Latar Belakang Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias.

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepulauan Nias yang disebut dengan Tanö Niha 1 adalah sebuah pulau yang timbul dari dasar lautan Hindia yang terletak di sebelah Barat pulau Sumatera sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dihuni oleh etnis suku Nias yang disebut dengan Ono Niha. 2 Meskipun sampai saat ini intepretasi asal usul Ono Niha masih terus menimbulkan perdebatan dan belum menghasilkan sebuah hipotesis yang otentik. Sebagaimana hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Utara dan Institut de Recherche Pour le Developpment, Perancis yang dikutip oleh Harry Truman Simanjuntak, 11 Oktober 2006, bahwa pada masa Paleolitik abad 12.000 B.P., ditemukan sudah ada manusia dari daratan Asia di sebuah daerah Hoabinh, Vietnam yang bertransmigrasi ke kepulauan Nias. 3 1 Tanö Niha, secara etimologi memiliki pengertian, sebagai berikut: Tanö artinya tanah, pulau dan Niha , artinya manusia, orang, Nias Akan tetapi, menurut Ketut Wiradnyana, yang disadur oleh Panitia Seminar Internasional Asal Usul Suku Bangsa Nias, 2013:5, berpendapat bahwa dari hasil analisa radio carbon, asal usul suku kepulauan Nias terjadi pada masa Neolitik abad 14-16 Masehi, yakni setelah kepulauan Nias terpisah dari pulau Sumatera dengan menggunakan transportasi perahu dalam beberapa tahapan 2 Ono Niha, secara etimologi memiliki pengertian, sebagai berikut: Ono, artinya anak dan Niha, artinya manusia, orang, Nias 3 Harry Truman Simanjuntak, 11 Oktober 2006, Rubrik Humaniora, Jakarta: Kompas Universitas Sumatera Utara dan lama-kelamaan menyebar diberbagai penjuru kepulauan Nias. 4 Berdasarkan dokumen sejarah, Kepulauan Nias terkenal karena dibingkai oleh ragam pesona kebudayaannya, salah satunya adalah seni budaya ‘Famadaya Harimao .’ Famadaya Harimao merupakan seni pertunjukan yang berfungsi sebagai sarana dalam upacara adat istiadat dan ritual keagamaan tradisional dalam kehidupan masyarakat Maenamölö pada masa lalu. Di dalamnya menyimpan sejumlah makna filosofi yang arif dan rasional. Proses pertunjukannya dilakukan dengan cara sekumpulan serdadu kampung mengusung patung Harimao sembari berarak-arakkan dengan tari-tarian yang diiiringi dengan instrumen musik tradisional bagaikan pawai. Namun sejak masuknya misi penginjilan yang dibawa oleh kaum puritanisme dari Eropa secara bergelombang, ternyata Famadaya Harimao sebagai budaya masyarakat Maenamölö yang sudah mendarah-daging secara perlahan-lahan dilupakan, ditinggalkan. Sementara pesan moral yang terkandung di dalam patung-patung itu sama sekali tidak dihiraukan. Ratusan tahun kemudian baru disadari bahwa tindakan pemusnahan wahana religi kuno yang dilakukan oleh para misionar pada masa lalu bahkan masa kini merupakan Akan tetapi ditinjau dari interpretasi folklor yang berkembang di masyarakat lokal, disebutkan bahwa asal-usul leluhur suku Nias adalah para putra Sirao Uwu Jihönö yang bertahta di kerajaan Teteholi Ana’a suatu negeri yang sangat indah dan permai yang berada di langit lapisan ke sembilan. Atas kekalahan mereka dalam memperebutkan mahkota langit, pada akhirnya mereka harus dibuang ke bumi kepulauan Nias kemudian keturunannya menyebar ke seluruh kepulauan Nias. 4 Panitia, 11-13 April 2013, Asal-Usul Suku Bangsa Nias Ditinjau Dari DNA dan Benda-Benda Purbakala Suku Bangsa Nias , Pulau Nias: Bahan Seminar Internasional Asal-Usul Suku Bangsa Nias Ditinjau Dari DNA, hlm.5 Universitas Sumatera Utara kesalahan yang sangat merugikan etnis suku bangsa. Sama artinya dengan mereka telah melakukan pemusnahan bukti sejarah suku Nias, penghancuran identitas dan pembunuhan kreativitas seni yang dahulu mengalir begitu deras dalam darah generasi zaman itu. Bamböwö Laiya, 2006:3-4, mengatakan bahwa tempo dulu, hampir setiap kegiatan acara-acara adat atraksi mengarak Harimao selalu ditampilkan namun semenjak tahun 1883, kehadiran para misionaris Jerman untuk memperkenalkan Protestanisme kepada masyarakat Nias Selatan ternyata tidak memiliki komitmen dalam mendukung memelihara kebudayaan masyarakat setempat. Kecurigaan ini semakin bertambah ketika para misionaris dengan berani melarang warga jemaat untuk bersyair Molau Hoho, menari Maluaya, makan sirih Manafo, atraksi mengarak Mamadaya dan sebagainya. Pada akhirnya orang-orang Nias Selatan yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, mulai meninggalkan adat-istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur karena dianggap bernuansa takhayul dan berhala, padahal semua itu adalah budaya yang sudah mendarah daging. 5 5 Bamböwö Laiya, 2011, Sejarah Singkat BNKP Raya, Telukdalam: Tata Gereja BNKP Raya, hlm.3-4 Selanjutnya Johannes M. Hämmerle, 1995:44, mengatakan bahwa pada tahun 1916 ketika para misionaris menggelarkan pertobatan massal, sejak itulah kebanyakan masyarakat Nias mulai berani membuang, membakar dan menghanyutkan di sungai patung-patung yang sebelumnya diyakini sebagai perwujudan para dewa Universitas Sumatera Utara dan arwah leluhur mereka termasuk benda-benda peninggalan leluhur lainnya yang dianggap mengandung berhala. 6 Dalam rangka upaya pelestarian Famadaya Harimao sebagai kebanggaan masyarakat Maenamölö masa lalu dan hampir terlupakan, para pemangku kepentingan perlu menyusun rencana strategis sebagai grand skenario secara ontologi input, epistemologi process dan aksiologi output guna untuk menghidupkan kembali pariwisata dan kebudayaan kuno yang semula hampir terlupakan pada akhirnya dapat diaktifkan kembali menjadi sebuah konsumsi heritage yang menarik guna mendukung mikro finance yang berdampak pada pembangunan berbasis otonomi daerah.

1.2. Rumusan Masalah