Kajian Model Pengembangan Pedagang Kaki Lima

(1)

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

&&&&

&&&&

&&&&

''''

''''

''''

(

(

(

(

(

(

(

(

(

(

(

(

''''

''''

''''

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... 4

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT ... 5

1.4 OUTPUT ... 5

BAB II KERANGKA PIKIR DAN RUANG LINGKUP ... 6

2.1 PENGERTIAN PEDAGANG KAKI LIMA ... 6

2.2 REVIEW KAJIAN PUSTAKA PKL ... 12

2.2.1 Landasan Teoritis ... 12

2.2.2 Penelitian Terdahulu ... 16

2.3 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PKL ... 34

2.3.1 Umum ... 34

2.3.2 Kebijakan Pengembangan Pedagang Kaki Lima ... 36

2.3.3 Langkah-langkah Kegiatan Pengembangan PKL ... 39

2.3.4 Strategi Pengembangan PKL ... 41

2.3.5 Sasaran ... 43

2.4 KONSEP MODEL PENGEMBANGAN PKL ... 46

2.4.1 Aspek Kelembagaan ... 47

2.4.2 Aspek Pembiayaan ... 49

2.4.3 Aspek Sarana dan Prasarana Usaha ... 50

2.4.4 Aspek Sanitasi Lingkungan ... 51

2.4.5 Aspek Pemasaran ... 51

2.5 DEFINISI OPERASIONAL ... 52

2.6 RUANG LINGKUP ... 54

2.6.1 Ruang Lingkup Substansi ... 54

2.6.2 Ruang Lingkup Kajian ... 56


(2)

BAB III METODE KAJIAN ... 58

3.1 TEKNIK KAJIAN ... 58

3.1.1 Studi Kasus ... 58

3.1.2 Focus Group Discussion (Diskusi Terbatas) ... 58

3.2. JENIS, SUMBER DAN INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA ... 59

3.3. INDEKS KINERJA PKL ... 60

3.4. ORGANISASI PELAKSANA ... 61

3.5. JADWAL PELAKSANAAN ... 61

3.6. SUMBER ANGGARAN ... 62

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

4.1 PROVINSI SUMATERA UTARA ... 70

4.1.1 Kinerja PKL dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi ... 72

4.1.2 Dampak PKL Terhadap Aspek Ekonomi dan Sosial ... 74

4.1.3 Fasilitasi Dukungan Dalam Pengembangan PKL ... 75

4.1.4 Analisis Kebijakan ... 76

4.2 PROVINSI JAWA TENGAH ... 76

4.2.1 Kinerja PKL dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi ... 78

4.2.2 Dampak PKL Terhadap Aspek Ekonomi dan Sosial ... 80

4.2.3 Fasilitasi Dukungan Dalam Pengembangan PKL ... 81

4.2.4 Analisis Kebijakan ... 82

4.3 PROVINSI KALIMANTAN BARAT ... 83

4.3.1 Kinerja PKL dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi ... 85

4.3.2 Dampak PKL Terhadap Aspek Ekonomi dan Sosial ... 87

4.3.3 Fasilitasi Dukungan Dalam Pengembangan PKL ... 88

4.3.4 Analisis Kebijakan ... 89

4.4 PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ... 90

4.4.1 Kinerja PKL dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi ... 90

4.4.2 Dampak PKL Terhadap Aspek Ekonomi dan Sosial ... 93

4.4.3 Fasilitasi Dukungan Dalam Pengembangan PKL ... 94

4.4.4 Analisis Kebijakan ...94 4.5 PROVINSI SULAWESI SELATAN... 96

4.5.1 Kinerja PKL dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi ... 97

4.5.2 Dampak PKL Terhadap Aspek Ekonomi dan Sosial ... 100

4.5.3 Fasilitasi Dukungan Dalam Pengembangan PKL ... 101

4.5.4 Analisis Kebijakan ... 101

4.6 MODEL PENGEMBANGAN PKL ... 102

4.6.1 Model Umum ... 104

4.6.2 Aspek Kelembagaan ... 108

4.6.3 Aspek Pembiayaan ... 114

4.6.4 Aspek Sarana dan Prasarana Usaha ... 118

4.6.5 Aspek Sanitasi Lingkungan ... 122


(3)

4.7 IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 129

4.7.1 Pusat ... 130

4.7.2 DAERAH ... 135

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 143

5.1. KESIMPULAN ... 143

5.2. REKOMENDASI KEBIJAKAN ... 145

5.3. SARAN... 147


(4)

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

&&&&

&&&&

&&&&

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

Tabel 1 Karakteristik atau Ciri-Ciri PKL Berdasarkan Aspek Ekonomi,

Sosial Budaya dan Lingkungan ... 14

Tabel 2 Sebaran Lokasi dan Anggota dan Sampel Kajian ... 59

Tabel 3 Jadwal Pelaksanaan " Kajian Model Pengembangan PKL" ... 62

Tabel 4 Pendapatan Bersih (Rp/Bulan/Orang) PKL ... 65

Tabel 5 Jumlah PKL Berdasarkan Indeks Kinerja PKL... 67

Tabel 6 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja PKL ... 68

Tabel 7 Pendapatan Bersih PKL-Pangan Medan ... 73

Tabel 8 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja PKL-pangan di Medan ... 74

Tabel 9 Pendapatan Bersih PKL-Pangan Surakarta ... 79

Tabel 10 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja PKL-Pangan di Surakarta ... 80

Tabel 11 Pendapatan Bersih PKL-Pangan Pontianak ... 86

Tabel 12 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja PKL-Pangan Pontianak ... 87

Tabel 13 Pendapatan Bersih PKL-Pangan Mataram ... 92

Tabel 14 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja PKL-Pangan Mataram ... 92

Tabel 15 Pendapatan Bersih PKL-Pangan Makassar ... 99

Tabel 16 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja PKL-Pangan Makassar ... 99

Tabel 17 Peran stake holder pengembangan aspek kelembagaan PKL ... 109

Tabel 18 Peran stake holder pengembangan aspek pembiayaan PKL ... 115

Tabel 19 Peran stake holder pengembangan aspek sarana dan prasarana PKL ... 119

Tabel 20 Peran stake holder pengembangan aspek sanitasi lingkungan PKL ... 123


(5)

8

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

&&&&

&&&&

&&&&

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

Gambar 1 Tipologi PKL Berdasarkan Lokasi Tempat Usaha ... 24

Gambar 2 Tipologi PKL Berdasarkan Status Kepemilikan Tempat Usaha ... 25

Gambar 3 Submodel Kelembagaan ... 48

Gambar 4 Submodel Pembiayaan ... 59

Gambar 5 Submodel Sarana dan Prasarana ... 50

Gambar 6 Submodel Sanitasi Lingkungan ... 51

Gambar 7 Submodel Pemasaran ... 52

Gambar 8 Pengembangan PKL Model Terkonsentrasi ... 106

Gambar 9 Pengembangan PKL Model Tersebar ... 108

Gambar 10 Penataan Aspek Kelembagaan ... 113

Gambar 11 Penataan Aspek Pembiayaan ... 118

Gambar 12 Penataan Aspek Sarana dan Prasarana Usaha ... 121

Gambar 13 Penataan Aspek Lingkungan ... 126


(6)

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

$

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

&&&&

&&&&

&&&&

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

''''

''''

''''

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

Lampiran 1 Visualisasi Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta ... 150

Lampiran 2 Visualisasi Pedagang Kaki Lima di Kota Mataram ... 151

Lampiran 3 Visualisasi Pedagang Kaki Lima di Kota Makassar ... 152

Lampiran 4 Koperasi dan Asosiasi yang Menangani PKL ... 153

Lampiran 5 Visualisasi Focus Group Discussion ... 154


(7)

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

$$$$

$$$$

$$$$

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

&

&

&

&

&

&

&

&

&

&

&

&

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

(

(

(

(

(

(

(

(

(

(

(

(

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah, rahmat, hidayah dan inayah-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan akhir kegiatan Kajian Model Pengembangan Pedagang Kaki Lima.

Analisis kinerja, dampak, rekomendasi model pengembangan pedagang kaki lima, sebagai wahana dalam upaya penataan, pembinaan, dan pengembangan kaki lima, telah dikaji melalui pendekatan kajian kebijakan berdasarkan metode studi kepustakaan. Di samping itu, dilakukan diskusi terbatas di provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat, serta studi kasus dengan melakukan survai di lima provinsi, yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan fakta lapangan tentang eksistensi, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan solusi dalam pengembangan pedangan kaki lima dari kalangan pelaku usaha koperasi, instansi terkait, dan akademisi.

Laporan akhir ini, merupakan tahapan akhir dalam rangkaian kegiatan Kajian Model Pengembangan Pedagang Kaki Lima. Berbagai temuan survai disajikan untuk memberikan deskripsi yang lebih detil terkait kondisi pedagang kaki lima di lima lokasi kajian. Deskripsi kondisi pedagang kaki lima tersebut dan didukung dengan hasil diskusi terbatas merupakan landasan dalam merumuskan rekomendasi yang dapat diimplementasikan.

Kami menyampaikan ucapan terima kepada para pihak atas kerjasama dan bantuannya dalam pelaksanaan kajian ini. Laporan ini tentu masih terdapat kekurangan yang perlu diperbaiki. Karena itu, kami mengharapkan berbagai masukan dan saran dari semua pihak yang terkait, dalam upaya penyempurnaan laporan ini. Namun demikian, semoga laporan ini memberikan manfaat dalam upaya pengembangan pedagang kaki lima.


(8)

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

####

####$$$$

####

$$$$

$$$$

####

####

####

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

&

&

&

&

&

&

&

&

&

&

&

&

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

(

(

(

(

(

(

(

(

(

(

(

(

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

)

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

####

1.1 LATAR BELAKANG

Pertambahan penduduk Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, yang berarti angkatan kerja juga semakin meningkat. Menurut laporan BPS bulan Februari 2009, jumlah pertambahan angkatan kerja Indonesia mencapai 1,79 juta, padahal penyerapan tenaga kerja pada sektor formal sangat terbatas. Terbatasnya daya serap usaha sektor formal menjadi penyebab terjadinya pengangguran. Hal ini terlihat dari tingginya angka pengangguran, yaitu dengan angka pengangguran sebanyak 8,14%, sementara jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 113,7 juta orang. Alternatif usaha yang ditempuh oleh tenaga kerja yang tidak terserap dalam usaha sektor formal adalah dengan membuka usaha di bidang usaha informal. Dari tenaga kerja yang berjumlah 91,86% tersebut, yang terserap di sektor formal sebesar 30,51% dan sisanya sebesar 68,49% terserap di Usaha Mikro/PKL (Media Indonesia, 16 Mei 2009). Ini membuktikan bahwa alternatif usaha yang ditempuh oleh tenaga kerja yang tidak terserap dalam usaha sektor formal adalah dengan membuka usaha di sektor informal. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian ILO, di mana 35% penduduk Indonesia bekerja di sektor formal dan sisanya 65% bekerja di Usaha Mikro/PKL. Menurut Badan Penanaman Modal Asing, diperkirakan bahwa sekitar 70% modal domestik dan asing diinvestasikan di kota-kota besar di Indonesia, namun hanya menyerap sekitar 10-16% tenaga kerja formal. Dalam kelompok Usaha Mikro/PKL ini terdapat salah satunya adalah PKL, yang terutama terdapat di kota-kota.

Usaha Mikro/PKL apabila dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 termasuk kelompok Usaha Mikro dan Kecil, di mana Usaha Mikro adalah kegiatan usaha dengan kriteria: (a) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk lahan dan


(9)

bangunan tempat usaha, atau (b) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Sedang Usaha Kecil adalah kegiatan usaha dengan kriteria: (a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk lahan dan bangunan tempat usaha, atau (b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), termasuk PKL merupakan langkah strategis dalam meningkatkan dan memperkuat perekonomian dari bagian terbesar rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Karena itu, UMKM diharapkan dapat berperan besar dalam proses demokratisasi, penumbuhan kemandirian masyarakat, peningkatan kesejahteraan dan faktor strategis dalam mengurangi angka pengangguran, penurunan juml ah penduduk miskin, serta mengurangi ketim pangan pendapatan masyarakat. Peran UMKM dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari : (a) kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor, (b) penyedia lapangan kerja yang terbesar, (c) pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat, (d) pencipta pasar baru dan sumber inovasi ,dan (e) sumbangannya dalam menjaga neraca pembayaran melalui kegiatan ekspor (Wayan Suarja)

PKL sebagai salah satu komponen utama dari Usaha Mikro yang terlibat dalam usaha sektor informal, menghadapi lingkungan yang masih kurang kondusif, sehingga menjadi faktor yang menghambat eksistensi dan perkembangan bisnisnya. Hal tersebut mengakibatkan kondisi umum PKL di daerah perkotaan mengalami produktivitas dan dayasaing yang relatif rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja PKL antara lain: (a) sulitnya mencari lokasi usaha yang sesuai dengan rencana tata ruang kota, yang akibatnya mereka melakukan kegiatan usahanya pada fasilitas-fasilitas umum


(10)

seperti badan jalan, trotoar, saluran air, jalur hijau, taman dan sebagainya, (b) dukungan pemerintah daerah terhadap penyediaan lokasi usaha PKL masih sangat terbatas, (c) ketidakpastian t e r s e d i a n y a b a h a n b a k u u t a m a d a n t a m b a h a n / p e n o l o n g , ( d ) keahlian/keterampilan sumberdaya manusia belum berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi, (e) kebijakan fiskal dan moneter belum sepenuhnya mendukung pengembangan produksi, keahlian, teknologi dan pasar UMKM dan (f) kebijakan pemerintah dalam upaya pemberdayaan UMKM kurang komprehensif dan sering tidak konsisten.

PKL-pangan (kuliner) merupakan PKL yang paling sering dan banyak ditemukan di setiap daerah. Kehadiran PKL-pangan telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat yang membutuhkan pangan yang siap saji. Namun, PKL tersebut umumnya belum menerapkan keamanan pangan dan sanitasi lingkungan yang baik. Hal tersebut secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan masyarakat. Kualitas sumberdaya manusia yang baik dapat tercapai apabila setiap individu mendapat asupan pangan dalam jumlah yang cukup, aman, dan bergizi secara berkelanjutan yang pada gilirannya akan meningkatkan status kesehatan dan memberikan kesempatan agar setiap individu mencapai potensi maksimumnya. Kondisi masyarakat yang sehat akan mendongkrak kinerja fisik, intelektual, dan kreatifitas secara nasional sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkuat dayasaing bangsa. Pemberdayaan terhadap PKL-pangan dapat menunjang terwujudnya ketahanan pangan dan kondisi masyarakat yang sehat sebagai fondasi dalam ketahanan nasional.

Kebijakan pemberdayaan PKL harus memperhatikan sistem keseluruhan bukan hanya pada bagian hirarki yang rendah. Hal ini disebabkan PKL mempunyai beberapa karakteristik antara lain : (1) aspek ekonomi; usaha PKL merupakan kegiatan ekonomi skala kecil dengan modal relatif minim. Aksesnya terbuka, sehingga mudah dimasuki usaha baru, konsumen lokal dengan pendapatan menengah ke bawah, teknologi sederhana/tanpa teknologi, jaringan usaha terbatas, kegiatan usaha dikelola satu orang atau usaha keluarga dengan pola manajemen


(11)

yang relatif tradisional, (2) aspek sosial budaya; sebagian besar PKL berpendidikan rendah dan migran (pendatang) dengan jumlah anggota rumah tangga yang besar. Mereka juga bertempat tinggal di pemukiman kumuh, (3) aspek lingkungan; kurang memperhatikan kebersihan dan berlokasi di tempat yang padat lalu lintas.

Ketidakberhasilan kebijakan dan program pemerintah daerah dalam mengembangkan PK L terkait dengan beberapa hal, se perti : (1) pendekatan yang masih bersifat otoriter di mana pengaturan, penataan, dan bantuan terhadap PKL dilaksanakan tanpa m elakukan kom unikasi dan kerjasama dengan PKL sendiri), (2) pelaksanaan kebijakan/program bagi PKL belum terkoordinasi dengan baik antar dinas-dinas yang terlibat dalam penanganan PKL, dan (3) penertiban dan pengendalian PKL lebih didasari pada mekanisme proyek daripada semangat mengembangkan PKL sebagai salah satu basis perekonomian rakyat. Hal ini mengakibatkan PKL kesulitan untuk mengakses sarana dan prasarana usaha, modal/kredit yang disediakan pemerintah daerah atau dari sumber-sumber pembiayaan lain.

Berkenaan dengan hal di atas, Kem enterian Negara Koperasi Usaha Kecil dan Menengah melalui Asdep Urusan Penelitian UKM Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK memandang perlu untuk melakukan kajian untuk menganalisis berbagai aspek yang terkait dalam pengembangan PKL antara lain menyangkut : (a) deskripsi kinerja PKL, (b) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PKL, (c) dampak P K L t e r h a d a p a s p e k e k o n o m i d a n s o s i a l , ( d ) f a s i l i t a s i / d u k u n g a n y a n g d i p e r l u k a n P K L , ( e ) p e r a n k o p e r a s i , d a n ( f ) pengembangan model PKL.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana deskripsi kinerja PKL saat ini?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja PKL?


(12)

4. Seberapa jauh fasilitasi/dukungan yang diperlukan dalam pengembangan PKL?

5. Bagaimana model pengembangan PKL yang dapat diimplementasikan di masa mendatang?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan kajian ini adalah : 1. Mengetahui kinerja PKL;

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PKL; 3. Mengetahui dampak PKL terhadap aspek ekonomi dan sosial;

4. Mengetahui fasilitasi/dukungan yang diperlukan dalam pengembangan PKL;

5. Merumuskan model pengembangan PKL.

Manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah sebagai masukan bagi pimpinan dalam menyusun kebijakan yang terkait dengan pedagang kaki lima.

1.4 OUTPUT

Output yang diharapkan dari kegiatan ini adalah : 1. Deskripsi kinerja PKL

2. Deskripsi faktor- faktor yang mempengaruhi kinerja PKL; 3. Deskripsi dampak PKL terhadap aspek ekonomi dan sosial;

4. Deskripsi fasilitasi/dukungan yang diperlukan dalam pembinaan PKL; 5. Model pengembangan PKL.


(13)

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

####

####$$$$

####

$$$$

$$$$

$$$$

$$$$

$$$$

####

####

####

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

&

&

&

&

&

&

&

&

&

&

&

&

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

####

####%

####

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

$$$$

$$$$

$$$$

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

$$$$

$$$$-

$$$$

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

####

####(

####

(

(

(

(

(

(

(

(

(

(

(

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

####

####-

####

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

"

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

####

####+

####

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

$$$$

$$$$

$$$$

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

'

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

,

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

%

####

####

####

Dalam rangka melakukan Kajian Model Pengembangan PKL selanjutnya akan ditinjau landasan teoritis tentang PKL. Namun terlebih dahulu akan ditinjau landasan teoritis sektor informal, karena sektor ini sangat berkaitan erat dengan usaha kaki lima. Usaha kaki lima adalah bagian tidak terpisahkan dari sektor informal. Karena itu, maka pada bagian ini akan dibagi dalam tiga bagian, yaitu: (a) Pengertian PKL, (b) Review kajian pustaka PKL, (c) Kebijakan pembinaan PKL, dan (d) Program pembinaan PKL.

2.1 PENGERTIAN PEDAGANG KAKI LIMA

Konsep sektor informal ini mula pertama dikembangkan oleh Terry McGee yang pada tahun 1970 yang telah merintis penelitian-penelitian tentang PKL di Hongkong. Studi ini kemudian dikembangkan lebih lanjut di Jakarta dan Bandung (Indonesia), Kuala Lumpur, Malaka (Malaysia), Manila dan Bagio (Filipina). Faset penelitian ini menambah keterangan secara lebih terperinci dari teka-teki menggelembungnya sektor jasa dan perdagangan di daerah perkotaan di kawasan ini. Untuk negara berkembang, pengertian sektor jasa dan perdagangan yang tersirat dalam definisi yang digunakan sesungguhnya berlainan sekali dengan kenyataan dan kegiatan ekonomi sebagian besar dari tenaga kerja yang perdefinisi digolongkan sebagai bekerja di sektor informal. Istilah sektor informal juga diperkenalkan oleh Keith Hart pada tahun 1971 dalam penelitiannya tentang “Small-scale Enterpreneurs in Ghana”. Hart menggambarkan sektor informal sebagai angkatan kerja perkotaan serta berada di luar pasar kerja yang terorganisasi. Sethuraman (1981) menyebutkan ”sektor informal sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang, dimasuki oleh penduduk kota terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan” (Hazel Moir, 1978).


(14)

Sampai sekarang baru Sethuraman dari ILO yang rel atif berhasi l m erum uskan def inisi t eorit is tentang sekto r i nf orm al. D i te rj em ahkan ke dal a m bahasa Indones i a def i n i si nya menjadi sebagai berikut:

” S e k t o r i n f o r m a l t e r d i r i d a r i u n i t - u n i t u s a h a b e r s k a l a k e c i l y a n g m e n g h a s i l k a n d a n m e n d i s t r i b u s i k a n b a r a n g d a n j a s a d e n g a n t u j u a n p o k o k m e n c i p t a k a n k e s e m p a t a n k e r j a d a n p e n d a p a t a n b a g i d i r i s e n d i r i d a n d a l a m u s a h a n y a i t u s a n g a t d i h a d a p k a n b e r b a g a i k e n d a l a s e p e r t i f a k t o r m o d a l f i s i k , f a k t o r p e n g e t a h u a n d a n f a k t o r k e t e r a m p i l a n . ”( H i d a y a t , 1 9 9 3 )

Kriteria yang sering dipakai untuk membedakan sektor formal dan informal adalah yang dipakai ol eh ILO adal ah peri hal "bantuan atau pr oteksi ekonomi " yang diberikan oleh pem erintah. Dil ihat dari kepentingan perumusan kebijakan, kriteria yang di pakai ol eh ILO tersebut mengandung kel em ahan karena dalam kenyataan di lapangan, bantuan ekonomi yang telah disediakan ternyata tidak mudah (atau sulit) untuk dimanfaatkan ol eh sektor i nform al (Hida yat, 1993).

Jadi, masalahnya adalah bukan perihal "ada" atau "tidak" adanya bantuan/proteksi ekonomi yang disedi akan oleh pemerintah, melainkan yang lebih penting dan lebih relevan (dilihat dari kepentingan kebijaksanaan) adalah faktor ”keterjangkauan” (accessibility) terhadap bantuan yang telah disediakan.

Dalam konteks pembangunan, yang relevan ialah mencari jawaban d a r i p e r t a n ya a n : ”A p a k a h b a n t u a n e k o n o m i d a r i p e m e r i n t a h i t u s a m p a i k e k e l o m p o k s a s a r a n y a n g t e l a h d i t e n t u k a n m e n u r u t r e n c a n a ? Me n g a p a m a s i h a d a p i h a k y a n g b e l u m me n e r i m a n y a ? M e n g a p a m a s i h a d a p i h a k y a n g t e l a h m e n e r i m a b a n t u a n i t u t e t a p i m a s i h t e t a p l e m a h ( b e l u m b e r d i k a r i ) ? ”


(15)

“A p a ci r i - c i r i p o k o k s e kt o r i nf o r m a l d i I n d o n e s i a ? ”. P a d a ta h u n 197 8 Hi dayat t el ah m erum us kan 11 (sebel as) ciri pokok sektor informal. Rumusan tersebut kemudian ol eh Biro Pusat Statistik telah dipakai sebagai landasan survei nasional tentang pekerja sektor informal di Indonesia. Kini ciri-ciri pokok tersebut telah menjadi baku, yakni :

1. K egi atan usaha t i dak ter organ i sas i sec ara baik kar ena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal.

2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha.

3. P o l a k e g i a t a n u s a h a t i d a k t e r a t u r b a i k d a l a m a r t i lokasi maupun jam kerja.

4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini.

5. Unit usaha sudah keluar dan masuk dari satu sub-sektor ke lain sub-sektor. 6. Teknologi yang dipergunakan bersifat primitif.

7. Mod al dan per p ut aran usa ha r el at if keci l , sehi ng ga skala operasi juga relatif kecil.

8. P end i di kan yang di perl uk an unt uk m enj al ankan usa ha tidak memerlukan pendidikan formal karena pendidikan yang di p er l uk an di p er ol e h da r i p en g al am a n s am bi l bekerja.

9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan "one-man-enterprise" dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga.

10. S um ber d ana mod al usaha pada um um nya beras al dar i tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi.

11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan masyarakat kota/desa berpenghasilan rendah dan kadang-kadang juga yang berpenghasilan menengah.

Kegiatan-kegiatan sektor informal dapat pula dicirikan sebagai berikut: (1) mudah masuk, (2) bersandar pada sumberdaya lokal, (3) usaha milik keluarga, (4) operasi skala kecil, (5) padat karya dan adapted technology, (6) keterampilan diperoleh dari luar sistem formal sekolah, dan (7) tidak diatur


(16)

dan pasar kompetitif.

Pada dewasa ini pengertian sektor informal dapat pula dikelompokkan sebagai PengUsaha Mikro dan Kecil sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008. Dengan kata lain, sektor informal di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit beskala mikro dan kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses daripada dianggap sebagai sekelompok perusahaan yang berskala kecil dengan masukan-masukan modal dan pengelolaan yang besar.

Hidayat mengajukan beberapa aspek kebijakan yang perlu diperhatikan dalam rangka mengatasi masalah sektor informal, yaitu:

1. K e h a d i r a n s e k t o r i n f o r m a l d a l a m p e r c a t u r a n p e r e k o n o m i a n Indonesia sangat erat kaitannya dengan masalah kependudukan dan kebijakan kesempatan kerja. Sampai saat ini sek t or i nf orm al m as i h t et a p be r p er an t er ut am a t e na ga kerja yang berstatus sebagai swakarya. Agar kedua sektor yakni yang f orm al dan inf ormal dapat dij adikan "agent of development" maka perlu dikembangkan hubungan kemitraan yang setara antara kedua sektor tersebut terutama antara usaha skala besar dan skala Usaha Mikro dan kecil.

2. Menurut laporan BP S tahun 2009, 69,49 % dari tenaga kerja Indonesia bekerja di s ekt or i nf orm al. S eba gi an bes ar da ri pek erj a sek tor i nf orm al k ota ber hubunga n de ngan k egi at an perdag an gan e c e r a n d a n j a s a - j a s a ( t e r d i r i d a r i j a s a p e r o r a n g a n s e p e r t i P K L , tukang cukur dan pembantu rumah tangga, jasa masyarakat seperti bidan dan guru agama, dan jasa usaha seperti calo dan reparasi). Pengaturan dan pembinaan kegiatan perdagangan eceran dan jasa selalu berkaitan dengan "tata ruang" dan "waktu". Dengan pemberian tempat yang relatif permanen bagi kedua kegiatan tersebut maka perkembangan sektor informal, khususnya di perkotaan, maka dapat dibentuk suatu organisasi yang fungsinya membantu para pedagang. Organisasi ini, penulis beri nama "Klinik Dagang”. Organisasi ini dapat berupa LSM atau koperasi. Dengan


(17)

organisasi ini maka dapat dilakukan kontak dengan lembaga perbankan. 3. D i s e k t o r i n f o r m a l y a n g b a n ya k m e n a m p u n g u n i t u s a h a

berskala mikro dan kecil, dengan struktur produksinya yang lebih bersifat padat karya dan sedikit padat energi, maka dalam menghadapi kemunduran laju ekonomi, ternyata mempunyai daya tangkal yang relatif tinggi karena secara cepat dapat men yesuaik an diri dengan tantangan baru. Selain itu, kelompok unit Usaha Mikro dan kecil telah menunjukkan semangat (spirit) bersaing yang sehat dalam meningkatkan efisiensi sistem ekonomi yang berlandaskan mekanisme harga. Di Eropa Barat kelompok usaha tersebut ternyata dapat menghambat tumbuhnya inefisiensi akibat kekuatan monopoli, dan merupakan ladang pers em ai a n (s e ed be d) unt uk t u m bu h n ya i n ova s i d an usa h a b ar u.

4. Mengingat lokasi sektor informal ada di daerah tingkat II, maka disarankan agar di masa mendatang penanganan sektor informal ha ru s di s er ahk an k e d a er a h ti n g k at II k ar en a s eti a p daerah mempunyai keunikan sendiri.

5. Untuk meningkatkan pendapatan di sektor informal dapat ditempuh beberapa cara, seperti : (1) meningkatkan keterampilan, (2) melakukan sistem “bapak angkat” (sub-kontrak) antara sektor formal dan informal, (3) menyalurkan kredit bank ke sektor informal, (4) mengurangi proteksi yang diberikan kepada sektor formal, dan (5) memungkinkan hasil produksi (barang dan jasa) dari sektor formal dipasarkan melal ui "saluran pemasaran formal" (formal marketing channels).

6. Pengalaman di Peru menunjukkan bahwa meskipun akses untuk b antuan pem erint ah te l ah di p erm udah tet api bi aya unt uk mem perol eh ak s es t e r s e b ut r e l at i f t i n g g i b a g i s ek t or i nf o r m al . D e n g a n d em i k i a n , m e m b a n t u s e k t o r i n f o r m a l b e r a r t i h a r u s d i t i n j a u k e m b a l i berbagai perangkat hukum yang terlalu "menganak-emaskan” sektor formal dan "menganak-tirikan"sektor informal.


(18)

7. P e r l u d i p e r h a t i k a n b a h w a m e n g i n g a t s e b a g i a n b e s a r p a k e t der egul asi da lam bi dang ekonom i da n perdagan gan, sej ak Juni 1983, pada hakekatnya bertujuan untuk mendorong ekspor non-migas maka d e n g a n s e n d i r i n y a p a k e t t a d i k u r a n g m e n y e n t u h k e g i a t a n s e k t o r i nf ormal. D engan hampi r 2/ 3 da ri jum l ah pek erj a di I ndone sia pada t ahun 20 09 menyam bung hi dupnya dari s ekt or i nform al m aka sudah sel a yak n ya u nt uk di p i k i rk a n suat u p ak et ke bi j ak sa n aa n ya n g j ug a dapat mengangkat pekerj a di sektor informal.

8. Harus dicegah agar sektor informal tidak menjadi permainan p a r a p o l i t i s i a v o n t u r i r d a n b i r o k r a t t i d a k b e r t a n g g u n g j a w a b , y a k n i d e n g a n m e m b e r i k a n b e r b a g a i " p e r l i n d u n g a n " p o l i t i k t e t a p i t i dak dit i ndakl anj uti deng an ke bi j aks anaan konk ri t . K eperl uan seb enarn ya a d a l a h l a ngk a h k o nkr i t a ga r s ekt or i nf o rm a l d ap at m em pero l e h p er l a kua n ek on om i da n huk u m ya n g pr op o rs i o na l sep e rt i mitranya sektor formal.

PKL termasuk salah satu bentuk usaha sektor informal. Istilah kaki lima pertama kali dikenal pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles, yaitu ketika mengeluarkan peraturan lalu lintas, dinyatakan bahwa jalur berukuran five feet (lima kaki = 150 cm = 1,5m) di sepanjang kanan - kiri jalan ditetapkan peruntukannya sebagai jalur pejalan kaki. Kemudian tumbuh orang-orang yang yang menjajakan barangnya dengan gelaran dan gerobak dorong di sepanjang kanan kiri jalan tersebut, yang kemudian pedagang tersebut dinamakan sebagai “pedagang kaki lima” (Victor B.T; 1982).

Istilah kaki lima mulai digunakan secara resmi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 1978, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1978 tentang Penataan, Pembinaan dan Pengendalian PKL di Wilayah DKI Jakarta, di mana pada Pasal 1 ayat e disebutkan bahwa “Pedagang kaki lima adalah mereka yang dalam usahanya mempergunakan bagian jalan/trotroar dan tempat-tempat lain untuk kepentingan umum yang bukan diperuntukkan untuk usaha”.


(19)

Pengertian PKL dalam pengaturan ini diartikan secara luas, karena tidak hanya bagian jalan/trotoar, tetapi mencakup pula tempat-tempat untuk kepentingan umum yang bukan diperuntukkan tempat usaha serta tempat lain yang bukan miliknya.

PKL adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit b e r u s a h a b i d a n g p r o d u k s i d a n p e n j u a l a n b a r a n g - b a r a n g (j as a-j asa) untuk m emenuhi kebutuha n k el om pok tert entu di dalam masyarakat, usaha tersebut dil aksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal (Haryono, 1989).

2.2 REVIEW KAJIAN PUSTAKA PKL

2.2.1 Landasan Teoritis!

Bromley (1978) menyebutkan bahwa PKL adalah suatu pekerjaan yang paling nyata dan paling penting di kebanyakan kota di negara-negara berkembang pada umumnya. Begitu pentingnya dan khas dalam sektor informal, menyebabkan istilah sektor informal sering diidentikkan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh PKL. Namun, PKL hanya sedikit mendapat perhatian akademik dibandingkan dengan kelompok pekerjaan utama lain. PKL terletak dalam tapal batas penelitian yang tidak didefinisikan secara tepat, antara penelitian kesempatan kerja dan patologi sosial dan ciri-ciri pokoknya adalah ketidaktentuan, mobilitas, ketidakmampuan, serta kemiskinan dan tingkat pendidikan relatif rendah dari kebanyakan pelakunya sangat mempersulit penelitian.

Kenyataan bahwa PKL dewasa ini sudah banyak dipelajari. Hal ini menunjukkan bahwa PKL digambarkan sebagai perwujudan pengangguran tersembunyi atau setengah pengangguran yang luas, ataupun sebagai pekerjaan tersier sederhana yang bertambah secara luar biasa di negara berkembang (Bairoch, 1973). Bahkan ada pandangan yang lebih buruk terhadap PKL yang memandang sebagai parasit dan sumber pelaku kejahatan yang bersama-sama dengan


(20)

pengemis, pelacur, dan pencuri yang tergolong dalam “rakyat jelata” atau semata-mata dianggap sebagai ‘jenis pekerjaan yang sama sekali tidak relevan’ (Rogero, 1976).

Pandangan lain yang lebih baik adalah mereka yang berpandangan bahwa PKL sebagai korban dari langkanya kesempatan kerja yang ‘produktif’ di kota. PKL dipandang sebagai suatu ‘jawaban terakhir’ yang berhadapan dengan proses urbanisasi yang berangkai dengan migrasi desa-kota yang besar, perkembangan kota, pertambahan penduduk yang pesat, pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat dalam sektor industri, dan persiapan teknologi impor yang padat modal dalam keadaan kelebihan tenaga kerja (Bromley, 1978).

Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Biro Bina Pangembangan Produksi Daerah mengenai “Pola Pembinaan dan Pengendalian Usaha Kaki lima di wilayah DKI Jakarta” pada tahun 1985, disebutkan bahwa dari segi permodalannya PKL merupakan “pengusaha kecil golongan ekonomi lemah” yang mana dalam pengusahaannya masih bersifat temporer dan tidak mempunyai badan hukum, di samping tempat usahanya menggunakan fasilitas umum seperti jalan raya, trotoar, taman dan sebagainya yang seringkali sulit ditertibkan.

Firdausy (1995) merangkum seluruh gambaran akan PKL ke dalam tiga aspek, yakni: aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan lingkungan. Karakteristik dari masing-masing aspek tersebut dapat di lihat dalam tabel 1 berikut :


(21)

Tabel 1 Karakteristik atau Ciri-Ciri PKL Berdasarkan Aspek Ekonomi, Sosial Budaya dan Lingkungan

"#$%&! '()(&*%)+#*+&!

Ekonomi

- Meliputi berbagai kegiatan usaha yang luas - Mudah dimasuki oleh pemain baru

- Modal relatif kecil

- Konsumen lokal dan berpendapatan menengah ke bawah

- Teknologi sederhana / tanpa teknologi - Jaringan usaha terbatas

Sosial Budaya

- Tingkat pendidikan rendah - Terdiri atas para migran

- Jumlah anggota rumah tangga besar - Bertempat tinggal di daerah kumuh di kota - Jam kerja relatif lama

Lingkungan - Kurang mengutamakan kebersihan - Berlokasi di daerah yang padat lalu lintasnya

- Menggunakan fasilitas umum Sumber : Firdausy (1995)

Di sisi lain, Kartono dkk (1980: 3 – 7) menjelaskan pengertian PKL melalui pemaparan ciri-cirinya sebagai berikut :

1. Merupakan pedagang yang kadang-kadang juga sekaligus berarti produsen

2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stand yang tidak permanen serta bongkar pasang) 3. Menjajakan bahan makanan, minuman atau barang-barang

konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran

4. Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atas jerih payahnya

5. Kualitas barang-barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak memiliki standar yang jelas

6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli umumnya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah


(22)

7. Usaha skala kecil bisa merupakan family enterprise, di mana ibu dan anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung

8. Tawar-menawar antara penjual dan pembeli merupakan ciri relasi yang khas pada usaha perdagangan kaki lima

9. Dalam melaksanakan pekerjaannya ada yang secara penuh, sebagian lagi melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang, dan ada pula yang melaksanakan secara musiman

10. Barang yang dijual biasanya merupakan convinience goods, jarang sekali speciality goods

11. Seringkali berada dalam suasana psikologis tidak tenang, diliputi perasaan takut kalau tiba-tiba kegiatan mereka dihentikan oleh Tim Penertiban Umum (Tibum) sebagai aparat pemerintah daerah.

PKL pada umumnya adalah self-employed, artinya mayoritas PKL hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang dimiliki relatif tidak terlalu besar, dan terbagi atas modal tetap, berupa peralatan, dan modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga keuangan resmi, tetapi biasanya berasal dari sumber dana ilegal atau dari supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan sumber dana yang berasal dari tabungan sendiri sangat sedikit. Hal ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya, disebabkan rendahnya tingkat keuntungan dan cara pengelolaan uang. Sehingga kemungkinan untuk mengadakan investasi modal maupun ekspansi usaha sangat kecil (Hidayat, 1978).

Mereka yang masuk dalam kategori PKL ini mayoritas berada dalam usia kerja utama (prime-age) (Soemadi, 1993). Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya keahlian tertentu menyebabkan mereka sulit menembus sektor formal. Bidang informal berupa PKL menjadi satu-satunya pilihan untuk tetap mempertahankan hidup. Walaupun upah yang diterima dari usaha PKL ini di bawah tingkat minimum, tapi masih jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan mereka di tempat asalnya.


(23)

Lokasi PKL sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelangsungan usaha para PKL, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula volume penjualan dan tingkat keuntungan. Secara garis besar kesulitan yang dihadapi oleh para PKL berkisar antara peraturan pemerintah mengenai penataan PKL belum bersifat membangun/konstruktif, kekurangan modal, kekurangan fasilitas pemasaran, dan belum adanya bantuan kredit (Hidayat,1978).

Dalam praktek, PKL sering menawarkan barang-barang dan jasa dengan harga bersaing atau bahkan relatif tinggi, bahkan terkesan menjurus ke arah penipuan. Hal ini tentu saja menimbulkan citra yang negatif tentang PKL. Adanya tawar-menawar antara penjual dan pembeli inilah yang menjadikan situasi unik dalam usaha PKL. Pada umumnya PK L kurang m emperhatikan masal ah lingkungan dan faktor hygiene sebagai produk sampingan yang negatif. Masalah lingkungan berkaitan erat dengan kepadatan, misalnya kepadatan lalu lintas maupun kepadatan tempat.

Hasil penelitian Purwanugraha dan Harsiwi (2002) menunjukkan bahwa menjadi PKL menjadi salah satu alternatif pekerjaan karena persaingan mencari kerja yang begitu ketat dan kurangnya keterampilan untuk memasuki dunia kerja di sektor formal.

2.2.2 Penelitian Terdahulu 1. Hasil Sensus PKL DKI Jakarta

a. Lokasi usaha

Dari 92.751 usaha kaki lima yang beroperasi di DKI, hanya 19.960 usaha yang beroperasi pada lokasi dengan status resmi atau sebesar 21,52% dari keseluruhan usaha. Sisanya sebanyak 72.791 usaha atau sebesar 78,42% merupakan usaha yang menempati lokasi tidak resmi atau lokasi liar.


(24)

b. Sarana tempat usaha

Sarana tempat usaha berperan sebagai tempat untuk menjajakan barang dagangan kaki lima. Sarana tempat usaha yang paling banyak digunakan oleh para pengusaha kaki lima adalah meja sejumlah 18.731 usaha atau sekitar 20,19%, kemudian kios sebanyak 18.169 usaha atau 19,59% dan gerobak beroda menetap, gelaran menetap, serta tenda terpal/plastik dengan jumlah masing-masing usaha sebesar 17.686 usaha atau 19,07%; 15.795 usaha atau 17,02%; dan 12.260 usaha atau 13,22%.

c. Jenis kegiatan utama

Jika diamati menurut kegiatan utama usaha kaki lima berdasarkan kategori usaha, yang terbanyak adalah penjual produk pertanian, seperti: penjual sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias, ikan hias, dan sejenisnya dengan jumlah usaha mencapai 25.012 usaha atau sebesar 26,97% dari populasi usaha kaki lima. Usaha penjual makanan/minuman proses menjadi yang t er b a n ya k k e d u a d e n g a n j u m l a h us a h a 2 3. 1 8 9 u s a h a at a u 2 5% , p e d a g a n g makanan/minuman jadi, termasuk rokok dengan jumlah usaha 13.376 usaha atau 14,42%, pedagang perkakas/perabot rumah tangga sebanyak 9.667 usaha atau sebesar 10,42%.

d. Modal usaha

Modal sering kali menjadi penghambat bagi sebagian besar pengusaha pada saat akan memulai ataupun jika ingin mengembangkan suatu usaha. Informasi yang diperoleh dari pengusaha kaki lima, sebagian besar modal mereka berasal dari milik sendiri yang berjumlah 58.902 usaha atau sebesar 63,51% dari populasi, kemudian yang berasal dari pinjaman sebanyak 4.594 usaha atau sebesar 4,95%. Sisanya berasal dari hibah maupun Iainnya.


(25)

e. Penggunaan tempat usaha

PKL yang menempati lokasi usaha di badan jalan sebesar 31,05%, di trotoar sebesar 28,64%, 15,91% di halaman pasar/pertokoan, u 7,14% menempati lahan/lahan kosong, dan sisanya menempati lainnya seperti terminal bus, jalur hijau/taman halte dan sebagainya.

f. Kepemilikan KTP

Hampir separuh dari keseluruhan pengelola usaha kaki lima yang beroperasi di wilayah DKI Jakarta, atau sebanyak 39.238 pengusaha atau sebesar 42,30% bukan merupakan pemegang kartu tanda penduduk (KTP) DKI Jakarta, sebesar 4,10% Pemegang Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM), pemegang kartu tanda penduduk (KTP) daerah sebesar 36,42%, dan tidak memiliki KTP sebesar 1,78%. Data ini menunjukkan betapa besar beban sosial (social cost) yang harus ditanggung oleh Pemda DKI Jakarta untuk menanggulangi dampak negatif dari keberadaan usaha-usaha kaki lima, padahal pengusahanya berasal dari daerah lain di luar Jakarta.

g. Tingkat pendidikan

Sebagian terbesar dari PKL yaitu sebanyak 48,33% berpendidikan SD, 28,78% SLTP, dan 21,17% berpendidikan SLTA. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan PKL cukup rendah. Rendahnya pendidikan para pengelola usaha kaki lima memberikan cerminan bagaimana komitmen para pelaku usaha ini terhadap penggunaan ruang publik yang mereka pakai seperti kesadaran terhadap pemeliharaan kebersihan, munculnya kemacetan lalu lintas dan pemahaman atas hak penggunaan lahan yang dipakai untuk berusaha.


(26)

h. Akses terhadap pendukung usaha, kendala, dan prospek usaha

Sebagian terbesar PKL yaitu 94,69% tidak pernah mengikuti pembinaan, sisanya 5,31% yang pernah mengikuti pembinaan. Kelompok yang terakhir ini sebagian terbesar pembinaannya dilakukan oleh pemerintah daerah.

Rendahnya persentase jumlah usaha kaki lima yang pernah mengikuti pembinaan, tentu berkorelasi sangat kuat terhadap rendahnya pemahaman para PKL tentang penggunaan ruang publik (public area) yang dimanfaatkan untuk usaha. Padahal penggunaan ruang publik ini menimbulkan beban sosial (social cost) bagi pemerintah daerah maupun masyarakat Jakarta.

Usaha pembinaan PKL akan menjadi efektif jika dilakukan melalui kelompok atau organisasi. Ternyata sebagian terbesar dari PKL tidak menjadi anggota kelompok/organisasi kaki lima yang jumlahnya mencapai 84.802 usaha atau sebesar 91,43%. Data ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil saja dari mereka yang menjadi anggota kelompok/organisasi kaki lima.

i. Hambatan Yang Dihadapi.

Hambatan secara konseptual didefinisikan sebagai suatu keadaan atau situasi yang secara langsung memberi pengaruh negatif terhadap kelancaran operasi atau perkembangan kinerja usaha. Hambatan dapat berasal dari faktor eksternal maupun dari faktor internal perusahaan. Banyaknya usaha yang menyatakan kekurangan modal sebagai hambatan berjumlah 49.635 usaha atau 53,51% dari keseluruhan usaha; lokasi usaha tidak strategis sebanyak 7.256 usaha atau 7,83%; kurang memahami manajemen pengelolaan usaha sebanyak 1.966 usaha atau 2,12%; persaingan usaha sangat ketat sebanyak


(27)

26.006 usaha atau 28,05%; sarana usaha kurang/tidak memadai sebanyak 8.497 usaha atau 9,16%; dan lain-lain hambatan sebanyak 17.702 usaha atau 19,09% dari keseluruhan usaha.

j. Pengetahuan tentang peraturan daerah

Kecilnya jumlah pengusaha kaki lima yang mengetahui adanya peraturan daerah (perda) yang secara khusus mengatur usaha kaki lima dan ketertiban umum, tentu merupakan sinyal yang mengindikasikan besarnya beban pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk mensosialisasikan perda dimaksud, sehingga substansi dari keberadaan perda dapat tercapai secara efektif. Sebagian terbesar dari PKL yaitu 85,07% belum mengetahui tentang perda ketertiban, sedang yang sudah mengetahui hanya berjumlah 14,93%. Ini membuktikan bahwa pemda belum atau tidak pernah memberikan sosialisasi langsung kepada PKL mengenai perda ketertiban.

k. Tenaga kerja

Jumlah pekerja yang berhasil ditampung usaha kaki lima berjumlah 139.394 pekerja, yang terdiri atas 99.648 pekerja laki-laki dan 39.746 pekerja perempuan. Dari data ini menunjukkan bahwa rata-rata jumlah tenaga kerja pada usaha kaki lima adalah 1,5 orang. Ditinjau dari status ketenaga-kerjaan, ternyata para pekerja usaha kaki lima didominasi oleh pekerja tidak dibayar, yakni mencapai 116.996 pekerja atau sebesar 89,93%. Hanya sebanyak 22.398 pekerja atau sebesar 16,07% yang merupakan pekerja dibayar. Ini membuktikan bahwa sebagian terbesar dari pekerja usaha kaki lima adalah pemilik itu sendiri.

l. Omzet perhari

Omzet atau nilai penjualan merupakan indikator yang sangat relevan menunjukkan kinerja usaha. Untuk berbagai jenis


(28)

usaha, omzet memberikan pengertian yang agak berbeda. Bagi usaha perdagangan, omzet diartikan sebagai nilai penjualan kotor (gross sales). Bagi usaha yang bergerak dalam bidang produksi, omzet merupakan penjualan dari nilai barang yang diproduksi. Sebagian besar PKL yaitu 59,68% memiliki omzet harian sebanyak 100-500 ribu per harian, dan 29,81% memiliki omzet di bawah 100 ribu per hari, sedang sisanya memiliki omzet lebih dari 500 ribu per hari. Dari uraian tersebut, walaupun pengertian omzet nampaknya berbeda untuk beberapa sektor sesuai kegiatannya, namun pengertian omzet secara substansial tidak berbeda secara signifikan.

Dari hasil sensus PKL tahun 2005 dapat diketahui tentang omzet yang diterima mereka rata-rata per hari. Kelompok yang memiliki omzet per hari di bawah Rp 250.000, rata-rata pekerja per usaha adalah 1,33 orang. Rata-rata ini secara konsisten meningkat mengikuti kelompok omzet. Untuk kelompok omzet Rp 250.000 sampai Rp 500.000, rata-rata tenaga per usaha mencapai 1,68 orang dan 1,98 orang untuk kelompok omzet yang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000, serta 2,62 orang untuk usaha yang mempunyai omzet satu juta ke atas. Usaha kaki lima yang berlokasi di Jakarta Utara lebih bersifat labour intensive, dibandingkan usaha kaki lima di empat kota lainnya. Sedangkan usaha yang menggunakan tenaga kerja secara rata-rata terkecil adalah usaha kaki lima yang terdapat di Jakarta Barat dengan rata-rata 1,40 pekerja per usaha.

m. Jumlah hari kerja perbulan

Sebagian terbesar yaitu 92,45% jam kerja PKL memiliki jam kerja 23-31 hari, dan sisanya 7,54% kurang dari 23 hari kerja. Ini membuktikan bahwa PKL hampir setiap hari melakukan kegiatan usahanya.


(29)

n. Keinginan berganti pekerjaan

Sebagian besar pengusaha ternyata punya keinginan untuk beralih profesi. Pernyataan ini diungkapkan oleh 83.979 pengusaha atau sebesar 90,57% terhadap keseluruhan pengusaha kaki lima, sisanya sebanyak 8.772 pengusaha atau sebesar 9,43% tidak mempunyai keingi nan untuk beral ih prof esi. Dari mereka yang bersedia untuk beral ih prof esi , dilatarbelakangi oleh berbagai penyebab, dan yang terutama adalah akibat kekurangan modal dan persaingan antar pengusaha kaki lima yang mereka rasakan sudah sangat ketat.

2. Hasil Penelitian Universitas Pejajaran (1985). a. Berdasarkan lokasi tempat usaha

Hasil penelitian empirik di berbagai kota, khususnya di DKI Jakarta menunjukkan bahwa pedagang yang bergerak di sektor informal, khususnya PKL mempunyai karakteristik yang bermacam-macam sehingga perlu dirumuskan secara konsepsional. Perumusan ini sangat penting dilakukan untuk mempermudah dan memperjelas dalam melakukan pembinaannya. Pada Gambar 1. diperlihatkan tentang tipologi dari Lokasi Usaha PKL di DKI Jakarta berdasarkan letak tempat usahanya. Pedagang dapat dibedakan ke dalam dua golongan besar, yaitu pedagang yang bergerak di sektor formal dan di sektor informal. Pedagang yang bergerak di sektor informal dapat dibagi menjadi PKL berkeliling dan PKL menetap. PKL berkeliling adalah PKL yang menjajakan barang dagangannya dengan cara mendatangi konsumen, sedangkan PKL menetap adalah PKL yang menjajakan barang dagangannya dengan cara menunggu konsumen (menetap). Di DKI Jakarta, untuk PKL yang berkeliling saat ini sudah tidak diperkenankan lagi melakukan operasinya. Mereka digiring untuk lebih tertib dan teratur dengan cara


(30)

merelokasi atau melokalisirnya. Dengan demikian, unit observasi yang dilakukan dalam studi ini adalah PKL yang menetap.

Dalam kenyataannya PKL menetap ini dapat diidentifikasikan ke dalam PKL yang letak usahanya di pasar tertutup dan yang di pasar terbuka. Pengertian pasar tertutup adalah pasar yang telah dibangun secara permanen atau semi permanen serta secara formal telah diakui oleh pemerintah. Walaupun di sini mungkin pedagang tersebut tidak selalu menempati bangunan pasar yang telah ada, tetapi juga emperan-emperan toko, pada halaman pasar dan lain-lain, misalnya saja pada pasar Senen, pasar Blok M, pasar-pasar Inpres dan lain-lain. Sedang pasar terbuka adalah pasar-pasar yang dibangun atau digunakan secara darurat, misalnya saja lokalisasi PKL resmi, yang banyak dijumpai pada trotoar-trotoar jalan, taman, di atas saluran air, lapangan parkir, jalan yang digunakan untuk pasar hanya pada sore atau malam hari dan lain sebagainya.

PKL yang berada di pasar tertutup menjual barang dagangannya pada kios-kios atau jongko, baik yang telah menggunakan tenda atau tidak. Sedang pada pasar terbuka selain yang menjual barang dagangannya pada kios-kios dan jongko, juga ditemui yang menjajakan barang dagangannya begitu saja di atas lahan, dengan atau tanpa menggunakan alas untuk tempat barang dagangannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PKL yang telah menggunakan kios dalam berdagang, hanya ditemui PKL pemilik dan PKL setengah pemilik, sedangkan yang berdagang dengan menggunakan jongko ditemui tiga macam status pemilikan, yaitu PKL pemilik, PKL setengah pemilik dan PKL non-pemilik.


(31)

! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! !

Gambar 1 Tipologi PKL Berdasarkan Lokasi tempat Usaha b. Berdasarkan status kepemilikan

Secara umum dapat dilihat bahwa pedagang ada yang berstatus ”formal" dan ada yang "informal". Keduanya mempunyai karakteristik yang berbeda, dan yang menonjol adalah bahwa yang disebutkan ”pedagang formal” pada umumnya sudah mendapat "sentuhan" kebijaksanaan pemerintah sedangkan ”pedagang informal” pada umumnya belum.

Dengan menelusuri aktivitas para PKL di DKI Jakarta telah pula ditemukan tiga (klasifikasi) status kepemilikan antara lain; (1) PKL pemilik, (2) PKL setengah pemilik dan (3) PKL non pemilik. PKL yang pemilik adalah PKL yang memiliki seluruh ba-rang dagangannya, baik milik sendiri sepenuhnya maupun

"#$%$%&'! ! (#&#)*+ ! ,#-)./!0./1*$ ! ,#-)./! 2&3./1*$! ! 4*5*/! 6#/78-* ! 4*5*/! 6#/)8)8+ ! 9%:*1+*/-*& ! "%.5 ! ;.&'-.< 6#&=*! ! ;.&'-.! ! "%.5

! ,#)#&'*:!4#1%$%-! 4#1%$%-! ,#)#&'*:!4#1%$%-! ! >.&!4#1%$%-! 4#1%$%-! ,#)#&'*:!4#1%$%-! ! >.&!4#1%$%-! 4#1%$%-! ,#)#&'*:!4#1%$%-! ! >.&!4#1%$%-! 4#1%$%-! ,#)#&'*:!4#1%$%-! ! >.&!4#1%$%-! 4#=*'*&'! !


(32)

bersama-sama keluarga atau temannya. PKL yang berstatus setengah pemilik di mana sebagian barang yang dijualnya milik sendiri sedangkan yang lainnya milik orang lain. Mengenai milik orang lain ini dapat dibedakan lagi menjadi barang komisi dan konsinyasi. Barang komisi adalah barang dagangan di mana yang menjual hanya memperoleh imbalan dalam persentase, baik persentase tetap maupun tidak tetap. Jenis barang yang disebutkan tadi pada umumnya apabila tidak laku dijual barang tersebut dapat dikembalikan. Namun pada jenis barang konsinyasi, kalau barang tersebut tidak habis terjual maka sisa barang tidak dapat dikembalikan, dan ada yang dapat dikembalikan tapi hanya sebagian saja. Sedangkan PKL non pemilik adalah bilamana seluruh barang yang dijualnya bukan miliknya sendiri, di mana barang yang dijual ada yang merupakan barang komisi, dan ada pula barang konsinyasi.

! ! ! ! ! ! !

"#$%&%'&

"#()*)+

,-'!"#()*)+ .#/#'&%0

"#()*)+

1)*)+!2#34%(% 1)*)+!.#'$)3)

2)4%!5)+#(6%*)+%' .#6%&)%'

7)$%+!2)4%!5)+#(6%*)+%' "3-4#'/%4#!7)$%+!7#/%8 "3-4#'/%4#!7#/%8

2)4%!5)+#(6%*)+%' .#6%&)%'

7)$%+!2)4%!5)+#(6%*)+%' "3-4#'/%4#

7)$%+!7#/%8 "3-4#'/%4#!7#/%8 9-'4)':%4)

9-()4)

9-'4)':%4) 9-()4)

.#+/-3! ;-3(%* .#+/-3!<'=-3(%*


(33)

Gambar 2 Tipologi PKL Berdasarkan Status Kepemilikan Tempat Usaha

c. Pertumbuhan tak terhentikan

Kehadiran PKL dipandang sebagai masalah perkotaan bukanlah hal baru. Di Jakarta telah muncul sejak masa pemerintahan kolonial. Itulah sebabnya muncul Peraturan Tata Tertib Umum Jakarta Raya Tahun 1942, yang melarang digunakannya tempat-tempat umum seperti trotoar, badan jalan, jalur hijau, taman dan lain sebagainya sebagai tempat berusaha.

Tidak ada laporan berapa jumlah PKL pada saat itu, sehingga dipandang telah mengganggu ketertiban kota. Namun, seperti dilaporkan Wertheim,2 selama akhir tahun 1930-an Batavia telah mengalami pertambahan penduduk yang sangat pesat melalui arus migrasi. Migrasi yang "berlebihan" itu telah menimbulkan berbagai persoalan perkotaan, seperti kemiskinan, kekumuhan dan lain sebagainya, dan pada kenyataannya sektor informal telah menjadi dan merupakan cara kaum miskin untuk tetap dapat survive di kota.

Jumlah PKL di Jakarta secara resmi baru diketahui pada tahun 1978. Pada saat itu, melalui pencacahan, jumlah PKL di Jakarta sebanyak 88.497 orang/unit usaha. Pencacahan tersebut merupakan yang pertama untuk kota-kota di Indonesia. Di Surabaya, kota terbesar kedua, baru melakukan pencacahan pada tahun 1985, sedang di kota-kota lain tidak ada yang lebih awal dari tahun tersebut. Pada tahun itu jumlah PKL di Surabaya diketahui telah mencapai 18.931 orang/unit usaha (Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan, 1994).

Jumlah PKL tersebut tentunya merupakan akumulasi dari pertumbuhan tahun ke tahun. Dengan demikian, berarti sejak masa kolonial, meskipun ada pelarang, jumlah PKL terus


(34)

bertambah. Bahkan pada pencacahan kedua, tahun 1985, yakni delapan tahun kemudian, setelah pencacahan pertama, jumlah PKL di Jakarta telah berkembang menjadi 91.339 orang/unit usaha, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8% pertahun. Sedangkan di Surabaya pada pencacahan kedua, tahun 1986, diketahui jumlahnya telah berkembang menjadi 19.898 orang/unit usaha, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 5% pertahun.

Angka-angka pertumbuhan tersebut cukup mengejutkan. Pertumbuhan itu, di Jakarta pada tahun yang sama, ternyata jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan di sektor formal, yaitu sebesar 4,21%; begitu pula di Surabaya, pertumbuhan di sektor formal jauh lebih rendah. Padahal sektor formal perkembangannya mendapat dorongan secara terus menerus dari pemerintah melalui berbagai kebijakan. Sebaliknya, sektor informal, sejak pencacahan pertama, pertumbuhannya sengaja dihambat dan dikendalikan.

PKL ditekan pertumbuhannya melalui berbagai cara, diasingkan dari konsumennya dan disingkirkan dari tempat hidupnya. Terhadap konsumennya, oleh pemda, diciptakan suatu iklim yang merangsang meningkatnya filosofi dan cara berpikir atas pentingnya mutu dan pelayanan yang baik, sehingga diharapkan nantinya konsumen (masyarakat) akan meninggalkan kaki lima.

Areal tempat usahanya juga dibatasi. Lokasi PKL yang telah ditetapkan (resmi) pada tahun 1985 sebanyak 458 lokasi atau 20 Ha, ternyata oleh pemda sedapat mungkin tidak diperbanyak lagi. Lokasi-lokasi itu, meskipun legalitasnya b e r d a s a r k a n p a d a S u r a t K e p u t u s a n G u b e r n u r , n a m u n s t a t u s pemakaiannya bersifat sementara, yang sewaktu-waktu dapat dicabut kembali. Pencabutan legalitas


(35)

lokasi itu dilakukan apabila lokasi tersebut diperlukan untuk suatu keperluan resmi atau untuk sektor formal, misalnya pembangunan gedung, pelebaran jalan dan lain sebagainya, termasuk keperluan-keperluan atas alasan guna menciptakan keindahan lingkungan setempat. Pada tahun 1990 luas areal tersebut ternyata sudah berkurang, tinggal 368 lokasi, dan pada tahun 1991 menurun lagi tinggal 361 lokasi (Biro Bangproda DKI Jakarta, 1985).

Pertumbuhan PKL juga dikekang melalui cara-cara yang dapat disebut "kekerasan", yaitu cara-cara yang lazim dikenal dengan sebutan "penertiban PKL". Intensitas pengendalian dengan cara ini sangat tinggi karena wewenangnya diberikan kepada banyak pihak. Di Jakarta dan Surabaya, hak melakukan penertiban bisa dilakukan oleh lebih dari satu instansi yang pelaksanaannya tergabung dalam satu tim. Namun ditemukan beberapa kasus beberapa instansi melakukannya secara terpisah; bahkan ditemukan banyak oknum petugas keamanan di tingkat kecamatan juga melakukan razia.

Namun apakah dengan cara-cara pengendalian seperti itu jumlah PKL menjadi berkurang. Pada tahun 2001, di Jakarta dilakukan pencacahan ulang PKL yang jumlahnya telah mencapai 141.073, kemudian disusul pencahahan berikutnya tahun 2005, dan jumlahnya turun drastis menjadi 92.751, yang berarti mengalami penurunan sekitar 30%. Ini membuktikan bahwa pemerintah Provinsi DKI sangat serius dalam pengendalian PKL melalui penertiban yang dilakukan selama lima tahun tersebut. Penertiban atau penggusuran PKL terlihat pada lokasi sentra-sentra PKL di Senen, Cawang, Lahan Abang, Kebayoran Lama, Cengkareng, dan sebagainya. Namun pada lokasi-lokasi tertentu dengan jumlah PKL yang tidak banyak pun dilakukan penertiban, terutama terhadap PKL yang menempati


(36)

badan jalan dan trotoar. Ada kecenderungan bahwa pemrintah DKI Jakarta akan membatasi dan mengurangi jumlah lokasi resmi PKL. Sebagai contoh adalah lokasi resmi Jl. Barito yang akan dihapus dan pedagangnya harus pindah dari lokasi tersebut. Namun di lain pihak pemerintah DKI Jakarta kurang memberikan menyediakan lahan-lahan baru untuk penampungan PKL yang terkena penertiban. Keadaan ini juga terjadi pada daerah-daerah lain seperti Bekasi dan Bogor, di mana PKL digusur tetapi tidak disediakan lokasi baru sebagai penggantinya. Upaya menghambat pertumbuhan PKL melalui pembatasan luas lokasi binaan dan lokasi resmi sebanyak 19.960 PKL, sementara jumlah PKL tidak resmi jauh lebih besar, yaitu sebanyak 72.791 unit. Akibatnya banyak PKL yang menem pati usaha mereka tumpah kem ana-mana dan merambah ke seluruh sudut wilayah ibu kota ini. Dari pengam atan lapangan di lim a wilayah DKI Jakarta juga diketahui bahwa ada satu pun wilayah kelurahan yang bebas dari PKL.

Keadaan di Surabaya tidak se-fantastis di Jakarta karena juml ah PK L di kota ini masih jauh di bawah Jakarta. Namun pertumbuhan yang terus menerus juga tidak dapat dihentikan. P emda Surabaya mencoba mem batasi pertumbuhan PK L dengan hanya memberikan izin sebayak 59 lokasi (sentra) sebagai lokasi resmi dari sekitar 100 lokasi atau sentra PKL. Akan tetapi, dari tahun ke tahun ternyata sentra-sentra PKL terus bermunculan, dan tahun 1991 diperkirakan jumlahnya telah mencapai 33.000 orang/unit usaha, melampaui angka pertumbuhan tahun 1985 sebesar 5% pertahun.

Secara struktural, pertumbuhan PKL atau sektor informal hampir mustahil dapat ditahan sebab kehadirannya memang


(37)

dibutuhkan oleh warga kota yang miskin atau yang berpenghasilan rendah, termasuk mereka yang bekerja di sektor formal sendiri. Sebagai ekonomi bazaar,7 pertumbuhan ekonomi sektor informal pada dasarnya tidak hanya ditentukan oleh faktor penawaran, namun faktor pasar tenaga kerja juga ikut menentukan. Sektor ekonomi ini memiliki kemampuan penyerapan tenaga kerja yang hampir tidak ada titik jenuhnya. Berbeda dengan sektor pertanian yang dapat melahirkan pemiskinan bersama (shared poverty) melalui proses involusi. Pada sektor ekonomi ini, meskipun tenaga kerja masuk secara terus menerus, namun tidak akan terjadi pemiskinan bersama, para pekerja di sektor ekonomi ini tetap mendapatkan keuntungan relatif dari kegiatan usahanya, sebesar apapun jumlah tenaga kerja yang terlibat di sini. Hal ini disebabkan pada ekonomi perdagangan terdapat sifat dinamis yang terjadi karena kegiatan pertukarannya. "kue" yang ada di sektor ini tidak akan habis akibat tenaga kerja yang masuk berlangsung secara terus menerus, sebaliknya, karena mereka juga menjadi konsumen pada sektor informal, potensi pasar sektor ekonomi ini justru akan menjadi semakin besar. Dengan demikian, jumlah sektor informal juga akan terus berkembang.

Manajemen usaha PKL mencakup asal barang dagangan, penentu harga barang dagangan, kelayakan harga barang dagangan, sikap terhadap pembeli, pengelolaan hasil usaha, waktu berjualan sekarang. Sedangkan pengelolaan modal usaha PKL mencakup sumber modal usaha, asal modal usaha, jumlah modal usaha awal, taksiran nilai barang dagangan dan peralatan, pendapatan bersih rata-rata perbulan, banyaknya kebutuhan dari penggunaan pendapatan bersih rata-rata perbulan, dan hambatan pengelolaan modal usaha.


(38)

Asal barang dagangan yang diperdagangkan oleh PKL sebagian besar dibeli dari orang lain dan adanya pemasok tetap. Harga barang dagangan sebagian besar ditentukan oleh penjual, berarti penjual masih mempunyai 'kekuatan' dalam manajemen usahanya, khususnya menyangkut penentuan harga jual. Namun demikian, penentu harga barang dagangan berikutnya adalah penjual dan pembeli. Dalam hal ini, harga ditentukan melalui proses tawar-menawar di antara kedua belah pihak, sampai tercapai harga keseimbangan (equilibrium) yang disepakati keduanya. Tawar-menawar di antara penjual dan pembeli merupakan ciri relasi yang khas dalam usaha perdagangan para PKL.

Harga barang dagangan yang berlaku saat ini masih dianggap layak. Kelayakan harga jual barang dagangan ini menjadi faktor penting bagi PKL untuk tetap bertahan dalam pekerjaan tersebut. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan harga yang diberikan kepada pembeli terlalu tinggi, sehingga terkesan menipu pembeli.

Sikap PKL terhadap pembeli cukup bervariasi. Sebagian PKL berusaha untuk menarik perhatian pembeli, namun sebagian lainnya bersikap terserah kepada calon pembeli dalam arti tidak memaksa calon pembeli.

Hasil usaha pada umumnya dikelola sendiri (self-employed), cukup dengan satu orang tenaga kerja, artinya PKL cenderung tidak tergantung pada bantuan pihak lain. Kemandirian PKL ini sebenarnya salah satu ciri sektor informal di perkotaan. Hanya sebagian kecil hasil usaha yang dikel ola bersam a orang lain. Bukti di lapangan ini menunjukkan PKL menunjukkan sifat-sifat khas "one-man enterprise" dan "family enterprise".


(39)

Pada umumnya waktu berjualan PKL di kawasan Malioboro antara 6 sampai 12 jam setiap harinya. Mayoritas PKL berjualan selama 12 jam atau setengah hari kerja karena waktu tersebut telah dianggap cukup untuk berusaha di sektor informal ini. Namun tidak tertutup kemungkinan apabila sebagian PKL mempunyai pekerjaan sampingan, meskipun jumlah PKL jenis ini tidak banyak.

Sebagian besar PKL menggunakan modal sendiri sebagai modal usahanya, sehingga dapat dikatakan dalam melakukan usahanya PKL tidak membutuhkan modal yang relatif besar dan tidak perlu meminta bantuan orang/pihak lain. Mayoritas PKL juga menyatakan modal usaha yang digunakan berasal dari tabungan sendiri, berarti PKL mengandalkan kemampuan sendiri dalam memulai usahanya.

Sebagian besar PKL tidak mengalami hambatan dalam pengelolaan modal usahanya, sebagian lainnya mempunyai berbagai hambatan pengelolaan, seperti modal tidak mencukupi, kurang menguasai pengelolaan modal, dan sulitnya mencari pinjaman. Ketidakmampuan PKL dalam pengelolaan modal menyebabkan kurangnya kepercayaan pihak lain seperti tercermin dalam kesulitan mencari pinjaman modal usaha.

Sikap PKL yang biasa menyerahkan keputusan harga kepada calon pembeli dan di saat lain berusaha menarik pembeli telah menjadi ciri khas PKL bukan karena krisis ekonomi, artinya PKL telah mampu menyikapi calon pembeli sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi. Sementara itu, sebagian kecil PKL yang berusaha menarik perhatian pembeli menyatakan sikap itu diambil agar dapat meningkatkan omzet penjualannya di masa krisis ekonomi ini.


(40)

Pengelolaan usaha PKL yang dibantu orang lain, dikelola sendiri, dan bersama orang lain. Fenomena ini menunjukkan PKL yang diajak orang lain untuk berusaha di bidang ini cenderung mengelola usahanya bersama orang lain juga. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko dalam manajemen usaha dan pengelolaan modal yang mungkin harus ditanggung oleh PKL.

Keberadaan organisasi PKL berupa koperasi atau paguyuban sangat diperlukan mengingat luasnya areal usaha dan banyaknya pedagang yang mencari penghidupan di kawasan tersebut. Selain itu, organisasi diperlukan untuk ikut menciptakan ketertiban dan keamanan, sehingga citra positif tentang kawasan Malioboro harus selalu dipertahankan.

Pesatnya perkembangan usaha PKL di kawasan Malioboro dapat meningkatkan kemakmuran PKL itu sendiri, namun dapat juga menimbulkan efek samping yang sering merusak citra kawasan. Perilaku PKL liar yang tidak menjadi anggota satu organisasi dan tidak mempunyai kapling tempat, mau tidak mau berimbas kepada anggota-anggota organisasi PKL dan dapat merugikan usaha PKL yang resmi menjadi penghuni kawasan tersebut. Karena itu, diperlukan kesamaan gerak dan langkah PKL melalui keberadaan organisasi-organisasi PKL. Pemberdayaan melalui organisasi PKL perlu diupayakan. Perhatian organisasi PKL kepada anggota cukup besar, namun demikian perhatian yang diberikan belum optimal karena masih sebatas mengorganisir dan mengatur keberadaan PKL dan mampu melakukan pemberdayaan PKL.


(1)

b. Untuk mewujudkan kebersihan, kerapian dan keindahan tempat usaha serta keamanan sebagaimana dimaksud ayat (a) pasal ini, Walikota Kepala Daerah menetapkan persyaratan-persyaratan lebih lanjut

2. Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan PKL. Bab II Larangan Tempat Berusaha Pedagang Kaki Lima

Pasal 2, ayat a dan b, menyebutkan bahwa :

a. untuk menjaga kertertiban, keamanan, ketentraman dan kebersihan di kota Surakarta, dilarang menggunakan tempat-tempat atau fasilitas umum termasuk parit, tanggul, taman kota, jalur hijau, cagar budaya, monumen, sekolah Taman Pahlawan, sekitar bangunan Tempat Ibadah sebagai tempat kegiatan usaha Pedagang Kaki Lima.

b. Selain tempat-tempat yang dilarang sebagaimana tersebut ayat (1) Pasal ini, Jl.Jenderal Sudirman dilarang sebagai tempat Usaha Pedagang Kaki Lima.

Pasal 3, ayat a dan b, menyebutkan bahwa:

a. Untuk Alun-alun dan lapangan olah raga, pada acara-acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan atau Pihak Swasta yang telah mendapat izin dari Walikota, dapat digunakan berjualan Pedagang Kaki Lima dengan ketentuan setelah acara selesai harus bersih dari Pedagang Kaki Lima.

b. Dalam menetapkan tempat-tempat atau fasilitas umum dan sebagainya Walikota mempertimbangkan kepentingan sosial, ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan, dan kesehatan serta keindahan.


(2)

C. Pontianak

Peraturan daerah kota Pontianak mengenai PKL tercantum dalam,

Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 4 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Pasar.

Bab I Ketentuan Umum,

Pasal 1, menyebutkan bahwa :

Pedagang kaki lima adalah perorangan yang melakukan penjualan pada pinggir jalan atau suatu tempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dengan menggunakan gerobak, meja, tenda yang harus dialihkan dan/atau dibongkar setelah selesai waktu berjalan.

Bab II Nama, Obyek, Subyek dan Golongan Retribusi Pelayanan Pasar, Pasal 3, menyebutkan bahwa :

Obyek retribusi Pelayanan Pasar adalah setiap penggunaan pasar dan Tempat Perdagangan Umum yang disediakan oleh Pemerintah Daerah seperti :

f. Pasar Tradisional termasuk di dalamnya kios dan los g. Pertokoan

h. Toko di dalam maupun di luar kawasan

i. Pedagang kaki lima termasuk didalamnya gerobak, tenda, bakulan, hamparan baik di dalam maupun di luar kawasan pasar yang diizinkan oleh Pemerintah Daerah

Bab IV Jenis, Struktur Besarnya Tarif Retribusi Pasar, Pasal 10, ayat 1, poin e, menyebutkan bahwa :

(2) Besarnya tarif retribusi pasar bagi orang pribadi atau badan yang berdagang/berusaha pada toko milik Pemerintah Daerah ditetapkan sebagai berikut :

j. Pedagang kaki lima (bakulan, hamparan) di dalam maupun di luar kawasan pasar dan pasar tradisional sebesar Rp 1.000/hari.


(3)

D. Mataram

Peraturan daerah kota Mataram mengenai PKL tercantum dalam,

Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pedagang Kaki Lima.

Bab I Ketentuan Umum

Pasal 1, ayat f dan g, menyebutkan bahwa :

f. Pedagang Kaki Lima adalah perorangan yang melakukan penjualan barang dan atau jasa dengan menggunakan bagian jalan / trotoar dan tempat-tempat untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya yang dalam melakukan kegiatan usahanya menggunakan sarana /perlengkapan yang mudah di bongkar pasang.

g. Retribusi pedagang kaki lima adalah pungutan uang yang dikenakan pada setiap pedagang kaki lima yang menggunakan fasilitas umum.

E. Makassar

Peraturan daerah kota Makasar mengenai PKL tercantum dalam,

Peraturan Daerah Kota Makasar nomor 4 Tahun 2005 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja.

Bab V Tugas Pokok Dan Fungsi Jabatan, Bagian Pertama, Asisten Bidang Pemerintahan, Sekretariat Daerah Kota Makassar

Pasal 13, ayat 2, poin f disebutkan bahwa :

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bagian Perekonomian dan Pembangunan menyelenggarakan fungsi : Penyiapan bahan bimbingan dalam rangka mengumpulkan dan mengelola data dari dampak pembangunan serta menyusun bahan laporan dampak dari pembangunan termasuk pedagang kaki lima;


(4)

Bab III Perizinan

Pasal 4 menyebutkan bahwa :

(1) Setiap Pedagang Kaki Lima sebelum menjalankan kegiatan usahanya wajib mendapatkan Izin terlebih dahulu dari Kepala Daerah.

(2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pedagang Kaki Lima mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah dengan syarat-syarat sebagai berikut.

a. foto kopy KTP yang masih berlaku sebanyak 1 (satu) lembar; b. pas foto ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar; dan

c. foto kopy keanggotaan salah satu organisasi pedagang kaki lima sebanyak 1 (satu) lembar.

(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Kepala Daerah dapat mempertimbangkan untuk menerbitkan izin. (4) Atas diterbitkannya izin tidak dipungut biaya.

Bab IV Kriteria Pedagang Kaki Lima Pasal 9, menyebutkan bahwa :

Rancang bangun / konstruksi bangunan tempat usaha Pedagang Kaki Lima harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. mudah dibongkar pasang (knock down);

b. atap I penutup terbuat dari bahan terpal atau sejenisnya; dan c. ukuran maksimal adalah 3 x 5 meter.

Pasal 13, menyebutkan bahwa :

(1) Untuk kepentingan kemasyarakatan dan untuk kepentingan pembangunan daerah dengan pertimbangan yang lebih luas, Kepala Daerah dapat mengatur kembali dan memindahkan lokasi usaha Pedagang Kaki Lima ke lokasi lain baik untuk sementara waktu maupun permanen/tetap.

(2) Pemindahan lokasi sebagaimana dimaksud ada ayat 1 (satu) dillakanakan dengan menyampaikan pemberitahuan 1 (satu)


(5)

(3) Dalam melakukan pengaturan kembali dan pemindahan sebagaimana dimaksud pada awat 1 (satu). Kepala Daerah mempertimbangkan masukan-masukan dan organisasi pedagang

Bab V Subyek dan Obyek Retribusi Pasal 16, menyebutkan bahwa :

(1) Obyek retribusi adalah pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Pedagang Kaki Lima.

(2) Subyek retribusi adalah setiap Pedagang Kaki Lima yang mendapat pelayanan dari pemerintah daerah.

(3) Subyek retribusi sebagaimana dimaksud pada awal (2) merupakan wajib retribusi.

Bab VI Ketentuan Retribusi Pasal 17, menyebutkan bahwa :

(1) Atas dasar pemberian pelayanan kepada Pedagang Kaki Lima dipungut retribusi

(2) Besarnya retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :

a. Golongan A ukuran 10 - 15 m2 Rp 1.500/perhari b. Golongan B ukuran 4 - 9 m2 Rp 1 .000/perhari c. Golongan C ukuran 2 – 3 m2 Rp 500/perhari

Bab VIII Larangan dan Kewajiban Pasal 21, menyebutkan bahwa :

Kepada setiap Pedagang Kaki Lima dilarang : a. bermalam / menginap pada lokasi usaha

b. memperluas lokasi usaha melebihi ketentuan maksimal; c. merubah konstruksi yang telah ditetapkan; dan atau d. memindahkan tempat usaha ke lokasi lain


(6)

Kepada setiap Pedagang Kaki lima diwajibkan untuk :

a. menyediakan tempat sampah sesuai dengan kebutuhan; b. menjaga kebersihan lingkungan sekitar

c. menjaga keindahan dan keserasian tempat usaha dan d. menjaga keamanan masing-masing