Menurut Nata’alui Duha yang disadur oleh Tim Penyusun Pusaka Nias dalam Media Warisan
, 2011:59-60, mengatakan bahwa rasa kepentingan kampung lebih utama dari pada hubungan kekerabatan.
Apapun akan dikorbankan untuk membela demi kehormatan kampung sendiri. Sesuatu yang terjadi pada
seseorang merupakan peristiwa bagi seluruh warga sekampung. Misalnya; salah seorang warga kampung A disakiti oleh warga kampung Z maka seluruh warga
kampung A akan turut membalasnya, demikian sebaliknya. Setelah musuh diserang maka kepala musuh yang sudah terpenggal dan para tawanan perang itu
dibawa pulang. Bilamana para serdadu pulang dengan membawa kemenangan, menjelang tiba dekat pintu gerbang kampung para prajurit mulai berarak-arakkan
sembari melagukan hoho kemenangan dan beberapa kepala musuh yang mereka gotong menyerahkannya kepada bangsawan kemudian mereka melakukan
perjamuan besar-besaran serta mengukuhkan para prajurit itu sebagai pahlawan kampung. Pada acara itu bangsawan memberikan rai-rai mahkota bahkan emas
batangan kepada masing-masing prajurit itu.
61
2.6.7. Arsitektur
Bagi masyarakat suku Nias, rumah adalah yang terpenting dalam proses kehidupan manusia dari kelahiran sampai kematian. Di dalam rumahlah manusia
dilahirkan, dibesarkan dan dididik supaya menjadi orang yang berguna di tengah- tengah masyarakat kelak. Membangun rumah artinya membangun harkat dan
61
Tim Penyusun, 2011, Pusaka Nias dalam Media Warisan, Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, Kumpulan Artikel dan Opini, hlm.59-60
Universitas Sumatera Utara
martabat bangsa melalui proses adat istiadat yang disebut dengan Orahua mbanua musyawarah kampung.
Pendirian rumah adat yang terdapat di desa-desa adat Maenamölö bukan sekedar sebagai monumental tetapi mengandung nilai kearifan dan rasional yang
dibangun dari bahan kayu tanpa menggunakan paku dan besi, atapnya terbuat dari anyaman daun rumbia sekaligus mampu menyiasati berbagai fenomena ancaman
alam serta ancaman musuh. Selain itu digunakan sebagai tempat hunian, balai permusyawarahan bahkan dimanfaatkan sebagai tempat pengadilan masyarakat.
Motif ukuran dan desain yang ada di dalam maupun di luar serta rumah yang memuat berbagai ukiran dimana semuanya terkandung keaslian suatu nilai
kebudayaan yang klasik dan mengagumkan. Seperti pengakuan Anthony Reid dalam tulisannya, 2010:.234, bahwa rumah sang raja masih menyandang
keindahan lamanya dan di dalamnya terdapat bayak patung berhala; patung- patung kayu yang kasar dan berukuran sebesar manusia asli dan hampir-hampir
telanjang. Demikian pula wakil Presiden Republik Indonesia, Adam Malik pernah berkunjung di Nias Selatan dan beliau sangat mengagumi karena kearifan orang
Nias Selatan yang sanggup mendirikan rumah adat raksasa seperti yang kita lihat di desa Bawömataluo, Desa Onohondrö, Desa Hilinawalö Fau, Hilinawalö
Mazinö dan Desa Hilisimaetanö.
62
Berdasarkan penelitian arsitektur rumah adat Nias, Alain M. Viaro, 2006:69, membagi beberapa bagian arsitektur rumah adat di Maenamölö, antara
lain; Batu ndriwa, Oriwa, Ehomo, Ete, Ora, Silötömbato, Sikhöli, Lasara, Lagö-
62
Anthony Reid, 2010, Sumatera Tempo Doeloe, Jakarta: Komunitas Bambu: 2010, hlm.234
Universitas Sumatera Utara
lagö, Ete deu, Malige, Lawa-lawa, Gasö matua, Fusömbatö, Fanötö, Sagötö batö, Dua götö batö, Tölu götö batö, Öfa götö batö, Lima götö batö, Önö götö batö,
Fitu götö batö, Walu götö batö, Siwa götö batö, Loyo-loyo mbu-mbu, Ni’owöli- wöli, gasi-gasi, laji-laji mbumbu
.
63
Ironis, keberadaan arsitektur rumah adat yang ada di wilayah Kabupaten Nias Selatan saat ini tidak mendapat perhatian khusus oleh masyarakatnya. Hal ini
diungkapkan karena ada indikasi bahwa apresiasi masyarakat terhadap rumah tradisional sudah mulai berkurang. Sebagaimana pernyataan Johannes M.
Hämmerle, 1990:90, bahwa dulu hampir setiap desa di Nias Selatan mempunyai satu rumah besar tetapi sekarang sudah banyak yang punah.
64
Seterusnya Esther GN Telaumbanua, 2006:16, menambahkan bahwa dalam kurun waktu tercatat
kepulauan Nias telah mengalami siklus Gempa besar berkekuatan di atas 8 SR yaitu yang terjadi pada tahun 1861, 1917 dan terakhir 28 Maret 2005 berkekuatan
8,7 SR dengan gempa susulan yang semakin melemah setiap waktu ternyata merusak material yang tak terhitung jumlahnya.
65
63
Alain M. Viaro, 2006, Traditional Architecture of Nias Island, Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, cetakan I, hlm.69
64
Johannes M. Hämmerle, 1990, Omo Sebua, Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, op.cit., 90
65
Esther GN Telaumbanua, 2011, Nias Bangkit Langkah-langkah Awal, Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, hlm.16
Universitas Sumatera Utara
BAB III SEJARAH, FUNGSI DAN MAKNA FAMADAYA HARIMAO
3.1. Sejarah Famadaya Harimao