Perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara

(1)

7.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Hasil evaluasi program minapolitan di Kabupaten Gorontalo Utara bahwa Kabupaten Gorontalo Utara belum layak dijadikan sebagai daerah minapolitan perikanan tangkap,

2. Sumberdaya ikan yang berpotensi dan memiliki peluang pemanfaatan untuk pengembangan perikanan tangkap meliputi ikan kuwe, ikan tembang, ikan kembung, ikan teri dan ikan tuna,

3. Semua unit penangkapan yang dominan di Kabupaten Gorontalo Utara layak berdasarkan analisis finansial yaitu unit penangkapan purse seine, pancing tuna, bagan perahu, gillnet, payang, bubu, pancing ulur, dan sero,

4. Faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan perikanan tangkap adalah aspek ekonomi yang terdiri dari pasar, kemitraan, dukungan modal dan kestabilan harga,

5. Rancangan model pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi jenis ikan yang berpeluang untuk dikelola, dukungan unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan, dan selanjutnya memberikan solusi terhadap faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan serta aspek penunjang dalam pengembangan perikanan tangkap.

7.2 Saran

Dalam menentukan suatu kebijakan perikanan khususnya perikanan tangkap, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu mengkaji potensi sumberdaya ikan, kelayakan usaha, serta faktor yang akan menunjang keberhasilan suatu kebijakan perikanan. Hasil kegiatan tersebut dijadikan sebagai dasar ilmiah (scientific justification) dalam menentukan kebijakan perikanan tangkap yang akan diambil.


(2)

ALFISAHRI R. BARUADI.

Gorontalo District; Under Supervison by: DOMU SIMBOLON, ARI PURBAYANTO,and ROZA YUSFIANDAYANI.

The potency of capture fisheries in the North Gorontalo itself has not been known so far, especially for dominant species that caught from the waters of North Gorontalo. Nevertheless, an understanding of fish resource potency is important to optimize the management of the resource by fishers, private sector as well as government. Fisheries management in the North Gorontalo District is still conducted by government through fisheries development policies, however the output sometimes has not been matched with the government expectation. The fisheries development policies were implemented by several programs for example fishing technology development of purse seine that managed by fishers group, and grant of outboard fishing boat, whereas these programs were failed. Now, the fisheries development policy that still continued done by the government is the policy of capture fisheries minapolitan.Some constrains in fisheries development require the attention of government and stakeholders in carefully formulating and assigning each policy in accordance with the expected goal and supporting factors for the successfull of the policy. Therefore, it needs on the assessment of capture fisheries development that becomes one of the reference for fisheries development policies. The methods used were first, to analysis appropriatness of the capture fisheries minapolitan policy based on the guideline of minapolitan which was published by the Ministry of Marine Affairs and Fisheries; second, to analysis fish resource potency through surplus production model; third, financial analysis for fishing units that feasible to be developed; fourth, structural equation model (SEM) analysis for determining the influence factors toward capture fisheries development; and fifth, to design the capture fisheries development model. The result showed that North Gorontalo District was not feasible to become a center of minapolitan capture fisheries program. The potencial fish resources that could be developed consist of trevally, sardine, mackerel, anchovies, tuna, and frigate mackerel. Fishing units that feasible to be developed were purse seine, longline, boat liftnet, gillnet, boat seine, basket trap, hand line, and guiding barrier trap. Factors affected to the capture fisheries development were the economic aspect that consist of market, partnership, capital support, and fish price.Based on the analysis of fish resources that could be potencially developed, the feasible fishing units, and the factors influenced to the capture fisheries development, therefore the design model of capture fisheries development in the North Gorontalo District was created.

Keywords: development, capture fisheries, fish resource, fishing unit, North Gorontalo.


(3)

Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Salah satu potensi sumberdaya perikanan yang belum banyak dimanfaatkan adalah sumberdaya perikanan tangkap. Kabupaten Gorontalo Utara yang termasuk pada wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Laut Sulawesi sampai Samudera Pasifik diperkirakan mempunyai potensi perikanan tangkap sebesar 590.970 ton yang terdiri dari ikan pelagis besar 175.260 ton, ikan pelagis kecil 384.750 ton, dan jenis ikan lainnya sebesar 30.960 ton. Diukur dari tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, diperkirakan baru mencapai 46 % (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gorontalo Utara, 2010).

Potensi perikanan tangkap di perairan Kabupaten Gorontalo Utara saat ini, belum diketahui berapa besar potensi per jenis ikan, terutama untuk jenis ikan yang dominan tertangkap di perairan tersebut. Pentingnya mengetahui potensi sumberdaya ikan adalah untuk mengoptimalkan pengelolaan terhadap sumberdaya ikan oleh nelayan, swasta dan pemerintah.

Pengelolaan sumberdaya ikan di Kabupaten Gorontalo Utara masih terus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan pengembangan perikanan. Namun, kebijakan perikanan yang dilakukan oleh pemerintah belum sesuai dengan yang diharapkan. Kebijakan tersebut diantaranya adalah pengembangan teknologi alat tangkap purse seine yang dikelola secara kelompok dan bantuan perahu bermesin yang mengalami kegagalan.

Kebijakan pengembangan perikanan memang didesain untuk lebih mendongkrak pertumbuhan sektor kelautan dan perikanan untuk mengelola dan mengoptimalkan sumberdaya ikan di wilayah tersebut. Kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh pemerintah diantaranya melalui kebijakan minapolitan yang merupakan pengembangan perikanan.

Kebijakan minapolitan merupakan suatu kebijakan Pemerintah Pusat yang bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam bidang perikanan. Kebijakan minapolitan atau kota perikanan, merupakan kawasan terpilih yang dijadikan kawasan bisnis perikanan. Untuk itu, pemerintah bersama para pemangku


(4)

kepentingan dituntut untuk dapat menciptakan iklim usaha yang lebih baik dalam menunjang suatu program pengembangan perikanan.

Sasaran kebijakan pengembangan perikanan tersebut adalah untuk meningkatkan produksi ikan dan menjamin mutu hasil tangkapan ikan serta menciptakan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Upaya yang dilakukan meliputi penataan kawasan yang berfungsi melayani dan mendorong pengembangan kawasan perikanan, termasuk daerah sekitarnya atau disebut program berbasis kawasan.

Kawasan minapolitan menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu (1) perikanan merupakan sumber pendapatan utama masyarakat, (2) kegiatan kawasan didominasi oleh kegiatan perikanan, (3) hubungan interdependensi atau timbal balik antar pusat dan hinterland-hinterland, dan (4) kehidupan masyarakat di kawasan minapolitan mirip dengan suasana kota, karena keadaan sarana yang ada di kawasan minapolitan tidak jauh dengan yang di kota.

Kota perikanan atau minapolitan yang dijadikan sebagai konsep yang dikembangkan adalah dengan mewujudkan kemandirian pembangunan di daerah pesisir yang didasarkan pada potensi perikanan di wilayah tersebut. Daerah pesisir atau daerah nelayan akan diubah menjadi kawasan industri, yaitu kawasan industri berbasis perikanan. Penyediaan infrastruktur diperlukan untuk menunjang keperluan aktivitas perikanan dan masyarakat di wilayah tersebut. Dengan demikian, desa nelayan atau wilayah pesisir tidak lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung perkotaan.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan untuk mengkaji kebijakan perngembangan berbasis kawasan melalui kebijakan minapolitan, diantaranya yang dilakukan oleh Maringi (2009) mengatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah yaitu faktor teknologi, permintaan pasar, sumberdaya manusia dan standardisasi mutu produk atau jaminan mutu hasil perikanan. Selanjutnya dikatakan, bahwa dalam pengembangan perikanan perlu menetapkan standar mutu hasil perikanan, meningkatkan pemahaman, kepedulian, dan tanggungjawab dari stakeholder serta segera membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan


(5)

minapolitan dan untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas di kawasan minapolitan, serta hendaknya terdapat kegiatan yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Menurut Setiawan (2010) bahwa status keberlanjutan kawasan minapolitan di Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan termasuk dalam kategori kawasan yang kurang berkelanjutan. Hanya ada satu dimensi yang sudah berkelanjutan yaitu dimensi hukum dan kelembagaan. Status yang kurang berkelanjutan yaitu : dimensi ekologi, infrastruktur, teknologi, sosial budaya, dan dimensi ekonomi yang belum begitu optimal dalam menunjang keberlanjutan kawasan minapolitan.

Adanya kebijakan pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Mandeh Provinsi Sumatra Barat dengan menetapkan komoditas perikanan sebagai komoditas unggulan perlu ditinjau kembali, dan bila dikembangkan menjadi kawasan minapolitan, perlu dukungan kesesuaian lahan yang didukung oleh RTRW. Untuk masa yang akan datang, kebijakan minapolitan perlu diarahkan pada produk yang terbukti memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif (Tar, 2010).

Cara pandang pengelolaan perikanan tangkap seperti di atas merupakan pengelolaan berbasis pemerintah pusat (government based management), dimana dalam pengelolaan, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan. Menyikapi kegagalan kebijakan pengelolaan perikanan, pemerintah perlu melakukan perbaikan-perbaikan untuk mencapai keberhasilan suatu kebijakan perikanan.

Menurut Suseno (2004), bahwa kebijakan pengelolaan perikanan tangkap dengan paradigma rasional selama ini dirasakan tidak efektif. Tidak efektifnya sebuah kebijakan di daerah biasanya karena tidak didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah setempat dan sarana dan prasarana yang masih minim dalam menunjang kebijakan pemerintah pusat. Selain itu, kurangnya koordinasi lintas sektoral baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, kurangnya sosialisasi program baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, dan timpang-tindihnya kebijakan antara satu kebijakanan dengan kebijakan lain yang tidak mendukung.

Kebijakan pengembangan perikanan tangkap melalui kebijakan minapolitan di Kabupaten Gorontalo Utara dilaksanakan sejak tahun 2010 dan masih terus dilaksanakan untuk tahun berikutnya yang merupakan program


(6)

Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Pemerintah Daerah. Dengan berbagai kendala dalam pengembangan perikanan, mengharuskan pemerintah dan stakeholder untuk cermat dalam merumuskan dan menetapkan setiap kebijakan sesuai dengan tujuan yang diharapkan serta faktor-faktor yang mendukung tercapainya suatu kebijakan pengembangan perikanan tangkap. Untuk itu, perlunya suatu kajian pengembangan perikanan tangkap yang menjadi salah satu acuan kebijakan pengembangan perikanan, khususnya perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara.

1.2Perumusan Masalah

Pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara saat ini, sedang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah dengan menetapkan Kabupaten Gorontalo Utara sebagai salah satu pilot project kebijakan minapolitan perikanan tangkap di Indonesia. Harapan pemerintah melalui kebijakan minapolitan adalah dapat meningkatkan produksi hasil tangkapan, menjamin mutu hasil tangkapan dan menciptakan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

Belum diketahuinya berapa besar potensi sumberdaya ikan dan unit penangkapan ikan yang layak serta kegagalan kebijakan pengembangan perikanan melalui kebijakan minapolitan menjadi kendala dalam pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara.

Menyikapi berbagai tantangan kebijakan pengembangan perikanan tangkap, maka diperlukan komitmen yang kuat dan kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta serta nelayan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk itu, diperlukan terobosan konsep yang dapat mendorong tercapainya kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka diperlukan penelitian pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara, yang akan menjawab sejumlah pertanyaan, sebagai berikut :

1) Bagaimana implementasi kebijakan program minapolitan di Kabupaten Gorontalo Utara,

2) Berapa besar potensi sumberdaya ikan dan peluang pemanfatanya dalam pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara,


(7)

3) Unit penangkapan ikan apa yang dominan dan layak dikembangkan dalam pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara,,

4) Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara,

5) Bagaimana rancangan model pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Mengevaluasi implementasi program minapolitan perikanan tangkap Kabupaten Gorontalo Utara,

2) Menentukan potensi sumberdaya ikan dan peluang pemanfaatan untuk pengembangan perikanan di perairan Kabupaten Gorontalo Utara,

3) Menentukan tingkat kelayakan unit penangkapan ikan yang dominan di perairan Kabupaten Gorontalo Utara,

4) Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara,

5) Menyusun rancangan model pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1) Manfaat bagi pemerintah, dapat dijadikan rekomendasi bagi perbaikan kebijakan perikanan tangkap khususnya yang berkaitan dengan kebijakan minapolitan,

2)Manfaat bagi masyarakat, memberikan kontribusi pemikiran secara ilmiah bagi masyarakat yang akan menginvestasikan modalnya dalam perikanan tangkap,

3) Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi dan pengkajian lebih lanjut tentang kebijakan perikanan khsusnya program minapolitan.


(8)

1.5 Kerangka Pemikiran

Berkaitan dengan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap saat ini, pemerintah berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, operasional serta pembinaan dan pengawasan sumberdaya perikanan tangkap. Peran tersebut berupa kebijakan pengembangan perikanan tangkap melalui kebijakan minapolitan yang menjadikan Kabupaten Gorontalo Utara sebagai pilot project oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Belum diketahuinya potensi sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Gorontalo Utara dan kegagalan kebijakan pengembangan perikanan tangkap dibeberapa daerah menjadi pertimbangan dalam pengembangan perikanan tangkap. Selain itu, diduga ada faktor-faktor yang berpengaruh, sehingga pengembangan perikanan tangkap belum optimal.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan adanya penelitian yang akan memberikan informasi tentang potensi sumberdaya ikan, kelayakan unit penangkapan ikan dan faktor-faktor penyebab belum optimalnya pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara. Setelah itu, di desain rancangan model pengembangan perikanan tangkap yang akan menjadi bahan acuan dalam penentuan kebijakan pengembangan perikanan tangkap.


(9)

SUMBERDAYA IKAN

ASPEK EKONOMI UNIT PENANGKAPAN

IKAN

ASPEK PENGEMBANGAN

PERIKANAN TANGKAP

MSY SCHAEFER

NVP NET B/C

IRR

SEM

KELAYAKAN SUMBERDAYA IKAN

KELAYAKAN INVESTASI

KELAYAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP

PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP

OUTPUT PROSES INPUT

KEGAGALAN MINAPOLITAN

RENDAHNYA MUTU HASIL TANGKAPAN

RENDAHNYA PRODUKSI

Keterangan:

OUTPUT PROSES INPUT


(10)

(11)

2.1 Model Pengembangan Perikanan Tangkap

Model merupakan terjemahan bebas dari istilah modelling. Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Model juga diartikan suatu teknik untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran dari suatu yang kompleks, atau untuk memprediksi konsekuensi (response) dari sistem terhadap tindakan (intervensi) manusia. Model dapat berfungsi sebagai alat manajemen dan alat ilmiah. Umumnya model digunakan sebagai alat untuk mengambil keputusan tentang bagaimana pengolahan sumberdaya alam yang terbaik. Penggunaan model dalam penelitian umum merupakan cara pemecahan masalah yang bersifat umum (Eriyatno, 2003).

Model perikanan tangkap dapat diwujudkan melalui pengelolaan sumberdaya yang terintegrasi. Artinya mengintegrasikan semua kepentingan dari pelaku sistem perikanan. Pengelolaan dilakukan secara terpadu untuk seluruh lingkup perairan, tidak dilakukan secara spasial per provinsi atau kabupaten. Model perikanan juga harus didukung oleh kebijakan pemerintah dan dukungan sarana dan prasarana penunjang usaha perikanan tangkap, khususnya kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, perizinan, penciptaan iklim berusaha yang kondusif, kebijakan standar mutu produk, kebijakan ekspor dan kebijakan terhadap lingkungan (Haluan et al, 2007).

Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dalam bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Apabila pengembangan perikanan di wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan


(12)

pendapatan nelayan yang memadai. Pengembangan perikanan dibutuhkan untuk penyediaan protein bagi masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit dan produktivitas nelayan yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis (Monintja, 2000).

Pengembangan perikanan tangkap selama ini berjalan lambat. Hal ini, disebabkan oleh kompleksnya permasalahan yang dihadapi, menyangkut faktor-faktor teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan. Penyebab lambatnya pengembangan usaha perikanan tangkap saat ini adalah posisi tawar yang lemah, kurangnya modal usaha, tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang rendah dan kurangnya pembinaan dari instansi terkait. Oleh karena itu dalam perencanaan dan pengembangannya perlu dilakukan suatu pendekatan komprehensif yang dilandasi oleh teknologi yang tepat guna dan tepat waktu sehingga hasilnya benar-benar berdaya guna, terutama bagi nelayan di wilayah masyarakat pantai. Untuk itu, teknologi yang akan dipakai haruslah yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknis (mencakup aspek sumberdaya), ekonomi, sosiologi, kelembagaan dan lingkungan (Yahya, 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan perikanan harus diubah menjadi suatu usaha perikanan tangkap yang dikelola dengan cara-cara maju, tetapi tetap melibatkan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu desain sistem untuk menghasilkan usaha yang efisien dengan penerapan teknologi yang sesuai. Untuk perencanaan dan pengembangannya diperlukan intervensi kekuatan dari luar antara lain untuk melakukan reformasi modal, menciptakan pasar, sistem kelembagaan dan input teknologi.

Sektor perikanan juga akan dihadapkan pada berbagai hambatan seperti ditolaknya produk ekspor hasil perikanan oleh beberapa negara tujuan ekspor seperti Eropa dan Amerika, sebagai akibat mutu produk tidak terjamin dan memenuhi persyaratan, karena diduga tercemar logam berat. Posisi penawaran harga produk yang lemah karena harga ditentukan oleh negara tujuan ekspor yaitu Jepang dan Amerika, Uni Eropa dan Korea. Untuk mengantisipasi gejala ini, pengembangan perikanan harus melalui pengembangan agroindustri, karena agroindustri khususnya industri perikanan membutuhkan ketersediaan bahan baku berkembang tanpa dukungan kegiatan perikanan yang menghasilkan bahan baku


(13)

primer (ikan). Untuk penyediaan bahan baku primer harus didukung oleh sarana (alat tangkap dan kapal) maupun infrastruktur berupa pelabuhan perikanan yang dilakukan secara bersamaan dan harmonis serta sesuai dengan persyaratan dunia tentang produk hasil perikanan (Wahyuni, 2002).

Charles (2001) mengemukakan sistem perikanan terdiri dari tiga komponen, yaitu sistem alam (natural system), sistem manusia (human system) dan sistem pengelolaan perikanan (fishery management system). Sistem alam terdiri dari 3 subsistem, yaitu ikan (fish), ekosistem biota (ecosystem) dan lingkungan biofisik (biophysical environment). Sistem manusia terdiri dari 4 subsistem yaitu nelayan (fishers), bidang pasca panen dan konsumen (post harvest sector and consumers), rumah tangga dan komunitas masyarakat perikanan (fishing households and communities) dan lingkungan sosial ekonomi budaya (social economic/cultural environment). Sistem manajemen dikelompokkan menjadi 4 subsistem, yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan (fishery policy and planning), manajemen perikanan (fishery management), pembangunan perikanan (fishery development) dan riset perikanan (fishery research).

Pengembangan wilayah di daerah pesisir, khususnya pengembangan sumberdaya perikanan menuntut sumberdaya di daerah tersebut dapat berkesinambungan. Salah satu cara adalah membuat wilayah tertentu menjadi wilayah terlindung (marine protected areas) yang merupakan bentuk program untuk melindungi keberagaman dan mengelola habitat laut yang sensitif dan juga untuk melindungi spesies yang mengalami tekanan pemanfaatan berlebih atau spesies yang hampir punah (Cho, 2005).

Salah satu konsep ruang dalam pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan, yaitu melibatkan nelayan, meningkatkan kesadaran akan adanya pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan menampung aspirasi yang diaspirasikan oleh semua stakeholder dalam pengembangan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir (Storrier dan McGlashan, 2006).

Pengelolaan sumberdaya perikanan, haruslah dikelola secara terpadu, karena dalam proses pengaturan, para stakeholder yang umumnya anggota kelompok nelayan memiliki kekuatan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di daerahnya.


(14)

Saat ini, sudah banyak kelompok masyarakat nelayan yang sadar akan pentingnya keterlibatan mereka dalam merumuskan atau merencanakan kegiatan-kegiatan perikanan di wilayahnya (Kaplan dan Powell, 2000).

Umumnya masyarakat nelayan membutuhkan koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah dalam pembentukan peraturan yang mengatur tentang bagaimana sebaiknya memanfaatkan sumberdaya perikanan yang berkesinambungan. Pengelolaan sumberdaya perikanan, hendaknya dimengerti sebagai proses dinamis dan interaktif yang mengalami dinamika dan perubahan secara terus menerus. Untuk itu, dukungan pemerintah untuk mengelola sumberdaya perikanan yang efesien dan berkesinambungan sangat dibutuhkan saat ini (Hauck dan Sowman, 2001).

Kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan diharapkan tidak terjadi tumpang tindih program dalam pengelolaan. Ada beberapa cara pengembangan perikanan, diantaranya memperbaiki kerangka legislatif yang berpengaruh pada sektor perikanan. Penguatan departemen perikanan berupa kolaborasi yang lebih baik dengan departemen lain, memecahkan masalah pendanaan, meningkatkan penelitian perikanan, serta pengembangan sumberdaya manusia dibidang perikanan (Thorpe, 2009).

Menurut Putro (2002) bahwa perlunya strategi dalam mengatasi tantangan dan menghadapi berbagai hambatan dalam pengembangan perikanan tangkap antara lain menyusun strategi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah seperti :

1) Membangun prasarana berupa pelabuhan perikanan samudera yang tidak lain adalah untuk memberi pelayanan dalam pengembangan industri perikanan,

2) Menghilangkan birokrasi yang dapat menghambat kinerja industri,

3) Mengembangkan dan mendorong organisasi nelayan agar nelayan tradisional mampu meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan usahanya guna memanfaatkan sumberdaya perikanan guna mensuplai kebutuhan bahan baku industri,

4) Menyediakan modal investasi dan modal kerja kepada industri perikanan agar mampu meningkatkan kualitas produk dengan harga yang kompetitif untuk memenangkan persaingan pasar.


(15)

Salah satu komponen pokok yang sensitif dan selalu menjadi ciri khas pada pengembangan perikanan tangkap skala kecil dan menengah adalah permasalahan permodalan. Permasalahan modal bukan disebabkan oleh tidak adanya lembaga keuangan dan kurangnya uang beredar, namun disebabkan sebagian besar lembaga keuangan di Indonesia kurang berminat pada kegiatan usaha perikanan, karena dianggap beresiko tinggi (high risk) mengingat hasil tangkapan nelayan tidak pasti. Sedangkan dalam menyalurkan dana pinjamannya, lembaga keuangan pada umumnya menetapkan syarat agunan (collateral) yang sulit untuk dapat dipenuhi oleh para pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil.

Modal merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan perikanan tangkap. Hanya saja pemodal atau lembaga keuangan selalu mempertimbangkan risiko yang melekat pada usaha perikanan tangkap antara lain: (1) production risk, yaitu meliputi risiko atas hasil tangkapan nelayan yang diharapkan, seperti gangguan alam (cuaca, arus), stok ikan yang makin tipis; (2) natural risk, yaitu risiko akibat kondisi alam, biasanya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya risiko produksi, seperti terjadinya angin badai atau topan; (3) price risk, yaitu harga hasil tangkapan ikan tidak sesuai dengan yang diharapkan, misalnya karena ada permainan tengkulak; (4) technology risk, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi oleh pesatnya kemajuan teknologi, yang dapat menimbulkan ketidakpastian; (5) other risk, yaitu macam risiko lainnya (Ritonga, 2004).

Perlunya pengelolaan perikanan yang dinamis dalam menghadapi era globalisasi, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholder yang senantiasa berkembang. Implikasi dari perkembangan perspektif tersebut adalah penyesuaian atau perubahan dapat terjadi pada tujuan, strategi dan kegiatan pengelolaan perikanan. Saat ini, pengelolaan perikanan lebih diarahkan untuk memaksimumkan manfaat sumber daya ikan, memastikan diterapkannya keadilan terhadap para pengguna terutama nelayan atau masyarakat pesisir yang masih terjerat dalam kemiskinan, melestarikan sumber daya ikan serta menjaga kondisi lingkungan.

Usaha perikanan sangat beragam dan ada faktor yang mempengaruhi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Faktor tersebut meliputi faktor biologi,


(16)

teknologi, sosial budaya dan ekonomi. Perkembangan percepatan kegiatan atau aktivitas di daerah pesisir lebih diarahkan pada pematangan kelembagaan organisasi perikanan, penataan ruang dan sumberdaya. (Guillemot et al, 2009).

Pengembangan perikanan tangkap tidak berkembang kearah yang lebih baik, karena (1) masih rendahnya muatan teknologi disektor kelautan dan perikanan; (2) lemahnya pengelolaan; dan (3) masih kurangnya dukungan ekonomi-politik (Adrianto dan Kusumastanto, 2004).

Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Berdasarkan pengelolaannya, UU No. 22 Tahun 1999 pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada pasal 3, meliputi (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, (2) pengaturan kepentingan administrasi, (3) pengaturan tata ruang, (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan (5) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Selanjutnya pasal 10 ayat 3 dijelaskan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi.

Kegiatan perikanan tangkap di Indonesia dikategorikan di dalam dua kelompok besar, yakni perikanan komersil dengan investasi rendah hingga sedang dan perikanan komersil dengan investasi tinggi atau dapat disebut dengan perikanan industri (industrial fishery). Perbedaan dua kelompok tersebut terletak pada armada perikanan tangkap yang digunakan. Perikanan komersil dengan investasi rendah hingga sedang dicirikan oleh penggunaan armada kapal motor 2-30 Gross Tonnage (GT). Nilai investasi yang ditanamkan pada kegiatan ini tergolong kecil hingga sedang dengan alat tangkap yang digunakan juga sangat bervariasi. Daerah operasi penangkapan ikan umumnya terkonsentrasi di perairan pantai pada jalur penangkapan 0,3 – 12 mil. Sedangkan perikanan industri dicirikan menggunakan armada kapal penangkapan ikan berukuran lebih besar dari 30 GT dengan alat tangkap yang relatif besar dan dilengkapi pula dengan alat bantu penangkapan ikan mekanis maupun elektronik. Daerah operasi


(17)

penangkapan ikan umumnya dilakukan dijalur penangkapan di atas 12 mil hingga perairan ZEE Indonesia sejauh 200 mil (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005).

Perikanan tangkap merupakan aktivitas perekonomian yang meliputi penangkapan atau pengumpulan hewan dan atau tanaman air yang hidup di perairan laut atau perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan sama lainnya. Komponen-komponen perikanan tangkap: (1) SDM nelayan; (2) sarana produksi; (3) usaha penangkapan; (4) prasarana pelabuhan; (5) unit pengolahan; (6) unit pemasaran dan (7) ekspor (Kesteven 1973 yang dimodifikasi oleh Monintja, 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam pengembangan perikanan disuatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan yang memadai. Modal yang dibutuhkan untuk pengembangan tersebut perlu disiapkan oleh pemerintah melalui suatu anggaran khusus. Pengembangan perikanan tersebut harus dapat mensinkronkan kegiatan produksi dengan kesiapan sarana dan prasarana perikanan tangkap, penguasaan pasar yang baik, dan kestabilan harga yang diawasi oleh pemerintah dan punya jenis produk yang diunggulkan, kontinyu jumlahnya, punya grade kualitas atau mutu tertentu, selalu ada pada saat dibutuhkan (tepat waktu), dan produknya tersedia pada berbagai tempat yang resmi.

Pengembangan perikanan khususnya sub sektor perikanan tangkap tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan, tetapi juga untuk meningkatkan konstribusi sektor perikanan terhadap perekonomian nasional, utamanya guna membantu mengatasi krisis ekonomi, baik dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa melalui ekspor, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (Manggabarani, 2005). Selajutnya dikatakan bahwa pengelolaan perikanan menjadi semakin penting oleh sebab perubahan-perubahan dalam hal ekonomi, teknologi, dan lingkungan, termasuk penggunaan cara-cara tradisional dalam penanganan sumberdaya perikanan. Contoh pengaruh perubahan-perubahan tersebut adalah peningkatan pendapatan nelayan semakin penting sejalan dengan meningkatnya pengeluaran


(18)

untuk konsumsi dan barang. Semakin efisien alat penangkapan (misalnya gill net) berarti semakin banyak ikan yang dapat ditangkap per satuan waktu; juga dengan adanya kemampuan sarana penyimpan seperti freezer, maka lebih banyak ikan yang dapat disimpan. Semua itu menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan meliputi berbagai aspek dan sifatnya dinamis sesuai perkembangan lingkungan.

Pengembangan perikanan tangkap membutuhkan kaidah-kaidah tata ruang khususnya tata ruang wilayah pesisir dan laut yang umumnya selalu berubah-berubah seriring terjadi pasang surut di wilayah pantai. Hal ini terkadang menyulitkan terutama untuk justifikasi batas wilayah administrasi daerah. Untuk kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir dibagi dua macam, yaitu batas wilayah perencanaan (planning zone) dan batas wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-today management). Wilayah perencanaan dapat meliputi seluruh daratan apabila terdapat aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia yang secara nyata dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir serta masih memungkinkan untuk dikembangkan. Untuk wilayah keseharian, pemerintah mempunyai kewenangan yang dapat menetapkan beberapa peraturan terkait dengan aktivitas ekonomi atau pembangunan yang dilakukan oleh manusia (Dahuri, 2001)

Pentingnya melibatkan berbagai pihak, yaitu nelayan, pemerintah, dan stakeholder lainnya dalam pengembangan perikanan tangkap. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan diperlukan untuk menjamin agar sektor perikanan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholder baik sekarang atau masa yang akan datang, serta terciptanya perikanan yang bertanggung jawab. Pengembangan penangkapan ikan pada hakekatnya terarah pada pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan rasional bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan nelayan khususnya, tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya ikan itu sendiri maupun lingkungannya. UUNo.31/2004 tentang perikanan juga mengamanatkan bahwa pengelolaan perikanan, termasuk kegiatan perikanan tangkap, harus dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efesiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Kendala yang dihadapi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah secara umum ada 4 (empat) faktor yang sangat dominan


(19)

mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan usaha perikanan yaitu: pemasaran, produksi, organisasi, keuangan dan permodalan. Selain itu, usaha perikanan tangkap sangat berbeda dengan bidang-bidang lainnya. Usaha perikanan tangkap di laut relatif lebih sulit untuk diprediksi keberhasilannya, karena sangat peka terhadap faktor eksternal (musim dan iklim) serta faktor internal (teknologi, sarana dan prasarana penangkapan ikan dan modal). Kerentanan dalam proses produksi akan mengakibatkan adanya fluktuasi dalam perolehan hasil tangkapannya (Baskoro, 2006).

2.2 Alat Tangkap 2.2.1 Purseseine

Purse seine biasanya disebut jaring kantong, karena bentuk jaring tersebut waktu dioperasikan menyerupai kantong. Purse seine kadang-kadang juga disebut jaring kolor, karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali kolor yang berguna untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi, dengan cara menarik tali kolor tersebut (Sadhori, 1985).

Alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap yang dioperasikan secara aktif, yaitu dengan cara mengejar dan melingkarkan jaring pada suatu gerombolan ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa purse seine terdiri dua jenis yaitu tipe Amerika dan Jepang. Purse seine tipe Amerika berbentuk empat persegi panjang dengan bagian pembentuk kantong terletak di bagian tepi jaring. Purse seine tipe Jepang berbentuk empat persegi panjang dengan bagian bawah berbentuk busur lingkar. Bagian pembentuk kantong pada purse seine tipe Jepang terletak ditengah jaring (Brandt, 2005).

Sadhori (1985), menyatakan bahwa purse seine dibedakan berdasarkan empat kelompok besar yaitu :

(1) Berdasarkan bentuk jaring utama : persegi panjang atau segi empat, trapesium atau potongan, dan lekuk,

(2) Berdasarkan jumlah kapal yang digunakan pada waktu operasi : tipe satu kapal (one boat system) dan tipe dua kapal (two boat system),

(3) Berdasarkan waktu operasi yang dilakukan : purse seine siang dan purse seine malam,


(20)

(4) Berdasarkan spesies ikan yang tertangkap : purse seine lemuru, layang, kembung, cakalang.

Prinsip penangkapan dengan menggunakan purse seine adalah melingkari gerombolan ikan dengan jaring, kemudian bagian bawah jaring dikerucutkan sehingga ikan tujuan penangkapan akan terkurung pada bagian kantong, atau dengan memperkecil ruang lingkup gerakan ikan, sehingga ikan tidak dapat melarikan diri. Oleh sebab itu, jika ikan belum terkumpul pada suatu catchable area atau berada diluar kemampuan tangkap jaring, maka dapat diusahakan ikan datang atau berkumpul dengan menggunakan lampu atau rumpon (Ayodhyoa, 1981).

2.2.2 Bagan perahu

Bagan (lifnet) merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara menarik waring ke permukaan air pada posisi horisontal. Pada saat pengangkatan waring ke permukaan terjadi proses penyaringan air, ikan yang berukuran lebih besar dari ukuran mata waring akan tersaring pada waring (Fridman, 1986).

Kontruksi bagan perahu terdiri dari waring, perahu, rumah bagan (anjang-anjang), lampu, serok, dan roller yang berfungsi untuk mengangkat dan menurunkan waring (Subani dan Barus, 1989).

Menurut Von Brandt (2005), bagan diklasifikasikan ke dalam klasifikasi jaring angkat (lifnet) karena proses pengoperasiannya, jaring diturunkan ke dalam perairan, kemudian diangkat secara vertikal, berdasarkan teknik yang digunakan untuk memikat perhatian ikan agar berkumpul pada area, maka bagan diklasifikasikan dalam light fishing yang menangkap ikan dengan menggunakan atraktor cahaya untuk mengumpulkan ikan.

Bagan perahu menggunakan lampu atau cahaya sebagai alat bantu penangkapan, oleh karena itu operasi tidak dimungkinkan dilakukan pada siang hari atau saat sinar bulan terang, karena cahaya menyebar merata dipermukaan air. Penangkapan ikan dengan bagan hanya akan efektif dilakukan pada malam hari. Waktu operasi penangkapan biasanya dimulai saat matahari mulai terbenam hingga menjelang fajar. Pada umumya ikan akan aktif dan menunjukkan sifat fototaksis yang maksimum sebelum tengah malam (Gunarso, 1985).


(21)

2.2.3 Handline

Hand line atau pancing ulur adalah salah satu alat tangkap yang paling dikenal oleh masyarakat umum, terlebih dikalangan nelayan. Prinsip penggunaan pancing adalah dengan meletakan umpan pada mata pancing, lalu pancing diberi tali, setelah umpan dimakan ikan, maka mata pancing akan termakan oleh ikan dan dengan tali manusia menarik ikan (Ayodhyoa, 1975).

Pada prinsipnya pancing terdiri dari dua komponen utama yaitu : tali (line) dan pancing (hook). Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat (satuan) pancing terdiri satu atau lebih mata pancing. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1989).

Pancing ulur adalah sistem penangkapan yang mempergunakan mata pancing dengan atau tanpa umpan yang dikaitkan pada tali pancing dan secara langsung dioperasikan dengan tangan manusia. Ciri khas dari alat ini adalah bisa dioperasikan di tempat yang alat tangkap lain sukar dioperasikan, misalnya tempat-tempat yang dalam, berarus cepat atau dasar perairan yang berkarang. Alat ini dapat dioperasikan oleh satu atau dua orang.

Keberhasilan usaha penangkapan ikan pada alat tangkap pancing tergantung dari beberapa faktor, diantaranya adalah pemilihan umpan yang cocok untuk ikan target. Umpan berfungsi menarik perhatian ikan, sehingga ikan akan memakan umpan yang terkait pada pancing. Mekanisme ikan yang tertangkap dengan pancing disebabkan karena ikan terangsang atau tertarik pada umpan, kemudian berusaha membawa pancing yang terdapat umpan dan akhirnya pancing terkait pada mulutnya (Subani dan Barus, 1989).

2.2.4 Payang

Menurut International Standard Statistical Classfication of Fishing Gear (ISSCFG) vide FAO (1990) payang digolongkan kedalam boat seine. Disainnya terdiri atas dua sayap, badan dan kantong mirip trawl. Jaring ini dioperasikan dari kapal dan ditarik dengan dua tali selembar.

Menurut klasifikasi Von Brandt (2005) payang termasuk kelompok seine net yaitu alat tangkap yang memiliki warp penarik yang sangat panjang dengan cara melingkari wilayah seluas-luasnya dan kemudian menariknya ke kapal atau


(22)

pantai. Seine net terdiri dari kantong dan dua buah sayap yang panjang, serta dilengkapi pelampung dan pemberat.

Jaring payang terdiri atas bagian sayap (wing), badan (body) dan kantong (code end). Semua bagian jaring ini dibuat dengan cara disambungkan mulai bagian kantong sampai bagian sayap dimana ukuran mata jaring (mesh size) dari bagian kantong hingga kaki semakin membesar. Umumnya terbuat dari bahan sintesis karena bahan tersebut memiliki keunggulan dibandingkan dengan penggunaan bahan alami, tidak perlu perlakuan seperti penjemuran serta sangat kuat dan tidak banyak menyerap air. Nilon merupakan salah satu contoh bahan sintesis yang sangat baik untuk payang atau seine net.

Ikan yang tekurung dalam jaring payang diharapkan dapat masuk kedalam kantong. Fungsi ukuran mata jaring pada kantong hanya merupakan dinding penghadang, semakin kecil ukuran mata jaring berarti semakin sedikit ikan yang meloloskan diri. Pembukaan kantong juga dipengaruhi oleh gaya tarik tersebut, oleh sebab itu perlu adanya batasan ukuran mata jaring dengan pehitungan besar ikan (girth). Kecepatan melingkar dan menarik jaring pada setiap operasi serta pembukaan mulut jaring menentukan operasi penangkapan (Ayodhyoa, 1981). 2.2.5 Bubu

Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di Indonesia untuk menangkap ikan-ikan karang. Beberapa keuntungan menggunakan bubu seperti: bahan mudah diperoleh dan harga relatif murah, desain dan konstruksinya sederhana, pengoperasiannya mudah, tidak memerlukan kapal khusus, ikan hasil tangkapan masih memiliki tingkat kesegaran yang baik dan alat tangkap dapat dioperasikan di perairan karang yang tidak terjangkau oleh alat tangkap lainnya (Iskandar dan Diniah, 1999).

Bubu adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif yaitu dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip penangkapan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar dari bubu (Sainsbury, 1996).

Secara garis besar komponen bubu di bagi menjadi tiga bagian, yaitu badan (body), mulut (funnel) dan pintu. Bubu biasanya terbuat dari bahan anyaman bambu, anyaman rotan atau anyaman kawat. Bentuk bubu sangat


(23)

bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk sendiri-sendiri (Subani dan Barus, 1989).

Unit penangkapan bubu terdiri atas perahu atau kapal, bubu dan nelayan. Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang. Untuk memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya bubu dilengkapi dengan pelampung tanda (Subani dan Barus, 1989).

2.2.6 Gillnet

Gillnet secara harfiah berarti jaring insang. Alat tangkap ini disebut jaring insang karena ikan yang tertangkap oleh gillnet umumnya tersangkut pada tutup insangnya (Sadhori, 1985). Martasuganda (2002), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan jaring insang adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, dimana mata jaring dari bagian jaring utama ukurannya sama dan jumlah mata jaring ke arah horisontal lebih banyak dari pada jumlah mata jaring arah vertikal. Pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pemberat dan bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat sehingga adanya dua gaya yang berlawanan.

Gillnet merupakan dinding jaring dengan bahan yang lembut dan mempunyai daya visibilitas yang rendah. Gillnet sebagai dinding yang lebar ditempatkan di atas dasar laut untuk menangkap ikan demersal, atau seluruh tempat mulai dari pertengahan kolom air sampai lapisan permukaan untuk menangkap ikan pelagis (Sainsburry, 1996). Menurut Ayodhyoa (1981) mengklasifikasikan gillnet berdasarkan cara pengoperasiannya atau kedudukan jaring di daerah penangkapan. yaitu :

(1) Surface gillnet, yaitu gillnet yang direntangkan di lapisan permukaan dengan area daerah penangkapan yang sempit,

(2) Bottom gillnet, yaitu gillnet yang dipasang dekat atau di dasar laut dengan menambahkan jangkar sehingga jenis ikan tujuan penangkapannya adalah ikan demersal,

(3) Drift gillnet, yaitu gillnet yang dibiarkan hanyut di suatu perairan terbawa arus dengan atau tanpa kapal. Posisi jaring ini ditentukan oleh jangkar. Sehingga pengaruh kecepatan arus terhadap kekuatan tubuh jaring dapat diabaikan,


(24)

(4) Encircling gillnet, yaitu gillnet yang dipasang melingkar terhadap gerombolan ikan dengan maksud menghadang ikan.

Secara umum cara pemasangan gillnet adalah dipasang melintang terhadap arah arus dengan tujuan menghadang arah ikan dan diharapkan ikan-ikan tersebut menabrak jaring serta terjerat (gilled) di sekitar insang pada mata jaring atau terpuntal (entangled) pada tubuh jaring. Oleh karena itu wama jaring sebaiknya disesuaikan dengan warna perairan tempat gillnet dioperasikan (Sadhori, 1985).

Menurut Martasuganda (2002), jaring insang hanyut (drift gillnet) adalah jaring yang cara pengoperasiannya dibiarkan hanyut di perairan, baik itu dihanyutkan di bagian permukaan (surface drift gillnet), kolom perairan (midwater/submerged drift gillnet) atau dasar perairan (bottom drift gillnet).

Besar kecilnya ukuran mata jaring mempunyai hubungan erat dengan ikan yang tertangkap. Gillnet akan bersifat selektif terhadap ukuran ikan tertangkap. Untuk menghasilkan tangkapan yang besar pada suatu daerah penangkapan, hendaknya ukuran mata jaring disesuaikan dengan besar badan ikan yang terjerat. Pada umumnya ikan tertangkap secara terjerat pada bagian tutup insangnya (opperculum), maka luas mata jaring disesuaikan dengan luas penampang tubuh ikan antara batas tutup insang sampai sekitar bagian depan dari sirip dada (pectoral) (Ayodhyoa, 1981).

Jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh gillnet adalah layang (Decapterus spp), tembang (Sardinella fimbriata), kuwe (Caranx spp, selar (Selaroides spp), kembung (Rastrelliger spp), daun bambu (Chorinemus spp), belanak (Mugil spp), kuro (Polynemus spp), tongkol (Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) (Sadhori. 1985).

2.2.7 Sero

Sero adalah alat penangkap ikan yang dioperasikan di perairan pantai, bersifat menetap dan berfungsi sebagai perangkap ikan yang melakukan gerakan ke pantai atau ikan yang habitatnya di pantai. Sifat ikan sasaran, umumnya adalah berenang menyusuri pantai karena pola ruayanya dan pada waktu tertentu akan kembali mendekati pantai (Martasuganda, 2002).


(25)

Unit penangkapan sero, umunya terbuat dari kombinasi antara jaring dan bambu yang disusun menyerupai pagar. Pada prinsipnya jaring terdiri atas empat bagian penting (Barus, et al, 1991) yaitu:

(1)Penaju (leader net)

Penaju merupakan bagian penting dari sero, berfungsi menghambat pergerakan ikan dan mengarahkan ke bagian jaring tempat ikan yang tertangkap terkumpul. Penaju terdiri atas tiang-tiang yang dipancangkan, jarak antar tiang sekitar 1,50 meter. Panjang penaju bervariasi pada ukuran sero.

(2)Serambi (trap net)

Serabi adalah bagian yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya ikan untuk sementara waktu sebelum memasuki kantong. Pada bagian ini ikan dikondisikan agarpeluang untuk masuk ke dalam kantong menjadi lebih besar. Serambi berbentuk kerucut lebih efektif karena peluang memasuki kantong bagi ikan menjadi lebih besar.

(3)Kantong (cribe)

Kantong berguna untuk mengumpulkan ikan yang telah masuk ke dalam alat tangkap. Ukuran kantong harus cukup besar, agar mampu menjamin hasil tangkapan tetap hidup dan mengurangi keluarnya ikan yang sudah berada di dalam. Pada bagian inilah dilakukan pengambilan hasil tangkapan.

(4)Pintu (entrance)

Pintu adalah tempat masuknya ikan setelah diarahkan oleh penaju. Pada bagian ini biasanya terdapat sepasang sayap (wings) yang berfungsi untuk mempercepat jalannya ikan masuk ke dalam serambi.

Menurut Subandi dan Barus (1989) bahwa disamping penaju, serambi, kantong dan pintu, masih ada kelengkapan lain sebagai alat bantu penangkapan. Alat tersebut adalah sisir atau penggiring dan serok (scoop net) sebagai alat untuk mengambil ikan.

Lokasi yang cocok untuk pengoperasian alat tangkap sero menurut Ayodhyoa (1981), harus memiliki kriteria sebagai berikut:


(26)

(2)Merupakan alur dari ruaya kelompok ikan ke arah pantai,

(3)Topografi dasar perairan mempunyai kemiringan (slope) yang tidak tajam, (4)Lokasi pemasangan mudah terjangkau, dekat dengan sarana dan prasarana. 2.3 Jenis Ikan

2.3.1 Ikan layang (Decapterus spp)

Di Indonesia terdapat ikan layang jenis Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma. Ikan ini hidup perairan lepas pantai dan membentuk gerombolan besar. Panjang tubuhnya mencapai panjang 30 cm, bentuk badan agak memanjang dan agak gepeng. Dalam statistik perikanan, kedua jenis ikan layang ini dimasukan dalam satu kategori (Decapterus spp) (Widodo, 1988).

Ikan layang selain hidup bergelombol, ikan ini termasuk ikan perenang cepat yang hidup diperairan berkadar garam relatif tinggi (32 - 34 0/00) dan

menyenangi perairan jernih. Ikan layang mempunyai salinitas optimum berkisar antara 32 - 32,5 0/00, ikan ini banyak terdapat di perairan yang berjarak 37-56 km

dari pantai.

Pada perairan yang mempunyai suhu minimum, yaitu sebesar 170C biasanya ikan layang akan memijah. Ikan layang umumnya memiliki dua kali masa pemijahan pertahun dengan puncak pemijahan pada bulan Maret sampai April (musim barat) dan Agustus sampai September (musim timur).

Menurut Asakin (1971), ikan layang muncul ke permukaan karena dipengaruhi oleh ruaya harian dari plankton hewani (zoo plankton) yang terdapat disuatu perairan. Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari copepoda 39%, crutacea 31% dan organisme lainnya 30%.

2.3.2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan ikan pelagis besar yang memiliki tubuh membulat, memanjang dan mempunyai garis lateral. Ciri-ciri ikan cakalang adalah terdapatnya 4 – 6 garis berwarna hitam dan memanjang di samping badan. Umumnya ikan cakalang memiliki panjang antara 30-80 cm dengan berat 0,5 – 11,5 kg. Maksimum ukuran fork length ikan cakalang dapat mencapai 108 cm dan berat 32, 34,5 kg, sedangkan ukuran umum yang tertangkap dapat mencapai 40–80 cm (Collete dan Nauen, 1983).


(27)

Gunarso (1988), mengatakan bahwa sebagian dari perairan Indonesia merupakan lintasan ikan cakalang yang bergerak menuju ke kepelauan Philipina dan Jepang. Di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda, Laut Flores, Laut Arafura, Laut Halmahera, Laut Maluku, Laut Sulawesi, Laut Aru dan sebelah utara Irian Jaya.

2.3.3 Ikan tembang (Sardinella fimbriata)

Ikan tembang (Sardinella fimbriata) adalah ikan yang hidup dipermukaan perairan lepas pantai dan suka bergerombol pada daerah yang luas sehingga sering tertangkap dengan ikan lemuru. Ikan tembang tersebar di perairan Indonesia hingga ke utara sampai ke Taiwan, ke selatan sampai ujung Australia dan barat sampai ke Laut Merah.

Ikan tembang juga terkosentrasi pada kedalaman kurang dari 100 meter. Pergerakan vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam, dan pada malam hari ikan tembang cenderung berenang ke permukaan dan berada di permukaan sampai matahari terbit. Waktu malam terang, nampaknya gerombolan ikan tembang akan berpencar atau tetap berada di bawah permukaan.

Panjang tubuh berkisar antara 15 – 25 cm, warna biru kehijauan pada bagian atas, putih perak pada bagian bawah. Sirip-sirip pucat kehijauan, tembus cahaya. Dasar sirip dubur perak dan jauh di belakang dasar sirip dorsal serta berjari-jari lemah 16 – 19, pemakan plankton (Fischer dan Whitehead, 1974). 2.3.4 Ikan teri (Stolephorus sp)

Di Indonesia ikan teri (Stolephorus spp) merupakan jenis ikan pelagis kecil. Ikan teri mempunyai sembilan jenis yaitu : Stolephorus heterolobus, Stolephorus devisi, Stolephorus baganensis, Stolephorus tri, Stolephorus dubiousus, Stolephorus indicus, Stolephorus commersonii, Stolephorus insularis dan Stolephorus buccaneezi.

Ciri-ciri teri adalah bentuk tubuh agak bulat memanjang (fusiform) hampir silindris, perut bulat dengan tiga atau empat sisik duri seperti jarum (sisik abdominal) yang terdapat diantara sirip dada (pectoral) dan sirip perut (ventral), sirip ekor (caudal) bercagak dan tidak bergabung dengan sirip dubur (anal).

Teri termasuk ikan pelagis yang menghuni pesisir dan estuari, tetapi beberapa jenis dapat hidup antara 10 – 15 ppt. Pada umumnya ikan bergerombol,


(28)

ikan teri yang berukuran besar cenderung untuk hidup soliter. Ukuran 40 mm, ikan teri memanfaatkan fitoplankton dan zooplankton, sedangkan pada ukuran lebih dari 40 mm ikan teri banyak memafaatkan zooplakton. Perairan barat Sumatera, Selat Malaka, selatan dan utara Sulawesi, timur Sumatera merupakan daerah kosentrasi ikan teri (Direktorat Jenderal Perikanan, 1997).

2.3.5 Ikan tongkol (Auxis thazard)

Ikan tongkol (Auxis thazard) termasuk jenis tuna kecil. Ciri-ciri morfologinya adalah badan memanjang, kaku, bulat seperti cerutu. Badan tongkol tanpa bersisik kecuali pada bagian korselet yang tumbuh sempurna dan mengecil kebagian belakang, warnanya kebiru-biruan serta putih dan perak dibagian perut. Ciri-ciri lain, dibagian perut terdapat ban-ban serong berwarna hitam diatas garis rusuk serta noktah-noktah hitam terdapat diantara sirip dada dan perut. Ukuran ikan ini dapat mencapai panjang 50 cm, tetapi umumnya berukuran panjang 25-40 cm.

Tongkol termasuk ikan jenis buas, predator, hidup dengan pantai, lepas pantai dan bergorombol besar. Tongkol tergolong ikan epipelagik dengan kisaran temperatur yang disenangi antara 18 – 29 0C.

Dalam penyebarannya tongkol cenderung membentuk kumpulan multispecies menurut ukurannya. Penyebaran tongkol sangat luas meliputi perairan tropis dan sub tropis, termasuk Samudra Pasifik, Samudra Hindia dan Samudra Atlantik (FAO, 1986).

2.3.6 Ikan tuna (Thunnus sp.)

Ikan tuna (Thunnus sp) merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang memiliki tubuh seperti cerutu. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari menyokong menutup seluruh hypural, tubuhnya tertutup oleh sisik, berwarna biru dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya. Sirip punggung terdiri atas dua, sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang.

Tuna species besar terdiri dari 7 species, species besar pada umumnya mempunyai ukuran panjang tubuh antara 40 – 180 cm. Tuna besar diantaranya adalah; madidihang atau yellowfin tuna (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), tuna albakora (Thunnus alalunga), tuna sirip biru selatan


(29)

(Thunnus maccoyii), tuna ekor panjang (Thunnus tonggol), tuna sirip biru selatan (Thunnus thynnus), tuna sirip hitam (Thunnus atlanticus) (Blackburn, 1965).

Beberapa petunjuk untuk menentukan daerah penyebaran ikan tuna antara lain:

(1) Tempat-tempat pertemuan arus dari daerah perairan sempit (dangkal) dengan laut dalam atau daerah karang dan tebing yang merupakan fishing ground pada laut dalam. Berdasarkan keadaan hidrografi dapat diketahui, bahwa putaran arus pada dasar laut merupakan barier pada fishing ground laut dalam;

(2) Tempat-tempat yang terdapat arus yang mengalir dengan cepat atau di tempat yang terdapat rintangan (karang, tebing dan pulau);

(3) Tempat terjadinya konvergensi dan divergensi antara arus yang berdekatan;

(4) Daerah arus eddy dari arus balik equator (equatorial counter current). Menurut Gunarso (1988), beberapa daerah yang merupakan daerah penangkapan ikan tuna antara lain adalah: Laut Banda, Laut Maluku, dan perairan selatan Jawa terus menuju ke timur. Begitu pula perairan selatan dan barat Sumatera serta perairan yang lainnya. Diperairan Indonesia juga terdapat semua jenis tuna besar kecuali tuna sirip biru utara dan sirip biru hitam, ini disebabkan karena tuna sirip utara adalah penghuni perairan Samudera Pasifik Atlantik.

Tuna merupakan jenis ikan yang dalam kelompok ruaya akan muncul sedikit diatas lapisan termoklin pada siang hari dan akan beruaya kelapisan permukaan pada sore hari. Sedangkan pada malam hari akan menyebar diantara lapisan permukaan dan termoklin.

2.3.7 Selar (Selaroides sp)

Selar (Selaroides sp) umumnya hidup di semua perairan Indonesia yang meliputi selar bentong (Selaroides erumenopthalmus), selar kuling (Selaroides leptolepsis) Hidup bergerombol di sekitar pantai dangkal dan makan makan ikan-ikan kecil dan udang kecil (Nontji, 1993).

Selar kuning memiliki bentuk badan lonjong, pipih dengan sirip punggung (dorsal) berjari-jari keras satu dengan jari-jari lunak 15 buah. Sirip duburnya terdiri dua jari-jari keras yang terpisah dan satu jari-jari keras yang bersambung


(30)

dengan 20 jari-jari lunak. Tapis insang pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah 26 buah. Garis rusuk membusur, memiliki 25 – 34 sisik. Selar bentong memiliki bentuk hampir sama, tapi dapat dibedakan dari ukuran lebih besar (Wiyono, 2001).

2.3.8 Kembung (Rastrelliger spp)

Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu, tubuh dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari bagian yang lain. Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Tulang insang dan banyak sekali terlihat seperti bulu jika mulut terbuka. Mempunyai dua buah sirip punggung (dorsal), sirip punggung pertama terdiri dari atas jari-jari lemah dan sama dengan sirip dubur (anal) tidak mempunyai jari-jari keras. Lima sampai enam tambahan (finlet) terdapat dibelakang sirip dubur (anal) dan sirip punggung (dorsal). Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam, sirip dada (pectoral) dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jari-jari lemah (Saanin, 1984).

Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 32 ppt, sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dijumpai di perairan dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji, 1993). Ikan kembung lelaki untuk pertama kali matang gonad berukuran rata-rata 20 cm (Nurhakim, 1993). Ikan kembung perempuan untuk pertama kali matang gonad berukuran 16 cm (Suhendrata dan Rusmadji, 1991).

Penyebaran utama ikan kembung (Rastrelliger spp) yaitu perairan barat, timur dan selatan Kalimantan serta Malaka. Sedangkan daerah penyebarannya mulai dari barat dan timur Sumatera, utara dan selatan Jawa, Nusa Tenggara, utara dan selatan Sulawesi, Maluku dan Papua (Direktorat Jendral Perikanan, 1997). 2.3.9 Lemuru (Sardinella longiceps)

Ikan lemuru berwarna biru kehijauan pada bagian punggung dan putih keperakan pada bagian lambung, serta mempunyai sirip-sirip transparan. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm tetapi pada umumnya hanya 10-15 cm (Chan, 1965).

Ikan lemuru mempunyai rumus sirip punggung, D. 16 – 18; sirip dubur, A. 13 – 16; sirip dada, P. 15 – 16; sirip perut, V. 8 – 9; tipe sisik sikloid, sisik garis


(31)

rusuk, LI. 45; sisik melintang, Ltr. 12 – 13. Bentuk tubuh memanjang, cembung dan membundar pada bagian perut. Sub operkulum membentuk segi empat dengan bagian bawah melengkung. Sirip punggung lebih dekat ke ekor daripada ke moncong, permulaan sirip dengan perut berada di belakang pertengahan sirip punggung.

Gigi pada langit-langit mulut sambungan tulang rahang bawah dan lidah. Tapis insang berjumlah 120 lembar, lebarnya kurang dari 1/2 operkulum.

Sisik-sisiknya lembut dan bertumpuk tidak teratur, jumlah sisik di depan sirip punggung 13 – 15. Scute atau sisik duri terdapat pada lambung, 18 di depan sirip perut dan 14 lainnya di belakang sirip perut (Weber and de Beaufort, 1965). Ikan lemuru sering bergerombol dengan ikan lain seperti ikan layang (Decapterus sp) dan kembung (Rastrelliger sp).

Ikan yang bergerombol mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk menyelamatkan diri dari predator, karena terlindung dalam gerombolan. Menurut Whitehead (1985) ikan lemuru tersebar di Lautan Hindia bagian timur yaitu Phuket, Thailand, dan pantai-pantai di Indonesia.

2.3.10 Ikan kuwe (Caranx sp)

Ikan kuwe ini memiliki nama internasional giant trevally. Adapun klasifikasi ikan ini adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Phylum: Chordata, Class: Actinopterygii, Order: Perciformes, Suborder: Percoidei, Superfamily: Percoidea, Family: Carangidae, Genus: Caranx, Species: Caranx ignobilis. Ikan ini hidup di karang dan biasanya menjadi sasaran penangkapan untuk tujuan rekreasi dan komersial. Ikan ini ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing, rawai, dan tombak.

Ikan Kuwe adalah anggota terbesar dari genus Caranx dan anggota terbesar kelima dari famili Carangidae. Ikan kuwe dapat dikenali dari profile kepala yang curam, sisik menebal secara lurus, linea lateralis lebih banyak berada di daerah posterior. Warna ikan bervariasi dari berwarna keperak-perakan hingga kehitaman. Terkadang berwarna emas kehitaman dan memiliki garis hitam yang tidak teratur pada bagian belakang, namun tidak pernah memiliki bintik hitam di bagian belakang operculum. Ikan dengan kelompok trevally ini adalah jenis ikan


(32)

perenang cepat dengan tubuh yang padat, dasar ekor yang meramping dan bentuk ekor yang tajam.

Daerah habitat ikan kuwe memiliki rentang lingkungan yang luas, dari daerah estuaria, perairan dangkal dan laguna ketika masih juvenil dan ke daerah karang lebih dalam, atol lautan lepas dan perairan luas ketika dewasa. Ketika masih Juvenil, ikan kuwe hidup di daerah di perairan dengan salinitas rendah seperti danau di daerah pantai dan muara sungai. Spesies ini biasa terlihat bergerak disepanjang dinding karang yang menurun di perairan tropis.

Ikan kuwe berubah habitatnya setiap waktunya dalam sehari. Aktivitas ikan tertinggi adalah ketika fajar atau sore dan biasanya merubah lokasi ketika mendekati matahari terbit dan tenggelam. Ikan ini juga melakukan migrasi untuk melakukan pemijahan dan daerah yang sesuai. (www.fishbase.org dan www.wikipedia.com).

2.3.11 Ikan kerapu (Ephynephelus sp.)

Ikan kerapu termasuk dalam famili Serranidae, subfamili Epinephelinae dan dikenal dengan istilah grouper (Tucker, 1999). Ikan kerapu terdiri dari 15 genus dan mencakup 159 spesies. Kelima belas genus ikan kerapu tersebut adalah Aethalperca, Alphestes, Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes, Dermatolepis, Epinephelus, Gonioplectrus, Gracila, Mycteroperca, Paranthias, Plectropomus, Saloptia, Triso dan Variola. Ikan kerapu terdiri dari 14 genus dan mencakup setidaknya setengah dari 449 spesies famili Serranidae.

Kebanyakan ditemukan pada perairan berkarang (Sluka et al, 2001) namun beberapa spesies dapat ditemukan di daerah estuaria atau karang berbatu. Secara umum, ikan kerapu sangat menyenangi wilayah dengan dasar perairan yang berbatu, walaupun pada masa juvenil ikan ini ditemukan pada area padang lamun dan ada juga yang dewasa ditemukan beberapa spesies lebih menyukai areal berpasir.

Menurut Tucker (1999), juvenil dan ikan kerapu dewasa hidup di perairan pesisir dan estuaria, tapi sebagian lebih menyukai perairan yang jernih di areal terumbu karang. Telurnya tunggal, non adhesive dan mengapung pada salinitas normal. Larva dari beberapa spesies menghabiskan beberapa minggu pertamanya sebagai plankton oceanic. Ketika menjadi juvenil, ikan kerapu menetap di


(33)

perairan dangkal untuk mencari tempat berlindung. Pada saat ukurannya bertambah panjang, ikan kerapu bergerak ke perairan yang lebih dalam namun kebanyakan tetap tinggal di wilayah dekat gua tempat berlindungnya.

2.4 MaximumSustainableYield (MSY)

Terjadinya penangkapan sumberdaya ikan di suatu perairan secara berlebihan disebabkan oleh: (1) meningkatnya jumlah penduduk sehingga meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya, termasuk perikanan tangkap; (2) sumberdaya ikan bersifat akses terbuka, sehingga setiap orang berhak untuk melakukan penangkapan secara bebas dan; (3) gagalnya manajeman perikanan` (DKP 2003a). Laju eksploitasi sumberdaya ikan yang tinggi dan melebihi daya dukungnya berdampak langsung terhadap keberlanjutan ketersediaan sumberdaya, mempercepat proses kerusakan sumberdaya ikan dan menurunnya pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan cepat dan tidak dapat dihindari. Model pembangunan dimasa mendatang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan perikanan berkelanjutan.

Pemanfaatan sumberdaya ikan umumnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan MSY. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis, agar ikan dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang melalui keseimbangan biologi dari sumberdayatersebut (Schaefer, 1957).

Dalam mengelola sumberdaya perikanan, maka perlu menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) yang akan didistribusikan menjadi porsi nasional (Domestic Harvesting Capacity). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari seluruh potensi sumberdaya ikan adalah sekitar 80% dari potensi lestari (DKP, 2002).

Menurut teori bioekonomi untuk perikanan komersial menyatakan bahwa tingkat optimal secara sosial dari effort dan panen ditentukan oleh dinamika biologi dari stok dan ekonomi dari industri (seperti biaya input dan harga output). Hal ini karena masyarakat telah tertarik dalam konservasi stok dan keuntungan dari industri. Tanpa pembatasan masuk atau effort, pemanenan akan berlanjut sampai break event point yaitu suatu tingkat upaya dimana total penerimaan hanya


(34)

mampu menutupi total biaya dan dikenal sebagai open access equilibrium (OAE). Pada kondisi seperti ini secara sosial tidak efisien karena effort terlalu tinggi (Gordon, 1954).

Pengelolaan sumberdaya ikan banyak didasarkan pada faktor biologis semata dengan pendekatan yang disebut Maximum SustainableYield (MSY) yaitu tangkapan maksimum yang lestari. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Akan tetapi, pendekatan pengelolaan dengan konsep ini belakangan banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar diantaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi, 2000).

Kesediaan sumberdaya ikan sangat penting bagi pembangunan yang berbasis sumberdaya (resource-based development). Tanpa sumberdaya ikan, pembangunan perikanan tidak akan ada. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya ikan adalah jantungnya pembangunan perikanan. Jika ada upaya untuk mengelola sumberdaya ikan, secara implisit hal tersebut berarti menyusun langkah-langkah untuk membangun perikanan. Sebab itu, tujuan mengelola sumberdaya sering juga disamakan dengan tujuan pembangunan perikanan (Nikijuluw, 2002).

Efisiensi dalam usaha penangkapan ikan sulit untuk diukur. Hal ini, terkait dengan adanya ketidakpastian dalam usaha penangkapan ikan. Dimana penghasilan yang diperoleh juga terkait dengan musim -musim ikan (Kusnadi, 2002) dan nelayan tidak bisa mengendalikan usaha penangkapannya. Disamping itu rusaknya ekosistem sumberdaya laut yang disebabkan berbagai eksternalitas negatif dan penangkapan ikan secara berlebihan telah menekan kehidupan para nelayan.

Produksi (h) pada perikanan tangkap dapat diasumsikan sebagai fungsi dari upaya (E) dan stok ikan (x). Secara matematis dapat ditulis; h = f (x,E). Adapun upaya (effort) merupakan sarana yang digunakan untuk mengeksploitasi ikan pada suatu perairan. Effort didefinisikan indeks dari berbagai input seperti


(35)

tenaga kerja, perahu, alat tangkap, bahan bakar minyak, kekuatan mesin dan sebagainya yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas penangkapan. Peningkatan effort yang terus menerus pada periode tertentu tanpa peningkatan produksi lestari, akan menyebabkan produksi hasil tangkapan turun bahkan mencapai nol pada upaya (effort) maksimum sehingga menimbulkan inefisiensi kapasitas perikanan tangkap. Dengan demikian, produksi lestari sangat tergantung pada kapasitas perikanan tangkap atau tingkat upaya yang memungkinkan (Kirkley and Squires, dalam Fauzi dan Anna, 2005). Dalam hal tersebut perlu diperhatikan efisiensi dari upaya (effort) untuk menghasilkan output berupa hasil tangkapan ikan (Fauzi, 2004).

Menurut Gulland (1983), indikator terjadinya over fishing ditunjukan dengan menurunnya ukuran ikan yang ditangkap, dan makin menurunnya CPUE. Berkurangnya jumlah dan komposisi spesies ikan merupakan indikator integritas biotik ekosistem perairan. Hal ini, diakibatkan selain oleh penangkapan berlebih juga oleh adanya tekanan terhadap perairan sehubungan dengan pemanfaatan lahan di wilayah pesisir terutama konversi kawasan mangrove menjadi tambak dan sebagainya.

Pendekatan ini pula yang dipergunakan sebagai kriteria oleh Bailey et al. (1987) dan FAO (2000), di dalam menentukan status pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu perairan dikelompokkan menjadi 6 (enam) kelompok, yaitu :

(1) Unexploited,

Stok sumberdaya ikan berada pada kondisi belum tereksploitasi, sehingga aktivitas penangkapan ikan sangat dianjurkan di perairan ini guna mendapatkan keuntungan dari produksi.

(2) Higly exploited,

Stok sumberdaya ikan baru tereksploitasi dalam jumlah sedikit (kurang dari 25 persen MSY). Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya ikan dan hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort) atau CPUE masih mungkin meningkat.


(36)

(3) Moderately exploited,

Stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi setengah dari MSY. Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan masih dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, akan tetapi hasil tangkapan per unit upaya mungkin mulai menurun.

(4) Fully exploited,

Stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Disini peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan, walaupun hasil tangkapan masih dapat meningkat. Peningkatan upaya penangkapan akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan dan hasil tangkapan per unit upaya pasti turun.

(5) Over exploited,

Stok sumberdaya ikan sudah menurun, karena tereksploitasi melebihi nilai MSY. Pada kondisi ini, upaya penangkapan harus diturunkan agar kelestarian sumberdaya ikan tidak terganggu.

(6) Depleted,

Stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan secara drastis, dan upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan.

2.5 Kebijakan Minapolitan

Kebijakan adalah suatu peraturan yang mengatur atau mengubah suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik. Manusia menetapkan suatu kebijakan merupakan upaya manusia untuk mengetahui dan mengatasi sesuatu. Kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan publik (public policy) dan kebijakan pribadi (private policy). Kebijakan juga menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah. Selain itu, kebijakan juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Salah satu kebijakan publik dalam pengelolaan perikanan tangkap yang didefinisikan bahwa kebijakan publik merupakan suatu keputusan untuk mengatasi masalah tertentu, kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang secara formal dan dituangkan


(37)

dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang perikanan tangkap (Hamdan, 2007).

Menurut Suharto (2005) ada beberapa konsep kunci yang termuat dalam kebijakan publik :

1) Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis dan finansial untuk melakukannya,

2) Kebijakan publik adalah sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata, dan upaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di masyarakat,

3) Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukan sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak,

4) Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial. Namun kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada,

5) Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan pemerintah, maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah. Contoh kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan perikanan dan sesuai dengan potensi dan peluang yang dimiliki Indonesia, maka pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perikanan telah menetapkan beberapa misi pembangunan perikanan tangkap, yaitu :

1) Mengendalikan pemanfaatan sumberdaya ikan, 2) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, 3) Meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil perikanan,


(1)

Y23 = 0.51*Y2, Errorvar.= 0.89 , R² = 0.23 (0.17) (0.15)

2.98 5.85

X11 = 12.57*X1, Errorvar.= 6.50 , R² = 0.96 (2.50) (58.46)

5.02 0.11

X13 = 13.69*X1, Errorvar.= 228.93, R² = 0.45 (3.11) (76.63)

4.40 2.99

X21 = 1.06*X2, Errorvar.= 0.55 , R² = 0.67 (0.12) (0.12)

9.21 4.51

X22 = 1.07*X2, Errorvar.= 0.64 , R² = 0.64 (0.12) (0.13)

8.93 4.81

X24 = 0.91*X2, Errorvar.= 0.55 , R² = 0.60 (0.11) (0.11)

8.51 5.21

X31 = 0.56*X3, Errorvar.= 0.67 , R² = 0.31 (0.10) (0.11)

5.46 6.25

X32 = 0.37*X3, Errorvar.= 0.26 , R² = 0.34 (0.064) (0.042)

5.73 6.15

X33 = 0.42*X3, Errorvar.= 0.32 , R² = 0.36 (0.071) (0.052)

5.92 6.07

X35 = 0.42*X3, Errorvar.= 0.28 , R² = 0.39 (0.068) (0.048)

6.18 5.95

X37 = 0.53*X3, Errorvar.= 0.69 , R² = 0.29 (0.10) (0.11)

5.18 6.35

X41 = 0.68*X4, Errorvar.= 0.49 , R² = 0.49 (0.092) (0.083)

7.40 5.83


(2)

242

Lanjutan lampiran 22

X42 = 0.57*X4, Errorvar.= 0.43 , R² = 0.43 (0.084) (0.071)

6.86 6.07

X43 = 0.59*X4, Errorvar.= 0.33 , R² = 0.52 (0.077) (0.058)

7.69 5.67

X44 = 0.53*X4, Errorvar.= 0.41 , R² = 0.41 (0.080) (0.066)

6.60 6.17

X51 = 0.36*X5, Errorvar.= 0.89 , R² = 0.13 (0.11) (0.13)

3.24 6.75

X52 = 0.44*X5, Errorvar.= 0.13 , R² = 0.59 (0.057) (0.033)

7.61 4.03

X53 = 0.37*X5, Errorvar.= 0.11 , R² = 0.55 (0.050) (0.025)

7.38 4.38

X61 = 0.32*X6, Errorvar.= 0.26 , R² = 0.29 (0.061) (0.040)

5.27 6.43

X62 = 0.48*X6, Errorvar.= 0.14 , R² = 0.63 (0.056) (0.031)

8.53 4.46

X63 = 0.45*X6, Errorvar.= 0.23 , R² = 0.47 (0.063) (0.040)

7.07 5.70

X64 = 0.36*X6, Errorvar.= 0.22 , R² = 0.36 (0.059) (0.036)

6.04 6.18

Structural Equations

Y1 = 0.12*X1 + 0.20*X2 + 0.083*X3 + 0.37*X4 + 0.20*X5 + 0.36*X6, Errorvar.= 0.019 , R² = 0.98

(0.079) (0.11) (0.20) (0.22) (0.12) (0.13) (0.065) 1.55 1.84 0.41 1.69 1.57 2.71 0.30


(3)

Y2 = 0.56*Y1, Errorvar.= 0.68 , R² = 0.32 (0.18) (0.34)

3.11 2.03

Correlation Matrix of Independent Variables X1 X2 X3 X4 X5 X6 --- --- --- --- --- --- X1 1.00

X2 -0.09 1.00 (0.11)

-0.80

X3 0.14 0.52 1.00 (0.12) (0.10)

1.18 5.08

X4 0.03 0.64 0.82 1.00 (0.12) (0.09) (0.07)

0.28 7.49 11.03

X5 0.01 0.31 0.49 0.49 1.00 (0.12) (0.12) (0.12) (0.11)

0.09 2.60 4.24 4.39

X6 0.14 0.33 0.55 0.53 0.65 1.00 (0.12) (0.11) (0.11) (0.10) (0.09)

1.23 2.91 5.11 5.20 6.93 Covariance Matrix of Latent Variables

Y1 Y2 X1 X2 X3 X4 --- --- --- --- --- --- Y1 1.00

Y2 0.56 1.00

X1 0.18 0.10 1.00

X2 0.65 0.37 -0.09 1.00

X3 0.81 0.46 0.14 0.52 1.00

X4 0.86 0.49 0.03 0.64 0.82 1.00 X5 0.72 0.41 0.01 0.31 0.49 0.49 X6 0.82 0.46 0.14 0.33 0.55 0.53

Covariance Matrix of Latent Variables X5 X6

--- --- X5 1.00


(4)

244

Lanjutan lampiran 22

Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 355

Minimum Fit Function Chi-Square = 311.13 (P = 0.95)

Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 285.84 (P = 0.90) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 0.89

90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 0.0) Minimum Fit Function Value = 3.14

Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.04 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.36) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.061

90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.081) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) =0.0.92

Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 5.20 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (5.20 ; 5.20)

ECVI for Saturated Model = 8.79 ECVI for Independence Model = 30.58

Chi-Square for Independence Model with 406 Degrees of Freedom = 2969.66 Independence AIC = 3027.66

Model AIC = 445.84 Saturated AIC = 870.00 Independence CAIC = 3132.21

Model CAIC = 234.25 Saturated CAIC = 2438.25 Normed Fit Index (NFI) = 0.98 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.92 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.95

Comparative Fit Index (CFI) = 0.97 Incremental Fit Index (IFI) = 0.96

Relative Fit Index (RFI) = 0.98 Critical N (CN) = 134.61

Root Mean Square Residual (RMR) = 0.63 Standardized RMR = 0.064 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.93 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.94 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.92


(5)

PURBAYANTO

dan

ROZA YUSFIANDAYANI

Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan

tangkap dan perikanan budidaya. Salah satu potensi sumberdaya perikanan yang

belum banyak dimanfaatkan adalah sumberdaya perikanan tangkap. Kabupaten

Gorontalo Utara yang termasuk pada wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Laut

Sulawesi sampai Samudera Pasifik diperkirakan mempunyai potensi perikanan

tangkap sebesar 590.970 ton yang terdiri dari ikan pelagis besar 175.260 ton, ikan

pelagis kecil 384.750 ton, dan jenis ikan lainnya sebesar 30.960 ton (Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gorontalo Utara, 2010).

Potensi perikanan tangkap di perairan Kabupaten Gorontalo Utara saat ini,

belum diketahui berapa besar potensi per jenis ikan, terutama untuk jenis ikan

yang dominan tertangkap di perairan tersebut. Pentingnya mengetahui potensi

sumberdaya ikan adalah untuk mengoptimalkan pengelolaan terhadap sumberdaya

ikan oleh nelayan, swasta dan pemerintah.

Pengelolaan sumberdaya ikan di Kabupaten Gorontalo Utara masih

dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan pengembangan perikanan, hanya

saja hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah. Kebijakan

tersebut diantaranya adalah pengembangan teknologi alat tangkap

purse seine

yang dikelola secara kelompok dan bantuan perahu bermesin yang mengalami

kegagalan. Saat ini, kebijakan pengembangan perikanan yang masih dilakukan

oleh pemerintah adalah kebijakan minapolitan perikanan tangkap.

Berbagai kendala dalam pengembangan perikanan, mengharuskan

pemerintah dan

stakeholder

untuk cermat dalam merumuskan dan menetapkan

setiap kebijakan sesuai dengan tujuan yang diharapkan serta faktor-faktor yang

mendukung tercapainya suatu kebijakan pengembangan perikanan tangkap. Untuk

itu, perlunya suatu kajian pengembangan perikanan tangkap yang menjadi salah

satu acuan kebijakan pengembangan perikanan, khususnya perikanan tangkap.

Tujuan penelitian yaitu: pertama mengevaluasi implementasi program

minapolitan perikanan tangkap Kabupaten Gorontalo Utara, kedua menentukan

potensi sumberdaya ikan dan peluang pemanfaatan untuk pengembangan

perikanan di perairan Kabupaten Gorontalo Utara, ketiga menentukan tingkat

kelayakan unit penangkapan ikan yang dominan di perairan Kabupaten Gorontalo

Utara, keempat menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara, kelima

menyusun rancangan model pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten

Gorontalo Utara.

Metode yang digunakan yaitu: pertama menganalisis kesesuaian kebijakan

program minapolitan perikanan tangkap berdasarkan pedoman kebijakan

minapolitan yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, kedua

analisis potensi sumberdaya ikan melalui pendekatan surplus produksi, ketiga

analisis finansial terhadap unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan, dan

keempat analisis SEM (

structural equation modelling

) untuk mengetahui faktor


(6)

yang berpengaruh terhadap pengembangan perikanan tangkap, dan kelima adalah

mendesain rancangan model pengembangan perikanan tangkap.

Hasil evaluasi terhadap kesesuain kebijakan minapolitan bahwa daerah

Kabupaten Gorontalo Utara belum layak dijadikan sebagai program minapolitan

perikanan tangkap, sumberdaya ikan yang berpotensi dikembangkan terdiri dari

ikan kuwe, tembang, kembung, teri, tuna dan tongkol. Unit penangkapan ikan

yang layak dikembangkan adalah

purse seine

, pancing tuna, bagan perahu,

gillnet,

payang, bubu, pancing ulur, dan sero. Faktor yang mempengaruhi pengembangan

perikanan tangkap adalah aspek ekonomi yang meliputi pasar, kemitraan,

dukungan permodal dan kepastian harga ikan.

Berdasarkan hasil analisis tentang sumberdaya ikan yang berpotensi

dikembangkan, unit penangkapan ikan yang layak dan faktor yang berpengaruh

terhadap pengembangan perikanan tangkap, maka dibuat rancangan model

pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara.

Kata kunci : Pengembangan, perikanan tangkap, sumberdaya ikan, unit

penangkapan, Gorontalo Utara.