Analisis Komponen Kapasitas Khusus

95

3. Analisis Komponen Kapasitas Khusus

Rata-rata kapasitas khusus Taman Kanak-kanak di Kota Yogyakarta dari sampel adalah 24,78. Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas khusus untuk mengimplementasikan muatan lokal karawitan yang rendah, antara lain: a. Tuntutan pengetahuan, keterampilan, kemampuan tentang karawitan Masih terdapat responden sebanyak 9 orang 19,57 yang tidak mengetahui anjuran untuk mengimplementasikan muatan lokal, terutama karawitan. Pada tingkat Taman Kanak-kanak, muatan lokal seni tari telah dilaksanakan sebelum kebijaksanaan empat muatan lokal disahkan. Responden yang tidak mengetahui anjuran penerapan empat muatan lokal tidak terakumulasi pada wilayah tertentu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sosialisasi anjuran penerapan empat muatan lokal belum maksimal. Setiap kebijaksanaan, program maupun proses memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan tersendiri untuk mendapatkan kualitas yang baik dan hasil yang diinginkan Scaccia, 2014: 28. 13 responden 28,26 mengetahui strategi untuk mengajarkan karawitan, sementara 14 responden 30,43 mengetahui materi karawitan. Berdasarkan wawancara lebih lanjut, kepala sekolah mengetahui strategi dari guru maupun masyarakat. Responden yang mengetahui strategi dan materi karawitan belum tentu lebih termotivasi untuk menerapkan karawitan di sekolah yang diampu. Sekolah yang memiliki pengetahuan cukup tentang karawitan belum tentu memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan karawitan. Berdasarkan wawancara lebih lanjut, karawitan dinilai kurang feasible. Feasibilitas adalah ukuran sebuah 96 program untuk dapat dilaksanakan secara realistis pada tahap pemrograman pada tingkat satuan pendidikan. Feasibilitas terdiri dari bidang ketenagaan, sarana prasarana, pembiayaan dan dukungan stakeholder sekolah Ali Imron, 2013: 71. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah: 1 Kepemilikan gamelan. Beberapa responden menganggap sekolah harus memiliki gamelan sendiri untuk dapat melaksanakan muatan lokal karawitan. 4 sekolah 8,70 memiliki gamelan, dalam kondisi lengkap maupun tidak lengkap. Akan tetapi, kepemilikan gamelan ternyata belum membuat sekolah lebih termotivasi untuk menerapkan karawitan. Hal ini dibuktikan oleh keempat responden belum menerapkan karawitan di sekolahnya. 8 responden 17,39 memiliki rencana untuk membeli perangkat gamelan, sementara 15 responden 32,60 memilih mencari pinjaman gamelan. 2 Keberadaan guru karawitan. Sehubungan dengan guru, sebanyak 23 responden 50,00 menyatakan bahwa guru kelas mendukung implementasi muatan lokal karawitan di sekolah yang diampu. Akan tetapi, hampir semua guru tidak memiliki keterampilan bermain karawitan. Hal ini membuat sekolah harus mencari guru baru, sehingga akan mempengaruhi faktor-faktor lain, seperti pembiayaan. Satu sekolah 2,17 yang sudah memiliki guru karawitan dari hasil kerjasama dengan masyarakat. Kebutuhan akan guru dari luar lembaga tersebut bisa jadi ikut mempengaruhi rendahnya motivasi. 3 Kebutuhan pembiayaan. Berdasarkan poin 1 dan 2, terlihat bahwa diperlukan alokasi biaya untuk tambahan guru karawitan dan gamelan. Apabila sekolah memutuskan meminjam karawitan, maka ada biaya untuk pemeliharaan 97 gamelan sesuai kesepakatan. Sampai saat ini, hanya satu sekolah yang telah memiliki alokasi dana untuk kegiatan karawitan dan pemeliharaan gamelan. Dua sekolah 4,35 memiliki alokasi dana untuk gaji guru karawitan, satu sekolah sudah melaksanakan dan satu sekolah dalam tahap merencanakan. 4 Dukungan stakeholder. 5 sekolah 10,87 menyatakan bahwa komite sekolah mendukung muatan lokal karawitan di sekolah, namun belum aktif mendorong pelaksanaan karawitan. Hal ini disebabkan karena belum ada patokan untuk pelaksanaan karawitan di Taman Kanak-kanak. Kelompok kesenian karawitan dapat ditemukan di lingkungan sekitar 18 sekolah 39,13, namun hanya 3 sekolah 6,52 yang memiliki kerjasama dengan kelompok kesenian tersebut. Selain itu, terdapat masyarakat yang memiliki gamelan di sekitar lingkungan 16 sekolah 34,78, namun hanya 4 sekolah 8,70 yang melakukan kerjasama. Kerjasama tampak dalam bentuk kunjungan peserta didik melihat latihan karawitan atau tari. Satu sekolah yang telah melaksanakan muatan lokal karawitan memiliki kerjasama dengan perguruan tinggi dan pemerintah kecamatan setempat dalam implementasi karawitan. Hubungan masyarakat dapat dibangun dengan kesepakatan penggunaan sumber daya bersama, MOU, dan membangun kerjasama dengan universitas Powell dalam Scaccia, 2014: 30. b. Kepala sekolah belum menjadi penggerak program untuk pelaksanaan karawitan Kepala sekolah paling bertanggungjawab dalam perencanaan pendidikan di sekolah yang diampu. Keputusan mengenai pengadopsian inovasi dapat 98 terwujud dari kolaborasi antar individu, keputusan bersama, keputusan yang bersifat mandat atasan ke bawahan, maupun keputusan per individu Scaccia, 2014: 12. Guru, komite sekolah maupun stakeholder di sekolah dapat turut serta dalam perencanaan pendidikan, namun baik atau tidak suatu rumusan tergantung pada kepala sekolah. Sebanyak 41 kepala sekolah 89,13 mendukung pelaksanaan muatan lokal karawitan di sekolah, namun hanya satu 2,17 sampai pada tahap mengorganisasi, mengawasi dan mengevaluasi muatan lokal karawitan. Hal ini menunjukkan bahwa kepala sekolah belum menjadi penggerak untuk mengimplementasikan muatan lokal karawitan. Berdasarkan hasil wawancara dengan sekolah yang telah menerapkan muatan lokal karawitan, terdapat guru selain kepala sekolah yang menjadi penggerak program. Perencanaan muatan lokal karawitan dipelopori oleh guru, diterima oleh kepala sekolah, dan dilakukan atas kolaborasi guru dan kepala sekolah. c. Belum menjalin kerjasama dengan masyarakat dalam implementasi karawitan Kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat pada hakikatnya adalah kegiatan yang pasti dilakukan oleh setiap lembaga B. Suryosubroto, 2000: 1. Hubungan masyarakat mencakup hubungan sekolah dengan sekolah lain Dymnicki, dkk, 2014: 10, pemerintah setempat, perguruan tinggi, maupun masyarakat umum B. Suryosubroto, 2000: 20. Berbagai perkumpulan kesenian yang terdapat di masyarakat sangat membantu proses pembinaan kecintaan terhadap kesenian, salah satunya karawitan. Pementasan-pementasan yang diadakan bersama antara sekolah dan masyarakat sangat membantu proses 99 pembinaan jiwa seni anak B. Suryosubroto, 2000: 64. Berdasarkan hasil penelitian, kelompok kesenian karawitan dapat ditemukan di lingkungan sekitar 18 sekolah 39,13, namun hanya 3 sekolah 6,52 yang memiliki kerjasama dengan kelompok kesenian tersebut. Masyarakat yang memiliki gamelan di sekitar lingkungan 16 sekolah 34,78, namun hanya 4 sekolah 8,70 yang melakukan kerjasama. Beberapa contoh tempat yang memiliki ruangan maupun gamelan adalah Pendopo Kajengan di Prenggan dan pendopo milik pemerintah daerah kecamatan Umbulharjo. Fakta tersebut menggambarkan adanya potensi masyarakat yang dapat membantu sekolah mengimplementasikan karawitan, sehingga sekolah perlu memanfaatkan potensi masyarakat ini secara optimal. Pemerintah dan instansi perguruan tinggi memiliki peran yang penting dalam mendukung implementasi muatan lokal karawitan di Taman Kanak-kanak. Satu sekolah yang sampai pada tahap implementasi awal memiliki kerjasama dengan perguruan tinggi dan pemerintah dalam implementasi karawitan. Pada sekolah tersebut, perguruan tinggi membantu dalam bidang kurikulum dan pemerintah daerah tingkat kecamatan membantu menyediakan ruangan, gamelan beserta guru karawitan. Perguruan tinggi juga memiliki peluang untuk menyediakan guru karawitan. Universitas Negeri Yogyakarta contohnya, memiliki karawitan sebagai silabus pada Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah di Fakultas Bahasa dan Seni, sehingga lulusan Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah memiliki peluang untuk menjadi guru karawitan. 100

4. Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Muatan Lokal Karawitan di