Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak usia dini belajar melalui unsur-unsur budaya yang ada disekitarnya. Budaya adalah sikap, perilaku, nilai dan norma yang bersifat mempengaruhi pola pikir dalam suatu komunitas masyarakat yang membentuk identitas sebagai hasil pewarisan dari generasi ke generasi Matsumoto dalam Spencer-Oatey, 2012: 2; Prosser dalam Budiyanto, 2005: 91. Lev Vygotsky dalam Crain, 2007: 343 mengemukakan bahwa perkembangan anak selama dua tahun pertama cenderung pada pertumbuhan secara fisik, selebihnya belajar sangat dipengaruhi oleh budaya. Penyataan Vygotsky tersebut senada dengan Jean Piaget Hurlock, 2008: 39, yang mengemukakan bahwa anak mulai menggunakan bahasa dan pemikiran simbolis pada usia 2 sampai 6 tahun. Bahasa adalah salah satu unsur dari budaya. Unsur-unsur kebudayaan meliputi bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem ilmu pengetahuan, religi dan kesenian Malinowsky dalam Budiyono, 2005: 95-112. Budaya di Indonesia didefinisikan sebagai budaya nasional karena merujuk pada budaya yang multietnis Budiyanto, 2005: 92. Budaya lokal berarti sikap, perilaku, nilai dan norma dalam suatu komunitas masyarakat di bagian tertentu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang membentuk identitas masyarakat sebagai pewarisan dari generasi ke generasi. Minat terhadap budaya lokal menjadi hal yang penting untuk melestarikan budaya lokal. Elizabeth B. Hurlock 2008: 115 mengungkapkan bahwa kesiapan belajar dan 2 kesempatan belajar mempengaruhi minat anak. Pada masa kanak-kanak, minat menjadi motivasi kuat untuk belajar d2525an membangun aspirasi terhadap kegiatan yang ingin dilakukan di masa depan. Oleh sebab itu, minat terhadap budaya lokal dapat ditumbuhkan sejak usia dini dengan memberikan kesempatan belajar sesuai tingkat kesiapan anak. Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0412U1987 tanggal 11 Juli 1987 merintis adanya kurikulum berbasis kekuatan masyarakat daerah atau budaya lokal. Pelaksanaan surat keputusan tersebut dijabarkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 173-CKepM87 tertanggal 7 Oktober 1987. Kurikulum yang berlaku di suatu sekolah harus dikaitkan dengan keadaan lingkungan alam, lingkungan sosial dan budaya tempat sekolah berada. Pemerintah Kota Yogyakarta menindaklanjuti kebijakan terkait kurikulum berbasis budaya lokal dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 mengenai Sistem Penyelenggaraan Pendidikan. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 berisi anjuran pelaksanaan empat muatan lokal, yaitu seni tari gaya Yogyakarta, seni batik, seni kerajinan perak dan seni karawitan gaya Yogyakarta. Anjuran pelaksanaan empat muatan lokal mulai diintensifkan pada tahun ajaran 20122013. Keberadaan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 mengimplikasikan bahwa jenjang pendidikan dasar dan menengah di Kota Yogyakarta diharapkan mampu melaksanakan keempat muatan lokal, termasuk Taman Kanak-kanak. Kota Yogyakarta mempunyai 214 instansi Taman Kanak- 3 kanak dan 3 Raudhatul Athfal yang terbagi dalam 14 kecamatan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga DIY, 2013. Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta belum memiliki data lengkap mengenai jumlah Taman Kanak-kanak yang telah melaksanakan empat muatan lokal. Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Edi Heri Suasana, dalam wawancara dengan Antara 2012 meyatakan bahwa pada tingkat Taman Kanak- kanak, kurikulum berbasis budaya lokal yang telah dilaksanakan adalah tarian daerah. Belum ada data yang dipublikasikan mengenai jumlah Taman Kanak- kanak yang telah melaksanakan muatan lokal selain tari daerah. Berdasarkan wawancara dengan beberapa guru Taman Kanak-kanak di Kota Yogyakarta, terdapat satu sekolah yang telah melaksanakan muatan lokal selain tari daerah, yaitu TK Negeri Pembina dengan kegiatan karawitan. Seni karawitan dapat didefinisikan sebagai seni musik gamelan dan seni suara Jawa Sumarsam, 2003. Gamelan merupakan seperangkat ansambel menyerupai orkestra yang berasal dari wilayah Jawa, Bali, dan Lombok Hardja Susilo, 2003: 1. Gamelan dan seni karawitan memiliki sejarah yang panjang di Daerah Istimewa Yogyakarta, terlebih di Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta merupakan wilayah tempat Kraton Kasultanan Yogyakarta, yakni salah satu kraton mayor dari pecahan Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua kraton mayor oleh Belanda pada tahun 1755 melalui perjanjian Giyanti, lalu dipecah lagi dengan adanya dua kraton minor oleh Inggris pada awal abad ke-19 Sumarsam, 2003: 66-67. Perpecahan ini menyebabkan pencarian identitas setiap keraton, termasuk dalam karawitan. 4 Kajian ilmiah yang membahas karawitan dan gamelan dalam konteks Pendidikan Anak Usia Dini, terutama pada tingkat Taman Kanak-kanak, masih jarang ditemukan. Belum ada data yang menggambarkan pelaksanaan muatan lokal karawitan di Kota Yogyakarta, sehingga seni karawitan di tingkat Taman Kanak-kanak belum banyak terekspos. Belum adanya data tersebut menyebabkan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan seni karawitan di Taman Kanak-kanak Kota Yogyakarta masih berupa asumsi yang sulit dicari solusinya. Lebih lanjut, belum ada kajian ilmiah yang membahas tingkat kesiapan Taman Kanak-kanak dalam mengimplementasikan muatan lokal karawitan di Kota Yogyakarta. Kesiapan dimaknai sebagai keadaan mau dan mampu untuk melaksanakan suatu tindakan yang maupun menghadapi situasi yang terjadi Weiner, 2009. Kesiapan sekolah dalam mengimplementasikan kurikulum berbasis budaya lokal berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah. Kebijakan mengenai anjuran penerapan muatan lokal karawitan diwujudkan dalam bentuk program sekolah sebagai wujud desentralisasi pendidikan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang mengenai tingkat kesiapan sekolah dalam mengimplementasikan gamelan di tingkat Taman Kanak-kanak Kota Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah