TINGKAT KESIAPAN TAMAN KANAK-KANAK DALAM IMPLEMENTASI MUATAN LOKAL KARAWITAN SE-KOTA YOGYAKARTA.

(1)

i

TINGKAT KESIAPAN TAMAN KANAK-KANAK DALAM IMPLEMENTASI MUATAN LOKAL KARAWITAN

SE-KOTA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Yosimi Ratna Puti Annisa NIM 11111241009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

MOTTO

Tindakan bersumber bukan dari pikiran semata, melainkan dari kesiapan untuk bertanggung jawab.

(George Macaulay Trevelyan)

Selain melatih kehalusan pendengaran, yang akan membawa halusnya rasa dan budi, latihan gendhing itu menjadi imbangan latihan bahasa, kedua-duanya

tak dapat dipisahkan satu sama lain, untuk menuju kesempurnaan tindak kesarjanaan dan kesujanaan.


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Ayah dan Ibu, atas segala doa dan dukungan yang tiada berakhir. 2. Almamater, Universitas Negeri Yogyakarta.


(7)

vii

TINGKAT KESIAPAN TAMAN KANAK-KANAK DALAM IMPLEMENTASI MUATAN LOKAL KARAWITAN

SE-KOTA YOGYAKARTA Oleh

Yosimi Ratna Puti Annisa NIM 11111241009

ABSTRAK

Latar belakang penelitian ini adalah adanya anjuran empat muatan lokal dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2008. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesiapan Taman Kanak-kanak dalam mengimplementasikan muatan lokal karawitan se-kota Yogyakarta.

Populasi penelitian adalah Taman Kanak-kanak se-kota Yogyakarta. Metode penelitian menggunakan deskriptif kuantitatif. Sampel penelitian sebanyak 46 kepala sekolah Taman Kanak-kanak. Metode pengumpulan data menggunakan angket dan wawancara tidak terstruktur. Instrumen menggunakan skala psikologi dengan dua pilihan jawaban. Metode analisis data mengunakan statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kesiapan Taman Kanak-kanak dalam mengimplementasikan muatan lokal karawitan di Kota Yogyakarta sebesar 29,74%; meliputi 21 sekolah kategori sangat rendah (46%), 15 sekolah kategori rendah (33%), 9 sekolah kategori sedang (20%), tidak ada kategori tinggi, dan satu sekolah kategori sangat tinggi (2%). Rata-rata komponen motivasi sebesar 32,44%. Rata-rata kapasitas umum sebesar 34,37%. Rata-rata kapasitas khusus 24,78%. Faktor pendukung implementasi adalah respon positif terhadap muatan lokal karawitan dan adanya contoh. Faktor penghambat implementasi; meliputi 1) sosialisasi kebijakan belum maksimal, 2) kurang sesuai dengan visi misi sekolah, 3) keuntungan belum tampak, 4) tuntutan pengetahuan, keterampilan, kemampuan tentang karawitan yang kompleks, 5) alokasi biaya untuk guru karawitan dan gamelan, serta 6) kecenderungan sekolah untuk resistan terhadap program baru.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya,

sehingga skripsi berjudul “Tingkat Kesiapan Taman Kanak-Kanak dalam Implementasi Muatan Lokal Karawitan se-Kota Yogyakarta” dapat terselesaikan dengan baik.

Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dekan dan Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri

Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan saran serta izin penelitian.

3. Drs. Harun Rasyid, M.Pd selaku dosen pembimbing I dan Rina Wulandari, M.Pd selaku dosen pembimbing II, yang selalu memberikan arahan, dukungan dan saran yang membangun dalam proses pembuatan tugas akhir skripsi ini. 4. Kedua orang tua saya, Bapak Yose Rizal Chairani dan Ibu Ismi Nurjanah, atas

doa serta dukungan moral dan material guna kelancaran proses penyelesaian tugas akhir ini.

5. Seluruh kepala sekolah Taman Kanak-kanak se-Kota Yogyakarta sebagai responden, atas kerjasama selama proses pengambilan data penelitian.


(9)

ix

6. Ibu Surip selaku koordinator muatan lokal karawitan di TK Negeri Pembina Yogyakarta yang telah memberikan banyak informasi mengenai pelaksanaan muatan lokal karawitan.

7. Tim penyebar angket yang terdiri dari mahasiswi Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini angkatan 2013 dan 2014; Delfiana, Dyah, Ulfah, Metri, Naniek dan Noor Arinda, atas waktu dan tenaga yang diberikan untuk menyebarkan angket ke kepala sekolah Taman Kanak-kanak di Kota Yogyakarta.

8. Sahabat-sahabat saya; Hersi, Triana, Saesti, Mella, Damai, Ika, Irul, Rifana, Widi, Fitri, Arinda dan Dini, atas segala motivasi dan bantuan yang diberikan. 9. Teman-teman Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini angkatan 2011 atas segala

motivasi dan saran selama proses penyelesaian skripsi. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Yogyakarta, 12 Oktober 2015


(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Anak Usia Dini ... 7

1. Pengertian Anak Usia Dini ... 7

2. Prinsip Perkembangan Anak Usia Dini ... 8

3. Karakteristik Perkembangan Anak Usia 4-6 Tahun ... 11

B. Kebijaksanaan Pendidikan ... 13

1. Pengertian Kebijaksanaan Pendidikan ... 13

2. Tingkat Kebijaksanaan Pendidikan ... 14

3. Desentralisasi Pendidikan ... 16


(11)

xi

5. Proses Implementasi Kebijaksanaan Pendidikan ... 19

C. Kurikulum Berbasis Muatan Lokal di Kota Yogyakarta ... 21

1. Pengertian Budaya ... 21

2. Unsur-unsur Kebudayaan ... 22

3. Konsep Budaya Lokal ... 26

4. Kurikulum Berbasis Budaya Lokal ... 27

5. Muatan Lokal dalam Kurikulum Berbasis Budaya Lokal di Kota Yogyakarta ... 28

D. Seni Karawitan bagi Anak Usia Dini ... 32

1. Pengertian Seni Karawitan dan Gamelan ... 32

2. Ragam Gamelan ... 34

3. Laras Gamelan ... 39

4. Irama Gamelan ... 40

5. Tujuan Belajar Karawitan bagi Anak Usia Dini... 43

6. Strategi Belajar Karawitan bagi Anak Usia Dini ... 45

E. Kesiapan Taman Kanak-kanak dalam Implementasi Muatan Lokal Karawitan ... 48

1. Pengertian Kesiapan Organisasi ... 48

2. Komponen Kesiapan Organisasi ... 49

3. Kesiapan Organisasi dalam Implementasi Muatan Lokal Karawitan .... 54

BAB III METODE PENELITIAN A. Bentuk dan Jenis Penelitian ... 59

1. Bentuk Pendekatan Penelitian ... 59

2. Jenis Penelitian ... 59

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 60

1. Variabel Penelitian ... 60

2. Definisi Operasional ... 60

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 61

1. Populasi Penelitian ... 61

2. Sampel Penelitian ... 62

D. Instrumen Penelitian ... 64


(12)

xii

2. Skema Variabel ... 64

3. Instrumen Pengumpulan Data ... 65

4. Validitas dan Reliabilitas ... 65

E. Teknik Analisis Data ... 67

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 69

1. Deskripsi Kesiapan Sekolah dalam Implementasi Muatan Lokal Karawitan ... 69

2. Deskripsi Komponen Motivasi ... 72

3. Deskripsi Komponen Kapasitas Umum ... 78

4. Deskripsi Komponen Kapasitas Khusus ... 83

B. Pembahasan ... 87

1. Analisis Komponen Motivasi ... 89

2. Analisis Komponen Kapasitas Umum... 91

3. Analisis Komponen Kapasitas Khusus ... 95

4. Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Muatan Lokal Karawitan di Taman Kanak-kanak ... 100

5. Faktor-Faktor Pendukung Implementasi Muatan Lokal Karawitan di Taman Kanak-Kanak ... 105

C. Keterbatasan Penelitian ... 107

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 109

B. Rekomendasi ... 109

C. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 112


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nama not, notasi dan solmisasi laras pelog dan slendro ... 40

Tabel 2. Jumlah TK dan RA per kecamatan di Kota Yogyakarta ... 62

Tabel 3. Jumlah sampel penelitian per kecamatan di Kota Yogyakarta ... 63

Tabel 4. Skema variabel kesiapan penerapan muatan lokal karawitan ... 65

Tabel 5. Butir valid instrumen kesiapan sekolah dalam implementasi karawitan ... 66

Tabel 6. Pedoman kategori data ... 67

Tabel 7. Lima kategori variabel kesiapan lembaga sekolah ... 69

Tabel 8. Lima kategori kurva normal komponen motivasi ... 73

Tabel 9. Lima kategori komponen kapasitas umum ... 78


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kesiapan Taman Kanak-kanak dalam implementasi muatan lokal

karawitan ... 55

Gambar 2. Rumus Batas Jumlah Sampel Penelitian ... 62

Gambar 3. Rumus Sampel per Kecamatan ... 63

Gambar 4. Pie chart tingkat kesiapan sekolah Taman Kanak-kanak dalam melaksanakan muatan lokal karawitan ... 70

Gambar 5. Histogram persentase kesiapan setiap sekolah dalam implementasi karawitan ... 71

Gambar 6. Histogram komponen-komponen variabel kesiapan sekolah dalam melaksanakan muatan lokal karawitan ... 72

Gambar 7. Pie chart komponen motivasi dalam melaksanakan muatan lokal karawitan ... 74

Gambar 8. Histogram persentase motivasi sekolah dalam implementasi karawitan ... 75

Gambar 9. Histogram indikator komponen motivasi sekolah dalam implementasi karawitan ... 75

Gambar 10. Pie chart komponen kapasitas umum Taman Kanak-kanak ... 79

Gambar 11. Histogram persentase kapasitas umum sekolah ... 79

Gambar 12. Histogram indikator komponen kapasitas umum sekolah ... 80

Gambar 13. Pie chart komponen kapasitas khusus dalam melaksanakan muatan lokal karawitan. ... 84

Gambar 14. Histogram persentase kapasitas khusus sekolah ... 85


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Permohonan Validasi Instrumen ... 116

Lampiran 2. Surat Keterangan Validasi Instrumen ... 117

Lampiran 3. Kisi-Kisi Indikator Penelitian ... 118

Lampiran 4. Angket Kesiapan Taman Kanak-kanak dalam Implementasi Karawitan ... 119

Lampiran 5. Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta ... 127

Lampiran 6. Surat Izin Penelitian dari Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta ... 128

Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian ... 130

Lampiran 8. Tabulasi Data ... 131

Lampiran 9. Tabulasi Data Butir Valid ... 133

Lampiran 10. Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian ... 135

Lampiran 11. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 136


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak usia dini belajar melalui unsur-unsur budaya yang ada disekitarnya. Budaya adalah sikap, perilaku, nilai dan norma yang bersifat mempengaruhi pola pikir dalam suatu komunitas masyarakat yang membentuk identitas sebagai hasil pewarisan dari generasi ke generasi (Matsumoto dalam Spencer-Oatey, 2012: 2; Prosser dalam Budiyanto, 2005: 91). Lev Vygotsky (dalam Crain, 2007: 343) mengemukakan bahwa perkembangan anak selama dua tahun pertama cenderung pada pertumbuhan secara fisik, selebihnya belajar sangat dipengaruhi oleh budaya. Penyataan Vygotsky tersebut senada dengan Jean Piaget (Hurlock, 2008: 39), yang mengemukakan bahwa anak mulai menggunakan bahasa dan pemikiran simbolis pada usia 2 sampai 6 tahun. Bahasa adalah salah satu unsur dari budaya. Unsur-unsur kebudayaan meliputi bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem ilmu pengetahuan, religi dan kesenian (Malinowsky dalam Budiyono, 2005: 95-112).

Budaya di Indonesia didefinisikan sebagai budaya nasional karena merujuk pada budaya yang multietnis (Budiyanto, 2005: 92). Budaya lokal berarti sikap, perilaku, nilai dan norma dalam suatu komunitas masyarakat di bagian tertentu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang membentuk identitas masyarakat sebagai pewarisan dari generasi ke generasi. Minat terhadap budaya lokal menjadi hal yang penting untuk melestarikan budaya lokal. Elizabeth B. Hurlock (2008: 115) mengungkapkan bahwa kesiapan belajar dan


(17)

2

kesempatan belajar mempengaruhi minat anak. Pada masa kanak-kanak, minat menjadi motivasi kuat untuk belajar d2525an membangun aspirasi terhadap kegiatan yang ingin dilakukan di masa depan. Oleh sebab itu, minat terhadap budaya lokal dapat ditumbuhkan sejak usia dini dengan memberikan kesempatan belajar sesuai tingkat kesiapan anak.

Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987 merintis adanya kurikulum berbasis kekuatan masyarakat daerah atau budaya lokal. Pelaksanaan surat keputusan tersebut dijabarkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 173/-C/Kep/M/87 tertanggal 7 Oktober 1987. Kurikulum yang berlaku di suatu sekolah harus dikaitkan dengan keadaan lingkungan alam, lingkungan sosial dan budaya tempat sekolah berada.

Pemerintah Kota Yogyakarta menindaklanjuti kebijakan terkait kurikulum berbasis budaya lokal dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 mengenai Sistem Penyelenggaraan Pendidikan. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 berisi anjuran pelaksanaan empat muatan lokal, yaitu seni tari gaya Yogyakarta, seni batik, seni kerajinan perak dan seni karawitan gaya Yogyakarta. Anjuran pelaksanaan empat muatan lokal mulai diintensifkan pada tahun ajaran 2012/2013. Keberadaan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 mengimplikasikan bahwa jenjang pendidikan dasar dan menengah di Kota Yogyakarta diharapkan mampu melaksanakan keempat muatan lokal, termasuk Taman kanak. Kota Yogyakarta mempunyai 214 instansi Taman


(18)

Kanak-3

kanak dan 3 Raudhatul Athfal yang terbagi dalam 14 kecamatan (Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga DIY, 2013).

Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta belum memiliki data lengkap mengenai jumlah Taman Kanak-kanak yang telah melaksanakan empat muatan lokal. Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Edi Heri Suasana, dalam wawancara dengan Antara (2012) meyatakan bahwa pada tingkat Taman Kanak-kanak, kurikulum berbasis budaya lokal yang telah dilaksanakan adalah tarian daerah. Belum ada data yang dipublikasikan mengenai jumlah Taman Kanak-kanak yang telah melaksanakan muatan lokal selain tari daerah. Berdasarkan wawancara dengan beberapa guru Taman Kanak-kanak di Kota Yogyakarta, terdapat satu sekolah yang telah melaksanakan muatan lokal selain tari daerah, yaitu TK Negeri Pembina dengan kegiatan karawitan.

Seni karawitan dapat didefinisikan sebagai seni musik gamelan dan seni suara Jawa (Sumarsam, 2003). Gamelan merupakan seperangkat ansambel menyerupai orkestra yang berasal dari wilayah Jawa, Bali, dan Lombok (Hardja Susilo, 2003: 1). Gamelan dan seni karawitan memiliki sejarah yang panjang di Daerah Istimewa Yogyakarta, terlebih di Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta merupakan wilayah tempat Kraton Kasultanan Yogyakarta, yakni salah satu kraton mayor dari pecahan Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua kraton mayor oleh Belanda pada tahun 1755 melalui perjanjian Giyanti, lalu dipecah lagi dengan adanya dua kraton minor oleh Inggris pada awal abad ke-19 (Sumarsam, 2003: 66-67). Perpecahan ini menyebabkan pencarian identitas setiap keraton, termasuk dalam karawitan.


(19)

4

Kajian ilmiah yang membahas karawitan dan gamelan dalam konteks Pendidikan Anak Usia Dini, terutama pada tingkat Taman Kanak-kanak, masih jarang ditemukan. Belum ada data yang menggambarkan pelaksanaan muatan lokal karawitan di Kota Yogyakarta, sehingga seni karawitan di tingkat Taman Kanak-kanak belum banyak terekspos. Belum adanya data tersebut menyebabkan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan seni karawitan di Taman Kanak-kanak Kota Yogyakarta masih berupa asumsi yang sulit dicari solusinya. Lebih lanjut, belum ada kajian ilmiah yang membahas tingkat kesiapan Taman Kanak-kanak dalam mengimplementasikan muatan lokal karawitan di Kota Yogyakarta. Kesiapan dimaknai sebagai keadaan mau dan mampu untuk melaksanakan suatu tindakan yang maupun menghadapi situasi yang terjadi (Weiner, 2009). Kesiapan sekolah dalam mengimplementasikan kurikulum berbasis budaya lokal berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah. Kebijakan mengenai anjuran penerapan muatan lokal karawitan diwujudkan dalam bentuk program sekolah sebagai wujud desentralisasi pendidikan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang mengenai tingkat kesiapan sekolah dalam mengimplementasikan gamelan di tingkat Taman Kanak-kanak Kota Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Keberadaan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 mengenai empat muatan lokal di Kota Yogyakarta mengimplikasikan bahwa sekolah di Kota Yogyakarta diharapkan mampu melaksanakan keempat muatan lokal tersebut.


(20)

5

Akan tetapi, pelaksanaan kurikulum berbasis budaya lokal di Taman Kanak-kanak baru diwujudkan dalam muatan lokal seni tari. Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta belum memiliki data mengenai Taman Kanak-kanak yang telah melaksanakan muatan lokal selain tari daerah. Berdasarkan wawancara dengan beberapa guru, baru ada satu Taman Kanak-kanak yang sudah melaksanakan muatan lokal karawitan. Belum ada Taman Kanak-kanak yang menjadikan muatan lokal seni batik dan perak sebagai program sekolah. 2. Kajian ilmiah yang membahas karawitan dan gamelan dalam konteks

Pendidikan Anak Usia Dini, terutama pada tingkat Taman Kanak-kanak, masih jarang ditemukan.

3. Belum ada data yang menggambarkan tingkat kesiapan Taman Kanak-kanak dalam mengimplementasikan muatan lokal karawitan di Kota Yogyakarta, berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, masalah dibatasi pada tingkat kesiapan Taman Kanak-kanak dalam mengimplementasikan muatan lokal karawitan di Kota Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, maka

rumusan masalah yang muncul adalah “bagaimana tingkat kesiapan Taman

Kanak-kanak dalam mengimplementasikan muatan lokal karawitan di Kota


(21)

6 E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan identifikasi dan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesiapan Taman Kanak-kanak dalam mengimplementasikan muatan lokal karawitan di Kota Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Berdasarkan paparan di atas, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai tingkat kesiapan Taman Kanak-kanak dalam menerapkan muatan lokal karawitan di Kota Yogyakarta. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pendukung munculnya kajian serupa terkait muatan lokal karawitan dalam konteks Pendidikan Anak Usia Dini.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan pihak-pihak yang tertarik untuk mendukung pelaksanaan muatan lokal karawitan di Taman Kanak-kanak. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya dengan tema yang sama.


(22)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Anak Usia Dini

1. Pengertian Anak Usia Dini

Definisi mengenai Anak Usia Dini atau AUD memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan pandangan ini tampak pada pembagian kategori umur setiap tingkat perkembangan. Pandangan yang paling umum mengacu pada pengertian AUD menurut National Association for the Education of Young Children, disingkat NAEYC. Menurut NAEYC (dalam Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 1), AUD atau early childhood dimulai saat 0-8 tahun. Lebih lanjut, Bredekamp (dalam Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 2) membagi anak usia dini menjadi tiga kelompok. Kelompok bayi berusia 0-2 tahun, kelompok 3-5 tahun dan kelompok 6-8 tahun. Pembagian kelompok menurut Berdekamp didasarkan pada pemberian pengasuhan dan pendidikan pada setiap kelompok usia.

Definisi anak usia dini menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 14, membatasi pengertian AUD dari usia 0-6 tahun. Pengertian ini adalah patokan Pendidikan Anak Usia Dini yang digunakan di Indonesia. Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD menurut pandangan ini dimulai dari masa bayi sampai Taman Kanak-kanak (Tadkiroatun, 2008: 2).

PAUD di Indonesia dibagi menjadi tiga kategori, yakni jalur informal, non-formal dan formal. Jalur informal pada tingkat keluarga, jalur non-formal adalah Kelompok Bermain atau playgroup, sementara jalur formal adalah Taman


(23)

8

Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal. PAUD jalur informal dan non-formal berada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Non-formal Informal, disingkat Direktorat Jenderal PAUDNI. Sementara itu, Taman Kanak-kanak dan bentuk lain yang sederajat sebagai jalur formal berada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Taman Kanak-kanak melayani pendidikan pada rentang usia 4 sampai 6 tahun.

2. Prinsip Perkembangan Anak Usia Dini

Perkembangan AUD berlangsung mengikuti kaidah-kaidah tertentu. Tahap perkembangan anak usia dini tidak ada yang meloncat. Secara umum, perkembangan anak usia dini memiliki prinsip yang sama. Prinsip-prinsip dasar perkembangan anak usia dini (Hurlock, 2008; Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 3-5), antara lain:

a. Perkembangan untuk aktualisasi diri.

Perkembangan adalah perubahan yang bertujuan untuk aktualisasi diri atau pencapaian kemampuan bawaan. Perkembangan dipengaruhi oleh kesadaran anak terhadap perubahan dan dampak perubahan pada perilaku anak. Perkembangan juga dapat dipengaruhi oleh sikap sosial terhadap perubahan penampilan anak. Sikap budaya ikut mempengaruhi sebagai cermin perlakuan orang tua kepada anak sebagai akibat perubahan.

b. Perkembangan awal lebih penting daripada perkembangan selanjutnya.

Pendidikan awal berdasarkan pada pengalaman dan proses belajar. Lingkungan tempat anak tinggal membawa pengaruh kuat pada pencapaian kemampuan bawaan. Hal yang mempengaruhi perkembangan awal antara lain


(24)

9

hubungan antar pribadi, keadaan emosi, pola pengasuhan, peran dalam keluarga, struktur keluarga dan rangsangan lingkungan.

c. Perkembangan adalah hasil proses kematangan dan belajar.

Perkembangan anak sebagian berasal dari proses kematangan individu dan sebagian hasil latihan individu. Perkembangan tergantung pada interaksi faktor bawaan dan faktor sosial.

d. Perkembangan memiliki pola tertentu sehingga dapat diramalkan.

Penelitian genetika menunjukkan bahwa semua anak kecil mengikuti pola perilaku yang relatif beraturan. Aspek perkembangan motorik, emosional, bahasa, sosial, konsep, cita-cita, minat, dan identifikasi terhadap orang lain juga mengikuti pola yang dapat diramalkan. Pola perkembangan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pralahir dan pascalahir.

e. Pola perkembangan memiliki karakteristik tertentu yang dapat diramalkan. Secara umum, ada persamaan pola perkembangan pada semua anak. Perkembangan berlangsung dari tahapan umum ke tahapan spesifik terhadap rangsangan dan terjadi secara berkesinambungan. Berbagai aspek perkembangan berlangsung pada kecepatan yang berbeda-beda. Aspek perkembangan anak meliputi perkembangan kognitif, bahasa, fisik-motorik, moral, dan sosial emosional. Aspek-aspek perkembangan tersebut saling terikat satu sama lain. f. Perbedaan individu sebagai pengaruh bawaan dan kondisi lingkungan.

Faktor lingkungan memberikan pengaruh yang lebih besar daripada faktor keturunan dalam menciptakan perbedaan individu. Perkembangan anak selama dua tahun pertama cenderung pada pertumbuhan secara fisik, selebihnya belajar


(25)

10

sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya (Vygotsky dalam Crain, 2007: 343). Ketika anak berusia 2 sampai 6 tahun, anak mulai mampu menggunakan bahasa dan pemikiran simbolis, yang dikenal dengan tahap praoperasional (Piaget dalam Hurlock, 2008: 39). Bahasa dan pemikiran simbolis ini sangat tergantung pada lingkungan terdekatnya.

g. Terdapat periode dalam pola perkembangan anak.

Periode dalam pola perkembangan anak meliputi periode pralahir, masa nenonatus, bayi, kanak-kanak awal, kanak-kanak akhir, dan pubertas. Pada setiap periode terdapat masa keseimbangan dan ketidakseimbangan. Selain itu, terdapat pula perilaku normal dan perilaku tidak normal.

h. Ada harapan sosial pada setiap periode perkembangan.

Harapan sosial adalah tugas perkembangan berupa pola perilaku tertentu yang harus dicapai anak pada setiap periode perkembangan. Tugas perkembangan yang tidak tercapai akan membuat anak merasa rendah diri, penolakan sosial, dan menghambat penguasaan tugas perkembangan selanjutnya.

i. Setiap bidang perkembangan mengandung kemungkinan resiko tertentu. Resiko fisik dan psikologis dapat mengubah pola perkembangan. Resiko dapat berasal dari dalam diri anak maupun lingkungan. Anak yang mengalami resiko ini akan menghadapi masalah penyesuaian diri.

j. Kebahagiaan bervariasi pada berbagai periode perkembangan.

Kebahagiaan mempengaruhi penyesuaian pada masa kanak-kanak. Dalam batasan tertentu, kebahagiaan anak-anak dapat dikendalikan dengan pemenuhan kebutuhan untuk perkembangan.


(26)

11

3. Karakteristik Perkembangan Anak Usia 4-6 Tahun

Rentang usia anak pada tingkat Taman Kanak-kanak menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 adalah 4-6 tahun. Karakteristik anak usia 4-6 tahun dapat dilihat dari enam aspek perkembangan anak, yakni nilai agama dan moral, fisik-motorik, , kognitif, bahasa, sosial-emosional, serta seni. Anak pada rentang usia 4-6 tahun memiliki karakteristik perkembangan sebagai berikut:

a. Aspek nilai agama dan moral

Selama usia 4-6 tahun, anak belajar untuk mandiri dan merawat diri sendiri (Santrock, 2007: 20). Selain itu, anak juga belajar mengikuti perintah. Menurut Piaget (Hurlock, 2008: 78), anak pada awalnya mengembangkan ketaatan terhadap peraturan tanpa penilaian atau penalaran, yang disebut tahap realisme moral. Akan tetapi, antara usia 5-7 tahun, anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan pelanggaran moral, yang menjadi masa transisi ke tahap moralitas otonomi.

b. Aspek fisik-motorik

Aspek fisik motorik mencakup motorik kasar, motorik halus, serta kesehatan dan perilaku keselamatan. Pada rentang usia ini, pertumbuhan otak yang paling cepat pada lobus frontal, yang berhubungan dengan perencanaan, pengaturan tindakan baru, dan perhatian (Santrock, 2007: 175). Anak menjadi semakin menyukai petualangan dan hal-hal baru. Terlebih, koordinasi motorik halus anak meningkat pada sekitar usia 4 tahun. Pada usia 5 tahun, tangan, koordinasi mata dan tangan juga semakin baik.


(27)

12 c. Aspek kognitif

Aspek kognitif dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 mencakup belajar dan pemecahan masalah, berpikir logis dan berpikir simbolik. Secara kognitif, anak mulai menunjukkan pemikiran simbolis melalui kata–kata dan gambar (Hurlock, 2008: 39). Anak dapat melakukan permainan simbolis, seperti bermain peran. Selain itu, anak dapat melakukan imitasi langsung maupun tertunda. Pemikiran anak masih intuitif, irreversible atau satu arah, dan belum logis. Ciri khas masa ini adalah anak belum mampu melakukan konversi. Pada usia ini, anak juga menyiapkan diri untuk sekolah dengan mengenali huruf dan lambang bilangan. Hal ini didukung dengan kematangan otot mata, yang cukup berkembang untuk digerakkan untuk mengikuti serangkaian huruf secara efisien (Santrock, 2007: 227).

d. Aspek bahasa

Aspek bahasa dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 mencakup kemampuan memahami bahasa reseptif, mengekspresikan bahasa dan keaksaraan. Bronson (dalam Tadkiroatun Musfiroh, 2008) menyatakan bahwa anak usia 5 tahun dapat mengenali ritme, menyanyi bersama dan ikut irama musik. Anak menjadi sensitif terhadap bunyi dari kata-kata yang diucapkan. Anak juga mulai memahami aturan sintaksis. Menurut Miller (Santrock, 2007: 361), rata-rata anak usia 6 tahun dapat mempelajari 22 kata baru setiap hari.


(28)

13 e. Aspek sosial-emosional

Aspek sosial-emosional dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 mencakup kesadaran diri, rasa tanggung jawab dan perilaku prososial. Anak usia 4-6 tahun banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman sebaya. Ruff dan Rothbart (dalam Santrock, 2007: 282) menemukan bahwa perhatian pada anak prasekolah berhubungan langsung dengan pencapaian keahlian sosial. Anak yang secara sosial lebih maju lebih mudah mengabaikan godaan dan lebih baik dalam memusatkan perhatian. Meskipun demikian, egosentris anak masih sangat tinggi, sehingga belum mampu melihat perspektif orang lain (Hurlock, 2008: 39).

f. Aspek seni

Aspek seni dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 mencakup bidang seni musik, seni rupa, seni kerajinan, dan seni pertunjukan. Kemampuan dalam aspek seni meliputi kemampuan eksplorasi dan mengekspresikan diri, berimajinasi dalam beragam bidang seni, serta mampu mengapresiasi karya seni.

B. Kebijaksanaan Pendidikan

1. Pengertian Kebijaksanaan Pendidikan

Kebijaksanaan pendidikan atau educational policy secara etimologis merupakan penggabungan dari kata education dan policy. Kebijaksanaan atau policy menurut Lasswell (dalam Ali Imron, 2002: 13) adalah suatu program pencapaian tujuan yang mencakup nilai-nilai beserta praktik yang terarah. Kebijaksanaan dari segi produk menurut Indrafachrudi (dalam Ali Imron, 2002:


(29)

14

14) adalah suatu ketentuan pokok yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan pengelolaan, yang terwujud dalam bentuk peraturan. Kebijakasanaan adalah aturan-aturan yang wajib diikuti dan mengikat kepada pihak yang disebutkan dalam kebijaksanaan tersebut (Ali Imron, 2002: 17). Oleh sebab itu, kebijaksanaan dapat didefinisikan sebagai suatu program pencapaian tujuan yang mencakup nilai-nilai dan praktik yang terarah yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan manajemen, bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang disebutkan dalam kebijaksanaan.

Kebijaksanaan pendidikan merupakan salah satu kebijaksanaan negara, sehingga kebijaksanaan pendidikan dapat diartikan sebagai kebijaksanaan pemerintah di bidang pendidikan. Carter (dalam Ali Imron, 2002: 18) mendefinisikan kebijaksanaan pendidikan sebagai suatu pertimbangan berdasarkan sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor situasional sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga, pertimbangan tersebut menjadi pedoman untuk mengambil keputusan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Berdasarkan definisi Carter, kebijaksanaan dipandang sebagai sebuah proses yang mencakup dua hal penting, yaitu sistem nilai yang berlaku dan faktor-faktor situasional.

2. Tingkat Kebijaksanaan Pendidikan

Kebijaksanaan pendidikan dapat dirumuskan, dilaksanakan, dan melibatkan pihak-pihak dalam tingkatan yang berbeda. Kebijaksanaan meliputi empat tingkatan (Ali Imron, 2002: 24) antara lain:


(30)

15 a. Kebijaksanaan nasional

Kebijaksanaan nasional atau national policy level tergolong sebagai kebijaksanaan administratif yang berada pada level nasional. Penentu kebijaksanaan dalam tingkatan nasional adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. b. Kebijaksanaan umum

Kebijaksanaan umum atau general policy level disebut juga sebagai kebijaksanaan eksekutif, karena penentu kebijaksanaan dalam level umum adalah pihak yang berada di posisi eksekutif. Kebijaksanaan eksekutif meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, serta keputusan dan instruksi presiden. Undang-undang dibuat oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Peraturan pemerintah dibuat untuk menjalankan undang-undang dengan kekuasaan pembuatan berada pada presiden. Keputusan dan instruksi presiden berisi kebijaksanaan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang dibuat oleh presiden.

c. Kebijaksanaan khusus

Kebijaksanaan khusus berada pada kekuasaan Menteri selaku pembantu presiden secara eksekutif. Kebijaksanaan khusus dibuat berdasarkan pada kebijaksanaan umum yang berada diatasnya. Kebijaksanaan umum meliputi keputusan menteri, peraturan menteri dan instruksi menteri. Selain Menteri, pejabat lain yang dapat mengeluarkan kebijakan khusus adalah Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal selaku pembantu Menteri.


(31)

16 d. Kebijaksanaan teknis

Kebijaksanaan teknis disebut juga sebagai kebijaksanaan operatif. Penentu kebijakan adalah pejabat eselon dua ke bawah, diantaranya Direktorat Jenderal, Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kebijaksanaan pada tingkatan ini disesuaikan dengan faktor kondisional dan situasional daerah, yakni budaya, ekonomi, politik, hankam, sosial dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan.

3. Desentralisasi Pendidikan

Desentralisasi pendidikan atau otonomi pendidikan adalah sebuah sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinekaan (Hasbullah, 2007: 14). Praktik desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi di bidang pemerintahan, karena tidak terhenti pada tingkat kabupaten atau kota saja, tetapi sampai pada lembaga pendidikan, disebut juga otonomi sekolah. Otonomi sekolah membuat sekolah memiliki kewenangan dalam untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah atas prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi warga sekolah dan undang-undang yang berlaku. Otonomi sekolah tersebut diwujudkan dengan mengembangkan Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS. Otonomi sekolah diharapkan dapat menciptakan suatu sistem pendidikan dengan kebijakan yang faktual (Soewartoyo, dkk dalam Hasbullah, 2007: 28).

Wohlstetter dan Mohrman dkk (dalam Nurkolis, 2003: 42-44) mengemukakan empat aspek yang didesentralisasikan ke sekolah, meliputi:


(32)

17 a. Kewenangan (authority)

Kewenangan atau kekuasaan didesentralisasikan ke sekolah secara langsung melalui dewan sekolah. Dewan sekolah terdiri dari kepala sekolah, guru, orang tua peserta didik dan masyarakat (Hasbullah, 2007: 81). Tiga bidang yang didesentralisasikan ke sekolah adalah pembiayaan, kepegawaian dan kurikulum. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang langsung bersinggungan dengan masyarakat memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan terkait keadaan lembaga. Kewenangan tersebut termasuk pengangkatan dan pemberhentian kepala sekolah, guru dan staf sekolah. Khusus untuk kurikulum, terdapat patokan nasional yang masih harus diikuti. Kurikulum harus mendukung ke arah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan era global, namun berakar pada jati diri lokal dan nasional (Soewartoyo, dkk dalam Hasbullah, 2007: 28).

b. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan wajib didesentralisasikan supaya sumber daya manusia di sekolah mampu memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan sekolah. Pengetahuan tersebut meliputi keterampilan bekerja (job skills), keterampilan kelompok (teamwork skills) dan pengetahuan keorganisasian (organizational skills). Keterampilan berkelompok meliputi pemecahan masalah, pengambilan keputusaan dan keterampilan berkomunikasi. Sekolah dapat aktif bekerjasama dengan lembaga non pemerintah untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan.


(33)

18 c. Informasi (information)

Informasi mengenai sekolah didistribusikan kepada semua pihak yang terlibat secara proporsional. Informasi dapat berupa visi, misi, strategi, tujuan sekolah, pembiayaan dan kinerja sekolah. Manajemen informasi diperlukan karena tidak semua informasi dapat disampaikan ke semua pihak.

d. Penghargaan (reward)

Penghargaan bisa berupa fisik maupun non fisik yang berhubungan dengan prestasi kerja. Penghargaan fisik dapat berupa hadiah. Penghargaan non fisik dapat berupa kenaikan pangkat, diikut sertakan dalam seminar atau konferensi. 4. Implementasi Kebijaksanaan Pendidikan

Tolak ukur keberhasilan sebuah kebijaksanaan pendidikan terletak pada implementasinya. Implementasi adalah aktivitas, aksi, atau tindakan yang terencana, mengikuti mekanisme suatu sistem untuk mencapai tujuan tertentu (Nurdin Usman, 2002: 70). Dengan kata lain, implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kebijaksanaan, dari politik ke dalam administrasi dalam rangka pengembangan suatu program (Hanifah Harsono, 2002: 67). Kebijaksanaan pendidikan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan nasional tercantum pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lebih lanjut, Guntur Setiawan (2004: 39) menyatakan bahwa implementasi


(34)

19

adalah proses interaksi antara tujuan dan tindakan, sehingga memerlukan jaringan pelaksana yang efektif. Oleh sebab itu, pencapaian tujuan pendidikan nasional memerlukan pengelolaan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pendidikan secara efektif, yang diwujudkan dalam bentuk desentralisasi pendidikan.

5. Proses Implementasi Kebijakan Pendidikan

Implementasi adalah proses yang muncul dalam tahap-tahap yang dapat dibedakan. National Implementation Research Network atau NIRN (2013) mendefinisikan empat tahapan implementasi, meliputi tahap eksplorasi, tahap inisiasi, tahap implementasi awal dan tahap implementasi penuh. Tahap-tahap implementasi bersifat dinamis, dapat berjalan maju maupun mundur seiring dengan pergantian kondisi dan sumber daya manusia.

a. Tahap eksplorasi

Tahap eksplorasi atau exploration stage adalah tahapan kritis yang mengumpulkan informasi dan mengeksplorasi pilihan dalam kaitannya dengan keputusan mengimplementasikan suatu kebijaksanaan (NIRN, 2013). Tahapan eksplorasi ini meliputi pemetaan kebutuhan organisasi pelaksana, yang dalam konteks pendidikan berarti lembaga sekolah, dan memahami faktor-faktor pendukung maupun penghambat implementasi sebuah kebijaksanaan. Pada tahapan ini, penilaian tentang kesiapan implementasi kebijaksanaan penting dilakukan apabila sasaran kebijaksanaan berlaku pada seluruh populasi. Pada akhir tahap ini, dapat diputuskan tentang diadopsi atau tidaknya kebijaksanaan menjadi sebuah program.


(35)

20 b. Tahap instalasi

Tahap instalasi atau installation stage meliputi persiapan sumber daya sebelum program dilaksanakan, baik sumber daya berupa materiil maupun sumber daya manusia. Dukungan secara stuktural penting untuk landasan pelaksanaan program, meliputi keberadaan pembiayaan, stategi sumber daya manusia, pengembangan kebijaksanaan, persiapan teknis pelaksanaan, kerangka evaluasi, dan hasil yang ingin dicapai (NIRN, 2013). Organisasi sekolah bisa jadi memerlukan sumber daya tambahan untuk mengatur ulang tugas personel, perekrutan personel baru yang dibutuhkan untuk melaksanakan program, persiapan tempat, membeli alat yang mendukung program, pertemuan dengan stakeholders dan pembiayaan untuk personel selama masa latihan.

c. Tahap implementasi awal

Tahap implementasi awal atau initial implementation stage adalah tahap ketika organisasi mencoba untuk mengaplikasikan program yang baru. Tahap ini merupakan tahap yang paling riskan dan paling menantang. Joyce dan Showers (dalam NIRN, 2013) menyatakan bahwa perubahan dalam tingkat keterampilan, kapasitas organisasi dan budaya organisasi memerlukan pendidikan, pelatihan dan waktu. Dukungan eksternal untuk berubah pada tingkat praktis, organisasi dan sistem, penting untuk membangun dan mempertahankan perubahan. Macallair dan Males (dalam NIRN, 2013) menyatakan bahwa usaha untuk mengimplementasikan program atau praktik baru dapat berhenti pada tahapan ini karena banyaknya hambatan yang ditemui dalam praktik maupun manajemen.


(36)

21 d. Tahap implementasi penuh

Tahap implementasi penuh atau full implementation stage dicapai ketika 50% dari pelaksana program telah menjalankan program dengan hasil yang memuaskan. Tahap ini ditandai dengan pelaksanaan program telah menjadi rutinitas yang umum dilakukan pada organisasi, kebermanfaatan yang jelas, dan personel yang terlibat menjadi lebih terampil (NIRN, 2013). Perlu waktu kurang lebih 2-4 tahun untuk sebuah kebijaksanaan atau program mencapai tahap ini, kemudian implementasi harus ditingkatkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah perubahan faktor-faktor yang terlibat, mencakup pergantian personel, hilangnya champions, pergantian pemimpin, maupun perubahan dalam pembiayaan.

C. Kurikulum Berbasis Budaya Lokal di Kota Yogyakarta 1. Pengertian Budaya

Budaya menurut Matsumoto (dalam Spencer-Oatey, 2012: 2) adalah sekumpulan sikap, perilaku, nilai dan norma yang terdapat pada sekelompok orang yang diturunkan dari generasi ke generasi. Budaya bersifat mempengaruhi pola pikir seseorang terhadap sesuatu hal, namun tidak sama antara satu orang dengan orang yang lain. Senada dengan Matsumoto, Prosser (Budiyanto, 2005: 91) mendefinisikan budaya sebagai tradisi, kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, keyakinan dan pola pikir yang terpola dalam suatu masyarakat dan diwariskan ke generasi-generasi selanjutnya, sehingga membentuk identitas pada komunitas pendukungnya. Kedua definisi budaya tersebut menjelaskan bahwa budaya berupa sikap, perilaku, nilai dan norma yang bersifat mempengaruhi pola pikir dalam


(37)

22

suatu komunitas masyarakat, yang membentuk identitas masyarakat sebagai hasil dari pewarisan dari generasi ke generasi.

Budaya memiliki elemen umum yang disebut ethic dan elemen khusus yang disebut emic (Spencer-Oatey, 2012). Etika atau ethic berupa nilai-nilai yang dapat ditemukan di semua budaya. Manusia hidup dengan struktur sosial dan fisik yang hampir sama, sehingga menciptakan pola yang hampir sama pula dalam proses membentuk sebuah budaya. Etika menyangkut semua aspek kehidupan manusia (Budiyanto, 2005: 92). Akan tetapi, terdapat perbedaan pada setiap budaya dalam menyikapi nilai-nilai yang ada dalam etika, yang diwujudkan dalam emic. Emic juga dapat di definisikan sebagai perspektif orang yang berada dalam sebuah kebudayaan atau insider’s perspective (Rone, 2008: 243). Elemen emic inilah yang memunculkan keunikan tersendiri pada setiap budaya. Perbedaan tersebut dapat berupa aturan sosial, bahasa dan hasil kebudayaan.

2. Unsur-Unsur Kebudayaan

Malinowsky (dalam Budiyono, 2005: 95-112) mengemukakan bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur yang bersifat universal. Setiap unsur dapat ditemukan dalam semua kebudayaan, walaupun karakteristik yang ditemukan pada setiap budaya berbeda-beda. Unsur-unsur tersebut, meliputi:

a. Bahasa

Bahasa memegang peranan penting dalam interaksi sosial, karena bahasa dari seseorang mencerminkan identitas dan kepribadian orang tersebut. Bahasa mencakup bahasa verbal dan bahasa non-verbal. Jandt (dalam Budiyono, 2005:


(38)

23

96) mengemukakan bahwa bahasa non-verbal dinyatakan dalam berbagai ekspresi, meliputi:

1) Proxemics, yakni batas-batas jarak untuk komunikasi. 2) Kinesics, yakni bahasa isyarat dan mimik wajah. 3) Chronemics, yakni persepsi mengenai waktu. 4) Paralanguage, yakni nada suara.

5) Silence, yang berkaitan dengan makna dari sikap diam. 6) Haptics, yang berkaitan dengan makna dari sentuhan fisik. 7) Cara berpakaian

8) Olfactics, yakni komunikasi melalui indera penciuman 9) Oculesics, atau isyarat mata.

Supriadi (dalam Budiyono, 2005: 96) menyatakan bahwa ekspresi kebudayaan tidak hanya dinyatakan dalam bahasa verbal, namun juga dalam bahasa non-verbal. Makna bahasa non-verbal dalam antar budaya berbeda-beda, walaupun wujudnya sama. Sebagai contoh, di Indonesia memegang kepala seseorang, terlebih orang yang lebih tua adalah hal yang dianggap menghina. Akan tetapi, di Amerika, memegang kepala seseorang adalah tanda kasih sayang, dan memegang pundak adalah wujud motivasi. Lain lagi di China, seseorang akan marah apabila dipegang pundaknya karena dipercaya akan memadamkan api keberuntungan yang ada di pundak.

b. Sistem teknologi

Perkembangan teknologi juga mempengaruhi kebudayaan, salah satu diantaranya adalah munculnya budaya pop. Teknologi pada saat ini didominasi


(39)

24

oleh negara-negara industri seperti Amerika, China dan Jepang. Padahal, sistem teknologi di Indonesia sebelum penjajahan termasuk handal, seperti mampu membuat Candi Borobudur dan perahu Phinisi. Akan tetapi, penjajahan bangsa Belanda selama tiga setengah abad membuat pola pikir masyarakat Indonesia menjadi pasif, karena Belanda membatasi pendidikan di Indonesia. Akibatnya, masyarakat Indonesia masih cenderung sebagai konsumen pasif, atau dengan kata lain belum dapat memanfaatkan hasil karya dalam negeri secara optimal.

c. Sistem mata pencaharian

Penduduk Indonesia pada tahun 2020 diprediksikan akan mencapai 240 juta jiwa (Budiyono, 2005: 99). Kondisi Indonesia yang heterogen dalam masyarakat maupun kondisi alam, memunculkan mata pencaharian yang heterogen pula. Mata pencaharian masyarakat di kota-kota besar mayoritas berkaitan dengan industri, jasa dan teknologi informasi. Sementara itu, pada pedesaan, mata pencaharian yang digeluti meliputi sektor pertanian dan perikanan.

d. Organisasi sosial

Organisasi sosial adalah lembaga sosial yang menghimpun sekelompok orang yang memiliki kesamaan persepsi sosial untuk mewujudkan visi dan misi lembaga tersebut (Budiyono, 2005: 99). Fokus organisasi sosial adalah perilaku sosial dalam kelompok tersebut. Contoh organisasi sosial adalah Muhammadiyah dan Nahdatul Ummah.


(40)

25 e. Sistem ilmu pengetahuan

Sistem ilmu pengetahuan mencakup ilmu maupun pengetahuan. Ilmu pengetahuan berkaitan dengan pola pikir seseorang. Pola pikir dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari sejarah, peristiwa dan waktu. Pola pikir yang terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan akan membawa perubahan yang berarti pada sebuah budaya. Sebaliknya, pola pikir yang tertutup terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dapat membuat sebuah kebudayaan mengalami kemunduran.

f. Religi

Religi atau agama berasal dari kesadaran manusia akan adanya jiwa (Tylor dalam Budiyono, 2005: 105). Manusia sadar akan adanya jiwa yang bersifat abstrak dari kesadaran akan hal yang hidup dan mati. Keyakinan yang dianggap paling tua adalah animisme. Keyakinan tersebut berkembang dengan meyakini adanya makhluk-makhluk halus di sekeliling manusia. Semua benda yang bergerak di alam digerakkan oleh banyak dewa-dewa. Lalu ada pula kepercayaan monoteisme, yakni meyakini adanya satu kekuatan yang mengatur semuanya.

Pusat dari kepercayaan adalah adanya upacara ritual. Upacara ritual termasuk pada komponen religi. Koentjaraingrat (dalam Budiyono, 2005: 105) menyatakan adanya lima komponen dalam religi, yakni:

1) Emosi keagamaan, yakni kekaguman akan hal yang bersifat ghaib.

2) Sistem keyakinan, yaitu konsepsi tentang Tuhan, alam ghaib, alam dunia, akhirat, keagamaan, kesusilaan, dan aturan tentang tingkah laku manusia.


(41)

26

3) Sistem upacara ritual, yakni kegiatan dan aktivitas manusia sebagai wujud kepatuhan pada Tuhan.

4) Peralatan upacara ritual.

5) Umat agama, yakni kesatuan sosial yang menganut dan melaksanakan sistem religi tersebut.

g. Kesenian

Seni adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia sebagai dorongan akan estetika. Seni dapat diciptakan secara individu maupun oleh sekelompok orang, dan dapat dinikmati secara individu maupun bersama-sama. Seni dapat pula dilihat sebagai refleksi cara hidup individu atau sekelompok orang. Seni memiliki wujud yang bermacam-macam, seperti seni musik, seni tari, seni rupa, dan seni kriya.

Berdasarkan asal munculnya kesenian, dapat dikategorikan menjadi kesenian lokal dan kesenian nasional. Berdasarkan masa kemunculannya, dapat dikategorikan sebagai seni tradisional dan seni modern. Seni tradisional sering diistilahkan dengan seni yang mencirikan suatu kebudayaan tertentu. Seni budaya tradisional adalah seni budaya yang berkembang di suatu daerah secara turun temurun (Yoeti dalam Budiyono, 2005: 105).

3. Konsep Budaya Lokal

Definisi budaya lokal mengarah pada definisi sebuah budaya dalam sebuah komunitas manusia dalam cakupan wilayah tertentu. Budaya lokal mencakup ciri khas budaya yang dalam cakupan wilayah yang lebih sempit. Budaya lokal adalah sikap, perilaku, nilai-nilai, norma-norma, tradisi, bahasa dan


(42)

27

kesenian dalam suatu komunitas masyarakat di wilayah tertentu yang membentuk identitas masyarakat sebagai hasil dari pewarisan dari generasi ke generasi (Budiyanto, 2005: 92).

Budaya lokal di Indonesia sendiri sangat beragam, karena budaya Indonesia merujuk pada budaya multietnis (Budiyanto, 2005: 92). Secara fisik, wilayah Indonesia terdiri dari 13.000 pulau besar dan kecil dengan ciri khas alam masing-masing. Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut dihuni beragam kelompok kesukuan dengan bahasa daerah masing-masing. Dari segi agama, penduduk Indonesia menganut beragam agama. Enam agama resmi di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Selain itu, masih banyak penduduk yang menganut agama-agama lokal, contohnya Sunda Wiwitan di Jawa Barat. Oleh sebab itu, untuk menghindari kerancuan istilah, budaya Indonesia didefinisikan sebagai budaya nasional, sehingga pengertian budaya lokal yang dimaksud berarti budaya yang ada di bagian wilayah tertentu dalam wilayah Republik Indonesia. Konteks budaya lokal pada pembahasan kali ini adalah budaya lokal yang ada di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. 4. Kurikulum Berbasis Budaya Lokal

Kurikulum berbasis budaya lokal atau kurikulum muatan lokal bermakna bahwa kurikulum yang berlaku di suatu sekolah harus dikaitkan dengan keadaan lingkungan alam, lingkungan sosial dan budaya tempat sekolah berada. Pengembangan kurikulum muatan lokal dilaksanakan untuk mengimbangi kelemahan kurikulum sentralisasi, dengan harapan peserta didik tidak terlepas dari kehidupan sosial budaya di lingkungannya. Pemerintah Republik Indonesia


(43)

28

melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987 merintis adanya kurikulum berbasis kekuatan masyarakat daerah atau budaya lokal. Pelaksanaan surat keputusan tersebut dijabarkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 173/-C/Kep/M/87 tertanggal 7 Oktober 1987. Pelaksanaan kurikulum muatan lokal telah dilakukan sejak Kurikulum 1984, dan lebih intensif mulai Kurikulum 1994 dalam bentuk bidang studi.

Pelaksanaan kurikulum berbasis budaya lokal di sekolah dalam lingkup Kota Yogyakarta diperkuat dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 mengenai Sistem Penyelenggaraan Pendidikan. Pasal 7 ayat 3 menegaskan bahwa pengembangan budaya lokal dilaksanakan dalam bentuk pendidikan berbasis keunggulan lokal. Selanjutnya, pasal 28 ayat 1 tentang Standar Isi Pendidikan menjelaskan bahwa semua pelajaran dan bidang keahlian pada jalur formal maupun non formal wajib memasukkan muatan lokal sebagai keunggulan daerah. Muatan lokal diterapkan untuk semua jenjang pendidikan; meliputi Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Hal tersebut guna mendukung visi pendidikan daerah Kota Yogyakarta seperti tercantum pada pasal 3, yaitu pendidikan yang berkualitas, berbudaya, berkebangsaan, berwawasan global, dan terjangkau masyarakat.

5. Muatan Lokal dalam Kurikulum Berbasis Budaya Lokal di Kota Yogyakarta Komponen muatan lokal menurut Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 pasal 28 ayat 1 meliputi pendidikan budi pekerti, budaya daerah, kerja sosial, pengenalan obyek wisata daerah, bahasa Inggris komunikasi masyarakat global,


(44)

29

bahasa Jawa, keterampilan membatik, keterampilan kerajinan perak, seni tari dan karawitan. Lebih lanjut, pada ayat 2 dijelaskan bahwa pendidikan budi pekerti, budaya daerah, kerja sosial, pengenalan obyek wisata daerah, bahasa Inggris komunikasi masyarakat global diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain. Komponen muatan lokal yang berdiri sendiri ada lima, yaitu Bahasa Jawa, seni batik, seni tari gaya Yogyakarta, seni kerajinan perak dan seni karawitan gaya Yogyakarta.

Kewajiban penerapan kurikulum daerah yang memuat empat muatan lokal dimulai pada tahun ajaran 2012/2013. Bahasa Jawa pada tingkat pendidikan anak usia dini juga dipadukan dalam kegiatan pembelajaran, bukan sebagai mata pelajaran sendiri. Bahasa Jawa menjadi mata pelajaran sendiri pada jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Sekolah dari jenjang Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas diwajibkan melaksanakan minimal satu dari keempat muatan lokal. Peserta didik diwajibkan memilih satu diantara keempat muatan lokal sesuai kemampuan sekolah. Keempat muatan lokal tersebut adalah (Antara, 2012):

a. Seni tari gaya Yogyakarta

Yogyakarta memiliki beragam tari klasik, antara lain bedaya, srimpi dan golek. Dahulu, tari klasik hanya dinikmati kalangan istana. Mulai masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII, orang-orang di luar kraton diizinkan untuk belajar tari istana, namun kegiatan tersebut dilakukan di luar tembok kraton (Titik Putraningsih, 2011: 2).


(45)

30

Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Edi Heri Suasana (Antara, 2012) menyatakan bahwa pada tingkat Taman Kanak-kanak, kurikulum daerah telah dilaksanakan dalam wujud tarian daerah. Usaha untuk mempertahankan tari klasik gaya Yogyakarta dirintis oleh K.R.T. Sasmintadipura (Titik Putraningsih, 2011: 9). K.R.T. Sasmintadipura atau Rama Sas mengembangkan tari klasik dengan durasi yang lebih pendek, namun tidak meninggalkan norma atau paugeran tari klasik gaya Yogyakarta. Materi tari ciptaan Rama Sas digunakan dalam muatan lokal tari di institusi pendidikan.

b. Seni batik

Batik mulai berkembang pada zaman kerajaan Majapahit, dilanjutkan pada saat penyebaran Islam di Jawa (Wiwik Pudiastuti, 2013). Batik pada awalnya dibuat terbatas oleh kalangan kraton, ditujukan untuk dipakai oleh raja dan keluarga beserta para pengikutnya. Batik di bawa keluar kraton oleh para pengikut raja dan mulai berkembang di masyarakat.

Setiap motif batik memiliki makna tersendiri, terutama batik yang berasal dari kraton. Contoh batik yang berasal dari kraton Kasultanan Yogyakarta antara lain batik motif truntum, grompol, dan parang rusak barong (Wiwik Pudiastuti, 2013). Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta (2011) mencatat 78 motif batik gaya Yogyakarta. Ciri khas yang membedakan batik Yogyakarta dengan daerah lain adalah dominasi warna putih dan cokelat, atau sering disebut sogan. Meskipun demikian, seni batik diluar konteks pakem kraton telah berkembang sangat pesat di Yogyakarta.


(46)

31 c. Seni kerajinan perak

Seni kerajinan perak tumbuh sekitar abad ke 16 di Kotagede, saat itu sebagai ibukota kerajaan Mataram Islam (A. Daliman, 2000: 172). Abdi dalem kriya bertugas memenuhi kebutuhan kraton dalam hal perhiasan dan peralatan rumah tangga. Para abdi dalem kriya tersebut mengelompok dan wilayah perkampungan tempat abdi dalem tinggal dinamai sesuai tugasnya. Sebagai contoh, Kemasan adalah nama perkampungan pengrajin emas dan perak. Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Yogyakarta, para pengrajin tetap tinggal di Kotagede. Hubungan dengan kraton masih terus berlanjut.

Seni kerajinan perak termasuk dalam 9 komoditas ekspor Daerah Istimewa Yogyakarta. Sasaran seni kerajinan perak lebih pada cinderamata untuk konsumsi wisatawan domestik maupun mancanegara. Krisis pada tahun 1998 membuat seni kerajinan perak lesu (A. Daliman, 2000: 178-179). Oleh sebab itu, seni kerajinan perak gaya Yogyakarta dimasukkan dalam muatan lokal Kota Yogyakarta.

d. Seni karawitan gaya Yogyakarta

Seni karawitan dapat didefinisikan sebagai seni musik gamelan dan seni suara Jawa (Sumarsam, 2003)

.

Gamelan dan seni karawitan memiliki sejarah yang panjang di Kota Yogyakarta

.

Kota Yogyakarta merupakan wilayah pusat Kraton Kasultanan Yogyakarta, yakni salah satu kraton mayor dari pecahan Kerajaan Mataram

.

Mataram dipecah menjadi dua kraton mayor oleh Belanda pada tahun 1755 melalui perjanjian Giyanti, lalu dipecah lagi dengan adanya dua kraton minor oleh Inggris pada awal abad ke-19 (Sumarsam, 2003: 66-67)

.

Perpecahan


(47)

32

ini menyebabkan pencarian identitas setiap keraton, termasuk dalam gaya tabuhan gamelan. Seni karawitan gaya Yogyakarta menonjolkan tabuhan yang gagah

.

Ki Hajar Dewantara mengemukakan pentingnya mempelajari karawitan di pendidikan formal

.

Menurut Ki Hajar Dewantara (Sumarsam, 2003: 168), pelajaran gendhing tidak hanya untuk sekedar tahu atau bisa memainkan gendhing saja, namun intinya pada mengasah kepekaan batin

.

Gendhing selalu menuntun rasa tentang irama (rhythmist gevoel), menghidupkan rasa keindahan (aesthetisch gevoel), dan mengheningkan rasa kesusilaan (ethisch gevoel)

.

Selain itu, kekuatan gendhing juga digunakan sebagai pembuka rasa kebatinan (religious gevoel) dan pengasah budi

.

Gendhing sendiri adalah pemaknaan dari lagu-lagu jawa, yang berkaitan langsung dengan karawitan sebagai seni suara Jawa

.

Ki Hajar Dewantara juga mewajibkan seni tontonan Jawa sebagai kurikulum di Taman Siswa

.

D. Muatan Lokal Karawitan bagi Anak Usia Dini 1. Pengertian Seni Karawitan dan Gamelan

Seni suara berupa instrumental dan vokal yang menggunakan alat musik gamelan secara terminologi disebut karawitan (Waridi dalam Rita Apriani, 2012: 2; Drummond, 2003: 2; Sumarsam, 2003). Bahasan mengenai seni karawitan tidak bisa terlepas dari gamelan. Gamelan adalah alat musik tradisional Indonesia yang dianggap paling lengkap dan berkembang setingkat orkestra barat (Sunardi Wisnusubroto, 1997: 1). Gamelan memiliki nama lain, yakni gangsa dalam bahasa Jawa krama dan pradonggo dalam bahasa Jawa kawi. Gamelan merupakan


(48)

33

seperangkat instrumen ricikan yang sebagian besar terdiri dari alat musik pukul dengan bahan utama logam (Supanggah dalam Rita Apriani, 2012: 2). Ricikan memiliki makna bahwa gamelan adalah satu set alat musik yang terdiri dari beberapa alat musik dengan ciri khas dan peran masing-masing. Bahan logam yang digunakan dapat berupa perunggu, kuningan, maupun besi. Perunggu adalah bahan pilihan untuk gong dan metalofon, namun dapat pula menggunakan kuningan atau besi. Selain logam, gamelan juga memiliki alat dengan bahan kayu dan kulit.

Indonesia memiliki beragam jenis gamelan, beberapa diantaranya dikelompokkan menurut wilayah dan memiliki ciri khas masing-masing (Sunardi Wisnusubroto, 1997: 1-2). Gamelan Jawa adalah sebutan untuk gamelan yang dimainkan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gamelan Jawa sendiri memiliki beberapa jenis tabuhan atau gaya permainan, seperti tabuhan Yogyakarta dan Surakarta. Jawa Barat memiliki gamelan Sunda dan gamelan Dhegung. Gamelan di Bali memiliki sebutan sesuai nama daerahnya, yaitu gamelan Bali.

Gamelan secara umum dimainkan dalam kelompok besar menyerupai orkestra dengan dua puluh lima niyaga dan sepuluh sindhen (Sutrisno Hartana, 2006: 2-3). Niyaga berarti pemain alat musik, sementara sindhen adalah penyanyi dalam karawitan. Selain itu, gamelan dapat pula dimainkan secara sederhana dengan tiga atau empat niyaga.

Karawitan memiliki berbagai macam bentuk pementasan (Sunardi Wisnusubroto, 1997: 1). Karawitan dapat dipentaskan dalam bentuk pertunjukan


(49)

34

orkestra yang disebut klenengan atau uyon-uyon. Karawitan juga dapat dipentaskan sebagai pengiring tari dan drama; seperti sendratari, wayang wong serta kethoprak. Karawitan sering dipentaskan sebagai pengiring pertunjukan wayang; seperti wayang kulit dan wayang golek. Selain itu, karawitan dapat ditampilkan sebagai pengiring dalam pernikahan, dan acara keagamaan.

2. Ragam Gamelan

Satu set gamelan yang lengkap terdiri atas 70-75 alat musik (Sunardi Wisnusubroto, 1997: 2). Alat musik dalam gamelan dapat dibedakan menjadi lima kelompok berdasarkan fungsinya, antara lain alat musik melodi pokok, alat musik aksen, alat musik panerusan, alat musik pengurai, dan alat musik gerak ritme (Sumarsam, 2003: 208; Drummond, 2003: 1-2; Hardja Susilo, 2003: 1).

a. Alat musik melodi pokok

Alat musik melodi pokok disebut sebagai balungan. Alat musik melodi pokok memainkan cantus firmus atau nuclear theme, istilah untuk balunganing gendhing atau kerangka lagu. Balungan dimainkan dengan satu tangan menggunakan pukul berbentuk seperti palu, terbuat dari kayu atau tanduk. Balungan terdiri empat jenis alat musik (Drummond, 2003; Sumarsam, 2003: 341-342; Sunardi Wisnusubroto, 1997: 2-5), yaitu:

1) Saron slentheman atau gender panembung, yakni alat musik berupa bilah perunggu yang terletak diatas resonator dari bambu atau metal. Menurut konstruksinya, slenthem termasuk keluarga gender, namun memiliki bilah sejumlah saron. Slenthem memiliki jangkauan oktaf paling rendah. Fungsi


(50)

35

slenthem sebagai pemandu kerangka lagu. Slenthem juga dapat dimainkan dengan teknik pinjalan dengan demung.

2) Saron demung, alat musik menyerupai xylophone dengan bilah perunggu tebal diatas kerangka kayu. Demung memiliki suara satu oktaf diatas slenthem. Satu perangkat gamelan dalam satu laras umumnya mempunyai satu atau dua demung. Fungsi demung sebagai pemandu kerangka lagu. Demung juga dapat dimainkan dengan teknik pinjalan dengan slenthem.

3) Saron barung, berbentuk menyerupai demung dengan ukuran yang lebih kecil. Saron memiliki suara satu oktaf lebih tinggi daripada demung. Satu perangkat gamelan dalam satu laras umumnya mempunyai satu atau dua saron barung. Fungsi saron sebagai pemandu kerangka lagu. Saron juga dapat dimainkan secara imbal dengan saron lain.

4) Saron panerus, adalah saron dengan ukuran paling kecil dan memiliki oktaf tertinggi. Suara yang dihasilkan peking satu oktaf lebih tinggi daripada suara saron. Peking memiliki pukul khusus berupa tanduk sapi atau kayu yang menyerupai tanduk. Pada sampak, peking memainkan kerangka gendhing, namun pada gendhing yang lebih lambat pola pukulan peking dua kali lebih cepat dari pukulan demung.

b. Alat musik aksen

Alat musik aksen terdiri dari kenongan dan gongan. Alat musik aksen membagi alur kerangka gendhing menjadi beberapa fase. Patokan utama lagu ditandai dengan gong ageng, atau disebut gongan. Kenongan dan gongan terdiri


(51)

36

dari beberapa alat musik (Drummond, 2003; Sumarsam, 2003: 337-340; Sunardi Wisnusubroto, 1997: 6-13), antara lain:

1) Kenongan terdiri dari kenong, kethuk dan kempyang. Pemain kenongan berjumlah satu orang. Kenong adalah sejenis gong yang disusun secara horizontal dalam rak. Pada satu set gamelan ageng, terdapat sepuluh kenong, yakni slendro 2 3 5 6 1 dan pelog 2 3 5 6 7 1 (Sumarsam, 2002). Kethuk dan kempyang adalah sepasang gong horizontal yang kecil.

2) Gongan terdiri dari gong ageng, gong suwukan dan kempul. Pada umumnya, pemain instrumen aksen hanya dimainkan satu orang. Gongan terdiri dari: a) Gong ageng adalah gong paling besar dengan diameter antara 80-100 cm.

Pada umumnya gong ageng berwarna hitam. Gong ageng berperan sebagai patokan mulai dan selesai dalam sebuah lagu. Tabuh gong memiliki bentuk seperti gada dari kayu dan kain, serta berukuran paling besar.

b) Gong suwukan berukuran sedang dengan diameter antara 50-60 cm. Gong suwukan berperan sebagai penanda satu gatra atau satu baris notasi. Apabila hanya ada satu suwukan, maka nadanya adalah 2. Jika ada dua suwukan, sangat jarang pada laras pelog, maka nadanya adalah 2 dan 7 (Sumarsam, 2002). Tabuh suwukan sama seperti tabuh gong, namun berukuran lebih kecil. c) Kempul adalah gong paling kecil dan memiliki variasi ukuran sesuai nada.

Diameter kempul antara 30-40 cm. Kempul dengan nada rendah memiliki ukuran lebih besar daripada kempul dengan nada tinggi. Jumlah kempul dalam gamelan ageng dapat mencapai delapan kempul. Tabuh kempul sama seperti tabuh suwukan, namun berukuran lebih kecil.


(52)

37 c. Alat musik pelengkap atau panerusan

Alat musik pelengkap atau panerusan terdiri dari rebab, gender barung, gender panerus, gambang, siter dan suling (Drummond, 2003). Fungsi utama alat musik panerus adalah memainkan variasi dari kerangka lagu. Pada umumnya, instrumen panerusan digunakan dalam lagu yang lembut (Sumarsam, 2002). Alat musik yang termasuk kelompok panerus (Sumarsam, 2003: 335-342; Sunardi Wisnusubroto, 1997: 18-23)

1) Rebab termasuk cordophone, berbentuk menyerupai biola dengan dua buah senar yang dimainkan seperti memainkan cello. Badan rebab berbentuk hati ditutup membran dari babad sapi. Rebab termasuk instrumen yang susah, sehingga perlu pemain yang berpengalaman untuk memainkannya dengan jelas dan benar.

2) Gender adalah alat musik berupa bilah perunggu yang terletak diatas resonator dari bambu. Gender memiliki 13 nada. Satu perangkat gamelan biasanya memiliki tiga gender barung maupun penerus; yakni satu pasang untuk slendro, satu pasang untuk pelog bem, dan satu pasang untuk pelog barang. Gender dimainkan dengan kedua tangan.

3) Gambang adalah instrumen menyerupai xylophone dari bilah kayu dibingkai pada resonator yang berbentuk gerobog, dimainkan dengan dua tangan. Gambang terdiri dari tiga oktaf dengan 20 nada. Gambang ada tiga macam; yakni untuk slendro, pelog bem dan pelog barang.

4) Celempung, yakni cordophone dengan 13 senar. Celempung dimainkan dengan menggunakan jari, mirip kecapi.


(53)

38

5) Suling termasuk alat musik aerophone, terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara ditiup. Suara suling lebih dominan digunakan pada gamelan gaya Sunda.

d. Alat musik pegurai

Alat musik pengurai atau pharaphrasing disebut bonangan. Bonang adalah 10-14 gong kecil yang disusun dalam dua deret secara horizontal diatas rangka kayu. Jangkauan nada bonang meliputi dua oktaf, 14 nada untuk laras pelog dan 10 sampai 12 nada untuk laras slendro. Fungsi dari bonangan bermacam-macam, bisa memainkan kerangka lagu maupun memainkan pola nada yang mengantisipasi nada yang dimainkan berikutnya oleh instrumen lain. Cara memainkan bonangan dua pukul berbentuk silinder yang dilapisi kain, dimainkan dengan dua tangan. Variasi pukulan bonang berupa gembyang, pipilan/mipil, sekaran dan imbal. Pola pukulan bonang yang paling mudah adalah gembyang.

Bonang terdiri dari bonang barung, bonang panerus dan bonang panembung (Drummond, 2003; Sumarsam, 2003: 333-334; Sunardi Wisnusubroto, 1997: 6-13). Bonang barung adalah bonang berukuran sedang dengan oktaf sedang sampai tinggi. Bonang panerus adalah bonang berukuran paling kecil dengan oktaf paling tinggi. Bonang panerus memiliki suara satu oktaf lebih tinggi dari bonang barung. Bonang panerus juga dimainkan dengan kecepatan dua kali lipat bonang barung. Bonang panembung, adalah bonang yang paling besar dengan oktaf rendah sampai tengah. Kerapatan bonang panembung lebih rendah daripada bonang barung. Bonang panembung lebih banyak ditemukan di Yogyakarta.


(54)

39 e. Alat musik agogis atau ritmis

Alat musik agogis atau ritmis terdiri dari satu set kendhangan. Kendhang adalah sejenis drum terbuat dari kayu nangka atau batang kelapa/glugu Sunardi Wisnusubroto, 1997: 23). Kendhang berbentuk silinder asimetris dengan dua sisi dari membran kulit yang ditegangkan dengan tali berbentuk dari kulit pula (Sumarsam, 2003: 338). Bagian membran disebut tebokan, terbuat dari kulit sapi atau kambing. Kendhang diletakkan dengan posisi horizontal diatas gawangan yang disebut plangkan. Kendhang dimainkan dengan jari dan telapak tangan.

Instrumen kendhang terdiri dari kendhang ageng, bathangan, sabet dan ketipung (Drummond, 2003, Sumarsam, 2003: 338-339, Sunardi Wisnusubroto, 1997: 24-27). Kendhang ageng, yakni kendhang yang paling besar. Kendhang ageng biasa disebut kendhang bem atau kendhang gendhing. Permainan ritme kendhang ageng memiliki ciri tenang dan berwibawa. Kendang bathangan atau ciblon, adalah kendhang berukuran sedang. Kendhang bathangan digunakan untuk gendhing tari. Kendhang bathangan juga dimainkan dalam klenengan. Kendhang sabet adalah kendhang berukuran sedang, sering disebut kendhang wayangan. Ukuran kendhang sabet lebih besar daripada ciblon, digunakan untuk wayang. Ketipung atau panunthung, adalah kendhang paling kecil. Kendhang ciblon dimainkan dengan kombinasi kendhang ageng dalam kombinasi yang disebut kendhang kalih.

3. Laras Gamelan

Gamelan memiliki dua laras atau sistem nada, yaitu laras slendro dan laras pelog (Drummond, 2003: 2-3). Masing-masing laras memiliki karakteristik


(55)

40

sendiri. Tidak ada standar kaku tentang laras gamelan. Oleh sebab itu, gamelan dapat terdengar out-of-tune jika diukur dengan titi nada orkestra Barat (Hardja Susilo, 2003: 1). Laras slendro memiliki lima nada atau pentatonis, yaitu barang, gulu, dhadha, lima, dan nem. Sementara laras pelog memiliki tujuh nada atau septatonis, yaitu bem, gulu, dhadha, pelog, lima, nem, dan barang. Notasi dan solmisasi slendro dan pelog dapat dilihat pada tabel 1 (Sunardi Wisnusubroto, 1997: 42-43).

Tabel 1. Nama not, notasi dan solmisasi laras pelog dan slendro.

No Pelog Slendro

Nama not Notasi Solmisasi Nama not Notasi Solmisasi

1 Bem/panunggul 1 Ji Barang 1 Ji

2 Gulu/jangga 2 Ro/loro Gulu 2 Ro/loro

3 Dhadha 3 Lu/telu Dhadha 3 Lu/telu

4 Pelog 4 Pat/papat Lima 5 Ma/lima

5 Lima 5 Ma/lima Nem 6 Nem/enem

6 Nem 6 Nem/enem

7 Barang 7 Pi/pitu

Satu set gamelan yang lengkap memiliki kedua laras. Laras slendro pada zaman dahulu digunakan secara eksklusif untuk mengiringi wayang purwa. Wayang purwa adalah wayang kulit yang menceritakan epos Ramayana dan Mahabarata. Laras pelog digunakan untuk wayang gedhog. Saat ini, kekhususan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Kedua laras jarang dimainkan secara berurutan karena sistem tuning yang berbeda, terkecuali pada lagu-lagu tertentu seperti Kodhok Ngorek dan Karonsih (Sunardi Wisnusubroto, 1997: 42-46).

4. Irama Gamelan

Komposisi lagu dalam karawitan dapat dimainkan dalam beberapa irama atau tempo, yang menunjukkan cepat lambat permainan gendhing atau lagu. Irama dapat pula didefinisikan sebagai sebuah konsep yang mencakup perluasan atau penyempitan unit struktural diikuti dengan pergantian tingkat kerapatan


(56)

41

instrument-instrumen tertentu (Sumarsam, 2003: 347). Irama paling mudah dikenali dari permainan saron panerus. Tahapan irama meliputi (Sunardi Wisnusubroto, 1997:58-59):

a. Irama 1/2

Irama dengan tempo paling cepat, sehingga saron panerus tidak bisa menggandakan pukulan balungan. Irama ini hanya digunakan untuk sampak dan suwuk gropakan, yang umum digunakan pada wayang kulit.

b. Irama I

Irama I adalah yang paling sering digunakan untuk pemula. Pada irama I, saron panerus dapat menggandakan setiap nada balungan sebanyak dua kali. Irama I juga digunakan untuk mengiringi tari yang bertempo cepat.

c. Irama II

Pada irama II, saron panerus dapat menggandakan setiap nada balungan sebanyak empat kali. Irama II digunakan untuk mengiringi tarian yang lembut. d. Irama III

Pada irama III, saron panerus dapat menggandakan setiap nada balungan sebanyak delapan kali. Irama III masih dapat digunakan untuk mengiringi tarian, terutama tari gambyong.

e. Irama IV

Irama dengan tempo paling lambat, sehingga tidak cocok digunakan untuk mengiringi tari. Irama IV hanya cocok digunakan untuk klenengan.

Sebuah komposisi gendhing melewati beberapa tahapan irama. Setiap tahapan irama dapat dipercepat maupun diperlambat tergantung penggunaan.


(57)

42

Beberapa jenis komposisi gendhing (Sunardi Wisnusubroto, 1997:60-62), antara lain:

a. Sampak

Gong buka lalu masuk ke irama 1/2 seseg. Setelah 12 kempulan irama melambat namun masih pada irama 1/2. Untuk berhenti, tempo dapat dipercepat lalu suwuk. Sampak tidak bisa diturunkan ke irama I karena akan menjadi bentuk srepegan.

b. Srepegan

Gong buka lalu irama I seseg. Setelah 12 kempulan, tempo melambat namun masih pada irama I. Untuk berhenti, tempo dapat dipercepat lalu suwuk. Srepegan tidak bisa dinaikkan ke irama 1/2 karena akan menjadi bentuk sampak. Selain itu, srepegan tidak bisa diturunkan ke irama II karena akan menjadi bentuk ayak-ayakan.

c. Ayak-ayakan

Gong buka lalu irama I seseg. Setelah 5 atau 6 kempulan, tempo melambat dan masuk irama II. Irama dapat diturunkan ke irama III, namun untuk menyelesaikan komposisi harus kembali ke irama II dan diakhiri suwuk.

d. Ketawang rancagan kodhok ngorek atau monggang

Gong buka lalu masuk ke irama 1/2 seseg. Sekitar 3 gongan, tempo diturunkan ke irama I. Tempo dinaikkan kembali ke irama 1/2 untuk mengakhiri gendhing lalu suwuk dengan ritardando.


(58)

43 e. Lancaran

Gong buka lalu irama I seseg. Setelah 3 gongan, tempo sedang. Irama dapat diturunkan ke irama II, namun untuk menyelesaikan komposisi harus kembali ke irama I yang dipercepat dan diakhiri suwuk.

f. Ketawang

Gong buka lalu irama I yang diperlambat sedikit demi sedikit. Sekitar 16 keteg atau satu gongan, tempo harus sudah pada irama II. Tempo dinaikkan sedikit lalu dilanjutkan suwuk untuk mengakhiri gendhing.

g. Ladrangan

Gong buka lalu irama I yang diperlambat, lalu masuk pada irama II. Waktu masuk ke irama II disesuaikan dengan kebutuhan. Jika diperlukan, tempo dapat diturunkan ke irama III dan IV. Gendhing ladrangan harus diakhiri pada irama II. Apabila dari irama IV maka tempo harus naik bertahap ke irama III lalu masuk irama II, baru diakhiri suwuk.

5. Tujuan Belajar Karawitan bagi Anak Usia Dini

Karawitan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak secara menyeluruh. Belajar karawitan yang sesuai untuk anak usia dini meliputi tiga hal, yakni mendengarkan, melihat dan menirukan. Selain itu, karawitan tidak hanya mengasah keterampilan musikal, tetapi juga mengasah kepekaan batin, serta membiasakan anak berperan dalam kehidupan sosial sesuai dengan budaya setempat. Oleh sebab itu, tujuan akhir belajar karawitan tidak semata-mata pada pementasan saja.


(1)

137

Lampiran 12. Tabulasi Data Komponen

TABULASI DATA KOMPONEN

MOTIVASI

Kode Subjek

Skor

Persentase

(%) Kategori Keuntungan

relatif Kesesuaian Kompleksitas Uji coba

Dapat

diamati Prioritas Jumlah

1 1 1 0 0 0 1 3 23,08 Rendah

2 1 0 0 0 0 1 2 15,38 Sangat Rendah

3 1 2 0 0 0 0 3 23,08 Rendah

4 1 2 1 0 0 2 6 46,15 Sedang

5 1 2 1 0 0 2 6 46,15 Sedang

6 1 2 1 0 0 2 6 46,15 Sedang

7 1 2 1 1 0 1 6 46,15 Sedang

8 1 1 0 0 0 1 3 23,08 Rendah

9 1 2 0 1 0 2 6 46,15 Sedang

10 1 0 0 0 0 1 2 15,38 Sangat Rendah

11 0 1 1 0 0 0 2 15,38 Sangat Rendah

12 1 2 1 0 0 2 6 46,15 Sedang

13 1 0 0 0 0 1 2 15,38 Sangat Rendah

14 1 1 1 0 0 1 4 30,77 Rendah

15 1 1 1 0 0 2 5 38,46 Rendah

16 1 0 0 0 0 1 2 15,38 Sangat Rendah

17 0 0 0 0 0 0 0 0,00 Sangat Rendah

18 1 1 2 0 0 2 6 46,15 Sedang

19 1 2 1 1 0 2 7 53,85 Sedang

20 1 0 0 0 0 0 1 7,69 Sangat Rendah

21 1 0 0 0 0 1 2 15,38 Sangat Rendah


(2)

138

MOTIVASI Kode

Subjek

Skor

Persentase

(%) Kategori Keuntungan

relatif Kesesuaian Kompleksitas Uji coba

Dapat

diamati Prioritas Jumlah

23 1 0 0 0 0 1 2 15.38 Sangat Rendah

24 1 2 1 0 0 1 5 38.46 Rendah

25 1 2 0 1 0 1 5 38.46 Rendah

26 1 1 0 0 0 1 3 23.08 Rendah

27 1 2 0 0 0 1 4 30.77 Rendah

28 1 1 0 0 0 1 3 23.08 Rendah

29 1 2 0 0 0 2 5 38.46 Rendah

30 1 0 0 0 0 1 2 15.38 Sangat Rendah

31 1 2 0 0 0 2 5 38.46 Rendah

32 1 2 1 0 0 2 6 46.15 Sedang

33 1 0 0 0 0 0 1 7.69 Sangat Rendah

34 1 0 0 0 0 2 3 23.08 Rendah

35 1 2 1 0 0 1 5 38.46 Rendah

36 1 2 1 1 0 1 6 46.15 Sedang

37 1 2 2 2 4 2 13 100.00 Sangat Tinggi

38 1 2 1 0 0 1 5 38.46 Rendah

39 1 2 1 0 0 2 6 46.15 Sedang

40 1 2 0 1 0 2 6 46.15 Sedang

41 1 2 1 0 0 2 6 46.15 Sedang

42 1 2 0 0 0 2 5 38.46 Rendah

43 1 0 0 0 0 1 2 15.38 Sangat Rendah

44 1 2 0 0 0 1 4 30.77 Rendah

45 1 0 0 0 0 1 2 15.38 Sangat Rendah


(3)

139

KAPASITAS UMUM Kode

Subjek

Skor

Persentase

(%) Kategori Budaya

Organisasi Keterbukaan Biaya Kepemimpinan Struktur SDM Jumlah

1 0 0 1 1 1 1 4 25,00 Rendah

2 0 0 1 1 1 0 3 18,75 Sangat Rendah

3 0 0 2 2 2 1 7 43,75 Rendah

4 1 0 1 0 0 0 2 12,50 Sangat Rendah

5 1 0 2 3 2 2 10 62,50 Tinggi

6 1 0 1 1 2 1 6 37,50 Rendah

7 1 1 1 1 1 0 5 31,25 Rendah

8 1 0 1 0 0 0 2 12,50 Sangat Rendah

9 1 1 1 0 0 1 4 25,00 Rendah

10 0 0 2 2 2 1 7 43,75 Rendah

11 0 0 1 1 1 0 3 18,75 Sangat Rendah

12 0 0 0 1 1 0 2 12,50 Sangat Rendah

13 0 0 1 0 1 0 2 12,50 Sangat Rendah

14 0 0 1 0 1 1 3 18,75 Sangat Rendah

15 1 2 1 2 2 1 9 56,25 Tinggi

16 1 0 2 2 2 1 8 50,00 Tinggi

17 0 0 1 1 1 1 4 25,00 Rendah

18 2 0 1 0 0 0 3 18,75 Sangat Rendah

19 2 1 1 2 2 2 10 62,50 Tinggi

20 2 0 1 0 0 0 3 18,75 Sangat Rendah

21 1 0 2 2 2 1 8 50,00 Tinggi


(4)

140

KAPASITAS UMUM Kode

Subjek

Skor

Persentase

(%) Kategori Budaya

Organisasi Keterbukaan Biaya Kepemimpinan Struktur SDM Jumlah

23 0 0 1 0 0 1 2 12,50 Sangat Rendah

24 2 2 2 2 3 1 12 75,00 Tinggi

25 2 1 2 2 2 1 10 62,50 Tinggi

26 2 0 1 1 1 1 6 37,50 Rendah

27 0 0 1 1 1 0 3 18,75 Sangat Rendah

28 1 0 1 0 0 0 2 12,50 Sangat Rendah

29 0 0 1 0 0 1 2 12,50 Sangat Rendah

30 0 0 1 1 1 0 3 18,75 Sangat Rendah

31 0 0 1 1 2 1 5 31,25 Rendah

32 1 0 1 1 1 0 4 25,00 Rendah

33 0 0 1 1 1 0 3 18,75 Sangat Rendah

34 2 0 1 1 1 1 6 37,50 Rendah

35 0 0 0 1 1 0 2 12,50 Sangat Rendah

36 1 1 2 2 1 2 9 56,25 Tinggi

37 1 3 2 3 4 2 15 93,75 Sangat Tinggi

38 2 0 1 1 2 1 7 43,75 Rendah

39 1 0 2 2 2 1 8 50,00 Tinggi

40 1 1 1 1 1 0 5 31,25 Rendah

41 2 0 2 2 2 1 9 56,25 Tinggi

42 0 0 1 1 1 0 3 18,75 Sangat Rendah

43 1 0 2 2 2 1 8 50,00 Tinggi

44 0 0 2 2 2 1 7 43,75 Rendah

45 1 0 1 1 1 0 4 25,00 Rendah


(5)

141

KAPASITAS KHUSUS

Kode

Subjek

Skor

Persentase

(%)

Kategori

Pengetahuan, Ketrampilan dan

Kemampuan

Penggerak

Program

Iklim Implementasi Hubungan Masyarakat

Jumlah

1

1

1

1

0

3

12.00

Sangat Rendah

2

1

0

0

2

3

12.00

Sangat Rendah

3

0

1

0

0

1

4.00

Sangat Rendah

4

2

4

4

0

7

28.00

Rendah

5

4

1

3

2

10

40.00

Sedang

6

4

2

4

1

10

40.00

Sedang

7

3

4

2

1

7

28.00

Rendah

8

1

1

3

0

5

20.00

Sangat Rendah

9

2

1

5

1

9

36.00

Rendah

10

3

1

3

0

7

28.00

Rendah

11

4

1

0

2

7

28.00

Rendah

12

1

1

0

0

2

8.00

Sangat Rendah

13

0

1

1

0

2

8.00

Sangat Rendah

14

1

0

1

0

2

8.00

Sangat Rendah

15

2

1

4

5

12

48.00

Sedang

16

1

1

3

1

6

24.00

Rendah

17

0

1

0

1

2

8.00

Sangat Rendah

18

2

3

5

2

10

40.00

Sedang

19

3

3

4

0

8

32.00

Rendah

20

1

1

3

2

7

28.00

Rendah

21

2

1

3

0

6

24.00

Rendah


(6)

142

KAPASITAS KHUSUS Kode

Subjek

Skor

Persentase

(%) Kategori Pengetahuan, Ketrampilan dan

Kemampuan

Penggerak

Program Iklim Implementasi Hubungan Masyarakat Jumlah

23 1 0 0 0 1 4.00 Sangat Rendah

24 4 4 6 1 12 48.00 Sedang

25 4 4 3 0 8 32.00 Rendah

26 3 1 4 0 8 32.00 Rendah

27 3 1 3 0 7 28.00 Rendah

28 3 1 0 0 4 16.00 Sangat Rendah

29 1 1 0 0 2 8.00 Sangat Rendah

30 4 1 1 0 6 24.00 Sangat Rendah

31 0 1 0 1 2 8.00 Sangat Rendah

32 2 1 1 2 6 24.00 Rendah

33 1 1 0 2 4 16.00 Sangat Rendah

34 1 1 2 3 7 28.00 Rendah

35 1 1 0 2 4 16.00 Sangat Rendah

36 2 1 4 4 11 44.00 Sedang

37 7 4 4 7 22 88.00 Sangat Tinggi

38 4 1 5 1 11 44.00 Sedang

39 1 1 4 0 6 24.00 Rendah

40 2 1 1 2 6 24.00 Rendah

41 3 1 5 3 12 48.00 Sedang

42 1 1 3 0 5 20.00 Sangat Rendah

43 1 1 3 0 5 20.00 Sangat Rendah

44 1 0 0 0 1 4.00 Sangat Rendah

45 2 1 0 0 3 12.00 Sangat Rendah