Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Muatan Lokal Karawitan di

100

4. Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Muatan Lokal Karawitan di

Taman Kanak-kanak Hasil analisa ketiga komponen kesiapan menemukan lebih banyak faktor- faktor yang menghambat penerapan muatan lokal karawitan. Berdasarkan pembahasan ketiga komponen kesiapan lembaga sekolah sebelumnya, maka faktor-faktor yang menghambat penerapan muatan lokal karawitan adalah: a. Sosialisasi kebijaksanaan penerapan empat muatan lokal yang belum maksimal Sosialisasi kebijaksanaan yang belum maksimal dapat dilihat dari adanya sekolah yang tidak mengetahui anjuran untuk mengimplementasikan muatan lokal, terutama karawitan. Selain itu, belum ada sosialisasi yang spesifik mengenai karawitan untuk anak-anak juga menambah kesulitan pelaksanaan muatan lokal karawitan. Selain itu, belum ada seminar atau workshop terkait pelaksanaan muatan lokal karawitan di Taman Kanak-kanak. Panduan dibutuhkan untuk mempermudah pelaksanaan muatan lokal karawitan, meliputi tujuan, materi, tahapan bermain karawitan bagi Anak Usia Dini serta evaluasi yang sesuai. Tahapan belajar karawitan yang dapat dilakukan Anak Usia Dini dapat merujuk dari teori Dally. Dally 2009: 29- menghubungkan karawitan dengan teori Kodaly. Musik diajarkan paling alami lewat bernyayi Summarsam dan menggunakan isyarat gerakan tubuh. Tahapan tersebut meliputi: 101 1 Gong. Karawitan mengajarkan totalitas pada keseluruhan lagu Dally, 2005: 29. Melodi dimulai dan diakhiri oleh gong. sehingga yang pertama kali dipelajari adalah gong . Siswa diajarkan mengucapkan ‘gong’ dan memukul gong. 5 Kenong. Siswa mengucapkan ‘nong’ dan membedakannya dengan ‘gong’ Dally, 2005: 30. Struktur yang dipakai adalah lancaran. Siswa belajar struktur dengan mengucapkan ‘nong – nong – nong – gong’. Siswa akan belajar perbedaan suara ‘nong’ dan ‘gong’ dari suara alat musik maupun dari suara siswa sendiri. 6 Kempul. Siswa mengucapkan ‘pul’ dan membedakannya dengan ‘nong’ dan ‘gong’ Dally, 2005: 31. Siswa belajar struktur dengan mengucapkan ‘pul – nong – pul – nong – pul – nong – pul – gong’, lalu membunyikan alat musik kempul, kenong dan gong sesuai struktur. Setelah itu, siswa belajar struktur ‘diam – nong – pul – nong – pul – nong – pul – gong’. 7 Saron. Siswa menyuarakan nada balungan disertai dengan mengayunkan tangan di atas saron Dally, 2005: 32. Hal yang dipelajari adalah bahwa tangan adalah perpanjangan dari lengan, lengan perpanjangan dari badan, dan badan dipandu oleh suara. Tinggi rendah nada dibedakan dengan menggunakan gerakan tangan sesuai Kodaly. 8 Siswa dapat mulai belajar lancaran, seperti Manyar Sewu dan Kebo Giro. Siswa belajar dengan menyanyikan satu gatra terlebih dahulu. Setelah itu, siswa dapat menyanyikan struktur sekaligus menunjukkan gerakan tangan untuk balungan Dally, 2005: 34. Selanjutnya, siswa dapat belajar memukul 102 balungan. Hal ini melatih sensitivitas dan kemampuan untuk memperhatikan orang lain dalam kelompok. Berdasarkan tahapan diatas, alat musik gamelan yang dapat dimainkan anak usia dini adalah gong, kenong, kempul dan saron. Anak dapat mengenali ritme pada usia 5-6 tahun, sehingga lebih tepat sasaran siswa kelompok B. Akan tetapi, perlu penelitian lebih lanjut mengenai tahapan belajar karawitan untuk Anak Usia Dini. Oleh sebab itu, penting untuk adanya kerjasama dengan akademisi. b. Kurang sesuai dengan visi dan misi sekolah Kurang sesuainya muatan lokal karawitan dengan visi dan misi sekolah tampak pada kecenderungan sekolah untuk tidak memprioritaskan karawitan sebagai program unggulan. Sekolah-sekolah tersebut memiliki visi dan misi berbasis Islam. Muatan lokal karawitan harus bernuansa Islami, seperti menggunakan lagu-lagu Islam. Persepsi tersebut muncul karena patokan karawitan yang digunakan adalah karawitan dalam konteks pementasan. c. Keuntungan muatan lokal karawitan belum tampak Kebijaksanaan yang pernah dilakukan akan meningkatkan tingkat adopsinya, dengan menggunakan umpan balik berupa hasil evaluasi Scaccia, 2014: 24. Hanya ada satu sekolah yang menguji cobakan karawitan pada tahun 2014-2015. Berdasarkan hasil wawancara, evaluasi karawitan di sekolah tersebut belum berjalan sesuai rencana, sehingga keuntungan mengimplementasikan muatan lokal karawitan belum tergambarkan. 103 d. Tuntutan pengetahuan, keterampilan, kemampuan tentang karawitan yang kompleks Karawitan dinilai sebagai kegiatan yang kompleks. Terdapat responden yang menganggap sekolah harus memiliki gamelan sendiri untuk dapat mengimplementasikan muatan lokal karawitan. Akan tetapi, kepemilikan gamelan ternyata belum membuat sekolah lebih termotivasi untuk menerapkan karawitan. Guru kelas mendukung implementasi muatan lokal karawitan di sekolah yang diampu, namun hampir semua guru tidak memiliki keterampilan bermain karawitan. Sekolah harus mencari guru baru, sehingga akan mempengaruhi faktor-faktor lain, seperti pembiayaan. Anjuran dari pembuat kebijaksanaan atau penyumbang dana dapat meningkatkan motivasi suatu lembaga untuk mengadopsi sebuah inovasi, akan tetapi tidak membantu untuk membangun kapasitas lembaga Scaccia, 2014: 12. Pembangunan kapasitas lembaga memerlukan sistem pendukung, meliputi komite sekolah, masyarakat, perguruan tinggi dan pemerintah dalam implementasi muatan lokal karawitan. Powell dalam Scaccia, 2014: 30 menekankan pentingnya mengembangkan kerjasama dengan perguruan tinggi. Pemerintah dan perguruan tinggi dapat bekerja sama untuk membuat panduan muatan lokal karawitan untuk memperjelas teknis pelaksanaan muatan lokal karawitan. Paduan yang dibutuhkan meliputi tujuan, materi, tahapan belajar karawitan serta evaluasi yang sesuai bagi Anak Usia Dini. 104 e. Kebutuhan alokasi biaya tambahan untuk guru dan gamelan Sekolah membutuhkan alokasi biaya tambahan untuk guru karawitan dan gamelan. Apabila sekolah memutuskan meminjam karawitan, maka ada biaya untuk pemeliharaan gamelan sesuai kesepakatan. Beberapa responden menganggap sekolah harus memiliki gamelan sendiri untuk dapat melaksanakan muatan lokal karawitan, sehingga memerlukan alokasi dana untuk pengadaan gamelan. Selain itu, hampir semua guru tidak memiliki keterampilan bermain karawitan. Hal ini membuat sekolah harus mencari guru baru, sehingga perlu alokasi dana tambahan untuk gaji guru karawitan. f. Kecenderungan sekolah untuk resistan terhadap kebijaksanaan atau program baru Terdapat responden yang menunjukkan resistansi terhadap program baru. Taman Kanak-kanak memiliki alokasi waktu belajar yang terbatas. Sesuai peraturan, alokasi waktu untuk Taman Kanak-kanak adalah dua setengah jam. Selain itu, program baru berarti tambahan tanggung jawab untuk guru. Pada sekolah yang memiliki jumlah guru yang sedikit, guru memiliki tanggung jawab individu yang lebih banyak dibandingkan guru pada sekolah yang memiliki banyak guru. Semakin sulit sebuah kebijaksanaan atau program, maka kecenderungan lembaga untuk mengadopsi kebijaksanaan atau program tersebut akan semakin berkurang Scaccia, 2014: 22. Adanya harapan untuk guru kelas dapat bermain karawitan menambah tanggung jawab guru. Pelaksanaan karawitan memerlukan perubahan yang besar pada sekolah. sehingga banyak kepala sekolah yang merasa belum sanggup menerapkan karawitan di lembaga yang diampu. 105

5. Faktor-Faktor Pendukung Implementasi Muatan Lokal Karawitan di