28 melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 0412U1987 tanggal 11 Juli 1987 merintis adanya kurikulum berbasis kekuatan masyarakat daerah atau budaya lokal. Pelaksanaan surat keputusan
tersebut dijabarkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 173-CKepM87 tertanggal 7 Oktober 1987. Pelaksanaan
kurikulum muatan lokal telah dilakukan sejak Kurikulum 1984, dan lebih intensif mulai Kurikulum 1994 dalam bentuk bidang studi.
Pelaksanaan kurikulum berbasis budaya lokal di sekolah dalam lingkup Kota Yogyakarta diperkuat dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008
mengenai Sistem Penyelenggaraan Pendidikan. Pasal 7 ayat 3 menegaskan bahwa pengembangan budaya lokal dilaksanakan dalam bentuk pendidikan berbasis
keunggulan lokal. Selanjutnya, pasal 28 ayat 1 tentang Standar Isi Pendidikan menjelaskan bahwa semua pelajaran dan bidang keahlian pada jalur formal
maupun non formal wajib memasukkan muatan lokal sebagai keunggulan daerah. Muatan lokal diterapkan untuk semua jenjang pendidikan; meliputi Taman
Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Hal tersebut guna mendukung visi pendidikan daerah Kota Yogyakarta
seperti tercantum pada pasal 3, yaitu pendidikan yang berkualitas, berbudaya, berkebangsaan, berwawasan global, dan terjangkau masyarakat.
5. Muatan Lokal dalam Kurikulum Berbasis Budaya Lokal di Kota Yogyakarta
Komponen muatan lokal menurut Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 pasal 28 ayat 1 meliputi pendidikan budi pekerti, budaya daerah, kerja sosial,
pengenalan obyek wisata daerah, bahasa Inggris komunikasi masyarakat global,
29 bahasa Jawa, keterampilan membatik, keterampilan kerajinan perak, seni tari dan
karawitan. Lebih lanjut, pada ayat 2 dijelaskan bahwa pendidikan budi pekerti, budaya daerah, kerja sosial, pengenalan obyek wisata daerah, bahasa Inggris
komunikasi masyarakat global diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain. Komponen muatan lokal yang berdiri sendiri ada lima, yaitu Bahasa Jawa, seni
batik, seni tari gaya Yogyakarta, seni kerajinan perak dan seni karawitan gaya Yogyakarta.
Kewajiban penerapan kurikulum daerah yang memuat empat muatan lokal dimulai pada tahun ajaran 20122013. Bahasa Jawa pada tingkat pendidikan anak
usia dini juga dipadukan dalam kegiatan pembelajaran, bukan sebagai mata pelajaran sendiri. Bahasa Jawa menjadi mata pelajaran sendiri pada jenjang
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Sekolah dari jenjang Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas diwajibkan
melaksanakan minimal satu dari keempat muatan lokal. Peserta didik diwajibkan memilih satu diantara keempat muatan lokal sesuai kemampuan sekolah. Keempat
muatan lokal tersebut adalah Antara, 2012: a.
Seni tari gaya Yogyakarta Yogyakarta memiliki beragam tari klasik, antara lain bedaya, srimpi dan
golek. Dahulu, tari klasik hanya dinikmati kalangan istana. Mulai masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII, orang-orang di luar kraton
diizinkan untuk belajar tari istana, namun kegiatan tersebut dilakukan di luar tembok kraton Titik Putraningsih, 2011: 2.
30 Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Edi Heri Suasana Antara,
2012 menyatakan bahwa pada tingkat Taman Kanak-kanak, kurikulum daerah telah dilaksanakan dalam wujud tarian daerah. Usaha untuk mempertahankan tari
klasik gaya Yogyakarta dirintis oleh K.R.T. Sasmintadipura Titik Putraningsih, 2011: 9. K.R.T. Sasmintadipura atau Rama Sas mengembangkan tari klasik
dengan durasi yang lebih pendek, namun tidak meninggalkan norma atau paugeran tari klasik gaya Yogyakarta. Materi tari ciptaan Rama Sas digunakan
dalam muatan lokal tari di institusi pendidikan. b.
Seni batik Batik mulai berkembang pada zaman kerajaan Majapahit, dilanjutkan pada
saat penyebaran Islam di Jawa Wiwik Pudiastuti, 2013. Batik pada awalnya dibuat terbatas oleh kalangan kraton, ditujukan untuk dipakai oleh raja dan
keluarga beserta para pengikutnya. Batik di bawa keluar kraton oleh para pengikut raja dan mulai berkembang di masyarakat.
Setiap motif batik memiliki makna tersendiri, terutama batik yang berasal dari kraton. Contoh batik yang berasal dari kraton Kasultanan Yogyakarta antara
lain batik motif truntum, grompol, dan parang rusak barong Wiwik Pudiastuti, 2013. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta 2011 mencatat 78
motif batik gaya Yogyakarta. Ciri khas yang membedakan batik Yogyakarta dengan daerah lain adalah dominasi warna putih dan cokelat, atau sering disebut
sogan. Meskipun demikian, seni batik diluar konteks pakem kraton telah berkembang sangat pesat di Yogyakarta.
31 c.
Seni kerajinan perak Seni kerajinan perak tumbuh sekitar abad ke 16 di Kotagede, saat itu
sebagai ibukota kerajaan Mataram Islam A. Daliman, 2000: 172. Abdi dalem kriya bertugas memenuhi kebutuhan kraton dalam hal perhiasan dan peralatan
rumah tangga. Para abdi dalem kriya tersebut mengelompok dan wilayah perkampungan tempat abdi dalem tinggal dinamai sesuai tugasnya. Sebagai
contoh, Kemasan adalah nama perkampungan pengrajin emas dan perak. Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Yogyakarta, para pengrajin tetap tinggal di
Kotagede. Hubungan dengan kraton masih terus berlanjut. Seni kerajinan perak termasuk dalam 9 komoditas ekspor Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sasaran seni kerajinan perak lebih pada cinderamata untuk konsumsi wisatawan domestik maupun mancanegara. Krisis pada tahun 1998 membuat seni
kerajinan perak lesu A. Daliman, 2000: 178-179. Oleh sebab itu, seni kerajinan perak gaya Yogyakarta dimasukkan dalam muatan lokal Kota Yogyakarta.
d. Seni karawitan gaya Yogyakarta
Seni karawitan dapat didefinisikan sebagai seni musik gamelan dan seni suara Jawa Sumarsam, 2003
.
Gamelan dan seni karawitan memiliki sejarah yang panjang di Kota Yogyakarta
.
Kota Yogyakarta merupakan wilayah pusat Kraton Kasultanan Yogyakarta, yakni salah satu kraton mayor dari pecahan Kerajaan
Mataram
.
Mataram dipecah menjadi dua kraton mayor oleh Belanda pada tahun 1755 melalui perjanjian Giyanti, lalu dipecah lagi dengan adanya dua kraton
minor oleh Inggris pada awal abad ke-19 Sumarsam, 2003: 66-67
.
Perpecahan
32 ini menyebabkan pencarian identitas setiap keraton, termasuk dalam gaya tabuhan
gamelan. Seni karawitan gaya Yogyakarta menonjolkan tabuhan yang gagah
.
Ki Hajar Dewantara mengemukakan pentingnya mempelajari karawitan di pendidikan formal
.
Menurut Ki Hajar Dewantara Sumarsam, 2003: 168, pelajaran gendhing tidak hanya untuk sekedar tahu atau bisa memainkan gendhing
saja, namun intinya pada mengasah kepekaan batin
.
Gendhing selalu menuntun rasa tentang irama rhythmist gevoel, menghidupkan rasa keindahan aesthetisch
gevoel, dan mengheningkan rasa kesusilaan ethisch gevoel
.
Selain itu, kekuatan gendhing juga digunakan sebagai pembuka rasa kebatinan religious gevoel dan
pengasah budi
.
Gendhing sendiri adalah pemaknaan dari lagu-lagu jawa, yang berkaitan langsung dengan karawitan sebagai seni suara Jawa
.
Ki Hajar Dewantara juga mewajibkan seni tontonan Jawa sebagai kurikulum di Taman
Siswa
.
D. Muatan Lokal Karawitan bagi Anak Usia Dini