13 e.
Aspek sosial-emosional Aspek sosial-emosional dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 mencakup kesadaran diri, rasa tanggung jawab dan perilaku prososial. Anak usia 4-6 tahun banyak
menghabiskan waktu dengan teman-teman sebaya. Ruff dan Rothbart dalam Santrock, 2007: 282 menemukan bahwa perhatian pada anak prasekolah
berhubungan langsung dengan pencapaian keahlian sosial. Anak yang secara sosial lebih maju lebih mudah mengabaikan godaan dan lebih baik dalam
memusatkan perhatian. Meskipun demikian, egosentris anak masih sangat tinggi, sehingga belum mampu melihat perspektif orang lain Hurlock, 2008: 39.
f. Aspek seni
Aspek seni dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 mencakup bidang seni musik, seni
rupa, seni kerajinan, dan seni pertunjukan. Kemampuan dalam aspek seni meliputi kemampuan eksplorasi dan mengekspresikan diri, berimajinasi dalam beragam
bidang seni, serta mampu mengapresiasi karya seni.
B. Kebijaksanaan Pendidikan
1. Pengertian Kebijaksanaan Pendidikan
Kebijaksanaan pendidikan atau educational policy secara etimologis merupakan penggabungan dari kata education dan policy. Kebijaksanaan atau
policy menurut Lasswell dalam Ali Imron, 2002: 13 adalah suatu program pencapaian tujuan yang mencakup nilai-nilai beserta praktik yang terarah.
Kebijaksanaan dari segi produk menurut Indrafachrudi dalam Ali Imron, 2002:
14 14 adalah suatu ketentuan pokok yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan
pengelolaan, yang terwujud dalam bentuk peraturan. Kebijakasanaan adalah aturan-aturan yang wajib diikuti dan mengikat kepada pihak yang disebutkan
dalam kebijaksanaan tersebut Ali Imron, 2002: 17. Oleh sebab itu, kebijaksanaan dapat didefinisikan sebagai suatu program pencapaian tujuan yang
mencakup nilai-nilai dan praktik yang terarah yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan manajemen, bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang disebutkan
dalam kebijaksanaan. Kebijaksanaan pendidikan merupakan salah satu kebijaksanaan negara,
sehingga kebijaksanaan pendidikan dapat diartikan sebagai kebijaksanaan pemerintah di bidang pendidikan. Carter dalam Ali Imron, 2002: 18
mendefinisikan kebijaksanaan
pendidikan sebagai
suatu pertimbangan
berdasarkan sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor situasional sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga,
pertimbangan tersebut menjadi pedoman untuk mengambil keputusan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Berdasarkan definisi Carter,
kebijaksanaan dipandang sebagai sebuah proses yang mencakup dua hal penting, yaitu sistem nilai yang berlaku dan faktor-faktor situasional.
2. Tingkat Kebijaksanaan Pendidikan
Kebijaksanaan pendidikan dapat dirumuskan, dilaksanakan, dan melibatkan pihak-pihak dalam tingkatan yang berbeda. Kebijaksanaan meliputi
empat tingkatan Ali Imron, 2002: 24 antara lain:
15 a.
Kebijaksanaan nasional Kebijaksanaan nasional atau national policy level tergolong sebagai
kebijaksanaan administratif yang berada pada level nasional. Penentu kebijaksanaan dalam tingkatan nasional adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
b. Kebijaksanaan umum
Kebijaksanaan umum atau general policy level disebut juga sebagai kebijaksanaan eksekutif, karena penentu kebijaksanaan dalam level umum adalah
pihak yang berada di posisi eksekutif. Kebijaksanaan eksekutif meliputi undang- undang, peraturan pemerintah, serta keputusan dan instruksi presiden. Undang-
undang dibuat oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Peraturan pemerintah dibuat untuk menjalankan undang-undang dengan
kekuasaan pembuatan berada pada presiden. Keputusan dan instruksi presiden berisi kebijaksanaan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang dibuat oleh
presiden. c.
Kebijaksanaan khusus Kebijaksanaan khusus berada pada kekuasaan Menteri selaku pembantu
presiden secara eksekutif. Kebijaksanaan khusus dibuat berdasarkan pada kebijaksanaan umum yang berada diatasnya. Kebijaksanaan umum meliputi
keputusan menteri, peraturan menteri dan instruksi menteri. Selain Menteri, pejabat lain yang dapat mengeluarkan kebijakan khusus adalah Sekretaris Jenderal
dan Inspektur Jenderal selaku pembantu Menteri.
16 d.
Kebijaksanaan teknis Kebijaksanaan teknis disebut juga sebagai kebijaksanaan operatif. Penentu
kebijakan adalah pejabat eselon dua ke bawah, diantaranya Direktorat Jenderal, Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kebijaksanaan pada tingkatan ini disesuaikan
dengan faktor kondisional dan situasional daerah, yakni budaya, ekonomi, politik, hankam, sosial dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan.
3. Desentralisasi Pendidikan