Asal Usul Maenamölö

terkadang badai bisa berubah secara mendadak. Akibat kondisi alam yang demikian melahirkan aliran sungai kecil, sedang dan besar ditemui di seluruh wilayah.

2.2. Asal Usul Maenamölö

Secara etimologi, kata ‘Maenamölö’ dibagi menjadi Mae, artinya citra, seperti, menyerupai, penjelmaan, inkarnasi. Na, adalah singkatan dari seseorang yang dituakan. Mölö adalah nama pribadi leluhur yang pernah bertransmigrasi ke Böröfösi pada masa lalu. Sebelum peristiwa pemekaran Kecamatan Maniamölö, seluruh desa di wilayah ini masih menyebutnya Maenamölö. Argumentasi tersebut dibuktikan dengan pendirian nama kampung Bawömaenamölö, Hilimaenamölö yang berada di wilayah Kecamatan Maniamölö hingga saat ini masih menyebut dirinya sebagai Maenamölö Tou. Demikian juga warga kampung Hilinawalö Fau, Onohondrö dan Siwalawa yang berada di wilayah Kecamatan Fanayama, menyebut identitas sebagai Maenamölö atas. Jadi dapat didefinisikan Maenamölö merupakan sekumpulan masyarakat beberapa kampung yang memiliki hubungan darah dalam satu garis keturunan leluhur yang sama bernama Mölö di wilayah Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias. Menurut Sökhiaro Welther Mendröfa, 1980:63-137, bahwa nenek moyang masyarakat suku Nias diturunkan dari Teteholi Ana’a, 16 16 Teteholi Ana’a, artinya langit lapisan ke-9, tempat dewa dewa pencipta bertahta, rahim sang ibu, suatu negeri yang sangat indah dan permai. disanalah Sirao Uwu Jihönö bertahta. Raja tersebut memiliki tiga orang permaisuri dan masing- Universitas Sumatera Utara masing dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Permaisuri yang pertama adalah bernama Mburutio Rao Gawe Zihönö. Anaknya laki-laki bernama Baewadanö, La’indrö Lai Sitambaliwö , Balugu Luo Mewöna. Permaisuri yang kedua adalah bernama Nawaöndru Ere Gowasa. Anaknya laki-laki bernama Lasoro Gae Sitölu Ndraha , Gözö Tuuha Zangaröfa, Hia Walani Adu. Permaisuri yang ketiga adalah bernama Zi’adulo Rao Ana’a. Anaknya laki-laki bernama Lahari Sofusö Kara, Daeli Bagabölö Lani , Lulu Hada Ana’a. Pada suatu hari terjadi keributan yang sangat sengit diantara ke sembilan putra Sirao Uwu Jihönö untuk merebut mahkota Tetehőli Ana’a. Karena suasana pertengkaran di istana semakin memanas, maka untuk menenangkan keadaan tersebut Sirao Uwu Jihönö mengundang seluruh rakyat dari berbagai penjuru untuk menyaksikan sayembara memperebutkan mahkota Teteholi Ana’a. Sebelum sayembara dimulai, bangkitlah raja Sirao Uwu Jihönö Uwu Jato seperti seekor singa yang mengaung dihadapan ribuan orang dengan menyerukan barangsiapa diantara kesembilan anak-anakku yang sanggup memanjat dan menari-nari di atas mata tombak yang dipancangkan di halaman istana bagaikan seekor burung yang sedang bertengger di atasnya maka kepadanyalah aku berkenan. Dialah yang akan mewariskan tahta kerajaan di Teteholi Ana’a.’ Kemudian raja Sirao Uwu Jihönö mempersilahkan satu persatu putranya mulai dari yang tertua secara berurutan. Ironisnya, dari delapan orang anaknya tak seorangpun yang berhasil melakukannya. Namun tiba pada giliran si bungsu bernama Luomewöna, dia mengawali dengan bersujud dihadapan ayahnya dan kepada ketiga orang istri ayahnya serta kepada seluruh rakyat memohon restu. Tidak lama kemudian, tiba-tiba suasana sayembara mulai berubah, semua Universitas Sumatera Utara perhatian tertuju kepadanya. Saat melakukannya, dengan penuh mudah sekali baginya mencapai mata tombak itu dan akhirnya iapun berhasil memenangkan sayembara itu. Maka berseru-serulah raja Sirao dihadapan ribuan orang yang menyaksikan kebolehan Luomewöna bahwa mulai pada hari ini dialah yang akan bertahta di Teteholi Ana’a. Tidak lama setelah dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya, ke delapan orang abangnya yang kalah dibuang ke bumi kepulauan Nias. Salah satunya adalah bernama Hia Walani Adu dan menjadi leluhur penduduk Nias Selatan. 17 Selanjutnya menurut Amos Harefa, 2013, bahwa keberadaan Hia Walangi Adu di Sifalagö Gomo, dikarunai sembilan orang anak laki-laki. Nama- namanya dimulai dari yang sulung hingga bungsu, sebagai berikut: Telau, Boto, Bawa , Mata, Ikhu, Talina, Gahe, Tana, Tara. Pada suatu hari mereka pergi mencari makanan tetapi di tengah hutan menemukan pohon sagu. Telau bertugas menebang pohon sagu itu sedangkan ketujuh adik-adiknya mendapat tugas untuk menayang dari bawah. Karena mereka tidak kuat menayangnya, akhirnya pohon sagu itu menimpa mereka dan matilah Boto, Bawa, Mata, Ikhu, Talina, Kahe dan Tana hanya Telau dan Tara saja yang beruntung selamat. Pada prinsipnya hidup adalah pilihan, ibarat Haega so mbua geho, gaö möi manugela wofo dimana ada pohon berbuah ke situlah burung datang bertengger. Demikianlah Telau hidup menetap Sifalagö Gomo tetapi sebelum Tara meninggalkan kota leluhurnya di Sifalagö Gomo, ayahnya Hia Walangi Adu mengadakan perjamuan bersama dan memberinya banyak nasehat sebagai petuah kehidupan termasuk tongkatnya 17 Sökhiaro Welther Mendröfa, 1980, Fondrakö Ono Niha, Jakarta: Inkultra Foundation Inc,hlm. 63-137 Universitas Sumatera Utara terbuat dari Lewuo hao sejenis pohon bambu kapada Tara anaknya. Dimana saja tongkat itu ditancapkan hingga menembus ke dalam tanah maka itulah pertanda bahwa tanah itu yang akan memberi bagimu kesuburan selama-lamanya. Keesokan harinya, sebelum matahari terbit pada pagi hari di ufuk Timur, berangkatlah Tara bersama isterinya. Dari tatapan mata yang sangat dekat, kini semakin mengecil lalu pada akhirnya menghilang karena mereka melintasi lereng- lereng gunung yang tinggi, melewati pinggir jurang yang dalam. Banyak sungai yang dalam dan luas diseberangi hingga menemukan sungai Mejaya di desa Hili’alawa . Mereka menyusuri ke atas sungai itu hingga di tanah yang agak datar tepatnya di desa Lawindra wilayah Kecamatan Majinö Kabupaten Nias Selatan. Karena isteri Tara sangat letih dan meminta untuk istrahat sejenak untuk memulihkan tenaga yang telah banyak terkuras. Momentum ini dimanfaatkan oleh Tara untuk memancangkan tongkat milik ayahnya di sekitar tempat itu dan langsung tertanam hingga ke kedalaman. Maka tersungkurlah Tara ke tanah. Saking girangnya, ia mulai menyair sembari menari-nari di depan istrinya karena telah menemukan tanah perjanjian dan menamainya Lawindra. Setelah terjadi inkulturasi baru di tempat itu, maka Tara mengumpulkan seluruh kaumnya untuk mengadakan Owasa Sebua pesta besar dan menobatkannya menjadi ‘Sanaya Bute .’ Pada musim kelaparan mulai tiba, ke empat putra Sanaya Bute bernama Mölö , Jinö, Tuha Ene dan Lalu pergi berburu dan mencari makanan di tengah hutan belantara, ternyata mereka menemukan berjejeran pohon sagu di tengah hutan belantara. Jinö mendapat tugas untuk menebang batang pohon sagu tetapi ketiga orang lainnya menjaga menayang pucuk. Pada saat pohon sagu tumbang, Universitas Sumatera Utara Tuha Ene dan Lalu menyelamatkan diri tetapi Mölö hampir terjebak ditimpa pohon sagu itu. Beruntung ia dapat menyelamatkan dirinya dari peristiwa naas itu. Kejadian ini membuat hati Mölö tidak terima dan merasa ditipu oleh adik- adiknya. Dari situlah situasi mulai tidak aman dan lama-kelamaan semakin menegang, kebersamaan yang sudah lama terbina lama-kelamaan semakin memudar, merasa tidak nyaman bila hidup bersama lagi. Rasa senasib dan sepenanggungan yang dulu, kini tinggal kenangan, suasana semakin meruncing. Tak ada pilihan lain mereka harus berpisah. Jinö menetap di Lawindra tetapi Lalu, Tuha Ene dan Mölö memilih untuk meninggalkan tempat itu. Lalu beserta rombongannya menuju daerah Ono Mönö. Tuha Ene beserta rombongan menuju Hili’amuruta. Selanjutnya, Mölö beserta rombongannya pergi dengan melintasi lereng-lereng gunung yang tinggi, melewati pinggir jurang yang dalam. Akhirnya mereka tiba Böröfösi. Pada mulanya Böröfösi mencerminkan suatu kehidupan yang rukun, damai dan bahagia tetapi seiring dengan berjalannya waktu ke waktu, hubungan kekerabatan yang utuh lama-kelamaan mulai memudar, masing-masing bersaudara saling menonjolkan diri dengan bertepuk dada, suka merampas yang bukan haknya, gemar mencari-cari kesalahan saudaranya dengan menuduh tanpa ampun, merasa susah hati ketika melihat saudaranya berhasil dan amat senang bila melihat saudara kandungnya menderita kesusahan. Para isteri saling irihati, semua saling bertengkar mulut, mengancam mau berlaga, ditambah lagi pada masa ini seringkali mengalami musibah kelaparan. Akhirnya Mölö mengumpulkan seluruh keluarganya untuk bersepakat. Masing-masing ke lima putranya menanam pohon pisang di pusat pekarangan. Mölö memberikan petunjuk bahwa mereka harus Universitas Sumatera Utara menunggu pisang itu sampai berbuah kira-kira enam bulan lamanya. Bilamana condong batang dan buah pisangmu, ke situlah engkau pergi dan menetaplah di sana. Sebelum kelima orang putra tersebut berpisah satu sama lainnya, Mölö dan isterinya Nandua Ziliwu menjamu kelima putranya itu dengan menyembelih berpuluh-puluh ekor babi dan ayam. Momentum ini dimanfaatkan untuk memberikan nasehat sebagai petuah serta membagi-bagikan harta warisannya secara adil. Adapun Fau adalah anak sulung mendapat bagian warisan Farada emas murni, kemudian bernama Takhi mendapat bagian Adu Zatua patung leluhur, sedangkan Boto, bagiannya adalah Toho tombak, dan Maha mendapatkan Tölögu pedang, Hondrö, mendapat Baluse perisai sedangkan Hörözaitö seorang perempuan bungsu mendapat bagian perhiasan emas. Pada akhirnya kedua orangtua mereka memberkati kelima rang anak-anaknya dimanapun mereka berada kelak beroleh kehidupan dalam damai sejahtera. Kesekoan harinya, mereka semua berangkat meninggalkan Böröfösi menuju ke tempat dimana arah condong pisangnya. Laki-laki memikul beban yang berat dan perempuan menggendong keranjang yang bergelantangan dengan melewati banyak gunung-gunung melintasi lereng bukit dan menyusuri berbagai lembah dan menyeberangi hulu sungai yang dalam dan sangat luas. Setelah Fau beserta isterinya Nalai Mbarasi dan anak-anaknya tiba di lokasi itu, bersukacitalah hati Fau dan mengatakan: ‘Di sinilah petunjuk bagiku, di sinilah arah condong pisangku’. Kemudian semuanya memotong kayu berdahan, menarik akar dan membersihkan dengan membakarnya, meratakan batang puar lalu mulai mendirikan suatu desa bernama Lahusa Fau. Berhubung karena jumlah penduduk Universitas Sumatera Utara dalam kampung tersebut semakin bertambah sedangkan lahan untuk mendirikan rumah baru sudah mulai terbatas berhubung lahan sudah tidak memadai, demikian juga sudah tidak terjaminnya keamanan kampung akibat bencana alam, musuh sehingga warga kampung setiap saat terancam jiwanya, terjadinya perselisihan pendapat antara keluarga satu keturunan dengan keturunan lainnya, maka mereka memisahkan diri dari kampung induk dan mencari lokasi yang dianggap aman dan nyaman. Pada akhirnya mereka menyebar ke beberapa tempat, ada yang mendirikan kampung Orahili Fau, Hilinawalö Fau, Bawöfanayama dan Hilizondrege’asi. Hal serupa dialami oleh Takhi. Ia membawa isterinya Nawua Geho beserta anak-anaknya. Setibanya di lokasi itu, maka bersukacitalah hatinya, atas kegirangannya yang tak dapat dibendung lagi, pada akhirnya ia menari dan berkata: ‘Di sinilah petunjuk bagiku, di sinilah arah condong pisangku’. Kemudian mereka semua saling bergotong-royong memotong kayu berdahan, menarik akar dan membersihkan dengan membakarnya, meratakan batang puar lalu mulai mendirikan suatu kampung bernama Hili Lawalani tak lama kemudian pindah ke Hili’amaigila. Karena jumlah penduduk dalam kampung tersebut semakin bertambah sedangkan lahan untuk mendirikan rumah baru sudah mulai terbatas belum lagi terjadinya perselisihan pendapat antara keluarga satu keturunan dengan keturunan lainnya, maka mereka memisahkan diri dari kampung induk dan mencari lokasi yang dianggap aman dan nyaman. Pada akhirnya mereka menyebar ke beberapa tempat, ada yang mendirikan kampung Setelah bertahun-tahun lamanya, keturunannya mendirikan kampung Hilisaudanö, Bawögosali, Bawömaenamölö, Hilimaenamölö dan Hilisimaetanö. Berikutnya Universitas Sumatera Utara adalah Boto. Ia membawa isterinya bernama Silini Hösi dan anak-anaknya, mendirikan kampung bernama Hili Lalimboto sebagai desa induk. Keturunannya mendirikan kampung Hilifalawu, Hilifalawu, Hilimböwö, Hilihöru, Hiligombu, Botohösi. Kemudian Maha juga mengalami hal yang serupa. Ia memiliki seorang istri Rai Balaki, pada akhirnya meninggalkan Böröfösi menuju Ulimbawa. Lama- kelamaan keturunannya mendirikan beberapa kampung yang baru, diantaranya adalah kampung Siwalawa, Hiligeho, Lahömi, Bawölowalani, Hili’ana’a, Hilisondrekha. Demikian pula Hondrö, memiliki isteri bernama Siholai. hidup dan menetap di Huluhösi. Kemudian keturunannya mendirikan kampung Onohondrö. Karena Hörözaitö adalah anak si bungsu perempuan, maka ia harus menetap bersama orangtuanya. Berhubung karena Nandua Jiliwu lebih dahulu meninggal dunia, pada akhirnya Mölö pergi berkelana sebagai musafir di Tanoi Disana mempersuntung anak seorang bangsawan dan mempunyai anak laki-laki bernama Sebua Tendroma . Di tempat dimana ia tinggal disebut orang Ono Namölö Laraga Tumöri , di tempat itulah Mölö nantinya dikuburkan. 18

2.3. Sistem Kepercayaan Masyarakat Maenamölö