Angka Melek Huruf AMH

72 Definisi singkat dari angka melek huruf adalah proporsi dari populasi orang dewasa berusia 15 tahun ke atas yang melek huruf, dan dinyatakan dalam satuan persentase . Melek huruf sering diukur melalui melek huruf anak kelompok usia 15-24 khususnya terkait keberhasilan kebijakan pendidikan dalam hal cakupan sekolah dan pencapaian pendidikan; serta melalui melek huruf orang dewasa kelompok usia 15 tahun ke atas berfokus pada orang dewasa sebagai warga negara dan angkatan kerja produktif. Indikator ini dapat memberikan ukuran mengenai stok orang yang melek huruf dalam populasi orang dewasa yang mampu menggunakan kata-kata yang ditulis dalam kehidupan sehari-hari dan untuk terus belajar. Hal ini mencerminkan prestasi akumulasi pendidikan dalam menyebarkan melek huruf. Setiap kekurangan dalam melek huruf akan memberikan indikasi upaya yang diperlukan di masa depan untuk memperluas melek huruf pada populasi orang dewasa buta huruf yang tersisa. Melek huruf sangat penting untuk mempromosikan dan mengkomunikasikan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah pembangunan. Melek huruf memfasilitasi pencapaian kesadaran lingkungan dan etika, nilai-nilai, dan keterampilan yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan partisipasi publik yang efektif dalam pengambilan keputusan. Melek huruf berhubungan erat dengan indikator yang mencerminkan kebutuhan dasar seperti pendidikan, pembangunan kapasitas, informasi dan komunikasi. Berdasarkan data BPS, Gambar 4.1 memperlihatkan box plot angka melek huruf AMH penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia selama periode tahun 2006-2010. Box plot menggambarkan kelompok data numerik melalui lima ringkasan: pengamatan terkecil minimum sampel, kuartil bawah Q1, median Q2, kuartil atas Q3, dan observasi terbesar maksimum sampel. Box plot juga bisa menunjukkan pengamatan yang dianggap outlier, jika ada. Jarak antara bagian yang berbeda dari box plot menunjukkan derajat dispersi penyebaran. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa rata-rata AMH KBI lebih tinggi dari KTI, serta sebaran di KBI lebih merata dibandingan KTI. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi AMH di KBI lebih baik dan lebih homogen antarprovinsi, dibandingkan wilayah KTI yang lebih heterogen. Hal ini dapat 73 dimungkinkan karena belum meratanya pembangunan sumberdaya manusia antar kawasan di Indonesia, karena pembangunannya sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dan sosial budaya setempat. Aspek-aspek yang berpengaruh terhadap ketertinggalan wilayah di KTI antara lain adalah aksesibilitas, infrastruktur, sumberdaya manusia, kemampum keuangan lokal, perekonomian masyarakat, serta karakteristik daerah Rosalina 2008. dum A M H10 AM H09 A M H08 A M H0 7 A M H06 KT I KBI KT I KBI KT I KBI KT I KBI KT I KBI 100 95 90 85 80 75 70 P ap u a P ap u a P ap u a P ap u a 89,96 93,39 90,77 93,69 91,08 94,20 91,29 94,55 91,67 94,97 Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c. Gambar 4.1 Box plot angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas menurut kawasan di Indonesia, tahun 2006-2010. Rata-rata AMH di kedua kawasan cenderung mengalami peningkatan dan dengan sebaran yang relatif konstan. Meningkatnya AMH ini terutama terjadi pada kelompok usia muda yaitu usia 15-24 tahun, seiring dengan meningkatnya partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar. Peningkatan partisipasi pada jenjang pendidikan dasar telah mendorong peningkatan kemampuan penduduk dalam membaca dan menulis Bappenas 2011. Sedangkan sebaran yang relatif konstan mengindikasikan masih terjadi kesenjangan antardaerah. Rata-rata tingkat melek huruf antarprovinsi selama periode tahun 2006-2010, masih beragam antarprovinsi dengan kisaran angka melek huruf antara 71,52 di Provinsi Papua sampai dengan 99,15 di Provinsi Sulawesi Utara, dengan rata- rata nasional sebesar 92,83 . 74 Namun demikian, telah terjadi peningkatan pada kelompok kuintil kedua kelas median. Artinya semakin banyak provinsi-provinsi yang mengalami peningkatan AMH, dan beberapa daerah belum mengalami peningkatan AMH. Salah satu daerah yang memiliki AMH terendah, bahkan mengalami penurunan, selama periode tersebut adalah Provinsi Papua. Hal ini mungkin terkait dengan aksesibilitas dan distribusi untuk bersekolah maupun program-program melek huruf yang masih terbatas. Kendala geografis di Papua menjadi salah satu sebab keterbatasan aksesibilitas tersebut. Gambar 4.2 memperlihatkan rata-rata AMH dan perubahannya selama periode tahun 2006-2010. Pada Kuadran I menunjukkan provinsi dengan AMH tinggi dan perubahan yang cepat, di atas rata-rata nasional. Terdapat 4 provinsi pada kuadran I, antara lain: Provinsi NAD, Kepulauan Riau, Kalimantan Selatan dan Lampung. Kuadran II yaitu provinsi dengan rata-rata AMH rendah namun dengan perubahan yang besar. Pada kuadran II terdapat 9 provinsi, antar lain Provinsi Papua Barat, DIY, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT, NTB, Bali dan Jawa Tengah. Hal ini bisa dikaitkan dengan usaha peningkatan AMH danatau semakin berkurangnya kelompok usia tua. Kuadran III menunjukkan provinsi dimana rata-rata AMH dan perubahannya rendah, di bawah rata-rata nasional. Terdapat 3 provinsi pada kuadran III ini, yaitu: Provinsi Papua, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kelompok usia 45 tahun ke atas danatau terbatasnya akses pelayanan pendidikan bagi kelompok usia muda, terutama bagi daerah di luar jawa. Provinsi Papua merupakan satu-satunya provinsi yang mengalami penurunan AMH mulai tahun 2007, hal ini mungkin disebabkan jangkauan layanan pendidikan yang jauh ataupun karena ketiadaan guru di daerah-daerah pedalaman Papua BPS Papua 2009. Pada Kuadran IV menunjukkan provinsi dengan rata-rata AMH tinggi namun tren perubahannya lambat. Terdapat 17 provinsi, antara lain: Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara. Hal ini terkait karena pencapaian AMH sudah tinggi, maka 75 perubahannya cenderung kecil. Tingkat persistensi, terutama pada kelompok usia tua, tidak bisa ditingkatkan lagi. 1.6 1.2 0.8 0.4 0.0 100 95 90 85 80 75 70 Tr e nd Pe r uba ha n A M H R a ta -r a ta A M H 0.41 92.61 J a T e n g J a T i m K a l Ba r K a l Se l K a l Te ng K a l Ti m K e p Ri La m pun g M a l uku M a l U t B a B e l N AD N TB N TT P a p Ba r P a p ua Ria u S ul Ba r S ul Se l S ul Te ng S ul Tr a B a l i S ul U t S um B a r S um S e l S uM ut B a n te n B e n gkul u D IY D KI G o r o n ta l o J a B a r J a m bi SI N G P A P B M U M A SR G O SG SN ST SA K I K S K T K B N T N B B A B T JI YO J T JB J K K R B B LA B E SS J A R I SB SU A C I II III IV Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c. Gambar 4.2 Rata-rata angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas dan tren perubahannya menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006–2010.

4.1.2 Angka Partisipasi Sekolah APS

Untuk mengetahui seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan, dapat dilihat dari penduduk yang masih sekolah pada umur tertentu yang lebih dikenal dengan angka partisipasi sekolah APS. APS merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah, terlepas dari tingkat pendidikan, sebagai persentase dari populasi pada usia yang sama. Pada bahasan yang dimaksud disini partisipasi sekolah berkaitan dengan aktivitas pendidikan formal dan non formal seseorang. Secara teoritis, nilai maksimum adalah 100. Jika APS berada di bawah 100, maka perbedaan dengan 100 memberikan ukuran proporsi penduduk usia tertentu yang tidak terdaftar. Rata-rata APS usia 7-24 tahun di Indonesia selama periode tahun 2006-2010 cenderung mengalami peningkatan dari 62,45 . hingga 65,52 . . Namun masih terjadi kesenjangan antarprovinsi, baik dalam satu kawasan maupun antarkawasan dengan keragaman antara 56,44 . di Papua hingga 74,52 . di DIY Gambar 4.3. 76 Kesenjangan APS antarprovinsi di KBI lebih tinggi dibanding KTI. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur pendidikan maupun kapasitas daerah yang beragam antardaerah di KBI. Provinsi Maluku sejak tahun 2007 memilik APS yang tinggi, sedangkan Provinsi Papua memiliki capaian angka partisipasi sekolah yang masih rendah. dum APS10 APS09 APS08 APS07 APS06 KTI KBI KTI KBI KTI KBI KTI KBI KTI KBI 75 70 65 60 55 50 Maluku Papua Maluk u Papua Maluku 62,75 62,46 63,62 63,61 64,47 64,50 64,60 64,86 65,43 65,61 Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c. Gambar 4.3 Box plot angka partisipasi sekolah penduduk usia 7–24 tahun menurut kawasan di Indonesia, tahun 2006-2010. Gambar 4.4 memperlihatkan rata-rata APS penduduk usia 7–24 tahun dan rata-rata perubahannya menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006–2010. Provinsi dengan pencapaian rata-rata dan perubahan APS tertinggi adalah Provinsi DIY dan Sumatera Barat. Selain itu Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali NTT, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara memiliki capaian APS yang tinggi dan perubahan relatif besar Kuadran I. Provinsi dengan rata-rata APS terendah namun mengalami perubahan cepat Kuadran II antara lain Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Gorontalo. Kuadran III yaitu daerah dengan APS dan perubahan yang rendah, antara lain: Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, DKI, Jawa Barat, Banten, dan