Komponen Kesiapan Organisasi Kesiapan Taman Kanak-kanak dalam Implementasi Muatan Lokal Karawitan

49 sekolah dalam menghadapi situasi yang terjadi dan mengeksekusi program berdasarkan oleh kumpulan sikap dan kemampuan yang dimiliki. Kesiapan dapat diukur pada keempat tahapan implementasi kebijaksanaan, yakni tahap eksplorasi, tahap inisiasi, tahap implementasi awal dan tahap implementasi penuh. Akan tetapi, kesiapan pada suatu fase tidak menjamin kesiapan pada fase yang lain. Dymnicki, dkk 2014: 5 menjelaskan bahwa kesiapan organisasi bersifat dinamis, artinya kesiapan dapat bertambah, tetap, atau justru berkurang dalam jangka waku tertentu dalam fase yang berbeda. Meskipun demikian, kesiapan pada tahap eksplorasi sering tidak diukur Dymnicki, dkk, 2014: 2. Kesiapan organisasi untuk berubah menjadi kondisi awal sebuah lembaga untuk mengadopsi suatu progam, terutama tentang motivasi dan kemampuan pegawai untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.

2. Komponen Kesiapan Organisasi

Kesiapan organisasi adalah konstruk yang dimensional, dinamis, berkelanjutan dan mencakup banyak komponen Scaccia, 2014: 3. Kesiapan organisasi atau organizational readiness R memiliki tiga komponen Scaccia, 2014: 4, yaitu komponen motivasi M, kapasitas umum atau general capacity GC dan kapasitas khusus atau innovation-related capacity IRC. Ketiga komponen tersebut dianalogikan dalam rumus matematika R = MC 2 . Kesiapan = Motivasi x Kapasitas Umum x Kapasitas Khusus Rumus R=MC 2 dapat mengidentifikasi tingkat kesiapan pada masing- masing komponen. Analisa kesiapan pada masing-masing komponen diperlukan untuk mengidentifikasi komponen yang perlu ditingkatkan. Rumus R = MC 2 50 bukan mengukur dapat atau tidak sebuah lembaga untuk menerapkan suatu program atau praktik, melainkan untuk mendeskripsikan kondisi lembaga sebagai tanggapan terhadap program atau praktik Scaccia, 2014: 10. Rumus R = MC 2 menggambarkan bahwa suatu sekolah dinyatakan tidak siap apabila salah satu dari ketiga komponen bernilai nol. Ketidaksiapan yang dimaksud adalah sekolah dianggap tidak bisa mengimplementasikan program atau praktik secara efektif sebelum masalah-masalah yang ada pada komponen tersebut diselesaikan. a. Motivasi Motivasi adalah persepsi kognitif dan afektif yang mempengaruhi ketertarikan suatu organisasi untuk menggunakan sebuah program atau praktik Scaccia, 2014: 8. Komponen motivasi merupakan penjabaran dari aspek willingness Weiner, 2009 atau kemauan lembaga untuk mengimplementasikan karawitan. Sub komponen motivasi, meliputi: 1 Keuntungan relatif atau relative advantage. Keuntungan relatif mengacu pada derajat kebermanfaatan suatu program atau praktik bagi organisasi Weiner, 2009. Keuntungan relatif mengukur kesesuaian kebijaksanaan dalam wujud program dengan kebutuhan pihak yang dilayani Dymnicki, dkk, 2014: 8. 2 Kesesuaian atau compatibility. Kesesuaian dimaknai sebagai keselarasan program atau praktik dengan nilai, norma, dan kebutuhan dari organisasi yang mengadopsi Rogers dalam Scaccia, 2014: 21. Nilai dan norma suatu organisasi tercermin dalam visi misi organisasi tersebut. 3 Kompleksitas atau complexity. Kompleksitas dimaknai sebagai tingkat kesulitan sebuah program untuk dipraktikkan. Semakin sulit suatu program 51 untuk direalisasikan, maka akan berdampak pada motivasi organisasi untuk menerapkan program tersebut Scaccia, 2014: 22. 4 Dapat diuji coba atau trialability, yaitu ukuran suatu program atau praktik untuk dapat uji coba sebelum dilaksanakan secara formal Scaccia, 2014: 24, Dymnicki, dkk, 2014: 5. 5 Dapat diamati atau observability, yaitu keteramatan hasil dari program atau praktik Scaccia, 2014: 24. Observability mencakup cara yang menjadi tolak ukur pelaksanaan program Dymnicki, dkk, 2014: 8. Sebuah program atau praktik yang pernah dilakukan akan meningkatkan tingkat adopsi program atau praktik oleh lembaga lain. 6 Prioritas atau priority, yaitu mendesak atau tidak suatu program atau praktik untuk diterapkan Scaccia, 2014: 25. Program atau praktik yang dianggap sesuai kebutuhan organisasi mendapatkan prioritas untuk segera dilaksanakan. b. Kapasitas Umum Komponen kapasitas umum atau general capacity mengukur kemampuan umum sekolah dalam melaksanakan program. Kapasitas umum mencakup segala aktivitas terkait penanganan fungsi organisasi, meliputi tenaga kerja, kepemimpinan Scaccia, 2014: 32. Kapasitas umum mencakup: 1 Budaya organisasi, yakni nilai, norma, kepercayaan dan sikap yang mempengaruhi perilaku dalam organisasi Alame dkk dalam Scaccia, 2014: 191. Budaya organisasi menggambarkan ekspektasi terhadap lembaga dan cara sebuah lembaga berfungsi Dymnicki, dkk, 2014: 4. 52 2 Iklim organisasi adalah pandangan pegawai terhadap kondisi lembaga pada saat ini Scaccia, 2014: 34. Iklim organisasi meliputi identifikasi individu dengan organisasi, kepuasan kerja, keterikatan dengan kerja, hubungan fungsional dengan sesama pegawai dan tingkat stress dari pekerjaan. 3 Keterbukaan terhadap perubahan atau organizational innovativeness. Keterbukaan organisasi terhadap perubahan mengacu pada kecenderungan lembaga untuk mendukung ide-ide baru, keberanian untuk bereksperimen dan kreativitas yang dapat menghasilkan produk baru, metode baru, atau layanan baru Lumpkin Dess dalam Scaccia, 2014: 192. Sub komponen ini mengukur kemampuan lembaga untuk beradaptasi dengan kebijakan berupa program atau praktik baru. 4 Biaya, yakni potensi sumber dana yang tersedia untuk melaksanakan program Scaccia, 2014: 37. Sumber dana meliputi sumber dana utama dan sumber dana tambahan. Sumber dana tambahan dapat berupa hibah atau grant selama lima tahun terakhir Dymnicki, dkk, 2014: 9. 5 Kepemimpinan, mengacu pada kemampuan pemimpin lembaga untuk menciptakan kondisi yang dapat mendukung perbaikan lembaga Scaccia, 2014: 38. Ukuran dalam sub komponen kepemimpinan meliputi laporan kemajuan per bulan oleh pemimpin lembaga dan pengumpulan data dari semua kegiatan organisasi Dymnicki, dkk, 2014: 9. 6 Struktur organisasi, mengacu pada dukungan struktur organisasi dalam fungsi organisasi. Struktur organisasi meliputi jumlah pegawai, latar belakang dan pengalaman pegawai, pelatihan untuk pegawai baru, peluang untuk kolaborasi 53 antar pegawai, waktu untuk perencanaan pegawai, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan internal Dymnicki, dkk, 2014: 9. 7 Kapasitas sumber daya manusia, mencakup keterampilan yang dimiliki oleh pegawai. Kapasitas sumber daya manusia dapat dilihat dari inisiatif pegawai untuk mengembangkan diri Scaccia, 2014: 39. Selain itu, kapasitas lembaga dilihat dari jumlah pegawai, latar belakang dan pengalaman, pelatihan yang diberikan kepada pegawai baru, waktu untuk perencanaan pegawai, kolaborasi antar pegawai dan proses pengambilan keputusan internal Dymnicki, dkk, 2014: 9. c. Kapasitas Khusus Kapasitas khusus atau innovation-related capacity adalah kondisi sumber daya yang diperlukan untuk dapat mengimplementasikan suatu program atau praktik, ditinjau dari segi tenaga kerja, teknis dan biaya Flashpoler dkk dalam Scaccia, 2014: 27. Kapasitas khusus merupakan penjabaran dari aspek kemampuan dari kesiapan Weiner, 2009. Kapasitas khusus yang dimaksud adalah kemampuan organisasi terkait dengan karawitan. Komponen kapasitas khusus mencakup: 1 Pengetahuan, kemampuan dan keterampilan berkaitan dengan program atau praktik atau intervention-specific knowledge, skills, and abilities. Setiap kebijaksanaan, program maupun proses memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan tersendiri untuk mendapatkan kualitas yang baik dan hasil yang diinginkan Scaccia, 2014:28. 54 2 Penggerak program atau champion. Champion adalah individu yang dapat mempengaruhi orang lain dalam organisasi, pada umumnya menduduki posisi kunci dalam sebuah organisasi Scaccia, 2014: 29. Champion juga memiliki kemampuan interpersonal yang baik. Dymnicki dkk 2014: 10 menyebutkan penggerak program terutama manajer dan pemimpin lembaga. 3 Iklim implementasi, mencakup kondisi yang mendukung suatu program atau praktik untuk diterapkan di sebuah organisasi Scaccia, 2014: 30. Dymnicki, dkk 2014: 10 mendefinisikan iklim implementasi sebagai sumber daya yang dibutuhkan agar program atau praktik baru dapat terlaksana. 4 Hubungan antar organisasi, mengarah pada hubungan lembaga dengan sistem yang mendukung penerapan program atau praktik Scaccia, 2014: 30. Hubungan antar organisasi dapat berupa kolaborasi dengan lembaga lain yang sama-sama menerapkan program atau praktik baru Dymnicki, dkk, 2014: 10. Pada sekolah, hubungan antar organisasi lebih tepat disebut sebagai hubungan masyarakat.

3. Kesiapan Organisasi dalam Implementasi Muatan Lokal Karawitan