91 tersebut mau untuk menerapkan karawitan, namun tidak menjadikan karawitan
sebagai prioritas. c.
Kebermanfaatan belum tampak Berdasarkan data, hanya satu dari 46 responden 2,17 memenuhi
indikator observability atau dapat diamati dan uji coba. Muatan lokal karawitan dapat diamati dengan adanya jadwal yang tetap, terdapat fokus evaluasi dan telah
menetapkan indikator penilaian untuk anak. Sekolah tersebut telah menjalankan muatan lokal karawitan pada tahun ajaran 2014-2015. Kebijaksanaan yang pernah
dilakukan akan meningkatkan tingkat adopsinya, dengan menggunakan umpan balik berupa hasil evaluasi Scaccia, 2014: 24. Berdasarkan hasil wawancara,
evaluasi karawitan di sekolah tersebut belum berjalan sesuai rencana, sehingga keuntungan mengimplementasikan muatan lokal karawitan belum tergambarkan.
2. Analisis Komponen Kapasitas Umum
Rata-rata kapasitas umum Taman Kanak-kanak di Kota Yogyakarta dari sampel adalah 34,37. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kapasitas
umum untuk melaksanakan suatu program, antara lain: a.
Resistansi terhadap kebijaksanaan atau program baru Hanya 3 responden 6,52 memiliki program baru selama 5 tahun
terakhir. Program yang dimaksud adalah muatan lokal atau ekstrakurikuler. 2 responden 4,35 menyatakan bahwa ada program pada sekolah yang
merupakan hasil kolaborasi guru. Sementara itu, 4 responden 8,70 menyatakan bahwa selama lima tahun terakhir, terdapat program yang berasal dari usulan
guru. Hal tersebut selaras dengan hasil pada poin keterbukaan guru dan karyawan
92 terhadap program baru. Hanya 3 responden 6,25 yang menilai guru dan
karyawan di lembaganya mudah untuk menyesuaikan diri ketika ada program baru. Berdasarkan wawancara, tidak adanya program baru tersebut disebabkan
karena alokasi waktu yang terbatas. Sesuai peraturan, alokasi waktu untuk Taman Kanak-kanak adalah dua setengah jam. Oleh sebab itu, kegiatan yang kompleks
seperti karawitan dianggap sulit untuk dilaksanakan. Kecenderungan keterbukaan terhadap perubahan dapat dilihat dari ada
tidaknya penghargaan bagi guru yang membawa perubahan. 14 responden 30,14 memberikan penghargaan bagi guru yang melakukan inovasi. Inovasi
tersebut dapat berupa pengadopsian program baru, alat permainan edukatif atau metode belajar. 21 responden 45,65 memberikan penghargaan kepada guru
maupun karyawan yang berprestasi. Sehubungan dengan guru baru, 20 responden 43,48 memberikan waktu pelatihan kepada guru baru.
b. Sumber biaya
14 responden 30,43 menyatakan bahwa sekolah memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk melaksanakan program baru. Artinya, alokasi dana
apabila ada program baru tidak mengganggu program yang sudah berjalan. Menurut Rogers dalam Scaccia, 2014: 37, semakin besar suatu organisasi, maka
semakin besar kecenderungan sumber biaya yang dapat digunakan. Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan karena 69,57 mempermasalahkan sumber biaya untuk
program yang baru. Berdasarkan wawancara, sumber biaya untuk kegiatan di Taman Kanak-kanak mayoritas berasal dari peserta didik, sehingga sekolah harus
memperhitungkan latar belakang peserta didik. Salah satu sumber biaya selain
93 dari peserta didik adalah dari adanya hibah. 43 responden 93,48 aktif mencari
tahu program subsidi pemerintah terbaru. Bantuan yang didapatkan berupa Bantuan Operasional Sekolah Daerah BOSDA dan Jaminan Pendidikan Daerah
JPD. c.
Efektivitas kepemimpinan kepala sekolah Dymnicki dkk 2014: 10 menyebutkan bahwa penggerak program
terutama manajer dan pemimpin lembaga. Kepemimpinan dalam tingkat satuan pendidikan dilaksanakan oleh kepala sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab
atas baik buruk perencanaan program di sekolah Ali Imron, 2013: 118. Baik buruk perencanaan program dapat diindikasikan dari efektivitas kepemimpinan
kepala sekolah, meliputi: a.
Visi yang jelas mengenai sekolah yang dipimpin dan mendorong semua staf untuk mewujudkan visi tersebut Tatang M. Amirin, 2013: 150-151. Visi
sekolah dijabarkan dalam misi sekolah dan diwujudkan dalam tujuan pengembangan sekolah yang akan dicapai dalam kurun waktu 3-6 tahun Ali
Imron, 2013: 81. Adanya rencana pengembangan jangka menengah oleh kepala sekolah baru muncul pada 15 responden 32,61. Sekolah yang tidak
memiliki rencana jangka menengah cenderung sulit untuk beradaptasi dengan perubahan kebijaksanaan, sehingga program yang berlangsung relatif tetap
dari tahun ke tahun. b.
Harapan kepala sekolah terhadap prestasi dan kinerja guru maupun karyawan Tatang M. Amirin, 2013: 150-151. 21 responden 45,65 memberikan
penghargaan kepada guru maupun karyawan yang berprestasi. Pada beberapa
94 responden, penghargaan terhadap prestasi dan kinerja menjadi motivasi guru
untuk mengembangkan diri. 6 responden 13,04 menyatakan bahwa guru di lembaganya mengikuti workshop untuk mengembangkan keterampilan tanpa
penunjukan. Selebihnya, lebih pada penunjukan oleh kepala sekolah maupun pengawas.
c. Ukuran keberhasilan program. Ukuran dalam sub komponen kepemimpinan
meliputi laporan kemajuan per bulan oleh pemimpin lembaga dan pengumpulan data dari semua kegiatan organisasi Dymnicki, dkk, 2014: 9.
Laporan tertulis muncul pada 35 responden 76,09, namun hanya 6 responden 13,04 yang memiliki standar untuk mengukur keberhasilan
program di sekolah. Ukuran keberhasilan suatu program dibutuhkan untuk mendorong pemanfaatan waktu yang efisien dan merancang langkah-langkah
untuk mengatasi hambatan. d.
Efektivitas pemanfaatan sumber daya manusia Tatang M. Amirin, 2013: 150- 151. 26 kepala sekolah 56,52 membentuk tim-tim penanggungjawab
untuk setiap program yang ada di sekolah. Tim cenderung tampak pada lembaga yang memiliki guru dalam jumlah banyak. Pada sekolah yang
memiliki jumlah guru yang sedikit, guru memiliki tanggung jawab individu yang lebih banyak dibandingkan guru pada sekolah yang memiliki banyak
guru.
95
3. Analisis Komponen Kapasitas Khusus