+,-.-,--+
26
Gambar 2 Tipologi PKL Berdasarkan Status Kepemilikan Tempat Usaha
c. Pertumbuhan tak terhentikan
Kehadiran PKL dipandang sebagai masalah perkotaan bukanlah hal baru. Di Jakarta telah muncul sejak masa
pemerintahan kolonial. Itulah sebabnya muncul Peraturan Tata Tertib Umum Jakarta Raya Tahun 1942, yang melarang
digunakannya tempat-tempat umum seperti trotoar, badan jalan, jalur hijau, taman dan lain sebagainya sebagai tempat
berusaha. Tidak ada laporan berapa jumlah PKL pada saat itu,
sehingga dipandang telah mengganggu ketertiban kota. Namun, seperti dilaporkan Wertheim,
2
selama akhir tahun 1930-an Batavia telah mengalami pertambahan penduduk yang sangat
pesat melalui arus migrasi. Migrasi yang berlebihan itu telah menimbulkan berbagai persoalan perkotaan, seperti
kemiskinan, kekumuhan dan lain sebagainya, dan pada kenyataannya sektor informal telah menjadi dan merupakan
cara kaum miskin untuk tetap dapat survive di kota. Jumlah PKL di Jakarta secara resmi baru diketahui pada
tahun 1978. Pada saat itu, melalui pencacahan, jumlah PKL di Jakarta sebanyak 88.497 orangunit usaha. Pencacahan tersebut
merupakan yang pertama untuk kota-kota di Indonesia. Di Surabaya, kota terbesar kedua, baru melakukan pencacahan
pada tahun 1985, sedang di kota-kota lain tidak ada yang lebih awal dari tahun tersebut. Pada tahun itu jumlah
PKL di Surabaya diketahui telah mencapai 18.931 orangunit usaha Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan,
Departemen Perdagangan, 1994. Jumlah PKL tersebut tentunya merupakan akumulasi dari
pertumbuhan tahun ke tahun. Dengan demikian, berarti sejak masa kolonial, meskipun ada pelarang, jumlah PKL terus
+,-.-,--+
27 bertambah. Bahkan pada pencacahan kedua, tahun 1985, yakni
delapan tahun kemudian, setelah pencacahan pertama, jumlah PKL di Jakarta telah berkembang menjadi 91.339 orangunit
usaha, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8 pertahun. Sedangkan di Surabaya pada pencacahan kedua, tahun 1986,
diketahui jumlahnya telah berkembang menjadi 19.898 orangunit usaha, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 5
pertahun. Angka-angka pertumbuhan tersebut cukup mengejutkan.
Pertumbuhan itu, di Jakarta pada tahun yang sama, ternyata jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan di sektor formal,
yaitu sebesar
4,21; begitu
pula di
Surabaya, pertumbuhan di sektor formal jauh lebih rendah. Padahal
sektor formal perkembangannya mendapat dorongan secara terus menerus dari pemerintah melalui berbagai kebijakan.
Sebaliknya, sektor informal, sejak pencacahan pertama, pertumbuhannya sengaja dihambat dan dikendalikan.
PKL ditekan pertumbuhannya melalui berbagai cara, diasingkan dari konsumennya dan disingkirkan dari tempat
hidupnya. Terhadap konsumennya, oleh pemda, diciptakan suatu iklim yang merangsang meningkatnya filosofi dan cara
berpikir atas pentingnya mutu dan pelayanan yang baik, sehingga diharapkan nantinya konsumen masyarakat akan
meninggalkan kaki lima. Areal tempat usahanya juga dibatasi. Lokasi PKL yang
telah ditetapkan resmi pada tahun 1985 sebanyak 458 lokasi atau 20 Ha, ternyata oleh pemda sedapat mungkin tidak
diperbanyak lagi. Lokasi-lokasi itu, meskipun legalitasnya b e r d a s a r k a n
p a d a S u r a t
K e p u t u s a n G u b e r n u r ,
n a m u n s t a t u s pemakaiannya bersifat sementara, yang sewaktu-waktu dapat dicabut kembali. Pencabutan legalitas
+,-.-,--+
28 lokasi itu dilakukan apabila lokasi tersebut diperlukan untuk
suatu keperluan resmi atau untuk sektor formal, misalnya pembangunan gedung, pelebaran jalan dan lain sebagainya,
termasuk keperluan-keperluan
atas alasan
guna menciptakan keindahan lingkungan setempat. Pada tahun 1990
luas areal tersebut ternyata sudah berkurang, tinggal 368 lokasi, dan pada tahun 1991 menurun lagi tinggal 361 lokasi Biro
Bangproda DKI Jakarta, 1985. Pertumbuhan PKL juga dikekang melalui cara-cara
yang dapat disebut kekerasan, yaitu cara-cara yang lazim dikenal dengan sebutan penertiban PKL. Intensitas
pengendalian dengan
cara ini
sangat tinggi
karena wewenangnya diberikan kepada banyak pihak. Di Jakarta dan
Surabaya, hak melakukan penertiban bisa dilakukan oleh lebih dari satu instansi yang pelaksanaannya tergabung dalam satu
tim. Namun ditemukan beberapa kasus beberapa instansi melakukannya secara terpisah; bahkan ditemukan banyak
oknum petugas keamanan di tingkat kecamatan juga melakukan razia.
Namun apakah dengan cara-cara pengendalian seperti itu jumlah PKL menjadi berkurang. Pada tahun 2001, di
Jakarta dilakukan pencacahan ulang PKL yang jumlahnya telah mencapai 141.073, kemudian disusul pencahahan berikutnya
tahun 2005, dan jumlahnya turun drastis menjadi 92.751, yang berarti mengalami penurunan sekitar 30. Ini membuktikan
bahwa pemerintah Provinsi DKI sangat serius dalam pengendalian PKL melalui penertiban yang dilakukan selama
lima tahun tersebut. Penertiban atau penggusuran PKL terlihat pada lokasi sentra-sentra PKL di Senen, Cawang, Lahan Abang,
Kebayoran Lama, Cengkareng, dan sebagainya. Namun pada lokasi-lokasi tertentu dengan jumlah PKL yang tidak banyak pun
dilakukan penertiban, terutama terhadap PKL yang menempati
+,-.-,--+
29 badan jalan dan trotoar. Ada kecenderungan bahwa pemrintah
DKI Jakarta akan membatasi dan mengurangi jumlah lokasi resmi PKL. Sebagai contoh adalah lokasi resmi Jl. Barito yang
akan dihapus dan pedagangnya harus pindah dari lokasi tersebut. Namun di lain pihak pemerintah DKI Jakarta kurang
memberikan menyediakan lahan-lahan baru untuk penampungan PKL yang terkena penertiban. Keadaan ini juga terjadi pada
daerah-daerah lain seperti Bekasi dan Bogor, di mana PKL digusur tetapi tidak disediakan lokasi baru sebagai penggantinya.
Upaya menghambat pertumbuhan PKL melalui pembatasan luas lokasi binaan dan lokasi resmi
sebanyak 19.960 PKL, sementara jumlah PKL tidak resmi jauh lebih besar, yaitu sebanyak 72.791 unit. Akibatnya
banyak PKL yang menem pati usaha mereka tumpah kem ana-mana dan merambah ke seluruh sudut wilayah
ibu kota ini. Dari pengam atan lapangan di lim a wilayah DKI Jakarta juga diketahui bahwa ada satu
pun wilayah kelurahan yang bebas dari PKL. Keadaan di Surabaya tidak se-fantastis di Jakarta
karena juml ah PK L di kota ini masih jauh di bawah Jakarta. Namun pertumbuhan yang terus menerus juga tidak
dapat dihentikan. P emda Surabaya mencoba mem batasi pertumbuhan PK L dengan hanya memberikan izin
sebayak 59 lokasi sentra sebagai lokasi resmi dari sekitar 100 lokasi atau sentra PKL. Akan tetapi, dari
tahun ke tahun ternyata sentra-sentra PKL terus bermunculan, dan tahun 1991 diperkirakan jumlahnya
telah mencapai 33.000 orangunit usaha, melampaui angka pertumbuhan tahun 1985 sebesar 5 pertahun.
Secara struktural, pertumbuhan PKL atau sektor informal hampir mustahil dapat ditahan sebab kehadirannya memang
+,-.-,--+
30 dibutuhkan oleh warga kota yang miskin atau yang
berpenghasilan rendah, termasuk mereka yang bekerja di sektor formal sendiri. Sebagai ekonomi bazaar,
7
pertumbuhan ekonomi sektor informal pada dasarnya tidak hanya
ditentukan oleh faktor penawaran, namun faktor pasar tenaga kerja juga ikut menentukan. Sektor ekonomi ini
memiliki kemampuan penyerapan tenaga kerja yang hampir tidak ada titik jenuhnya. Berbeda dengan sektor pertanian yang dapat
melahirkan pemiskinan bersama shared poverty melalui proses involusi. Pada sektor ekonomi ini, meskipun tenaga kerja
masuk secara terus menerus, namun tidak akan terjadi pemiskinan bersama, para pekerja di sektor ekonomi ini tetap
mendapatkan keuntungan relatif dari kegiatan usahanya, sebesar apapun jumlah tenaga kerja yang terlibat di sini. Hal ini
disebabkan pada ekonomi perdagangan terdapat sifat dinamis yang terjadi karena kegiatan pertukarannya. kue yang ada
di sektor ini tidak akan habis akibat tenaga kerja yang masuk berlangsung secara terus menerus, sebaliknya, karena
mereka juga menjadi konsumen pada sektor informal, potensi pasar sektor ekonomi ini justru akan menjadi semakin
besar. Dengan demikian, jumlah sektor informal juga akan terus berkembang.
Manajemen usaha PKL mencakup asal barang dagangan, penentu harga barang dagangan, kelayakan
harga barang dagangan, sikap terhadap pembeli, pengelolaan hasil usaha, waktu berjualan sekarang. Sedangkan pengelolaan
modal usaha PKL mencakup sumber modal usaha, asal modal usaha, jumlah modal usaha awal, taksiran nilai barang
dagangan dan peralatan, pendapatan bersih rata-rata perbulan, banyaknya kebutuhan dari penggunaan pendapatan bersih rata-
rata perbulan, dan hambatan pengelolaan modal usaha.
+,-.-,--+
31 Asal barang dagangan yang diperdagangkan oleh PKL
sebagian besar dibeli dari orang lain dan adanya pemasok tetap. Harga barang dagangan sebagian besar ditentukan oleh
penjual, berarti penjual masih mempunyai kekuatan dalam manajemen usahanya, khususnya menyangkut penentuan
harga jual. Namun demikian, penentu harga barang dagangan berikutnya adalah penjual dan pembeli. Dalam hal ini,
harga ditentukan melalui proses tawar-menawar di antara kedua belah
pihak, sampai
tercapai harga
keseimbangan equilibrium yang disepakati keduanya. Tawar-menawar di
antara penjual dan pembeli merupakan ciri relasi yang khas dalam usaha perdagangan para PKL.
Harga barang dagangan yang berlaku saat ini masih dianggap layak. Kelayakan harga jual barang dagangan ini
menjadi faktor penting bagi PKL untuk tetap bertahan dalam pekerjaan tersebut. Meskipun demikian, tidak tertutup
kemungkinan harga yang diberikan kepada pembeli terlalu tinggi, sehingga terkesan menipu pembeli.
Sikap PKL terhadap pembeli cukup bervariasi. Sebagian PKL berusaha untuk menarik perhatian pembeli, namun
sebagian lainnya bersikap terserah kepada calon pembeli dalam arti tidak memaksa calon pembeli.
Hasil usaha pada umumnya dikelola sendiri self- employed, cukup dengan satu orang tenaga kerja, artinya PKL
cenderung tidak tergantung pada bantuan pihak lain. Kemandirian PKL ini sebenarnya salah satu ciri sektor
informal di perkotaan. Hanya sebagian kecil hasil usaha yang dikel ola bersam a orang lain. Bukti di lapangan
ini menunjukkan PKL menunjukkan sifat-sifat khas one- man enterprise dan family enterprise.
+,-.-,--+
32 Pada umumnya waktu berjualan PKL di kawasan
Malioboro antara 6 sampai 12 jam setiap harinya. Mayoritas PKL berjualan selama 12 jam atau setengah hari kerja karena waktu
tersebut telah dianggap cukup untuk berusaha di sektor informal ini. Namun tidak tertutup kemungkinan apabila sebagian PKL
mempunyai pekerjaan sampingan, meskipun jumlah PKL jenis ini tidak banyak.
Sebagian besar PKL menggunakan modal sendiri sebagai modal usahanya, sehingga dapat dikatakan
dalam melakukan usahanya PKL tidak membutuhkan modal yang relatif besar dan tidak perlu meminta bantuan
orangpihak lain. Mayoritas PKL juga menyatakan modal usaha yang digunakan berasal dari tabungan sendiri, berarti PKL
mengandalkan kemampuan sendiri dalam memulai usahanya. Sebagian besar PKL tidak mengalami hambatan dalam
pengelolaan modal usahanya, sebagian lainnya mempunyai berbagai
hambatan pengelolaan,
seperti modal
tidak mencukupi, kurang menguasai pengelolaan modal, dan
sulitnya mencari pinjaman. Ketidakmampuan PKL dalam pengelolaan modal menyebabkan kurangnya kepercayaan
pihak lain seperti tercermin dalam kesulitan mencari pinjaman modal usaha.
Sikap PKL yang biasa menyerahkan keputusan harga kepada calon pembeli dan di saat lain berusaha menarik pembeli
telah menjadi ciri khas PKL bukan karena krisis ekonomi, artinya PKL telah mampu menyikapi calon pembeli sesuai
situasi dan kondisi yang dihadapi. Sementara itu, sebagian kecil PKL yang berusaha menarik perhatian pembeli
menyatakan sikap itu diambil agar dapat meningkatkan omzet penjualannya di masa krisis ekonomi ini.
+,-.-,--+
33 Pengelolaan usaha PKL yang dibantu orang lain,
dikelola sendiri, dan bersama orang lain. Fenomena ini menunjukkan PKL yang diajak orang lain untuk berusaha di
bidang ini cenderung mengelola usahanya bersama orang lain juga. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko dalam
manajemen usaha dan pengelolaan modal yang mungkin harus ditanggung oleh PKL.
Keberadaan organisasi PKL berupa koperasi atau paguyuban sangat diperlukan mengingat luasnya areal usaha
dan banyaknya pedagang yang mencari penghidupan di kawasan tersebut. Selain itu, organisasi diperlukan untuk ikut
menciptakan ketertiban dan keamanan, sehingga citra positif tentang kawasan Malioboro harus selalu dipertahankan.
Pesatnya perkembangan usaha PKL di kawasan Malioboro dapat meningkatkan kemakmuran PKL itu sendiri,
namun dapat juga menimbulkan efek samping yang sering merusak citra kawasan. Perilaku PKL liar yang tidak menjadi
anggota satu organisasi dan tidak mempunyai kapling tempat, mau tidak mau berimbas kepada anggota-anggota organisasi
PKL dan dapat merugikan usaha PKL yang resmi menjadi penghuni kawasan tersebut. Karena itu, diperlukan
kesamaan gerak dan langkah PKL melalui keberadaan organisasi-organisasi PKL. Pemberdayaan melalui organisasi
PKL perlu diupayakan. Perhatian organisasi PKL kepada anggota cukup besar, namun demikian perhatian yang diberikan
belum optimal karena masih sebatas mengorganisir dan mengatur
keberadaan PKL
dan mampu
melakukan pemberdayaan PKL.
+,-.-,--+
34
2.3 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PKL