Kejadian TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan

anak tersebut dikemudian hari. Pengetahuan yang cukup akan mendorong seseorang untuk memiliki perilaku hidup bersih dan sehat Ruswanto, 2010. Berdasarkan observasi yang dilakukan, Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan sudah memiliki program usaha kesehatan sekolah UKS pada setiap sekolah yang ada di wilayah kerja Puskesmas. UKS ini merupakan salah satu upaya preventif yang diberikan Puskesmas melalui sekolah. Salah satu kegiatan di UKS adalah konseling remaja. Pada kegiatan konseling remaja, setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan konseling dari petugas kesehatan, sehingga mendapatkan informasi mengenai kesehatan, salah satunya adalah rokok. Dengan demikian, diharapkan selalu ada kerja sama yang baik antara sekolah dengan Puskesmas, agar setiap anak mendapatkan edukasi sedini mungkin. Pada penelitian ini diketahui bahwa rata-rata batang rokok yang dihisap kasus 1-12 batang perharinya 84,8. Gambaran penderita TB paru dalam penelitian ini juga sesuai dengan hasil Riskesdas 2013, rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per hari per orang di Indonesia adalah 12 batang setara satu bungkus. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Thailand Ariyothai, 2004 dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa batang rokok yang dihisap paling banyak sekitar 1-10 batang perharinya baik pada kasus maupun kontrol. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di Purwokerto Sarwani, 2012 dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa rata-rata batang rokok yang dihisap 10-20 batang perharinya baik pada kasus maupun kontrol. Salah satu zat kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok adalah timah hitam. Setiap satu batang rokok yang dihisap diperhitungkan mengandung 0,5 mikrogram timah hitam. Bila seorang menghisap 1 bungkus rokok per hari berarti menghasilkan 10 mikrogram, sedangkan batas bahaya kadar timah hitam dalam tubuh adalah 20 mikrogramhari. Hal ini dapat merusak tubuh apabila dikonsumsi terus menerus. Terpaparnya timah hitam dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal Kemenkes, 2012. Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian kasus memiliki durasi merokok 1-15 tahun 60,6. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Thailand Ariyothai, 2004 dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa lamanya merokok paling banyak 10 tahun baik pada kasus maupun kontrol. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di Purwokerto Sarwani, 2012 dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa lamanya merokok paling banyak 20 tahun baik pada kasus maupun kontrol. Setelah merokok bertahun-tahun, perokok mungkin mengalami dampak buruk yang ditimbulkan dari asap rokok, misalnya keluhan perih di mata, sesak napas dan batuk. Semakin lama durasi merokok seseorang, semakin semakin besar kemungkinan terserang penyakit. Kebiasaan merokok dihubungkan dengan peningkatan kadar imunoglobin E yang spesifik. Kadar antibodi terhadap bahan ini ternyata empat sampai lima kali lebih tinggi pada perokok dibandingkan bukan perokok Aditama, 1997. Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus menghisap merokok kretek 51,5. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Thailand Ariyothai, 2004 dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa jenis rokok yang dihisap paling banyak adalah rokok putihfilter baik pada kasus maupun kontrol. Rokok kretek merupakan jenis rokok yang paling berbahaya. Rokok kretek mengandung 60-70 tembakau, 30-40 cengkeh dan zat adiktif lainnya. Rokok ini memiliki nikotin, tar, karbon monoksida yang lebih banyak dari rokok lainnya, sehingga memberikan efek kecanduan yang lebih besar dibanding jenis rokok lainnya CDC, 2013. Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus memiliki IMT normal saat terdiagnosis TB paru 51,1. Gambaran penderita TB paru dalam penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan di NTB Ketut, 2013 dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa 63 dari kasus memiliki IMT kurang. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Pati Rusnoto, 2008 dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa proporsi status gizi IMT kurang pada kelompok TB paru 64,2 lebih besar dari kelompok bukan TB paru. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus pertama kali didiagnosa TB paru pada umur 17-55 tahun 86,7. Umur pertama kali didiagnosa menjadi penting untuk mengetahui kapan biasanya penyakit mulai timbul. Gambaran penderita TB paru dalam penelitian ini juga sesuai dengan Kemenkes 2011, dimana diperkirakan 75 penderita TB adalah kelompok umur produktif yaitu 15-50 tahun Kemenkes, 2011. Konsistensi hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di NTB Ketut, 2013 dengan desain kasus kontrol. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa umur pertama kali didiagnosis TB paru paling banyak responden terdapat pada kelompok umur produktif antara umur 11-55 tahun 71,1. Kelompok umur tersebut merupakan umur dimana seseorang produktif dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Apabila seseorang sakit akibat TB paru, hal tersebut akan berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30. Jika Penderita TB paru meninggal akibat TB paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun Kemenkes, 2010. Tidak merokok merupakan bagian dari perilaku hidup dan sehat PHBS. Apabila PHBS diterapkan, baik untuk diri sendiri, keluarga maupun lingkungan, maka kuman TB tidak berkembang dan hidup di lingkungan rumah. Kuman TB akan cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab, sehingga dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman tidur, tertidur lama selama beberapa tahun Depkes, 2002. Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat untuk menerepkan PHBS. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, baik dari kasus maupun kontrol. Hal ini berbeda dengan hasil Riskesdas 2013, distribusi kejadian TB paru di Indonesia sebagian besar berjenis kelamin laki-laki prevalensi = 0,4 Riskesdas, 2013. Penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di NTB Ketut, 2013 dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi untuk jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin laki-laki pada kasus maupun pada kontrol. Perbedaan ini terjadi kemungkinan karena perempuan lebih banyak memiliki kesempatan untuk berobat ke Puskesmas. Karena berdasarkan hasil observasi, kebanyakan kasus merupakan ibu rumah. Sehingga kasus yang terlaporkan di Puskesmas paling banyak adalah perempuan. Laki-laki lebih umum terkena TB paru, kecuali pada perempuan dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada perempuan, yaitu 42,3 pada laki-laki dan 28,9 pada perempuan. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok, berada di luar rumah dan faktor pekerjaan sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru Ruswanto, 2010. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden baik pada kelompok kasus maupun kontrol telah menempuh pendidikan 9 tahun dan status tidak bekerja. Hal ini berbeda dengan hasil Riskesdas 2013, proporsi penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak pernah sekolah yaitu sebesar 0,5. Pada hasil penelitian ini juga terlihat adanya perbedaan antara variabel pendidikan terakhir dan pekerjaan responden. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya Ruswanto, 2010. Hal ini kemungkinan karena sebagian besar kasus adalah berjenis kelamin perempuan dan menjadi ibu rumah tangga.

C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota

Tangerang Selatan Merokok merupakan salah satu faktor risiko TB paru. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian diisap asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang dibakar adalah 900 C untuk ujung rokok yang dibakar dan 30 C utnuk ujung rokok yang terselip diantara bibir perokok. Asap panas yang berhembus terus menerus masuk ke dalam rongga mulut merupakan rangsangan panas yang menyebabkan perubahan aliran darah dan mengurangi pengeluaran ludah. Akibatnya rongga mulut menjadi kering sehingga dapat mengakibatkan perokok berisiko lebih besar terinfeksi bakteri. Bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok diantaranya adalah nikotin, tar dan gas CO. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan syaraf, menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah, vasokonstriksi pembuluh darah perifer meningkatkan kolesterol LDL dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah Kemenkes, 2012. Tar dihirup dari asap rokok dapat mengganggu kejernihan mokosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan infeksi. Silia juga dapat memperbaiki menempelnya bakteri pada sel epitel pernapasan yang hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan infeksi. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak hiperplasia. Kemudian terjadi penurunan fungsi T sel yang dimanifestasikan oleh penurunan perkembangbiakan mitogen T sel. Polarisasi fungsi T sel dari respon TH-1 ke TH-2 mungkin juga mengganggu pertahanan pejamu dalam melawan infeksi akut. Tar juga mempunyai dampak negatif pada fungsi B- limposit membawa kepada menurunnya produksi imunoglobulin. Secara ringkas tar dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru.serta respon imunologis pejamu terhadap infeksi Eisner, 2008. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan oksigen sehingga setiap ada asap tembakau, disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah CO dan bukan oksigen. Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan melakukan spasme yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila proses ini berlangsung terus menerus maka pembuluh darah akan mudah rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis penyempitan. Penyempitan pembuluh darah akan terjadi di mana-mana. Terpaparnya dengan CO dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal. Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli cabang dari paru Kemenkes, 2012. Selain itu, temuan yang dikumpulkan oleh International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease IUATLD menunjukkan bahwa pajanan asap rokok berhubungan dengan risiko penularan TB paru, terutama pajanan asap sekunder atau secondhand smoke asap yang dikeluarkan dari mulut perokok. Korban utama dari temuan ini adalah anak-anak dan umur muda. Kematian anak-anak akibat TB paru pada 1 dari 5 orang terutama berhubungan dengan kebiasaan merokok orang tua di dekat anaknya. Kematian dan kekambuhan TB berhubungan dengan jumlah serta lama merokok pada penderita TB sehingga program berhenti merokok perlu ditekankan pada penderita TB PPTI, 2004. Pada penelitian ini diketahui bahwa pernah merokok merupakan salah faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan dengan besar risiko 3,44 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Dengan demikian, hasil penelitian ini bisa membuktikan hubungan kausalitas antara variabel independen dan variabel dependen berdasarkan kriteria kekuatan hasil uji statistik. Merokok berisiko untuk terjadinya TB paru 1,69 kali lebih besar pada kasus dibandingkan pada kontrol, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini bisa terjadi karena status merokok seseorang diperngaruhi juga oleh lamanya dia merokok. Pada penelitian ini diketahui bahwa pada kategori pernah merokok paling banyak responden memiliki lama merokok lebih dari 15 tahun 52, sedangkan pada kategori merokok paling banyak responden memiliki lama merokok antara 1-15 tahun 86,4. Pada penelitian ini juga diketahui bahwa kebanyakan responden yang merokok adalah laki- laki 85,5, sehingga kasus merupakan perokok pasif. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di India Kolappan, 2002 dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang merokok tembakau memiliki risiko 2,48 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak merokok. Penelitian yang dilakukan di Pati Rusnoto, 2008 dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan merokok berisiko 2,56 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan Boon, 2005 dengan desain Cross Sectional melaporkan bahwa perokok atau mantan perokok memiliki risiko 1,99 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Penelitian yang dilakukan di Hongkong Leung, 2008 dengan desain Kohort melaporkan bahwa perokok memiliki risiko 2,87 kali lebih tinggi terserang TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Merokok sangat membahayakan bagi kesehatan, khususnya sebagai faktor risiko penyakit TB paru. Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok.

D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota

Tangerang Selatan Pada penelitian ini diketahui bahwa IMT kurang merupakan salah satu faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan dengan besar risiko 3,47 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Dengan demikian, hasil penelitian ini bisa membuktikan hubungan kausalitas antara

Dokumen yang terkait

PENGARUH MEROKOK TERHADAP KEJADIAN KONVERSI SPUTUM PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANJANG

1 30 76

HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DAN PERILAKU DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dan Perilaku Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sangkrah Kota Surakarta Tahun 2016.

0 3 18

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.

3 11 15

PENDAHULUAN Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.

0 4 6

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.

0 2 16

HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN Hubungan perilaku merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di balai besar kesehatan paru masyarakat (bbkpm) surakarta.

0 2 14

HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU Hubungan perilaku merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di balai besar kesehatan paru masyarakat (bbkpm) surakarta.

0 1 15

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MIJEN 2011 - UDiNus Repository

0 0 2

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WARA UTARA KOTA PALOPO | Karya Tulis Ilmiah

7 25 46

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WARA UTARA KOTA PALOPO | Karya Tulis Ilmiah

0 0 13