Permasalahan The Role of Education on Poverty Reduction in Indonesia

13 masyarakat suku terasing dan yang hidup berpindah-pindah; anak jalanan dan rawan putus sekolah; anak yang tinggal di daerah konflik, bencana atau perbatasan; anak yatim piatu dan tidak terpelihara; anak dari keluarga miskin; dan anak dengan kebutuhan khusus, termasuk mereka yang menyandang cacat UNESCO 2010. Selanjutnya, pada Gambar 1.6 memperlihatkan rata-rata upahgaji bersih pekerjakaryawan selama sebulan di Indonesia menurut tingkat pendidikan pada Agustus 2011. Terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar pula pendapatan yang diperoleh. Sumber : BPS 2010d. Gambar 1.5 Perkembangan angka partisipasi pendidikan formal di Indonesia, tahun 2005–2010. Sumber: Pusdatinaker 2011 diolah Gambar 1.6 Rata-rata upahgaji bersih pekerjakaryawan selama sebulan di Indonesia menurut pendidikan, Agustus 2011. 94,72 67,62 45,48 11,01 111,63 80,35 62,53 16,35 97,96 86,11 55,83 13,67 20 40 60 80 100 120 An gk a P a rt is ip a si 2005 2006 2007 2008 2009 2010 757.889 1.119.503 1.445.808 1.446.208 2.127.771 2.999.038 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 ≤ SD SMP SMU SMK Dipl Strata ra ta -r a ta u p a h g a ji R p . Tingkat Pendidikan Rata-Rata Upah 14 Dalam literatur terdapat dua pendekatan utama yang menjelaskan hubungan positif antara tingkat pendidikan dan upah, yakni: teori modal manusia dan teori signalling-screening. Dari Gambar 1.6 dapat diartikan bahwa jika terdapat hubungan linier antara tingkat pendidikan dan pendapatan yang diperoleh, maka meningkatkan pendidikan hanya pada tingkat pendidikan dasar diduga tidak akan meningkatkan pendapatan secara substansial dan tidak akan efektif untuk membantu orang untuk mengatasi kemiskinan. Dalam kerangka MDGs, ada keraguan bahwa tujuan MDG-1 untuk menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, tidak akan efektif tercapai jika hanya melalui tujuan MDG-2 universalisasi pendidikan dasar. Secara khusus, mengenai kebijakan nasional bidang pendidikan dalam konteks penanggulangan kemiskinan di Indonesia, maka pendidikan dasar diduga tidak cukup untuk mengangkat masyarakat miskin keluar dari kemiskinan. Wedgwood 2005 menyimpulkan bahwa pengalaman masa lalu Tanzania dalam perluasan dan pemerataan pendidikan dasar telah menunjukkan bahwa dalam jangka panjang pendidikan dasar tidak selalu mengarah pada pengurangan kemiskinan. Demikian pula penelitian Tilak 2005 yang menyatakan bahwa pendidikan menengah dan pendidikan tinggi di India lebih meningkatkan pendapatan individu dan lebih berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi, membuat kontribusi yang signifikan terhadap pengurangan kemiskinan di India. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, kebijakan pendidikan nasional program wajar dikdas telah berjalan selama hampir 4 dekade, namun demikian tingkat kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi. Ini dapat diartikan bahwa pendidikan dasar dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak cukup berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Hal ini dapat dipahami bahwa seiring perubahan zaman, tantangan dan pembangunan ekonomi, maka kebutuhan hidup dan biaya sekolah semakin meningkat. Indonesia sebagai negara berkembang juga membutuhkan tenaga kerja terampil yang berkualitas dalam menghadapi persaingan global yang menuntut produk-produk berkualitas melalui pemanfaatan teknologi tinggi. Persaingan dalam pasar tenaga kerja ditengah persaingan global, akan semakin kompetitif yang membutuhkan tenaga-tenaga kerja terampil dan berkualitas. Sementara itu, tenaga kerja terampil yang berkualitas, tidak cukup didapat hanya dengan berpendidikan dasar. 15 Secara umum, rata-rata pendidikan masyarakat miskin berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang rendah membuat masyarakat miskin mempunyai keterbatasan untuk mengembangkan diri. Akibatnya, mereka tidak mampu berkompetisi untuk memasuki dunia kerja yang semakin terbatas dan membutuhkan kualifikasi yang tinggi. Mereka terpaksa menganggur atau bekerja dengan upah rendah. Alih-alih untuk membiayai akses ke pendidikan, pendapatan masyarakat miskin masih belum cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pendapatan yang sangat terbatas ini pada akhirnya membawa dampak negatif terhadap kesehatan, yang kemudian berpengaruh pada rendahnya daya tahan fisik dan daya pikir sehingga dapat mengurangi prakarsa dan inisiatif. Menurut data Susenas 2009, jika dilihat karakteristik kemiskinan menurut tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga KRT di Indonesia, persentase KRT miskin yang tidak tamat SD dan tamat SD lebih tinggi dibanding persentase KRT miskin dengan tingkat pendidikan terakhir SMP, SMA atau pendidikan tinggi Gambar 1.7. Pada gambar yang sama terlihat pula bahwa distribusi persentase KRT tidak miskin dengan tingkat pendidikan terakhir SLTA dan pendidikan tinggi, lebih tinggi dibanding persentase KRT miskin dengan tingkat pendidikan yang sama. Secara umum indikasi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir kepala rumahtangga, semakin kecil kemungkinan rumahtangga tersebut jatuh ke dalam kemiskinan BPS 2009d. Sumber: BPS 2009d . Gambar 1.7 Persentase rumah tangga miskin dan tidak-miskin menurut tingkat pendidikan kepala rumah tangga di Indonesia, tahun 2009. ≤ SD ≤ SD S LT P S LT P S LT A S LT A P T P T 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Miskin Tidak miskin P e rs e n ta se p e n d u d u k ≤ SD SLTP SLTA PT 16 Berstein 2007 menyimpulkan bahwa hubungan antara kemiskinan dan pendidikan dapat beroperasi dalam dua arah. Pertama, orang miskin sering tidak dapat memperoleh akses ke pendidikan yang memadai karena keterbatasan biaya. Kedua, tanpa pendidikan yang memadai orang sering dibatasi untuk hidup miskin karena tidak dapat memperoleh pendapatan yang tinggi. Oleh karena itu, orang miskin benar-benar membutuhkan lebih banyak pendidikan dan pelatihan keterampilan, dan mereka juga membutuhkan suatu konteks ekonomi dimana mereka dapat menyadari keuntungan ekonomi dari peningkatan modal manusia mereka. Jika tanpa adanya intervensi pemerintah dalam hal penyediaan layanan pendidikan dan pembiayaan pendidikan, serta penciptaan lapangan pekerjaan, maka masyarakat miskin tidak akan mampu keluar dari kemiskinannya, sehingga pengurangan kemiskinan akan sulit tercapai. Beberapa penelitian kemudian berkembang dan menyoroti pentingnya peran pendidikan tinggi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di negara- negara maju, namun demikian pencapaian ke jenjang pendidikan tinggi masih menjadi permasalahan di negara-negara berkembang, begitu pula di Indonesia. Pandangan baru yang berkembang adalah bahwa pendidikan tinggi sangat penting untuk pengentasan kemiskinan, dengan argumen bertumpu pada peran pelengkap kepada pendidikan dasar dan menengah, di mana pendidikan tinggi akan menyediakan pendidikan dasar dengan guru-guru terlatih, pengembangan kurikulum yang relevan secara lokal, dan melengkapi SDM pendidikan dengan manajemen yang solid dan keterampilan pemerintahan. Pendidikan tinggi juga menyediakan keahlian mendasar untuk semua sektor masyarakat dan ekonomi dan hal ini harus menjadi bagian dari strategi pengurangan kemiskinan yang realistis Khan Williams 2006. Di samping persoalan di atas, juga terjadi kesenjangan pencapaian pendidikan antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Menurut data Susenas 2009, angka partisipasi sekolah penduduk menurut kelompok umur di perkotaan dan perdesaan yang mengikuti pendidikan formal yang berasal dari kuantil 40 . penduduk termiskin, masih relatif lebih rendah dibandingkan partisipasi sekolah dari 20 . penduduk terkaya Gambar 1.8. Dari gambar tersebut, terlihat adanya hubungan positif antara tingkat pendapatan rumah tangga dengan tingkat partisipasi sekolah, baik di perkotaan maupun perdesaan. Terlihat bahwa angka 17 partisipasi anak usia sekolah semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan rumah tangga. Hal ini berarti bahwa kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk kelompok termiskin masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan penduduk kelompok terkaya. Kesenjangan partisipasi pendidikan juga terjadi antara perdesaan dan perkotaan, di mana tingkat partisipasi sekolah penduduk perdesaan masih lebih rendah dibandingkan penduduk perkotaan. Sumber : BPS 2010d. Gambar 1.8 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur, status ekonomi rumah tangga dan daerah di Indonesia, tahun 2009. Kesenjangan pencapaian pendidikan juga terjadi antara Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan Barat Indonesia KBI dan Kawasan Timur Indonesia KTI. Berbagai bentuk kesenjangan yang timbul meliputi kesenjangan ekonomi, kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi, kesenjangan sosial maupun kesenjangan pendidikan. Kesenjangan ekonomi, terlihat dari share Produk Domestik Bruto PDB KBI sebesar 80 . dari produk nasional bruto, dibandingkan share PDB KTI yang baru sebesar 20 . Bappenas 2008. Kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi dapat didekati melalui rata-rata pendapatan per kapita, dimana penduduk KBI memiliki rata-rata pendapatan per kapita sebesar 9,5 juta rupiah, sedangkan penduduk KTI hanya sebesar 6,5 juta rupiah. Begitu pula kesenjangan dalam bidang sosial, 80 . penduduk Indonesia tinggal di KBI dan hanya sekitar 12 . dari penduduk KBI yang tergolong miskin, dibandingkan dengan 20 . penduduk Indonesia yang tinggal di KTI dan 7-12 13-15 16-18 19-24 Desa 7-12 13-15 16-18 19-24 20 tertinggi Kota 100 095 076 040 099 092 065 014 40 menengah Kota 099 094 069 016 098 086 052 006 40 terendah Kota 098 084 050 005 096 074 034 003 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 AP S 18 sebanyak 14 . penduduk KTI tergolong miskin. Kesenjangan pendidikan antara KBI dan KTI dapat pula dilihat dari rata-rata lama sekolah penduduk. Penduduk di KBI rata-rata bersekolah selama 8,8 tahun, sedangkan penduduk di KTI rata- rata bersekolah selama 7,5 tahun. Kesenjangan rata-rata lama sekolah antarprovinsi terlihat lebih besar lagi, yakni berkisar dari 6,2 tahun di Provinsi Papua hingga 10,5 tahun di DKI Jakarta. Kesenjangan yang ada tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor tidak meratanya potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam antardaerah, serta kebijakan pemerintah yang selama ini terlalu sentralistis baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan Bappenas 2006. Bappenas 2008 menyebutkan bahwa faktor utama yang menyebabkan kesenjangan pendidikan antarkawasan adalah sumber daya manusia dan infrastruktur. Fenomena yang ada adalah kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas di kawasan timur Indonesia, dalam hal ini adalah tenaga pengajar baik guru maupun dosen yang sangat dibutuhkan dalam pembanguan pendidikan, serta ketersediaan infrastruktur pendidikan maupun sarana pendukung akses terhadap pendidikan. Adapun menurut Syafrizal 2008, penyebab-penyebab ketimpangan pembangunan antarwilayah dipengaruhi faktor-faktor antara lain: 1. Perbedaan kandungan sumber daya alam yang tersebar antarprovinsi maupun antarkawasan di Indonesia; 2. Perbedaan kondisi demografis, meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi, struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan dan lapangan kerja, tingkah laku dan etos kerja masyarakat antarprovinsi maupun antarkawasan di Indonesia; 3. Mobilitas barang dan jasa, terkait perbedaan kondisi geografis, institusi dan sarana infrastruktur yang ada antarprovinsi maupun antarkawasan di Indonesia; 4. Perbedaan alokasi dana pembangunan antarwilayah oleh pemerintah maupun swasta. Alokasi dana pemerintah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintahan yang dianut, sedangkan alokasi dana swasta juga ditentukan oleh faktor-faktor tersebut di atas; 19 5. Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi antarprovinsi maupun antarkawasan di Indonesia, yang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas. Disisi lain, selain terjadi fluktuasi dan persistensi tingkat kemiskinan selama periode 1984-2011, terdapat pula keragaman dalam tingkat kemiskinan di seluruh wilayah Indonesia. Terdapat perbedaan yang besar dalam tingkat kemiskinan antarkawasan atau antarprovinsi, maupun antardaerah perkotaan dan perdesaan di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2011, tercatat penduduk miskin Indonesia sebanyak 30,02 juta jiwa 12,49 . . Angka kemiskinan nasional tahun 2011 berkisar dari 3,2 . di Provinsi Jakarta hingga 31,98 . di Provinsi Papua. Jika dilihat jumlah absolut, sebagian besar penduduk miskin tinggal di kawasan barat Indonesia yaitu sejumlah 23,35 juta jiwa atau 12,09 . dari penduduk KBI Gambar 1.9. Mereka tinggal di wilayah padat penduduk seperti di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, dengan rata-rata tingkat kemiskinan provinsi di KBI sebesar 0,71 . . Sedangkan penduduk miskin di kawasan timur Indonesia sejumlah 6,67 juta jiwa atau 14,13 . dari penduduk KTI. Mereka tinggal di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Papua, dengan rata-rata tingkat kemiskinan provinsi di KTI sebesar 0,88 . . Jika dilihat menurut status daerah, sebagian besar penduduk miskin tinggal di daerah perdesaan, yaitu sekitar 15,72 . 18,97 juta jiwa dan sekitar 9,24 . 11,05 juta jiwa tinggal di perkotaan. Jadi masih terdapat keragaman tingkat kemiskinan di Indonesia, baik antarkawasan, antarprovinsi maupun antara kota dan desa. Sumber: BPS 2011 diolah. Gambar 1.9 Persentase penduduk miskin menurut kawasan, provinsi dan status daerah di Indonesia, tahun 2011. 0,71 0,88 1 2 3 4 JA T IM JA T E N G JA B A R S U M U T LA M P U N G S U M S E L N A D B A N T E N D IY R IA U S U M B A R D K I B E N G K U LU JA M B I B A LI K E P R I B A B E L N T T P A P U A N T B S U LS E L S U LT E N G K A LB A R M A LU K U S U LT R A P A P B A R K A LT IM G O R O N T A LO S U LU T K A LS E L S U LB A R K A LT E N G M A LU T P e rs e n ta se p e n d u d u k m is k in KBI KTI Kota Desa Rata-rata kawasan 20 Sementara itu, adanya perbedaan struktur ekonomi, ketimpangan sosial maupun ketimpangan pendidikan yang ada, sepertinya tidak diakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang masih sentralistik, baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan Bappenas 2006. B eberapa kelemahan dari pelaksanaan program tersebut, antara lain kebijakan yang diambil didasarkan pada asumsi bahwa permasalahan kemiskinan bersifat homogen di setiap daerah, sehingga kebijakan dan program yang dilakukan kurang mempertimbangkan keragaman sebab dan karakteristik kemiskinan daerah. Akibatnya, program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan prioritas penanganan dan kebutuhan masyarakat miskin setempat TNP2K 2010. Keseluruhan uraian mengenai studi literatur dan data empiris di atas menunjukkan bahwa terkait dengan kebijakan nasional program wajib belajar pendidikan dasar 9 sembilan sembilan tahun, maka jenjang pendidikan dasar dalam konteks penanggulangan kemiskinan diduga tidak cukup berperan secara substansial untuk mengurangi kemiskinan. Pertanyaan selanjutnya jika jenjang pendidikan dasar diduga tidak cukup berperan, maka pada jenjang pendidikan manakah yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia? Seandainya jika jenjang pendidikan pasca pendidikan dasar diduga lebih berperan dalam mengurangi kemiskinan, maka perlu kebijakan khusus bagi masyarakat miskin supaya bisa mengakses jenjang pendidikan tersebut. Tanpa intervensi pemerintah, masyarakat miskin akan terkendala karena keterbatasan aset yang dimiliki. Kemudian, terkait dengan adanya perbedaan kondisi antardaerah, apakah kebijakan nasional pendidikan yang diterapkan sama di seluruh wilayah Indonesia, akan menghasilkan dampak yang sama pula di semua daerah? Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah jenjang pendidikan dasar di Indonesia dapat berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia? 2. Pada jenjang pendidikan manakah yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia? 3. Apakah terdapat perbedaan jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan antarkawasan di Indonesia? 21

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengkaji peran pendidikan dasar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia; 2. Mengkaji jenjang pendidikan yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia; 3. Mengkaji jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan antarkawasan di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai kondisi perkembangan pendidikan di Indonesia, serta mengkaji kebijakan nasional wajar dikdas dalam konteks penanggulangan kemiskinan. Selanjutnya mengetahui jenjang pendidikan yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia dan antarkawasan di Indonesia. Penelitian ini semoga dapat menjadi bagian bagi pertimbangan pemerintah dalam kebijakan untuk pemerataan pendidikan untuk semua dan penanggulangan kemiskinan.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi tiga hal. Pertama, memberikan deskripsi pencapaian indikator pendidikan, pendapatan per kapita dan ketimpangan pendapatan, serta dinamika kemiskinan, yang terjadi di Indonesia selama periode tahun 2006–2011. Kedua, melakukan studi ekonometrik mengenai peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Ketiga, mengkaji pengaruh jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia maupun antarkawasan di Indonesia. Penelitian ini menyertakan variabel rasio anggaran fungsi pendidikan sebagai pengeluaran publik bidang pendidikan, pendapatan per kapita sebagai efek pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan sebagai efek distribusi, untuk mengetahui pengaruh pendidikan secara tidak langsung terhadap kemiskinan. Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah 33 provinsi di Indonesia. Analisis deskriptif yang dilakukan mencakup periode tahun 2006–2011. Sedangkan analisis ekonometrik dilakukan untuk periode tahun 2007–2010 karena ketersediaan data, antara lain: data sejumlah 33 provinsi mulai tersedia lengkap 22 tahun 2006 dan data anggaran pendidikan menurut fungsi pendidikan mulai tersedia tahun 2007.