Teori Perubahan Sosial PERUBAHAN SOSIAL

66 | S O S I O L O G I K E S E H A T A N perubahan-perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan- penemuan baru dalam masyarakat. Menurut Samuel Koenig mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi mana terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern. Definisi lain dari Selo Soemardjan bahwa segala perubahan- perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

6.2 Teori Perubahan Sosial

6.2.1 Teori Evolusi Sosial Comte menyatakan bahwa masyarakat merupakan sebuah organisme yang terintegrasi berkat adanya konsensus. Kondisi ini memungkinkan masyarakat selalu dalam kondisi harmonis yang diperolehnya berkat spontanitas hubungan fungsional antar subsistemnya. Inilah yang oleh Comte disebut sebagai sosiologi statis, dengan kajian aspek utama pada struktur sosial. Selain itu juga mengajukan konsep sosiologi dinamis dengan mengajukan preposisi bahwa setiap masyarakat akan mengalami urutan perkembangan dan perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh perkembangan sebelumnya. Dengan mempelajari sifat keumuman perkembangan, akan diperoleh hukum atau pola-pola perkembangan yang terjadi sehingga dengan demikian akan bisa membantu menyediakan dasar rasional untuk memudahkan tingkat kemajuan masyarakat. Penjelasan Comte terhadap evolusi sosial didasarkan pada konsep 3 tahap, dari masyarakat primitif sampai ke peradaban Perancis abad 19 yang menurutnya sangat maju. Hukum urutan perkembangan masyarakat dimaksud adalah hukum fundamental perkembangan pemikiran manusia, yaitu: a. Tingkat teologis khayalan; b. Tingkat metafisika abstrak; c. Tingkat ilmiah positifis. Pikiran manusia dalam perkembangannya mendasarkan pada tiga metode yang mempunyai karakteristik berbeda. Yang pertama merupakan fondasi dan karenanya memang harus ada, yang kedua sebagai paralihan dan yang ketiga adalah pemahaman dalam keadaannya yang pasti dan tidak tergoyahkan. Pada fase pertama teologis, semua yang ada adalah P e r u b a h a n S o s i a l | 67 hasil tindakan kekuatan supernatural, termasuk akal budi manusia. Pengetahuan adalah absolut dan kodrati. Ada tiga tingkatan dalam tahapan berpikir teologis, yaitu: a. Tingkat pertama, fetisisme fetihim merupakan bentuk kepercayaan awal manusia sehingga kepercayaan kepada kekuatan ini mendominasi kehidupan masyarakat. Manusia mengakui bahwa semua benda memiliki kelengkapan hidupnya sendiri. Fetisisme ini dalam prosesnya akan digantikan dengan kepercayaan supernatural yang meskipun berbeda dari dan antar benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Dan seiring dengan kemajuan cara berpikir masyarakat kepercayaan tersebut kemudian akan diganti dengan adanya sesuatu yang tertinggi disebut monoteisme. Perkembangan masyarakat di tingkat seperti ini mempengaruhi pola tatanan masyarakatnya. Masyarakat yang masih mengandalkan kepada kekuatan jimat akan menempatkan sosok seorang pendeta scerdotal sebagai figur sentral dan karenanya akan mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Struktur sosial yang diilhami oleh sistem kepercayaan demikian, menurut Comte mengakibatkan berkembangannya pola perilaku yang penuh kepura-puraan dan karenanya tidak rasional. b. Tingkat kedua, politeisme merupakan suatu periode perkembangan masyarakat di mana telah mulai tumbuh institusi-institusi sosial. c. Tingkat ketiga, monoteisme merupakan modifikasi-modifikasi konsep teologis mulai dikembangkan. Gereja dan negara mulai dipisahkan. Motivasi perang menjadi bergeser dari tindakan agresif menjadi defensif. Semua periode perkembangan di tingkat teologis di atas masih menunjukkan adanya anggapan bahwa ’semua fenomena alam termasuk manusia diciptakan oleh Zat Adikodrati’. Pada tingkat abstrak metafisika modifikasi-modifikasi dari tingkatan teologis telah banyak dilakukan. Pikiran manusia bukan semata- mata ciptaan Zat Adikodrati, melainkan dari kekuatan abstrak. Kekuatan abstrak selain dinilai benar-benar ada, juga melekat pada setiap manusia dan yang terpenting mampu menciptakan semua fenomena. Ketika tingkat perkembangan masyarakat sudah sampai pada tahap akhir positif, konsep-konsep yang bersifat absolut tentang fenomenal alam semesta sudah ditinggalkan, sebab hal itu dinilainya sebagai hal yang sia-sia. Sebagai penggantinya, pencarian research terhadap hukum-hukum perkembangan alam banyak dilakukan dan digalakkan. Terutama hukum tentang hubungan-hubungan urutan dan persamaan, karena itu penalran dan observasi harusnya digabungkannya secara tepat sehingga bisa berfungsi sebagai sarana pengetahuan ilmiah dalam rangka 68 | S O S I O L O G I K E S E H A T A N pencarian hukum tersebut. Itulah gagasan singkat tentang evolusi perkembangan yang dikemukakan Comte. Dari hal tersebut Comte menempatkan peran intelektual sebagai motor utama perkembangan masyarakat. Salain itu, cara berpikir tertentu begiru penting dalam mengatur tertib sosial sesuai dengan tahap perkembangannya. Artinya, walau cara berpikir tahap primitif lebih rendah daripada tahap positif, namun tetap sangat penting dalam menegakkan tertib sosial di zamannya dan ini sekaligus dinilai sangat strategis untuk dasar munculnya pola berpikir tahap berikutnya. 6.2.2 Teori Neo-Evolusi Personian Dasar teori neo-evolusi yang dikembangkan Parson bermula dari smeinar yang diselenggarakan di Havard University tahun 1963 yang dihadiri beberapa ilmuwan sosial terkemuka, seperti Eisenstadt dan Bellah. Telaah Singkat Teori Parson Tentang Tindakan Sosial Parson dikenal sebagai a biologist, di mana manusia tidak lain organisme biologis dan karya-karyanya banyak dikenal sebagai paradigma ini. Teori Parson yang terkenal adalah teori tentang tindakan manusia. Tentang hal ini Parson membedakan menjadi 4 subsistem: a. Organisme; b. Kepribadian; c. Sistem sosial; d. Sistem kultural. Keempat unsur ini tersusun dalam urutan sibernetika cybernetic order dan mngendalikan tindakan manusia. Dengan skema di bawah ini: a. General system of action: b. Ultimate reality 1. Cultural sub system of action; 2. Sosial sub system of action; 3. Personality sub system of action; 4. Behavioral organisme sub system of action. c. Physico-organic word Semua tindakan manusia ditentukan oleh keempat subsistem. Sistem kultural merupakan sumber ide, nilai, kepercayaan dan simbol- simbol. Sistem ini penuh dengan gagasan dan ide. Karena itu, kaya akan informasi tetapi lemah dalam energi dan aksi. Aplikasi dari sistem kultural yang kaya informasi tersebut ada pada sistem di bawahnya. Sistem kultural memberikan arahan, bimbingan dan pemaknaan terhadap tindakan manusia dalam sistem sosial. Untuk sampai pada bentuk P e r u b a h a n S o s i a l | 69 tindakan nyata, kepribadian, sistem sosial berfungsi sebagai moderator terhadap sistem kultural. Artinya simbol-simbol budaya diterjemahkan begitu rupa dalam sistem sosial yang kemudian disampaikan kepada individu-individu warga sistem sosial individu-individu melalui proses sosialisasi dan internalisasi. Pesan kultural, jika sudah diketahui dan dipahami oleh setiap individu, maka akan menjadi pedoman dalam bertindak. Dalam konteks ini, pesan kultural tersebut mewujud dalam bentuk norma sosial yang sudah tentu mengikat semua warga sistem sosial. Kemudian, jika semua pesan kultural telah internalized dalam diri setiap orang, maka itu berarti norma osial telah self-enforcing. Artinya, norma-norma sosial itu telah menjadi bagian integral ke dalam organisme dirinya sendiri. Bila mekanisme hubungan sibernatika keempat unsur tersebut di atas diamati secara seksama dan meski sistem sosial bukan berada pada posisi puncak tingkatan sibernetika. Namun posisinya sangatlah subsistem lainnya dalam hubungannya dengan sistem sosial sistem bermasyarakat tidak lebih sebagai lingkungan utama. Dengan demikian, sistem sosial berfungsi mengintegrsikan ketiga subsistem lingkungannya ke dalam dirinya sendiri. Parson menformulasikan konsep functional imperatives terutama kaitannya dengan masalah kelangsungan hidup sistem sosial. Maksudnya, masyarakat harus memenuhi keempat fungsi utama berikut, jika tidak ingin punah: a. Adaptation to the environment-performed by the economy b. Goal attainment-performed by the government; c. Integration linking the institutions together-performed by the legal institutions and religion ; d. Latency pattern maintenance of value from generation to generation- performed by the family and education . Fungsi adaptasi berkaitan positif dengan teknologi dan tingkat kelangsungan serta kemandirian otonomi. Ini menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dan subsistem organisme tindakan serta dengan alam fisio-organik. Fungsi kedua, pencapaian tujuan, berkaitan dengan dimensi kepemerintahan. Artinya, bagaimana pemerintah bisa mengorganisasikan sumber-sumber yang ada, terutama sumber dari subsistem kepribadian. Dengan kata lain, bagaimana prioritas tujuan ditentukan dan akan dicapai dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada. Fungsi kedua ini berkaitan dengan dimensi subsistem kepribadian. Fungsi ketiga, integrasi, berkaitan dengan institusi-institusi non agama dan agama. Maksudnya, bagaimana agar berbagai institusi yang ada dalam sistem sosial itu bisa seimbang dan terkoordinasi dengan 70 | S O S I O L O G I K E S E H A T A N baik. Sedangkan fungsi keempat, latency-pemeliharaan pola, berfungsi menjaga dan sejauh mungkin memberdayakan agar unsur-unsur yang ada dalam sistem sosial bisa berfungsi sebagaimana seharusnya sehingga tidak sampai mengarah pada disequilibrium system. Karena itu fungsi keempat bekaitan erat dengan sistem kultural yang di dalamnya berperan sistem kekerabatan dan pendidikan. Teori Parson Tentang Perubahan Sosial Tidak seperti prinsip teori evolusi sosial yang membagi perkembangan masyarakat secar dikotomis, Parson, seperti halnya teorisi neo-evolusi lainnya, menunjukkan adanya perkembangan masyarakat transisional. Menurut Parson, masyarakat akan berkembang melalui tiga tingkatan utama: a. Primitif; b. Intermediat; c. Modern. Dari tiga tahapan ini, oleh Parson dikembangkan lagi ke dalam subklasifikasi evolusi sosial lagi, sehingga menjadi 5 tahapan: a. Primitif; b. Advance primitif and arcchatic; c. Historic intermediate; d. Seedbed society; e. Modern societies. Parson meyakini bahwa perkembangan masyarakat berkaitan erat dengan perkembangan keempat unsur subsistem utama: a. Kultural pendidikan; b. Kehakiman integrasi; c. Pemerintahan pencapaian tujuan; d. Ekonomi adaptasi. Masing-masing subsistem secara otonom, subkolektif-subkolektif. Dalam konteks ini, kemampuan adaptasi terhadap lingkungan merupakan tolok ukur dari tingkat otonominya. Semakin adaptif bearti semakin tinggi otonominya. Konkritnya semakin tinggi otonomi masing-masing subkolektif dalam melakukan fungsi utamanya, dalam rangka fungsi interdependency sistem secara keseluruhan. Semakin besar pula kemampuannya menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dan ini berarti semakin maju masyarakat yang bersangkutan. Konsep Parson yang melihat masyarakat sebagai sistem interaksi kolektif dan tingkat perilaku, merujuk pada persekutuan hidup sosial community dan ini dinilai sebagai intisari struktur sosial yang fungsi P e r u b a h a n S o s i a l | 71 utamanya adalah mengintregasikan. Fungsi inegratif ini setidaknya bisa ditunjukkan dalam 2 hal: a. Memberikan kriteria dan atau identitas kenggotaan dalam sistem sosial; b. Menciptakan norma sosial yang mengatur hubungan baik antar individu maupun antar subkolektif dalam sistem sosial. Masyarakat sebagai sistem sosial tertinggi di dalam nilai-nilai kultural. Dan nilai-nilai kultural, pada gilirannya berperan sebagai tiang penyangga tata kehidupan bermasyarakat dan sebagai pedoman yang mengarahkan tingkahlaku anggota masyarakat di alam fisik yang nyata.

6.3 Perspektif Tentang Perubahan Sosial