lembaga Kemasyarakatan (Lembaga Sosial) ... 47

4.2.1 Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan ... 48

4.2.2 Ciri-Ciri Umum Lembaga Kemasyarakatan ... 51

4.2.3 Tipe-Tipe Lembaga Kemasyarakatan ... 51

4.2.4 Cara-Cara Mempelajari Lembaga Kemasyarakatan ... 52

4.2.5 Confirmity dan Deviation ... 52

Bahan Diskusi ... 54

Rangkuman ... 54

Soal Latihan ... 54

Tindak Lanjut ... 54

Daftar Bacaan ... 55

BAB 5 PENGENDALIAN SOSIAL ATAU KONTROL SOSIAL ... 57

5.1 Pentingnya Kontrol Sosial ... 57

5.2 Sarana Kontrol Sosial yang Utama ... 58

5.3 Efektif Tidaknya Kontrol Sosial ... 59

5.4 Bentuk Kontrol Sosial ... 63

Bahan Diskusi ... 63

Rangkuman ... 63

Soal Latihan ... 64

Tindak Lanjut ... 64


(8)

vii

6.1 Definisi Perubahan Sosial ... 65

6.2 Teori Perubahan Sosial ... 66

6.2.1 Teori Evolusi Sosial ... 66

6.2.2 Teori Neo-Evolusi Personian ... 68

6.3 Perspektif Tentang Perubahan Sosial ... 71

6.4 Arah Perubahan Sosial ... 63

6.5 Modernisasi ... 65

6.5.1 Pengertian Modernisasi ... 74

6.5.2 Disorganisasi, Transformasi dan Proses Dalam Modernisasi ... 74

6.5.3 Beberapa Syarat Modernisasi ... 76

Bahan Diskusi ... 76

Rangkuman ... 77

Soal Latihan ... 77

Tindak Lanjut ... 77

Daftar Bacaan ... 77

BAB 7 MASALAH SOSIAL ... 79

7.1 Definisi Masalah Sosial ... 79

7.2 Klasifikasi Masalah Sosial dan Sebab-sebabnya ... 80

7.3 Ukuran-Ukuran Sosiologis Terhadap Masalah Sosial ... 81

7.4 Beberapa Masalah Sosial Penting ... 83

7.4.1 Kemiskinan ... 83

7.4.2 Masalah Generasi Muda Dalam Masyarakat Modern ... 84

7.5 Pemecahan Masalah Sosial ... 85

7.6 Perencanaan Sosial ... 86

Bahan Diskusi ... 87

Rangkuman ... 87

Soal Latihan ... 88

Tindak Lanjut ... 88

Daftar Bacaan ... 88

BAB 8 KEPENDUDUKAN DAN KESEHATAN ... 89

8.1 Masalah Kependudukan yang Berhubungan Dengan Kesehatan ... 89

8.2 Pernikahan di Usia Dini ... 90

8.3 Tingkat Pendidikan Rendah ... 92

8.4 Tingkat Kesehatan Penduduk Masih Rendah ... 93


(9)

viii

8.7 Dampak Migrasi ... 96

Bahan Diskusi ... 99

Rangkuman ... 99

Soal Latihan ... 99

Tindak Lanjut ... 99

Daftar Bacaan ... 99

BAB 9 KEMISKINAN DAN KESEHATAN ... 101

9.1 Kemiskinan ... 102

9.2 Ukuran-Ukuran Kemiskinan ... 103

9.3 Kriteria Masyarakat Miskin ... 104

9.4 Garis Kemiskinan (GK) ... 105

9.5 Strategi Pengembangan Masyarakat (Community Development) ... 107

9.6 Kekeliruan Paradigmatik Penanggulangan Kemiskinan ... 109

9.7 Strategi Penanggulangan Kemiskinan ... 109

9.8 Kemiskinan dan MDGs ... 109

Bahan Diskusi ... 110

Rangkuman ... 111

Soal Latihan ... 111

Tindak Lanjut ... 111

Daftar Bacaan ... 111

BAB 10 KESEIMBANGAN LINGKUNGAN DAN KESEHATAN ... 113

10.1 Keseimbangan Lingkungan ... 114

10.2 Kesehatan ... 117

10.3 Hubungan Keseimbangan Lingkungan Dengan Kesehatan ... 118

10.4 Contoh Lain Masalah Lingkungan Terhadap Kesehatan ... 121

Bahan Diskusi ... 122

Rangkuman ... 122

Soal Latihan ... 123

Tindak Lanjut ... 123


(10)

ix

11.1 Pengertian Bencana ... 125

11.2 Jenis Bencana ... 126

11.3 Dampak Bencana ... 126

11.4 Penanggulangan Bencana ... 128

11.5 Peran Kesehatan Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana ... 133

Bahan Diskusi ... 137

Rangkuman ... 137

Soal Latihan ... 137

Tindak Lanjut ... 137

Daftar Bacaan ... 137

BAB 12 GENDER DAN KESEHATAN ... 139

12.1 Gender ... 140

12.2 Perspektif Gender ... 141

12.3 Gender Dalam Kesehatan ... 143

12.4 Gender dan Penyakit HIV dan AIDS ... 145

12.5 Gender dan Penyakit TBC ... 148

Bahan Diskusi ... 152

Rangkuman ... 152

Soal Latihan ... 152

Tindak Lanjut ... 152

Daftar Bacaan ... 152


(11)

x

Halaman Gambar 10.1 Faktor-faktor Pengaruh Derajat Kesehatan

Menurut Hendrik L.Blum ... 118 Gambar 10.2 Pengungkit Seimbang atau Keadaan ... 120 Gambar 12.1 Perbedaan Gender Total Pasien TB Berdasarkan

Kategori Umur di RS Paru Jember

Tahun 2010 ... 150 Gambar 12.2 Perbedaan Gender dalam Diagnosis Pasien TB

di RS Paru Jember Tahun 2010 ... 150 Gambar 12.3 Perbedaan Gender dalam Hasil Pengobatan

Pasien TB Lama atau Pengobatan Ulang di


(12)

xi

Halaman Tabel 4.1 Sistematika Kelompok-Kelompok Terpenting

dalam Struktur Sosial ... 36 Tabel 4.2 Sistematika Kelompok-Kelompok Berdasarkan


(13)

(14)

Kompetensi:

Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup sosiologi, metode dalam sosiologi, proses-proses sosial, perubahan sosial dalam mengidentifikasi permasalahan kesehatan yang terjadi di masyarakat, kependudukan dan kesehatan, kemiskinan dan kesehatan, keseimbangan lingkungan dan kesehatan, bencana dan kesehatan, gender dan kesehatan.

Kompetensi Dasar:

Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan metode-metode sosiologi.

Ruang Lingkup Materi:

Bab ini berisi uraian tentang definisi sosiologi dan sifat hakikatnya, metode-metode dalam sosiologi, dan obyek sosiologi.

Uraian:

Sosiologi merupakan suatu ilmu yang masih muda, walau telah mengalami perkembangan yang cukup lama. Sejak manusia mengenal kebudayaan dan peradaban, masyarakat manusia sebagai proses pergaulan hidup telah menarik perhatian. Beberapa pertanyaan tentang sosiologi: apakah sosiologi benar-benar merupakan suatu ilmu pengetahuan? Mengapa dianggap demikian? Dan lain sebagainya. Untuk menjawab apakah sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, maka terlebih dahulu mengetahui apakah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan (knowledge) yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang ingin mengetahuinya. Unsur-unsur (elements) yang merupakan bagian-bagian yang tergabung dalam suatu kesatuan adalah (Soekanto, 2012):

a. Pengetahuan (knowledge); b. Tersusun secara sistematis; c. Menggunakan pemikiran;

d. Dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain atau umum (obyektif). Ilmu pengetahuan berkembang pada taraf yang tinggi, yaitu bila sampai pada (Soekanto, 2012):


(15)

a. Metode percobaan dan kesalahan;

b. Mempelajari atau mempergunakan efek dari metode pertama terhadap situasi yang biasa dihadapi;

c. Persepsi dan investigasi visual terhadap alternatif aksi potensial; d. Mempelajari dengan pengamatan, didasarkan pada pengamatan

terhadap usaha dan hasil aksi pihak-pihak lain;

e. Imitasi, pengamatan dan peniruan terhadap perilaku pihak-pihak lain; f. Instruksi verbal dan penerimaan informasi verbal dari pihak-pihak

lain;

g. Pemikiran dan konfrontasi simbolis dari perilaku potensial dengan model realitas yang diadopsi;

h. Pengambilan keputusan secara kolektif atas dasar pengamatan terhadap kenyataan yang dilakukan oleh orang banyak dalam kondisi-kondisi yang sama.

Menurut Soekanto (2012), sosiologi merupakan ilmu sosial yang obyeknya adalah masyarakat. Banyak usaha-usaha, baik yang bersifat ilmiah maupun yang bersifat non-ilmiah yang membentuk sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya adalah:

a. Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif;

b. Sosiologi bersifat teoritis yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori;

c. Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas serta memperhalus teori-teori yang lama;

d. Bersifat non-etis berarti bahwa yang dipersoalkan bukanlah buruk-baiknya fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.

1.1 Definisi Sosiologi dan Sifat Hakikatnya

1.1.1 Definisi Sosiologi

Sosiologi pada hakikatnya bukanlah semata-mata ilmu murni (pure

science) yang hanya mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak

demi usaha peningkatan kualitas ilmu itu sendiri, namun sosiologi bisa juga menjadi ilmu terapan (applied science) yang menyajikan cara-cara


(16)

untuk mempergunakan pengetahuan ilmiahnya guna memecahkan masalah praktis atau masalah sosial yang perlu ditanggulangi (Horton dan Hunt, 1987:41).

Sederhananya, sosiologi (sociology) adalah studi ilmiah mengenai perilaku sosial dan kelompok manusia. Sosiologi terfokus pada hubungan sosial; bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi perilaku orang-orang; serta bagaimana masyarakat (jumlah total dari keseluruhan hubungan tersebut) berkembang dan berubah (Schaefer, 2012).

Subjek kajian sosiologi paling sulit dimengerti dan diramalkan karena perilaku manusia merupakan persilangan antara individualitas dan sosialitas. Sedangkan fokus bahasan sosiologi adalah interaksi manusia, yaitu pada pengaruh timbal balik di antara dua orang atau lebih dalam perasaan, sikap, dan tindakan. Sosiologi tidak begitu menitik beratkan pada apa yang terjadi di dalam diri maanusia melainkan pada apa yang berlangsung di antara manusia.

Sangat sukar untuk merumuskan suatu definisi (batasan makna) yang dapat mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat dan hakikat yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat. Penyelidikan berjalan terus dan ilmu pengetahuan berjalan terus ke arah pelbagai kemungkinan dan masih diperlukan pengertian yang pokok dan menyeluruh. Adapun beberapa definisi lain tentang sosiologi sebagai berikut (Soekanto, 2012): a. Pittirin Sorikin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang

mempelajari:

1. Hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka mcam gejala-gejala sosial;

2. Hubungan dan pengaruh timbal-balik antara gejal sosial dengan gejala-gejala non-sosial;

3. Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.

b. Roucek dan Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok. c. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa

sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial.

d. J. A. A. Van Doorn dan C. J. Lammers berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.

e. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Sedangkan struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma


(17)

sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama.

1.1.2 Hakikat Sosiologi

Apabila sosiologi ditelaah dari sudut sifat hakikatnya, meliputi (Soekanto, 2012):

a. Sosiologi adalah suatu ilmu sosial dan bukan merupakan ilmu pengetahuan alam ataupun ilmu pengetahuan kerohanian. Pembedaan tersebut menyangkut pembedaan isi, yang gunanya untuk membedakan ilmu-ilmu pengetahuan yang bersangkut-paut dengan gejala-gejala alam dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan gejala-gejala kemasyarakatan.

b. Sosiologi adalah suatu disiplin ilmu yang kategoris, artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan mengenai apa yang terjadi atau seharusnya terjadi. Sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Artinya sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.

c. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang murni (pure science) dan bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan atau terpakai (applied

scince). Tujuan dari sosiologi adalah untuk mendapatkan pengetahuan

yang sedalam-dalamnya tentang masyarakat dan bukan untuk mempergunakan pengetahuan tersebut terhadap masyarakat.

d. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang kongkrit. Artinya bahwa yang diperhatikannya adalah bentuk dan pola-pola peristiwa dalam masyarakat tetapi bukan wujudnya yang kongkrit.

e. Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum. Sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi prinsip atau hukum-hukum umum dan interaksi antar manusia dan juga perihal sifat hakikat, bentuk, isi dan struktur masyarakat manusia. f. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional. Ciri

tersebut menyangkut soal metode yang dipergunakannya.

g. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang umum dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang khusus. Artinya sosiologi mempelajari gejala yang umum ada pada setiap interaksi antar manusia.


(18)

1.2 Obyek Sosiologi

Sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, obyek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Beberapa definisi masyarakat (society) sebagai berikut (Soekanto, 2012):

a. Maclever dan Page yang mengatakan bahwa: ”masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawsan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia”.

b. Ralph Linton; ” masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang

telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas”. c. Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang

yang hidup bersama yang mengahailkan kebudayaan.

1.3 Metode-Metode dalam Sosiologi

Cara-cara sosiologi mempelajari obyeknya yaitu masyarakat. Untuk kepentingan itu sosiologi mempunyai cara kerja atau metode (method) yang juga dipergunakan oleh ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Pada dasarnya terdapat dua jenis cara kerja atau metode yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif (Soekanto, 2012).

a. Metode kualitatif mengutamakan bahan yang sukar dapat diukur dengan angka-angka atau dengan ukuran-ukuran lain yang bersifat eksak, walaupun bahan-bahan tersebut terdapat dengan nyata di dalam masyarakat. Metode kualitatif dibagi menjadi:

1. Metode historis

Metode historis menggunakan analisis atas peristiwa-peristiwa dalam masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum. Seseorang sosiologi yang ingin menyelidiki akibat-akibat revolusi (secara umum) akan mempergunakan bahan-bahan sejarah untuk meneliti revolusi-revolusi penting yang terjadi dalam masa silam. 2. Metode komparatif

Metode komparatif mementingkan perbandingan antara bermacam-macam masyarakat beserta bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan tersebut bertujuan untuk mendaptkan petunjuk-petunjuk mengenai perilaku masyarakat pada masa silam dan masa sekarang. Dan juga mengenai masyarakat-masyarakat yang mempunyai tingkat


(19)

peradaban yang berbeda atau yang sama. Dalam metode komparatif dibagi lagi menjadi beberapa metode, antara lain:

Metode studi kasus (case study) bertujuan untuk mempelajari sedalam-dalamnya salah-satu gejala nyata dalam kehidupan masyarakat. Metode ini dapat digunakan untuk menelah suatu keadaan, kelompok, masyarakat setempat (community), lembaga-lembaga maupun individu-individu. Dasarnya adalah penelaahan suatu persoalan khusus yang merupakan gejal umum dari persoalan-persoalan lainnya dapat menghasilkan dalil-dalil umum. Alat-alat yang dipergunakan oleh metode ini sebagai berikut: a) Wawancara (interview). Wawancara seringkali dipakai apabila

diperlukan data penting dari mesyarakat lain. Teknik ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

(1) Tidak tersusun (2) Tersusun

Langkah yang pertama pada teknik ini, penyelidik atau pewawancara menyerahkan pembicaraan kepada orang yang diajak wawancara, kemudian pewawancara yang memimpin pembicaraan. Dalam teknik tersebut pewawancara harus sadar bahwa apa yang dikemukakan kepada orang yang diajak wawancara, sedikit banyak terpengaruh.

b) Pertanyaan-pertanyaan (questionnaires). Teknik ini terlebih dahulu dibuat pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. c) Dari daftar pertanyaan-pertanyaan (schedules). Teknik ini

dilakukan wawancara melalui daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu.

d) Participant observer technique. Pada teknik ini penyelidik ikut

serta dalam kehidupan sehari-hari dari kelompok sosial yang sedang diselidikinya. Dalam hal ini penyelidik akan berusaha sedapat-dapatnya untuk tidak mempengaruh pola-pola kehidupan masyarakat yang sedang diselidikinya.

3. Metode historis-komparatif

Metode yang menggabungan antara metode historis dan metode komparatif sekaligus.

b. Metode kuantitatif mengutamakan bahan-bahan keterangan dengan angka-angka, sehingga gejala-gejala yang diteliti dapat diukur dengan mempergunakan skala-skala, indeks, tabel dan formula-formula yang semuanya mempergunakan ilmu pasti atau matematika. Akhir-akhir ini diperoleh teknik yang dinamakan sociometry yang berusaha meneliti masyarakat secara kuantitatif.


(20)

Di samping metode-metode di atas, metode-metode sosiologi berdasarkan jenisnya dibagi menjadi:

a. Metode induktif adalah metode yang mempelajari suatu gejala yang khusus untuk mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam lapangan yang lebih luas.

b. Metode deduktif adalah metode yang mempergunakan proses yaitu mulai dengan kaidah-kaidah yang dianggap berlaku umum untuk kemudian dipelajari dalam keadaan yang khusus.

Selain itu metode sosiologi dibagi menjadi:

a. Metode empiris yang mengutamakan pada keadaan-keadaan yang nyata didapat dalam masyarakat. Dalam ilmu sosiologi modern diwujudkan dengan research atau penelitian, yaitu dengan cara mempelajari suatu masalah secara sistematis dan intensif untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak mengenai masalah tersebut. Research dapat dibagi menjadi:

1. Basic research adalah penelitian yang bertujuan untuk

mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak dari ilmu pengetahuan;

2. Applied research ditujukan pada penggunaan ilmu pengetahuan

secara praktis.

b. Metode rasionalitas yang mengutamakan pemikiran dengan logika dan pikiran sehat untuk mencapai pengertian tentang masalah-masalah kemasyarakatan. Metode ini banyak dipergunakan dahulu, sekarang masih ada fungsionalisme.

Bahan Diskusi

Bagaimana peran masyarakat dalam suatu ilmu sosiologi ? Jelaskan ?

Rangkuman

Sosiologi pada hakikatnya bukanlah semata-mata ilmu murni (pure

science) yang hanya mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak

demi usaha peningkatan kualitas ilmu itu sendiri, namun sosiologi bisa juga menjadi ilmu terapan (applied science) yang menyajikan cara-cara untuk mempergunakan pengetahuan ilmiahnya guna memecahkan masalah praktis atau masalah sosial yang perlu ditanggulangi (Horton dan Hunt, 1987:41).

Sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, obyek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Cara-cara sosiologi mempelajari obyeknya yaitu masyarakat,


(21)

sosiologi mempunyai cara kerja atau metode (method) yang juga dipergunakan oleh ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Pada dasarnya terdapat dua jenis cara kerja atau metode yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode-metode sosiologi berdasarkan jenisnya dibagi menjadi metode induktif dan metode deduktif.

Soal-Soal Latihan

1. Jelaskan sosiologi apabila ditelaah dari sudut sifat hakikatnya ? 2. Sebutkan dan jelaskan dua jenis cara kerja atau metode sosiologi ?

Tindak Lanjut

Setelah memahami bab 1 (satu) dengan baik maka mahasiswa disarankan untuk melanjutkan ke bab 2 (dua).

Daftar Bacaan

Horton, PB & Hunt, CL 1984, Sosiologi Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga Schaefer, RT. 2012. Sosiologi. Jakarta: Salemba Humanika

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers


(22)

Kompetensi:

Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup sosiologi, metode dalam sosiologi, proses-proses sosial, perubahan sosial dalam mengidentifikasi permasalahan kesehatan yang terjadi di masyarakat, kependudukan dan kesehatan, kemiskinan dan kesehatan, keseimbangan lingkungan dan kesehatan, bencana dan kesehatan, gender dan kesehatan.

Kompetensi Dasar:

Mahasiswa dapat menjelaskan interaksi sosial.

Ruang Lingkup Materi:

Bab ini berisi uraian tentang pengertian interaksi sosial, jenis tindakan sosial, pengambilan peranan dalam interaksi sosial, syarat terjadinya interaksi sosial, dan bentuk interaksi sosial.

Uraian:

2.1 Pengertian Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Gillin, 1954). Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok-kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya.

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Faktor-faktor itu antara lain (Soekanto, 2012):

a. Faktor imitasi

Faktor imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif. Imitasi juga dapat melemahkan atau bahkan mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.


(23)

b. Faktor sugesti

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima terkena oleh emosi, di mana menghambat daya berpikir secara rasional. Mungkin juga sugesti terjadi oleh sebab yang memberikan pandangan atau sikap merupakan bagian terbesar dari kelompok yang bersangkutan atau masyarakat.

c. Faktor identifikasi

Faktor identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak sadar), maupun dengan disengaja oleh karena seringkali seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya. Proses identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain, sehingga pandangan, sikap maupun kaidah-kaidah yang berlaku pada pihak lain tadi dapat melembaga dan bahkan menjiwainya. Identifikasi mengakibatkan terjadinya pengaruh-pengaruh yang lebih mendalam dari pada proses imitasi dan sugesti, walaupun ada kemungkinan bahwa pada mulanya proses identifikasi diawali oleh imitasi dan atau sugesti

d. Proses simpati

Proses simpati merupakan suatu proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Proses simpati akan dapat berkembang di dalam suatu keadaan di mana faktor saling mengerti terjamin.

Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun di dalam kenyataannya proses tadi memang sangat kompleks. Sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktor-faktor tersebut.

2.2 Jenis Tindakan Sosial

Tidak selalu semua perilaku dapat dimengerti sebagai suatu manifestasi rasionalitas. Menurut Max Weber, metode yang bisa dipergunakan untuk memahami arti-arti subjektif tindakan sosial seseorang adalah dengan verstehen. Verstehen adalah kemampuan untuk berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka


(24)

berpikir orang lain yang perilakunya ingin dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya ingin dilihat menurut perspektif itu (Johnson, 1986:216). Max Weber mengklasifikasikan ada empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem struktur sosial masyarakat. Keempat jenis tindakan sosial itu adalah:

a. Rasionalitas instrumental. Di sini tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.

b. Rasionalitas yang berorientasi nilai. Sifat rasionalitas tindakan sejenis ini adalah alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. c. Tindakan tradisional. Dalam tindakan jenis ini, seseorang

memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenk moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan.

d. Tindakan afektif. Tipe tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perancanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional dan merupakan ekspresi emosional dari individu.

2.3 Pengambilan Peranan Dalam Interaksi Sosial

Banyak ahli sosiologi sepakat bahwa interaksi sosial adalah syarat utama bagi terjadinya aktivitas sosial dan hadirnya kenyataan sosial. Max Weber melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial (Johnson, 1986:214-215). Menurut George Herbert Mead, agar interaksi sosial bisa berjalan dengan tertib dan teratur dan agar anggota masyarakat bisa berfungsi secara normal, maka yang diperlukan bukan hanya kemampuan untuk bertindak sesuai dengan konteks sosialnya. Tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menilai secara objektif perilaku kita sendiri dari sudut pandang orang lain.

Menurut Erving Goffman ”teknik-teknik yang dipakai seseorang

untuk mengendalikan kesan-kesan di mata orang lain disebut ’seni

pengaturan pesan’. Menurut Goffman, masalah utama yang dihadapi

setiap individu dalam berbagai hubungan sosialnya adalah bagaimana mengkontrol kesan-kesan yang diberikan kepada orang lain. Salah satu konsep Goffman yang terkenal adalah apa yang disebut model dramaturgi. Goffman membedakan dua macam pernyataan, yaitu:


(25)

a. Pernyataan yang diberikan (expression given), yaitu sarana-sarana tanda yang dengan sengaja dipergunakan untuk menyampaikan informasi tertentu kepada orang lain.

b. Pernyataan lepas (expression given off), yaitu informasi yang disampaikan tanpa sengaja.

Ketika berinteraksi dengan orang, berarti seseorang tampil di panggung depan (fronstage). Maka yang akan ditampilkan adalah pernyataan yang diberikan sesuai dengan identitas seperti apa yang diberikan si pembicara. Sedangkan, bila seseorang berada di panggung belakang (backstage), pernyataan dan perilaku apapun yang ditampilkan si pembicara tidaklah menjadi persoalan.

Menurut George Herbert Mead seseorang atau kelompok yang telah mampu berempati dan manilai diri sendiri sesuai dengan pandangan orang lain disebut diri (the self). Diri dibentuk dan diubah melalui interaksi dengan orang lain, seseornag tidak dilahirkan dengan identitas dan karakteristik ”diri” yang telah jadi. Melainkan dia akan dibentuk oleh lingkungannya melalui simbol-simbol dan sosialisasi. Mead menyebutkan kemampuan untuk menyesuaikan perilaku seseorang sebagai tanggapan terhadap situasi-situasi sosial tertentu sebagai ”pengambil peranan”

(role-taking).

Menurut Sunarto (1985:108), setiap tindakan pengambilan peranan pada dasarnya harus memperhatikan dua faktor, yaitu:

a. Faktor pertama: dugaan orang sebelumnya terhadap tanggapan yang akan diberikan oleh orang lain kepada mereka;

b. Faktor kedua: pemikiran atau pandangan orang mengenai perilaku mereka sendiri dengan mengingat tafsiran mereka terhadap tanggapan orang lain.

2.4 Syarat Terjadinya Interaksi Sosial

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu (Soekanto, 2012):

a. Adanya kontak sosial

Kata kontak berasal dari bahasa latin con atau cum (artinya bersama-sama) dan tango (artinya menyentuh). Secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah. Oleh karena orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:

1. Antara orang perorangan. Proses yang terjadi melalui sosialisasi


(26)

yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana dia menjadi anggota.

2. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya.

3. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.

Perlu dicatat bahwa terjadinya suatu kontak tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, akan tetapi juga tanggapan terhadap tindakan tersebut. Kontak sosial tersebut dapat bersifat positif atau negatif. Yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan yang bersifat negatif mengarah pada sautu perentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial.

Suatu kontak dapat pula bersifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka. Sedangkan kontak sekunder memerlukan suatu perantara. Suatu kontak sekunder dapat dilakukan secara langsung, pada yang pertama dan pihak ke tiga bersikap pasif sedangkan yang terakhir pihak ke tiga sebagai perantara mempunyai peranan yang aktif dalam kontak tersebut.

b. Adanya komunikasi

Komunikasi adalah suatu proses di mana seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Suatu kontak dapat terjadi tanpa komunikasi. Sehingga interaksi sosial tidak terjadi. Dengan demikian apabila dihubungkan dengan interaksi sosial, kontak tanpa komunikasi tidak mempunyai arti apa-apa. Dengan demikian komunikasi memungkinkan kerja sama antara orang perorang atau antara kelompok-kelompok manusia dan memang komunkasi merupakan salah satu syarat terjadinya kerja sama. Akan tetapi tidak selalu komunikasi menghasilkan kerja sama bahkan suatu pertikaian mungkin akan terjadi sebagai akibat salah paham atau karena masing-masing tidak ingin mengalah.

2.5 Bentuk Interaksi Sosial

Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama

(cooperation), persaingan (competition) dan bahkan dapat juga berbentuk

pertentangan atau pertikaian (conflict). Gillin dan Gillin (1954), pernah mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi. Menurut mereka, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu:


(27)

a. Proses yang asosiatif (processes of association) yang terbagi ke dalam tiga bentuk khusus lagi, yakni:

1. Akomodasi;

2. Asimilasi dan akulturasi.

b. Proses yang disosiatif (processes of dissociation) yang mencakup: 1. Persaingan;

2. Persaingan yang meliputi kontravensi dan pertentangan atau pertikaian (conflict).

Sistematika yang lain dikemukakan oleh Kimball Young, bahwa bentuk-bentuk proses sosial adalah:

a. Oposisi (opposition) yang mencakup persaingan (competition) dan pertentangan atau pertikaian (conflict);

b. Kerjasama (cooperation) yang menghasilkan akomodasi

(accomodation);

c. Diferensiasi (differentiation) yang merupakan suatu proses di mana orang perorangan di dalam masyarakat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berbeda dengan orang-orang lain dalam masyarakat atas dasar perbedaan usia, seks dan pekerjaan. Diferensiasi tersebut menghasilkan system lapisan-lapisan dalam masyarakat.

Tamotsu Shibutani mengedepankan beberapa pola interaksi, yaitu: a. Akomodasi dalam situasi-situasi rutin;

b. Ekspresi pertemuan dan anjuran;

c. Interaksi strategis dalam pertentangan-perentangan; d. Pengembangan perilaku massa.

2.5.1 Proses-proses yang Asosiatif a. Kerja sama (cooperation)

Kerja sama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kerja sama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya (in group) dan kelompok lain (out

group). Fungsi kerja sama oleh Charles H. Cooley sebagai berikut:

”Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka

mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, kesadaran akan adanya kepeentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja

sama yang berguna”.

Dalam teori-teori sosiologi ada beberapa bentuk kerja sama yang biasa diberi nama kerja sama dan dibedakan menjadi:


(28)

1. Kerja sama spontan (spontaneous cooperation), merupakan kerja sama serta merta;

2. Kerja sama langsung (directed cooperation) merupakan hasil dari perintah atasan atau penguasa;

3. Kerja sama kontrak (contractual cooperation) merupakan kerja sama atas dasar tertentu;

4. Kerja sama tradisional (traditional cooperation) merupakan bentuk kerja sama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.

Dalam pelaksanaan kerja sama, ada lima bentuk kerja sama, yaitu: 1. Kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong-menolong;

2. Berganing yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran

barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih; 3. Kooptasi (cooptation) yaitu suatu proses penerimaan unsur-unsur

baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan;

4. Koalisi (coalition) yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebh yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama;

5. Joint venture yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek

tertentu.

b. Akomodasi (acomodation)

Istilah akomodasi menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada:

1. Suatu keadaan berarti adanya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat;

2. Suatu proses berarti akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.

Menurut Gillin dan Gillin (Soekanto, 2012), akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial. Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu:

1. Untuk mengurangi pertentangan orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham;

2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer;


(29)

3. Untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara kelompok-kelompok sosial yang hidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial, psikologis dan kebudayaan;

4. Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang telah terpisah.

Akomodasi sebagai suatu proses mempunyai beberapa bentuk, yaitu:

1. Coercion adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya

dilaksanakan oleh karena adanya paksaan, di mana salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah dibandingkan dengan pihak lawan;

2. Compromise adalah suatu bentuk akomodasi di mana pihak-pihak

yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada;

3. Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise

apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan diselesaikan oleh pihak ke tiga yang dipilih oleh ke dua belah pihak;

4. Meditation hampir menyerupai arbitration, di mana diundanglah

pihak ke tiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Pihak ke tiga tersebut tugas utamanya mengusahakan suatu penyelesaian secara damai;

5. Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan

keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama;

6. Toleration merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan

yang formal bentuknya;

7. Stalemate merupakan suatu akomodasi, di mana pihak-pihak yang

bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya;

8. Adjudication yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di

pengadilan.

Gillin dan Gillin menguraikan hasil-hasil akomodasi sebagai berikut:

1. Akomodasi dan integrasi masyarakat telah berbuat banyak untuk menghindarkan masyarakat dari benih-benih pertentangan laten yang akan melahirkan pertentangan baru;

2. Menekan oposisi;

3. Koordinasi berbagai kepribadian yang berbeda;

4. Perubahan lembaga-lembaga kemasyarakatan agar sesuai dengan keadaan baru atau keadaan yang berubah;


(30)

5. Perubahan-perubahan dalam kedudukan; 6. Akomodasi membuka jalan ke arah asimilasi. c. Asimilasi (asimilation)

Asimilasi merupakan usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan tujuan-tujuan bersama. Proses asimilasi timbul bila ada:

1. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya; 2. Orang perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul

secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama;

3. Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok menusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.

Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara lain:

1. Toleransi;

2. Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi; 3. Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya;

4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat; 5. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan;

6. Perkawinan campuran (amalgamation); 7. Adanya musuh dari luar.

Faktor-faktor umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya asimilasi antara lain:

1. Terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat (biasanya golongan minoritas);

2. Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi; 3. Perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi; 4. Perasaan bahwa sautu kebudayaan golongan atau kelompok

tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan golongan atau kelompok lainnya;

5. Dalam batas-batas tertentu, perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri-ciri badaniah dapat pula menjadi salah satu penghalang terjadinya asimilasi;

6. In group felling berarti adanya sautu perasaan yang kuat sekali

bahwa individu terikat pada kelompok dan kebudayaan kelompok yan bersangkutan;

7. Apabila golongan minoritas mengalami gangguan-gangguan dari golongan yang berkuasa;


(31)

8. Faktor perbedaan kepentingan yang kemudian ditambah dengan pertentangan-pertentangan pribadi.

2.5.2 Proses-proses yang Disosiatif

Proses-proses disosiatif sering disebut sebagai appositional

processes. Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan

seseorang atau sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Oposisi dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu:

a. Persaingan (competition)

Persaingan adalah sebagai suatu proses sosial, di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Tipe-tipe tersebut menghasilkan beberapa bentuk persaingan, yaitu antara lain:

1. Persaingan ekonomi; 2. Persaingan kebudayaan;

3. Persaingan kedudukan dan peranan; 4. Persaingan ras;.

Persaingan dalam batas-batas tertentu dapat mempunyai beberapa fungsi, yaitu antara lain:

1. Menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif;

2. Sebagai jalan di mana keinginan, kepentingan serta niali-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian, tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing;

3. Merupakan alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan sosial;

4. Persaingan dapat juga berfungsi sebagai alat untuk menyaring para warga golongan karya (fungsional) yang akhirnya akan menghasilkan pembagian kerja yang efektif;

Hasil suatu persaingan terkait erat dengan berbagai faktor, antara lain dengan:

1. Kepribadian seseorang; 2. Kemajuan;

3. Solidaritas kelompok; 4. Disorganisasi;


(32)

b. Kontravensi (contravention)

Kontravensi merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Kontravensi terutama ditandai oleh gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian atau keragu-raguan terhadap kepribadian seseorang.

Dalam bentuknya yang murni, kontravensi adalah sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan tertentu. Bentuk kontravensi menurut Leopold Von Wiese dan Howard Becker ada lima, yaitu:

1. Yang umum meliputi perbuatan-perbuatan seperti penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguan-gangguan, perbuatan kekerasan dan mengacaukan rencana pihak lain;

2. Yang sederhana seperti menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memaki-maki melalui surat-surat lembaran, mencerca, memfitnah, melemparkan beban pembuktian kepada pihak lain, dan sebagainya;

3. Yang intensif mencakup penghasutan, menyebarkan desas-desus, mengecewakan pihak-pihak lain, dan sebagainya;

4. Yang rahasia seperti mengumumkan rahasia pihak lain, perbuatan khianat dan sebagainya;

5. Yang taktis seperti mengejutkan lawan, mengganggu atau membingungkan pihak lain.

Menurut Von Wiese dan Becker terdapat tiga tipe umum kontravensi, yaitu:

1. Kontravensi generasi-generasi yang terdapat dalam masyarakat; 2. Kontravensi seksual, terutama menyangkut hubungan suami

dengan istri dan keluarga;

3. Kontravensi parlementer berkaitan dengan hubungan antara golongan mayoritas dengan golongan minoritas dalam masyarakat, baik yang menyangkut hubungan mereka di dalam lembaga-lembaga legeslatif, keagamaan, pendidikan dan sebagainya.

Kecuali tipe-tipe umum tersebut, ada pula beberapa tipe kontravens. Tipe-tipe tersebut dimasukkan, karena umumnya tidak menggunakan ancaman atau kekerasan. Tipe-tipe tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Kontravensi antar masyarakat;

2. Antagonisme keagamaan; 3. Kontravensi intelektual; 4. Oposisi moral.


(33)

c. Pertentangan atau pertikaian (conflict)

Pertentangan atau pertikaian adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Sebab pertentangan antara lain adalah:

1. Perbedaan antara individu-ndividu; 2. Perbedaan kebudayaan;

3. Perbedaan kepentingan; 4. Perubahan sosial.

Salah satu faktor yang dapat membatasi akibat negatif dari suatu pertentangan adalah sikap toleransi yang sudah institutionalized. Pertentangan dalam kelompok mungkin membantu menghidupkan kembali norma sosial atau sebaliknya menimbulkan norma-norma sosial yang baru.

Masyarakat biasanya mempunyai sarana-sarana untuk menyalurkan benih-benih permusuhan, alat-alat tersebut dalam ilmu sosiologi dinamakan safety-valve institutuions. Pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus, yaitu:

1. Pertentangan pribadi. Tidak jarang terjadi bahwa dua orang sejak mulai berkenalan sudah saling tidak menyukai;

2. Pertentangan rasial. Dalam hal ini para pihak akan menyadari betapa adanya perbedaan-perbedaan antara mereka yang seringkali menimbulkan pertentangan;

3. Pertentangan antara kelas-kelas sosial. Pada umumnya disebabkan oleh perbedaan kepentingan;

4. Pertentangan politik. Biasanya pertentangan ini menyangkut baik antara golongan-golongan dalam suatu masyarakat maupun antara negara-negara berdaulat;

5. Pertentangan yang bersifat internasional. Ini disebabkan karena perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian merembes ke kedaulatan negara.

Akibat-akibat bentuk pertentangan adalah: 1. Tambahnya solidaritas in group;

2. Goyah dan retaknya persatuan kelompok; 3. Perubahan kepribadian para individu;

4. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia; 5. Akomodasi, dominasi dan takluknya salah satu pihak.

Bahan Diskusi

Bagaimana interaksi sosial yang harus dilakukan seorang petugas kesehatan yang akan melakukan penyuluhan tentang imunisasi di sebuah


(34)

desa pedalaman dimana masyarakatnya tidak mau untuk melakukan imunisasi? Jelaskan ?

Rangkuman

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung.

Menurut Erving Goffman ”teknik-teknik yang dipakai seseorang

untuk mengendalikan kesan-kesan di mata orang lain disebut ’seni

pengaturan pesan’. Menurut Goffman, masalah utama yang dihadapi

setiap individu dalam berbagai hubungan sosialnya adalah bagaimana mengkontrol kesan-kesan yang diberikan kepada orang lain.

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition) dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).

Soal-Soal Latihan

1. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosial ?

2. Sebutkan bentuk-bentuk kerjasama dalam pelaksanaan kerjasama ?

Tindak Lanjut

Setelah memahami bab 2 (dua) dengan baik maka mahasiswa disarankan untuk melanjutkan ke bab 3 (tiga).

Daftar Bacaan

Sunarto, K. 1985. Penyunting dan Alih bahasa, Pengantar Sosiologi:

Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.


(35)

Gillin, John. Lewis dan John Philip Gillin. 1954. Cultural Sociology. New York: The Macmillan Company.


(36)

Kompetensi:

Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup sosiologi, metode dalam sosiologi, proses-proses sosial, perubahan sosial dalam mengidentifikasi permasalahan kesehatan yang terjadi di masyarakat, kependudukan dan kesehatan, kemiskinan dan kesehatan, keseimbangan lingkungan dan kesehatan, bencana dan kesehatan, gender dan kesehatan.

Kompetensi Dasar:

Mahasiswa dapat menjelaskan stratifikasi sosial.

Ruang Lingkup Materi:

Bab ini berisi uraian tentang definisi stratifikasi sosial, terjadinya lapisan masyarakat, sifat sistem lapisan masyarakat, kelas-kelas dalam masyarakat (sosial clases), perspektif tentang stratifikasi sosial, dasar stratifikasi sosial, unsur-unsur stratifikasi sosial, dan mobilitas sosial (sosial mobility).

Uraian :

3.1 Definisi Stratifikasi Sosial

Sosiolog melihat stratitifikasi dalam pelbagai tingkatan, mulai dari dampaknya terhadap individu sampai pola ketimpangan di seluruh dunia. Dalam sosiologi stratifikasi sosial sering disebut juga pelapisan sosial. Kata stratification berasal dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Menurut Pitirin Sorokin (dalam Soekanto, 2012), stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota.

Bentuk konkret lapisan dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelas, yaitu:

a. Kelas yang didasarkan pada faktor ekonomis; b. Kelas yang didasarkan pada faktor politis;


(37)

c. Kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat.

3.2 TerjadinyaLapisan Masyarakat

Terjadinya stratifikasi sosial atau sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: (1) Adanya sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya, (2) sistem pelapisan dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Alasan terbentuknya sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur, jenis kelamin, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat dan mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu. Alasan-alasan yang dipakai berlainan bagi tiap-tiap masyarakat. Sistem pelapisan dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal.

Menurut Soekanto (2012), sistem kedudukan dalam organisasi formal timbul karena perbedaan-perbedaan kebutuhan, kepentingan dan kemampuan individual yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Perbedaan kemampuan individu, kemampuan khusus yang dimiliki seseorang dan diakui oleh masyarakat menyebabkan yang bersangkutan memiliki kedudukan tertentu;

b. Perbedaan-perbedaan yang menyangkut kesukaran-kesukaran untuk melakukan bermacam-macam jenis pekerjaan;

c. Perbedaan kepentingan masing-masing jenis pekerjaan;

d. Keinginan pada kedudukan yang formal sebagai alat sosial atau alat organisasi;

e. Kebutuhan akan perlindungan bagi seseorang.

Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat. Akan tetapi sesuai dengan kenyataan hidup kelompok-kelompok sosial tidaklah demikian. Sebagai pedoman untuk meneliti terjadinya stratifikasi sosial sebagai berikut:

a. Sistem lapisan mungkin berpokok pada sistem pertentangan dalam masyarakat.

b. Sistem lapisan dapat dianalisis dalam ruang lingkup unsur-unsur sebagai berikut:

1. Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif seperti penghasilan, kekeyaan, keselamatan, wewenang dan sebagainya;

2. Sistem pertanggaan yang diciptakan para warga masyarakat


(38)

3. Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapat berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat tertentu, milik, wewenang atau kekuasaan;

4. Lambang-lambang kedudukan, seperti tingkah-laku hidup, cara berpakaian, keanggotaan pada suatu organisasi;

5. Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan;

6. Solidaritas di antara individu-invidu atau kelompok-kelompok yang menduduki kedudukan yang sama dalam sistem sosial masyarakat: a) Pola-pola interaksi-interaksi (struktur klik, keanggotaan

organisasi, perkawinan dan sebagainya);

b) Kesamaan atau ketidaksamaan sistem kepercayaan, sikap dan nilai-nilai;

c) Kesadaran akan kedudukan masing-masing; d) Aktivitas sebagai organ kolektif.

3.3 Sifat Sistem Lapisan Masyarakat

Sifat sistem lapisan di dalam suatu masyarakat dapat dibagi menjadi berikut (Soekanto, 2012):

a. Bersifat tertutup (closed sosial stratification). Sistem pelapisan ini membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan-lapisan yang lain. Baik yang merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Untuk menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran. Suatu sistem tertutup sama sekali manakala setiap anggota masyarakat tetap berada dalam status yang sama dengan orang tuanya. Misalnya kasta atau gelar-gelar yang diwariskan menurut garis keturunan laki-laki yang sepihak (patrilineal). Menurut Yinger (1966:34), untuk melihat sejauh mana keterbukaan sebuah seseorang yang mempunyai status tertentu memperoleh status dalam lapisan yang lebih tinggi.

b. Bersifat terbuka (open sosial stratification). Pada sistem ini, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan bagi mereka yang beruntung dan bagi mereka yang tidak beruntung maka jatuh kelapisan yang bawah. Pada umumnya sistem ini memberi perangsang yang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat dari pada sistem tertutup.

3.4 Kelas-Kelas dalam Masyarakat (Sosial Clases)

Joseph Schumpeter mengatakan bahwa terbentuknya kelas-kelas dalam masyarakat adalah karena diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata (Soekanto, 2012).


(39)

Penjumlahan kelas-kelas dalam masyarakat disebut class sistem, artinya semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukan mereka itu diketahui dan diakui oleh masyarakat umum. Maka pengertian kelas tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu faktor uang, tanah, kekuasaan atau dasar lainnya. Pengertian kelas lainnya adalah kelas hanya untuk lapisan yang berdasarkan atas unsur ekonomis. Sedangkan lapisan yang berdasarkan atas kehormatan dinamakan kelompok kedudukan (status

group).

Max Weber mengadakan pembedaan yaitu (1) adanya kelas yang bersifat ekonomis dibagi menjadi sub kelas yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan kecakapannya. Di samping itu, adanya golongan yang mendapat kehormatan khusus dari masyarakat dinamakan

stand (Soekanto, 2012).

Apabila pengertian kelas ditinjau secara lebih mendalam, maka terdapat kriteria, yaitu:

a. Besar jumlah anggota-anggotanya;

b. Kebudayaan yang sama, yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban warganya;

c. Kelanggengan;

d. Tanda atau lambang yang merupakan ciri khas;

e. Batas-batas yang tegas (bagi kelompok itu terhadap kelompok lain); f. Antagonisme tertentu.

Sehubungan dengan kriteria di atas, kelas memberikan fasilitas-fasilitas hidup yang tertentu (life chances) bagi anggotanya. Kelas juga mempengaruhi gaya dan tingkah laku hidup masing-masing warganya

(life style). Karena kelas-kelas yang ada dalam masyarakat mempunyai

perbedaan dalam kesempatan-kesempatan.

3.5 Perspektiftentang Stratifikasi Sosial

Perlu tidaknya stratifikasi ke dalam berbagai kelas sosial, tergantung dari mana sudut kita melihatnya dan pendekatan macam apa yang kita jadikan sebagai titik acuan. Para penganut pendekatan fungsional biasanya akan menjawab bahwa pelapisan sosial adalah sesuatu yang inheren dan diperlukan demi kelangsungan sistem. Sedangkan penganut pendekatan konflik akan menjawab bahwa timbulnya pelapisan sosial sesunguhnya hanyalah ulah kelompok-kelompok elite masyarakat yang berkuasa untuk mempertahankan dominasinya. Penjelasan tentang pendekatan dalam sosiologi sebagai berikut:


(40)

a. Pendekatan fungsional

Pelopor pendekatan fungsionalis adalah Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Menurut ke dua pakar ini stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup masyarakat yang membutuhkan berbagai macam jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal.

Menurut Sunarto (232-233), sekurang-kurangnya ada hal yang harus dilakukan masyarakat agar stratifikasi sosial dapat berfungsi optimal:

1. Masyarakat harus menanamkan keinginan untuk mengisi posisi-posisi tertentu pada individu-individu yang sesuai untuk itu;

2. Setelah orang-orang merasa pada posisi-posisi itu, masyarakat harus menanamkan keinginan untuk menjalankan peranan yang sesuai dengan posisi tersebut.

Davis dan Moore lebih lanjut menyatakan agar kelangsungan hidup masyarakat bisa berfungsi normal, oleh sebab itu diperlukan imbalan yang lebih besar bagi orang-orang kelas sosial guna merangsang mereka agar mau menerima tanggung jawab dan mengikuti latihan pendidikan yang dibutuhkan bagi kedudukan penting.

Di dalam semua masyarakat, posisi yang memperoleh imbalan tinggi pada umumnya terdiri dari posisi yang:

1. Secara fungsional bersifat sangat penting (permintaan);

2. Diduduki oleh orang yang paling berbakat atau paling memenuhi syarat (penawaran).

Tidak selalu posisi yang penting akan memperoleh imbalan yang tinggi, karena disisi lain penentuan besar imbalan sebenarnya juga dipengaruhi oleh mudah tidaknya sebuah kedudukan atau posisi itu diisi oleh anggota masyarakat.

b. Pendekatan konflik

Pendekatan ini dipelopori oleh Karl Marx, pendekatan konflik berpandangan bahwa bukan kegunaan fungsional yang menciptakan stratifikasi sosial. Melainkan dominasi kekuasaan. Adanya pelapisan sosial bukan dipandang sebagai hasil konsensus, karena semua angota masyarakat menyetujui dan membutuhkan hal itu. Tetapi lebih dikarenakan anggota masyarakat terpaksa harus menerima adanya perbedaan itu sebab mereka tidak memiliki kemampuan untuk menentangnya.

Bagi penganut pendekatan konflik, pemberian kesempatan yang tidak sama dan semua bentuk diskriminasi dinilai menghambat


(41)

orang-orang dari strata rendah untuk mengembangkan bakat dan potensi mereka semaksimal mungkin.

3.6 Dasar Stratifikasi Sosial

Di antara lapisan atas dengan yang rendah, terdapat lapisan yang jumlahnya relatif banyak. Biasanya lapisan atas, tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat. Akan tetapi kedudukannya yang tinggi bersifat kumulatif. Kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan sebagai berikut (Soekanto, 2012):

a. Ukuran kekayaan. Di mana yang mempunyaia kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan atas. Misalnya dapat dilihat pada bentuk rumah, mobil pribadinya dan sebagainya;

b. Ukuran kekuasaan. Di mana yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar mempunyai lapisan atas;

c. Ukuran kehormatan. Di mana orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran seperti ini banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.

d. Ukuran ilmu pengetahuan. Di mana dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-kibat yang negatif. Karena bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar sarjananya. Hal tersebut mengacu segala macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal.

Ukuran di atas tidaklah bersifat limitatif, karena masih ada ukuran-ukuran lain yang dapat digunakan. Akan tetapi ukuran-ukuran-ukuran-ukuran di atas sangat menentukan sebagai dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu.

3.7 Unsur-Unsur Stratifikasi Sosial

Dalam teori sosiologi, unsur-unsur sistem pelapisan sosial dalam masyarakat adalah (Soekanto, 2012):

a. Kedudukan (status); b. Peran (role).

Kedudukan dan peran di samping unsur pokok dalam sistem berlapis-lapis dalam masyarakat, juga mempunyai arti yang sangat penting bagi sistem sosial masyarakat. Status menunjukkan tempat atau posisi seseorang dalam masyarakat, sedangkan peranan menunjukkan


(42)

aspek dinamis dari status yang merupakan suatu tingkah laku yang diharapkan dari seorang individu tertentu yang menduduki status tertentu. a. Kedudukan (status)

Status sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial (sosial status). Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok-kelompok yang lebih besar lagi. Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisnya, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Kedudukan sering diartikan sebagai tempat seseorang dalam suatu pola atau kelompok sosial, maka seseorang dapat pula mempunyai beberapa kedudukan sekaligus. Hal ini disebabkan seseorang biasanya ikut dalam beberapa atau menjadi anggota dalam berbagai kelompok sosial. Untuk mengukur status seseorang menurut Pittirim Sorikin secara rinci dapat dilihat dari:

1. Jabatan atau pekerjaan;

2. Pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan; 3. Kekayaan;

4. Politis; 5. Keturunan; 6. Agama.

Status pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu:

1. Status bersifat obyektif yaitu dengan hak dan kewajiban yang terlepas dari individu;

2. Status bersifat subyektif yaitu status yang menunjukkan hasil dari penilaian orang lain, di mana sumber status yang berhubungan dengan penilaian orang lain tidak selamanya konsisten untuk seseorang.

Dalam masyarakat sering kali kedudukan dibedakan menjadi dua macam, yaitu (Soekanto, 2012):

1. Aascribed status yaitu sebagai kedudukan seseorang dalam

masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan seseorang. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Kebanyakan status ini dijumpai pada masyarakat dengan pelapisan terutup. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa dalam masyarakat dengan sistem pelapisan sosial terbuka tidak ditemui adanya ascribed status.

2. Achived status yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang

dengan usaha-usaha yang sengaja dilakukan, bukan diperoleh karena kelahiran. Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja


(43)

tergantung dari kemampuan masing-masing orang dalam mengejar dan mencapai tujuan-tujuannya.

Di samping kedua kedudukan tersebut, sering kali dibedakan lagi satu macam kedudukan yaitu Assigned status. Yaitu kedudukan yang diberikan. Status ini sangat erat dengan acchived status, artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang karena telah berjasa kepada masyarakat.

Dalam masyarakat dapat memiliki beberapa kedudukan sekaligus, akan tetapi biasanya salah satu kedudukan menonjol itulah yang merupakan kedudukan yang utama. Akan tetapi dengan adanya berbagai kedudukan yang dimiliki oleh seseorang, tidak jarang terjadi pertentangan-pertentangan atau konflik antara kedudukan yang satu dengan kedudukan yang lain, dalam sosiologi dikenal dengan istilah

status conflict. Konflik antara kedudukan-kedudukan yang dimiliki

seseorang tersebut sering sulit dihindari karena kepentingan individu tidak selalu sesuai dengan kepentingan masyarakat.

b. Peran (role)

Peran merupakan aspek yang dinamis dari status atau kedudukan. Peran adalah seseorang telah menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan suatu peran. Peran sangat penting karena dapat mengatur perilaku seseorang, di samping itu peran menyebabkan seseorang dapat meramalkan perbuatan orang lain pada batas-batas tertentu. Sehingga seseorang dapat menyesuaikan perilakunya sendiri dengan perilaku orang-orang kelompoknya.

Posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat (sosial status) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu dalam organisasi masyarakat. Sedangkan peran lebih banyak menunjukkan pada fungsi. Suatu peran paling sedikit mencakup 3 hal, yaitu:

1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat;

2. Peran adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat;

3. Peran dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Dalam peran terdapat konflik peran (conflict of role) dan pemisahan antara individu dengan peran yang sesungguhnya harus dilaksanakan (role distance). Role distance terjadi apabila si individu merasakan dirinya tertekan, karena merasa dirinya tidak sesuai untuk melaksanakan peran yang diberikan masyarakat padanya. Sehingga


(44)

tidak dapat melaksanakan perannya dengan sempurna atau bahkan menyembunyikan diri.

Peranan dapat membimbing seseorang dalam berperilaku, karena fungsi peran sendiri adalah sebagai berikut:

1. Memberi arah pada proses sosialisasi;

2. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan pengetahuan;

3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat;

4. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol, sehingga dapat melestarikan kehidupan masyarakat.

Berdasarkan pelaksanaannya peranan sosial dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Peranan yang diharapkan (expected roles): yaitu cara ideal dalam pelaksanaan peranan menurut penilaian masyarakat. Masyarakat menghendaki peranan yang diharapkan dilaksanakan secermat-cermatnya dan peranan ini tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan seperti yang ditentukan.

2. Peranan yang disesuaikan (actual roles): yaitu cara bagaimana sebenarnya peranan itu dijalankan. Peranan ini pelaksanaannya lebih luwes, dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu. Peranan yang disesuaikan mungkin tidak cocok dengan situasi setempat, tetapi kekurangannya yang muncul dapat dianggap wajar oleh masyarakat.

Berdasarkan cara memperolehnya, peranan bisa dibedakan menjadi:

1. Peranan bawaan (ascribed roles), yaitu peranan yang diperoleh secara otomatis, bukan karena usaha.

2. Peranan pilihan (achives roles), yaitu peranan yang diperoleh atas dasar keputusannya sendiri.

3.8 Mobilitas Sosial (Sosial Mobility)

a. Pengertian Umum dan Jenis-jenis Gerak Sosial

Gerak sosial (sosial mobility) adalah suatu gerak dalam struktur sosial (sosial structure). Sedangkan struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial dan mencakup sifat-sifat hubungan antara individu dalam kelompok serta hubungan antara individu dengan kelompoknya.

Tipe-tipe gerak sosial prinsipnya ada dua macam, yaitu (Sorokin dalam Soekanto, 2012):

1. Gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial


(45)

lainnya yang sederajat. Dengan adanya gerak sosial yang horizontal, tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang ataupun suatu obyek sosial;

2. Gerak sosial vertikal dimaksudkan sebagai perpindahan individu atau obyek sosial dari suatu kedudukan sosial ke dudukan lainnya yang tidak sederajat. Terdapat dua jenis gerak sosial yang vertikal, yaitu:

a) Gerak sosial vertikal yang naik ( sosial climbing), di mana mempunyai dua bentuk utama, yaitu:

(1) Masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan yang rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, kedudukan mana telah ada;

(2) Pembentukan suatu kelompok baru, yang kemudian ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok tersebut.

b) Gerak sosial vertikal yang menurun, di mana mempunyai dua bentuk utama, yaitu:

(1) Turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah derajatnya;

(2) Turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa disintregasi kelompok sebagai kesatuan.

b. Beberapa Prinsip Umum Gerak Sosial yang Vertikal

Prinsip-prinsip umum yang sangat penting bagi gerak sosial vertikal adalah sebagai berikut:

1. Hampir tidak ada masyarakat yang sifat sitem lapisannya mutlak tertutup, di mana sama sekali tidak ada gerak sosial yang vertikal; 2. Betapapun terbukanya sistem lapisan dalam suatu masyarakat,

tidak mungkin gerak sosial yang vertikal dilakukan dengan sebebas-bebasnya, sedikit banyak akan ada hambatan-hambatan; 3. Gerak sosial vertikal yang umum berlaku bagi semua masyarakat

tidak ada, setiap masyarakat mempunyai ciri-ciri sendiri bagi gerak sosialnya yang vertikal;

4. Laju gerak sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik serta pekerjaan yang berbeda;

5. Berdasarkan bahan-bahan sejarah, khususnya dalam gerak sosial vertikal yang disebabkan faktor-faktor ekonomis, politik dan pekerjaan, tidak ada kecenderungan yang kontinyu perihal bertambah atau berkurangnya laju gerak sosial.


(1)

B e n c a n a d a n K e s e h a t a n | 153

Amal, S.,H. 1995.

Beberapa Prespektif Feminis dalam

Menganalisis Permasalahan Wanita dalam Kajian Wanita

dalam Pembangunan.

Jakarta: YOB.

Departemen

Kesehatan

RI.

2011.

Pedoman

nasional

penanggulangan tuberkolusis, cetakan ke 8

. Jakarta:

Depertemen Kesehatan RI.

Departemen

Kesehatan

RI.

2007.

Pedoman

nasional

penanggulangan tuberkulosis. Edisi Kedua.

Cetakan

Pertama.

http://tbcindonesia.or.id/pdf/BUKU_PEDOMAN_

NASIONAL. pdf

Departement of Gender and Women’s Health of WHO.

2002.

Gender and tuberculosis.

Geneva : Departement of Gender

and Women’s Health of WHO.

Echol, Jhon M dan Shadily, H. 1996.

Kamus Besar

Inggris-Indonesia.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.cet.23a.

Fakih, M. 1996.

Analisis Gender dan Transformasi Sosial.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjoro. 2004. Tutur Dari sang Pelacur. Jogjakarta : TINTA

Kelompok Penerbit Qalam (KPQ).

Makarao, N., R. 2009.

Gender Dalam Bidang Kesehatan

. Bandung:

Alfabeta.

Mufidah Ch. 2003.

Paradigma Gender.

Malang: Banyumedia

Publishing

Rokhmah, D. 2012.

Gender dan Tubercolusis; Implikasinya

Terhadap Kemudahan Akses Layanan pada Masyarakat

Muskin

. Jurnal Kesehatan Masyarakat Naional Vol. 7 No.

10 Mei 2013. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia 2013 (7) : 10.


(2)

154 | S O S I O L O G I K E S E H A T A N

Sudarma, Momon. 2009.

Sosiologi untuk Kesehatan.

Jakarta:

Salemba Medika

Subiyantoro, E. Bambang. Perempuan Miskin di Ujung Negeri.

Jurnal Perempuan

. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan.

2005 (42) : 33-43

Umar, N. 2001.

Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif

al-Qur’an.

Jakarta: Paramadina


(3)

DAFTAR INDEKS

bencana, 1, 9, 23, 35, 57, 65, 79, 89, 97, 101, 113, 139, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138

confirmity, 35, 53

deviation, 35, 53, 75 disorganisasi, 75, 76, 81

garis kemiskinan, 101, 102, 104, 107

gender, 1, 9, 23, 35, 57, 65, 79, 89, 101, 113, 125, 139, 140, 141, 142, 143, 146, 148, 149, 152

generasi muda, 84, 85

interaksi sosial, 3, , 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 36, 43, 61, 65, 77

kelompok sosial, 6, 16, 24, 29, 31, 32, 34, 35, 36, 38, 39, 44, 45, 46, 50, 54, 55, 80, 81, 88, 104, 148

kemiskinan, 1, 9, 23, 35, 57, 65, 79, 81, 83, 84, 89, 94, 95, 100, 101, 102, 103, 104, 109, 110, 111, 112, 113, 125, 139, 147

kependudukan, 1, 9, 23, 35, 57, 65, 79, 89, 99, 100, 101, 113, 125, 139 keseimbangan lingkungan, 1, 9, 23, 35, 57, 65, 79, 89, 101, 113, 122, 123,

125, 139

kontrol sosial, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64 kriminalitas, 89, 96, 100

masalah lingkungan, 113, 116

masalah sosial, 3, 8, 75, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 86, 87, 88, 89, 90, 99, 149 masyarakat modern, 61, 74, 84

metode sosiologi, 1, 7, 8 migrasi, 89, 91, 97, 98, 100

modernisasi, 65, 74, 75, 76, 77, 78, 85, 98, 126

penanggulangan bencana, 125, 129, 130, 131, 132, 133, 138

pendidikan, 19, 27, 33, 44, 50, 70, 76, 81, 89, 90, 93, 95, 100, 104, 105, 107, 108, 109, 110, 117, 139, 146, 148, 149, 152

perencanaan sosial, 77, 79, 82, 86, 87, 88, 89 pernikahan, 89, 91, 92, 100, 145, 146

perubahan sosial, 1, 4, 9, 23, 35, 57, 65, 66, 71, 72, 73, 74, 77, 79, 89, 101, 113, 125, 139

sarana kontrol sosial, 57

stratifikasi sosial, 23, 24, 27, 33, 34 teori neo-evolusi personian, 77 teori perubahan sosial, 65, 71 transformasi, 74, 75


(4)

(5)

BIOGRAFI PENULIS

D

rs. Husni Abdul Gani, M.S. Lahir di Bima Nusa Tenggara Barat pada 10 Agustus 1956. Saat ini Bapak dengan 4 anak ini tinggal di Jalan Kalimantan X/20 Jember. Pendidikan dasar beliau dilalui di Bima mulai dari sekolah dasar samapi sekolah menengah atas. Pendidikan S1 beliau ditempuh di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jember lulus tahun 1981, sedangkan jenjang S2 dilanjutkan di Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga lulus tahun 1991.

Karir beliau diawali sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Jember tahun 1983-2002. Kemudian pada tahun 2002 beliau menginisiasi pendirian Program Studi (Prodi) Kesehatan Masyarakat Universitas Jember, sehingga berpindah homebase

ke Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember. Pada tahun 2006-2007 beliau menduduki jabatan sebagai Ketua Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Jember. Kemudian pada tahun 2007 sampai sekarang menjadi Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.

Dalam rangka meningkatkan kompetensi beliau sebagai dosen, maka berbagi penelitian telah dilakukan dan dipublikasikan pada jurnal ilmiah maupun proceeding seminar di tingkat lokal dan nasional. Diantaranya adalah arrikel berjudul : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penderita TB Paru Putus Berobat dalam Pengobatan Jangka Panjang di RS Paru Jember (1998), Korelasi antara Kemiskinan dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan (1999), Pola Kehidupan Wanita Pedagang Sayur Keliling (1999), Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Program Magang (2002), Hubungan Dinamika Pembangunan dan HIV/AIDS (2006), serta Pola Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Masyarakat Suku Osing Kabupaten Banyuwangi (2013).


(6)

D

ewi Rokhmah, S.KM, M.Kes. lahir di Malang, Jawa Timur pada 7 Agustus 1978. Ia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar sampai sekolah menengah (MIN 1, SMPN 1 dan SMAN 3) di Kota Malang. Selanjutnya ia menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya. Gelar Magister kesehatan dengan keahlian bidang promosi kesehatan dan ilmu perilaku dari pascasarjana FKM Universitas Diponegoro Semarang, pada program studi promosi kesehatan yang berkonstrasi pada kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS. Saat ini penulis berprofesi sebagai dosen tetap di Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Jember pada Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku (PKIP).

Untuk meningkatkan kompetensi penulis, ia aktif melakukan studi dan mengikuti berbagai konferensi baik nasional maupun internasional, diantaranya pada tahun 2014 penulis mendapat beasiswa sebagai oral presentator dalam International Conference on Environmental and Occupation Health (ICEOH 2014) yang diselenggarakan oleh University Putra Malaysia (UPM), artikel dalam event tersebut telah terbit pada International Journal of Current Research and Academic Review (IJCRAR). Selain itu, di tahun yang sama artikel penulis dalam International Conference on Tropical and Coastal Region Eco-Development 2014 (ICTCRED 2014) yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro Semarang, telah terbit dalam Procedia Environmental Sciences 23 ( 2015 ) 99 – 104. Karirnya dimulai sebagai staf pengajar di FKM Universitas Jember pada tahun 2009 di bagian PKIP. Tahun 2012 menjadi sekretaris bagian PKIP FKM Universitas Jember serta sebagai sekretaris redaksi Jurnal IKESMA yang diterbitkan oleh FKM Universitas Jember. Selain itu publikasi pada jurnal juga dilakukan oleh penulis baik jurnal lokal maupun jurnal nasional terakreditasi. Salah satunya pada tahun 2012, penulis melakukan publikasi di jurnal KESMAS (Kesehatan Masyarakat Nasional) yang merupakan jurnal terakreditasi nasional yang diterbitkan oleh FKM Universitas Indonesia.

Kesibukan penulis saat ini adalah aktif sebagai peneliti dan menjadi relawan di kegiatan sosial yang bergerak di bidang penanggulangan HIV dan AIDS, serta sedang melanjutkan studi S3 di Program Studi Ilmu Kesehatan FKM Universitas Airlangga Surabaya.