Sintesis Penelitian The Role of Education on Poverty Reduction in Indonesia

136 Beberapa penelitian empiris mengenai pertumbuhan ekonomi menggunakan beberapa ukuran stok modal manusia, antara lain: tingkat melek huruf, angka partisipasi sekolah, dan rata-rata lama sekolah penduduk usia kerja untuk menjelaskan peran pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kebijakan nasional wajib belajar pendidikan dasar terhadap kemiskinan di Indonesia dan mengkaji jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia maupun antarkawasan di Indonesia. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat simpulkan bahwa secara umum pendidikan di Indonesia berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Seperti ditunjukkan pada persamaan pertama Tabel 5.1, dimana dari keempat variabel bebas tersebut berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Melek huruf seringkali menjadi indikator yang pertama kali muncul dalam analisis kemiskinan atau profil kemiskinan sebagai faktor penentu kemiskinan. Melek huruf sangat penting dalam strategi penanggulangan kemiskinan, dimana melek huruf merupakan kunci memasuki dunia pengetahuan yang luas dan akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Melek huruf juga digunakan sebagai elemen penyusun indeks pembangunan manusia IPM. Suso 2006 menggunakan tiga pendekatan terhadap tingkat melek huruf sebagai indikator dalam strategi penanggulangan kemiskinan: 1. Pendekatan hak; memandang bahwa ada hak untuk melek huruf sebagaimana ada hak atas pendidikan. Pendekatan ini mengkaitkan melek huruf terhadap partisipasi dalam pendidikan formal. Indikasi lain dari pendekatan ini adalah fakta bahwa buta huruf berhubungan erat dengan kemiskinan, dimana mengurangi buta huruf akan mengurangi kemiskinan karena buta huruf merupakan bagian dari indikator pengukuran kemiskinan. 2. Pendekatan sosial; memandang melek huruf sebagai instrumen untuk melawan kesenjangan sosial dan budaya, atau melawan dominasi. Hal ini sebagian besar terkait dengan pembangunan manusia, pemberdayaan perempuan dan kaum minoritas, serta kesejahteraan individu. 137 3. Pendekatan fungsional; memberikan perhatian pada keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk berfungsi secara memadai dalam masyarakat. Pendekatan ini terutama menangani persiapan untuk bekerja, wirausaha, akses kredit mikro, pengelolaan lingkungan untuk produktivitas yang lebih baik dan keberlanjutan. Tujuan dari pendekatan melek huruf adalah untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan pengetahuan. Sampai dengan tahun 2010, angka melek huruf di Indonesia telah mengalami peningkatan hingga mencapai 93 . , dengan sebaran antarprovinsi antara 71,52 di Provinsi Papua sampai dengan 99,15 di Provinsi Sulawesi Utara. Pencapaian angka melek huruf antarprovinsi ini terkait pula dengan tingkat kemiskinan yang ada, dimana daerah dengan angka melek huruf yang rendah biasanya tingkat kemiskinannya tinggi, seperti terjadi di Provinsi Papua dengan tingkat kemiskinan tertinggi sebesar 36,80 , sedangkan Provinsi Sulawesi Utara sebesar 9,10 . . Berdasarkan hasil penelitian, melek huruf berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,27 . , dimana jika angka melek huruf meningkat 1 . , maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,27 . , ceteris paribus. Angka partisipasi sekolah sebagai salah satu indikator untuk mengukur daya serap keseluruhan sistem pendidikan, menyajikan gambaran interaksi antara permintaan dan penawaran pendidikan. Permintaan dan penawaran dalam pendidikan berarti seberapa besar persentase anak kelompok usia tertentu dalam populasinya yang memanfaatkan fasilitas pendidikan. Hal penting yang perlu diketahui adalah pada tingkat pendidikan mana partisipasi yang besar dan pada populasi kelompok umur berapa partisipasi sekolah yang besar. Rata-rata APS penduduk usia 7-24 tahun di Indonesia pada tahun 2010 telah mengalami peningkatan hingga mencapai 65,52 . . Artinya bahwa lebih dari 65 . dari total populasi anak usia usia 7-24 tahun di Indonesia pada tahun 2010 yang sedang bersekolah di jenjang pendidikan dasar, menengah maupun tinggi. Partisipasi terbesar adalah pada kelompok umur 7-12 tahun, mencapai 96,86 . , dan partisipasi semakin menurun pada kelompok umur yang semakin meningkat. Tingginya pencapaian partisipasi pada kelompok umur tersebut karena didukung 138 ketersediaan anggaran untuk program wajar dikdas, sedangkan semakin menurunnya partisipasi ke setiap jenjang pendidikan lebih tinggi disebabkan oleh biaya pendidikan yang semakin mahal. Kesenjangan partisipasi sekolah masih terjadi antarprovinsi dengan keragaman antara 56,44 . di Provinsi Papua hingga 74,52 . di Provinsi DIY. Kesenjangan ini disebabkan antara lain oleh ketersediaan tenaga pengajar, infrastruktur pendidikan maupun sarana pendukung akses terhadap pendidikan, terutama di daerah terpencil, kepulauan dan pedalaman. Berdasarkan hasil penelitian, partisipasi sekolah berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,31 , dimana jika APS meningkat 1 . , maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,31 . , ceteris paribus . Disisi lain, partisipasi sekolah juga berperan meningkatkan melek huruf dan memberantas buta huruf bagi orang dewasa. Partisipasi sekolah juga dapat dianggap sebagai variabel aliran pencapaian modal manusia, yang memberikan indikasi tingkat pencapaian pendidikan masa depan bagi suatu masyarakat. Variabel rata-rata lama sekolah digunakan untuk mengukur akumulasi stok atau persediaan modal manusia yang telah terbentuk pada suatu daerah. Lamanya bersekolah menjadi ukuran akumulasi investasi pendidikan individu, dimana setiap tambahan tahun bersekolah diharapkan akan membantu meningkatkan pendapatan individu. Hingga tahun 2010, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas baru mencapai 8,09 tahun. Artinya, secara rata- rata pendidikan penduduk Indonesia baru mencapai kelas 2 SMP, dengan kata lain belum mencapai pendidikan dasar sembilan tahun. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata lama sekolah berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,13 . , dimana jika rata-rata lama sekolah meningkat 1 . , maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,13 . , ceteris paribus. Pembangunan pendidikan dalam rangka meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan, sangat dipengaruhi oleh ketersediaan anggaran oleh pemerintah. Gambar 5.17 menunjukkan hubungan positif antara anggaran fungsi pendidikan dengan tingkat partisipasi sekolah di Indonesia selama periode tahun 2007-2010. Implikasi dari teori pertumbuhan endogen yang memandang penting 139 akumulasi modal manusia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, terkait erat dengan kebijakan pemerintah yang mendukung penyediaan layanan dan pembiayaan pendidikan, antara lain melalui anggaran fungsi pendidikan yang semakin meningkat. Dalam strategis penanggulangan kemiskinan, alokasi sumber daya yang diprioritaskan untuk sektor sosial, termasuk pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin akan dapat mengurangi kemiskinan Yamada 2005. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5.4 mengenai scatter-plot antara rasio anggaran fungsi pendidikan dan persentase penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2007–2010 pada pembahasan sebelumnya, terbukti bahwa prioritas pengalokasian anggaran oleh pemerintah yang menguntungkan orang miskin akan dapat mengurangi kemiskinan. Gambar 5.17 Scatter-plot antara anggaran fungsi pendidikan dan partisipasi sekolah di Indonesia, periode tahun 2007-2010. Rata-rata nasional rasio anggaran fungsi pendidikan di Indonesia tahun 2010 sudah mencapai 25,40 . , namun jika dilihat masing-masing provinsi masih terdapat perbedaan kemampuan daerah berkisar antara 8 – 38 . . Berdasarkan hasil penelitian, anggaran fungsi pendidikan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,18 , dimana jika rasio anggaran fungsi pendidikan meningkat 1 . , maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,18 . , ceteris paribus. 10 20 30 40 50 60 70 80 5 10 15 20 25 30 35 40 A P S Rasio anggaran fungsi pendidikan APS Linear APS 140 Dari hasil pengujian pada model pertama, telah diketahui bahwa pendidikan di Indonesia secara umum berperan dalam mengurangi kemiskinan. Namun demikian, langkah selanjutnya adalah untuk mengetahui pada jenjang pendidikan mana yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Pada model kedua ini menggunakan tingkat kesempatan kerja TKK menurut tingkat pendidikan untuk mengetahui pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan melalui lapangan kerja. Pada model kedua juga menyertakan efek tidak langsung pendidikan terhadap kemiskinan melalui variabel PDRB per kapita sebagai efek pertumbuhan dan variabel indeks gini sebagai efek distribusi pendapatan. Berdasarkan hasil pengujian persamaan atau model jenjang pendidikan yang dilakukan dalam penelitian ini Tabel 5.2, dapat diketahui bahwa tingkat kesempatan kerja bagi lulusan jenjang pendidikan menengah dan tinggi lebih berperan dalam mengurangi kemiskinan, sebaliknya kesempatan kerja bagi lulusan jenjang pendidikan dasar berperan dalam menambah kemiskinan. TKK pendidikan tinggi berperan besar dalam mengurangi kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,26 , sedangkan TKK pendidikan menengah berperan mengurangi kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,17 . . Sebaliknya, TKK pendidikan dasar berperan dalam menambah kemiskinan dengan koefisien sebesar 0,15 . Struktur ketenagakerjaan dari segi pendidikan mencerminkan struktur kualitas tenaga kerja. Keterkaitan antara ketenagakerjaan dan kemiskinan dapat dilihat dari perolehan pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dari bekerja, tentunya dapat diukur apakah pendapatan yang diperoleh tersebut dapat mencukupi kebutuhan minimum. Gambar 5.18 memperlihatkan struktur ketenagakerjaan di Indonesia, dimana masih didominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan dasar yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dengan upah rata-rata lebih rendah dari sektor lainnya. Pendapatan yang rendah bagi lulusan pendidikan dasar di sektor pertanian, menyebabkan tingginya kemiskinan di sektor ini. ILO 2000 menyatakan bahwa perluasan kesempatan kerja sering dibarengi dengan penurunan kemiskinan khususnya jika upah riil juga meningkat. Pengetahuan tentang karakteristik dan kualitas tenaga kerja akan berguna sebagai dasar pengembangan kebijakan ketenagakerjaan, terutama pengembangan kesempatan kerja produktif dan peningkatan kualitas SDM ILO 2011. 141 Sumber: BPS 2008a. Keterangan Lapangan Usaha: 1. Pertanian, perkebunan, kehutanan, perburauan dan perikanan; 2. Pertambangan dan penggalian; 3. Industri pengolahan; 4. Listrik, gas dan air minum; 5. Kontruksi; 6. Perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi; 7. Angkutan, pergudangan dan komunikasi; 8. Lembaga keuangan, real estate, usaha persewaan, jasa perusahaan; 9. Jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan. Gambar 5.18 Persentase tenaga kerja dan rata-rata upah Rp. 00.000,- menurut lapangan usaha dan tingkat pendidikan di Indonesia, tahun 2008. Sesuai dengan tahapan teori pembangunan ekonomi bahwa perekonomian akan didorong oleh faktor produksi yang bersumber pada sumber daya alam berlimpah dan tenaga kerja murah; selanjutnya akan didorong oleh faktor efisiensi; serta oleh faktor inovasi yang berasal dari produktivitas tenaga kerja terampil dan pemanfaatan teknologi tinggi. Investasi dalam pendidikan yang mengarah pada pembentukan modal manusia diakui sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Modal manusia berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dalam dua cara. Pertama, modal manusia meningkatkan produktivitas individu, yang mengarah pada peningkatan total produksi dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, modal manusia juga berkontribusi terhadap produktivitas semua faktor produksi lainnya. Hal ini masing-masing disebut sebagai ‘efek internal’ dan ‘efek eksternal’ dari modal manusia Lucas 1988 dalam Tilak 2002. Kontribusi pendidikan untuk 20 10 10 20 30 40 50 60 60 50 40 30 20 10 10 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 U p a h N a k e r x R p . . ,- P e rs e n ta se N a k e r Naker Dasar Naker Menengah Naker Tinggi Upah Dasar Upah Menengah Upah Tinggi 142 pembangunan dapat bervariasi, seperti: membantu industrialisasi dalam perekonomian dengan menyediakan tenaga kerja dengan keterampilan profesional, keterampilan teknis dan keterampilan manajerial. Pembangunan pendidikan juga telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Pendidikan secara tidak langsung mengurangi kemiskinan melalui PDRB per kapita. Diketahui bahwa hasil pendidikan dapat meningkatkan produktivitas, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat pendapatan. Investasi dalam pendidikan meningkatkan PDRB per kapita, sehingga kemiskinan berkurang dan mendukung penyebarluasan pengetahuan. Dalam hal ini, PDRB per kapita berperan dalam mengurangi kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,05 . 143 VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Penelitian ini menunjukkan bahwa jenjang pendidikan dasar tidak cukup berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia, tetapi justru berperan menambah tingkat kemiskinan. Dengan demikian, kebijakan nasional wajib belajar pendidikan dasar 9 sembilan tahun tidak cukup dalam konteks menanggulangi kemiskinan. 2. Penelitian ini menunjukkan bahwa secara nasional, pendidikan dapat berperan mengurangi kemiskinan apabila jenjang pendidikan di atas 9 sembilan tahun yaitu mulai dari jenjang pendidikan menengah ke atas; dan semakin meningkat pendidikan, semakin besar pula perannya dalam mengurangi kemiskinan. 3. Tetapi dalam perspektif kawasan, penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon jenjang pendidikan terhadap pengurangan kemiskinan, dimana jenjang pendidikan tinggi berperan lebih besar terhadap pengurangan kemiskinan di KBI, sementara jenjang pendidikan menengah masih berperan besar terhadap pengurangan kemiskinan di KTI.

6.2 Implikasi Kebijakan

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, beberapa implikasi kebijakan yang dapat direkomendasikan, antara lain: 1. Jika pendidikan menjadi salah satu solusi dalam penanggulangan kemiskinan, maka terkait dengan kebijakan program wajib belajar dalam konteks penanggulangan kemiskinan, maka wajib belajar pendidikan dasar 9 sembilan tahun sudah perlu ditingkatkan lagi minimal menjadi wajib belajar 12 duabelas tahun ke jenjang pendidikan menengah. 2. Terkait peningkatan program wajib belajar 12 tahun, maka rasio anggaran fungsi pendidikan terhadap APBN atau APBD perlu ditingkatkan. 3. Terkait program wajib belajar 12 tahun, maka perlu penanganan khusus bagi masyarakat miskin untuk meningkatkan partisipasi pendidikan maupun 144 pencapaian ke jenjang lebih tinggi, seperti program subsidi bagi masyarakat miskin guna menutupi biaya langsung pendidikan dan biaya tidak langsung pendidikan. 4. Pendidikan hanya sebagai salah satu faktor yang dapat mengurangi kemiskinan. Pendidikan bisa berperan dalam mengurangi kemiskinan melalui lapangan kerja, sehingga perlu penyediaan dan perluasan lapangan kerja untuk menampung tenaga kerja berpendidikan tenaga kerja terampil, guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengurangi kemiskinan. 5. Program pembangunan dan kebijakan pemerintah dalam rangka pengentasan kemiskinan hendaknya memperhatikan karakteristik antarprovinsi yang berbeda satu sama lain, karena suatu kebijakan akan mempunyai efek yang berbeda. Prioritas pengentasan kemiskinan melalui bidang pendidikan, pada khususnya, dapat dilakukan dengan melihat efek lintas-daerah. Dimana daerah dengan efek lintas-daerah yang tinggi mendapat prioritas yang lebih tinggi, seperti daerah terpencil, daerah kepulauan maupun daerah pedalaman di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, NTT dan NTB, tanpa mengabaikan daerah-daerah lain.

6.3 Saran Penelitian Lanjutan

Terkait dengan program Pendidikan untuk Semua dan Tujuan Pembangunan Milenium, penelitian mengenai peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia perlu diekslporasi atau disagregasi lebih lanjut menurut jenis kelamin dan status daerah, dan jika data memungkinkan lebih difokuskan lagi pada daerah- daerah tertentu karena adanya karakteristik dan spesifikasi daerah yang berbeda.