dibanding orang yang tidak merokok. Penelitian yang dilakukan di Pati Rusnoto, 2008 dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang
memiliki kebiasaan merokok berisiko 2,56 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok.
Penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan Boon, 2005 dengan desain Cross Sectional melaporkan bahwa perokok atau mantan perokok
memiliki risiko 1,99 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Penelitian yang dilakukan di Hongkong Leung, 2008
dengan desain Kohort melaporkan bahwa perokok memiliki risiko 2,87 kali lebih tinggi terserang TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok.
Merokok sangat membahayakan bagi kesehatan, khususnya sebagai faktor risiko penyakit TB paru. Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat
agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok.
D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan
Pada penelitian ini diketahui bahwa IMT kurang merupakan salah satu faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan dengan
besar risiko 3,47 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Dengan demikian, hasil penelitian ini bisa membuktikan hubungan kausalitas antara
variabel independen dan variabel dependen berdasarkan kriteria kekuatan hasil uji statistik.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Pati Rusnoto, 2008 dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa seseorang
dengan IMT 18,5 memiliki risiko 3,79 kali lebih tinggi terkena TB paru dibandingkan deng
an mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5. Penelitian yang dilakukan di Cilacap Fatimah, 2008 dengan desain kasus kontrol
melaporkan bahwa status gizi kurang memiliki risiko 2,74 kali lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki status gizi
baik. Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang
terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan
tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun
sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi seperti TB paru menjadi menurun. Demikian juga sebaliknya seseorang yang
menderita penyakit kronis, seperti TB paru umumnya status gizinya mengalami penurunan Notoatmodjo, 2007.
Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat untuk menjaga status gizi. Karena, status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kejadian TB paru, kekurangan kalori dan protein serta
kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko terkena TB paru Supariasa, 2001.
Pendidikan terakhir juga menjadi faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan. Pendidikan terakhir yang berisiko adalah yang
tidak sekolah wajib 9 tahun dengan besar risiko 2,05 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Dengan demikian, hasil penelitian ini bisa
membuktikan hubungan kausalitas antara variabel independen dan variabel dependen berdasarkan kriteria kekuatan hasil uji statistik.
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat
kesehatan dan pengetahuan penyakit TB, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin
dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya Ruswanto, 2010.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terkait dengan hubungan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Setu
Kota Tangerang Selatan, diperoleh simpulan sebagai berikut: 1.
Distribusi kejadian TB paru berdasarkan status merokok sebagian besar dari kasus adalah perokok 42,2 dengan usia mulai merokok 10-19
tahun 72,7, rata-rata batang rokok yang dihisap 1-12 batang per hari 84,8, lama merokok 1-15 tahun 60,6 dan jenis rokok yang hisap
kretek 51,5. Sedangkan sebagian besar dari kontrol adalah bukan perokok.
2. Distribusi kejadian TB paru berdasarkan karakteristik sebagian besar
kasus memiliki IMT normal saat terdiagnosis TB paru 51,1, umur pertama kali didiagnosis TB paru 17-55 tahun 86,7, berjenis kelamin
perempuan 57,8, menempuh pendidikan 9 tahun 51,1 dan tidak bekerja 53,3. Sedangkan karakteristik sebagian besar kontrol adalah
IMT normal saat terdiagnosis TB paru 62,2, umur saat penelitian 17-
55 tahun 89,6, berjenis kelamin perempuan 57,8, menempuh pendidikan 9 tahun 68,2 dan tidak bekerja 60.
3. Ada hubungan yang signifikan antara pernah merokok dengan kejadian
TB paru dengan besar risiko 3,44 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol.
4. Merokok berisiko untuk terjadinya TB paru 1,69 kali lebih besar pada
kasus dibanding pada kontrol, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
5. Usia mulai merokok, lama merokok, umur dan pekerjaan bersifat proteksi
terhadap kejadian TB paru. 6.
Ada hubungan yang signifikan antara IMT kurang dengan kejadian TB paru, dengan besar risiko 3,47 kali lebih besar pada kasus dibanding pada
kontrol. 7.
Ada hubungan yang signifikan antara dengan kejadian TB paru, dengan besar risiko 2,05 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol.
B. Saran
1. Bagi Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan
a. Melakukan persamaan definisi kasus yang dipakai, baik dari
pemegang program maupun dokter yang mendiagnosis, agar kasus yang terlaporkan mencapai target yang telah ditetapkan Dinas
Kesehatan Kota
Tangerang Selatan,
serta bersama-sama