Fungsi Famadaya Harimao Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias.

3.2. Fungsi Famadaya Harimao

Fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial yang menekankan pada saling kebergantungan antara institusi-institusi pranata-pranata dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Dalam rangka pengkajian tentang fungsi Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan, penulis berpedoman pada teori Bronislaw Kasper Malinowski yang dikutip oleh Koentjaraningrat, 1987:167, bahwa segala kegiatan kebudayaan itu bermaksud untuk memuaskan seluruh rangkaian kebutuhan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. 70 Fungsi Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias, sebagai berikut: 1. Sebagai media pengesahan amandemen musyawarah Fondrakö. Menurut Sökhiaro Walther Mendröfa, 1981:11, kata Fondrakö berasal dari bahasa Nias Fondrakö terdiri dari dua kata. Fo dan Rako. Fo sebagai kata bantu Pe atau Ke yang berarti ketetapan dengan penyumpahan dan kutukan. Sedangkan rakö adalah kata kerja yang berarti, ketetapan dengan sumpah yang bersanksi kutuk bagi pelanggarnya. Pada hakikatnya bahwa Fondrakö itu sendiri sebagai petunjuk untuk berbuat baik dan melarang berbuat kejahatan. 71 70 Koentjaraningrat, 1987, Sejarah Teori Antroplologi I, Jakarta: Universitas Indonesia Press, hlm.167 Ada beberapa pengertian Fondrakö menurut para budayawan Nias, diantaranya adalah menurut AF. Fau, penyunting oleh Ichwan Azhari dan Erond L. Damanik, 2010:1. Fondrakö adalah upacara adat tertinggi 71 Sökhiaro Walther Mendröfa, Fondrakö Ono Niha, Jakarta: Inkultra Foundation Inc: 1980, hlm.11 Universitas Sumatera Utara dalam menentukan hukum adat yang berlaku di masyarakat Nias melalui musyawarah sebagai forum adat tertinggi dalam masyarakat yang dilakukan 7 tahun sekali. 72 Tetapi Faondragö Zebua, 1996:44, mengatakan bahwa Fondrakö adalah musyawarah adat suku Nias keluarga, kelompok kekerabatan sedarah, banua dan öri untuk membentuk, merobah, memberlakukan undang-undang, hukum adat istiadat keputusannya disahkan oleh manusia, direstui oleh arwah leluhur dan dewa adat Lawölö. 73 Selanjutnya, di dalam Ensiklopedia Pusaka Pulau Nias, 2011:54, mendefinisikan Fondrakö merupakan kumpulan dan sumber segala hukum yang menjadi landasan hidup masyarakat Nias. 74 72 Ichwan Azhari dan Erond L. Damanik, Manuskrip Sejarah dan Budaya Nias Selatan, 2010:1, Salah satu mitos yang dipercaya secara kolektf oleh masyarakat suku Nias ialah ketika leluhur orang Nias diturunkan dari Teteholi Ana’a langit lapisan ke 9 ke bumi kepulauan Nias mereka telah dibekali dengan Böwö adat-istiadat supaya masyarakat itu hidup dengan teratur, tidak terjadi pertentangan, pencederaan dan kekacauan. Maka setiap orang, komunitas membutuhkan pedoman sebagai petuah yang menjadi pedoman bagi kehidupannya. Demikian pula ungkapan dalam kehidupan masyarakat Maenamölö bahwa sampai saat ini masih memegang teguh nilai-nilai adat istiadat para leluhur. Dari beberapa sumber yang disadur oleh F. Zebua, 1996:4-14, menjelaskan bahwa sejak abad I AD, para pedagang Cina, India, Timur Tengah yakni; Gujarat, Persia dan Arab telah berlangsung usahanya dengan 73 Faondragö Zebua, 1996:44, Kota Gunungsitoli Sejarah lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli: 1 April 1996 74 Tim Penyusun, 2011, Ensiklopedia Pusaka Pulau Nias, Jakarta: PNPM-R2PN, hlm.54 Universitas Sumatera Utara jalan transportasi laut melalui selat Malaka dan samudera Indonesia. Para pedagang tersebut melintasi perairan Sumatera dengan kapal laut melalui pelabuhan Barus di Tapanuli Tengah kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke kepulauan Nias. Adapun jarak antara Barus dengan kepulauan Nias berkisar 120 kilo meter. Para pedagang itu menampung segala hasil bumi dari Nias, seperti; beras, kopra, minyak kelapa, buah pala, buah pinang, rotan, karet, cengkeh, cabe, ternak babi yang dilakukan secara barteran dengan ringgit, cent, gulden, emas, berlian, loyang, timah, besi, tembaga, canang, gong, senjata kain woll dan lain sebagainya. Puncaknya pada abad VIII, kerajaan Hindu Sriwijaya yang berpusat di Palembang menaklukkan kerajaan Barus. Kota Barus dijadikan sebagai pangkalan armada perang terbesar sekaligus sebagai pelabuhan kapal dagang internasional di pantai Barat Sumatera. Dengan demikian lalu lintas pelayaran perdagangan ke Tanö Niha semakin ramai sehingga sepanjang masa ini penduduk Nias menuai, menikmati kejayaan karena hasil tanahnya yang melimpah-ruah. Namun tahun pada 1017-1024, ketika kerajaan Sriwijaya dari Palembang dipukul kalah oleh kerajaan Colamandala dari India, situasi ini dimanfaatkan oleh para pedagang dari Aceh. Mula-mula mereka menjual dan membeli barang dagang komoditi seperti sebelumnya tetapi beberapa lama kemudian mereka membeli budak-budak dari para bangsawan di seluruh pulau Nias. Mereka membayar harga dengan menggunakan barteran. Lama-kelamaan budak-budak itu bukan hanya dibeli tetapi diculik kemudian dikirim ke Aceh untuk diperdagangkan sebagai Universitas Sumatera Utara budak ke negara-negara Asia bahkan di Eropa. Para Missionaris Katolik dari Amerika yang tiba di Nias menuliskan bahwa pada tahun 1820, orang-orang China membawa sebanyak 500 orang budak-budak melalui kapal Negara Perancis mengakibatkan jumlah penduduk Nias. Adapun budak-budak dari Nias itu bekerja keras sebagai kuli bangunan dan pelayan bagi mereka selama bertahun-tahun tetapi budak yang dikirim ke Penang, mendapat perlakuan yang baik karena mereka menjadi Kristen. Walaupun demikian, pada akhirnya sering terjadi peperangan antara orang Nias melawan gerombolan penculik, perampok Aceh. Keadaan ini baru berhenti pada abad 19 yakni setelah pemerintah kolonial Belanda berkuasa. 75 75 F. Zebua, 1996, Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli, hlm.4-14 Akibat peristiwa tersebut, mau tidak mau harus dilakukan peninjauan Fondrakö karena dianggap di dalamnya masih banyak hal yang tidak sesuai bahkan sangat bertentangan dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan warga. Menurut Amos Harefa, 2013, mengatakan bahwa sebelum pemerintahan kolonial Belanda menguasai Nias, Si’ulu dari Hilinawalö Fau pernah mengundang seluruh kampung Maenamölö untuk musyawarah Fondrakö. Peserta musyawarah terdiri dari para penetua adat masing-masing kampung. Menyangkut pembiayaan termasuk jaminan keamanan para peserta selama kongres Fondrakö dijamin sepenuhnya oleh kampung penyelenggara. Pada prinsipnya musyawarah Fondrakö merupakan forum musyawarah resmi untuk mengatur segala sesuatu terkait penyelenggaraan kehidupan masyarakat di desa. Terkait kemaslahatan desa, artinya tidak ada forum, Universitas Sumatera Utara musyawarah tandingan yang dilaksanakan di tempat terpisah dengan hasil yang berbeda karena suatu Orahua merupakan forum yang ditengarai sebagai induk demokrasi yang dilakukan secara tebuka dihadapan komunitas, diungkapkan dengan lantang, tidak dimonopoli oleh para Si’ulu, Ere , Si’ila saja, melainkan setiap pengambilan keputusan harus berdasarkan prinsip demokrasi dengan pendekatan partisipasi. Gagasan anak kecil sekalipun kalau diterima nalar maka itu dapat diberlakukan. 76 a. Huku sifakhai ba mboto niha hukum perlindungan tubuh, fisik manusia. Maksudnya ialah tidak boleh menyakiti, menghina orang lain dan sebagainya. Sebagaimana dijelaskan oleh Bamböwö Laiya, 1983:22, bahwa pokok pikiran yang menjadi pembahasan dalam musyawarah Fondrakö masyarakat suku Nias, sebagai berikut: b. Huku sifakhai ba gokhöta niha hukum harta kekayaan. Maksudnya ialah menjamin hak atas milik orang lain. Jika ada seseorang yang mencuri atau mengambil milik orang lain tanpa sah maka orang tersebut akan dikenakan hukuman fogau sesuai dengan jenis dan berat pelanggarannya. c. Huku sifakhai ba jumane niha hukum kehormatan setiap orang. Maksudnya ialah hukum ini mengatur hukum perkawinan dalam adat. 77 76 Wawancara: Amos Harefa, Jum’at, 3 Mei 2013 77 Bamböwö Laiya, 1983, Solidaritas Kekeluargaan, dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-Indonesia , Jogyakarta: Gajahmada University Press, hlm.22 Universitas Sumatera Utara Salah satu gambaran umum Fondrakö tentang perkawinan di kalangan keluarga bangsawan di Telukdalam Kabupaten Nias Selatan, berikut: Tabel 3:1 Fondrakö Perkawinan di Telukdalam Kabupaten Nias Selatan TAHAP JUJURAN PENERIMA BESARNYA Manötöi niha 1 Si bihasa 12 paun emas 2 Si felejara 12 paun emas 3 Si öno fulitö 6 paun emas 4 Si’öno 6 paun emas 5 Si tölu fulitö 3 paun emas 6 Sitölu 3 paun emas Famatua 7 Sisara atambali 1 paun emas 8 Siswa wulu 1 paun emas 9 Anandröwa viga 6 paun emas 10 Iwa jibaya 3 paun emas 11 Iwa simatua 5 gram Tambali ana’a 12 Iwa ji’ulu 3 paun emas 13 Iwa ji’ila 5 paun emas Famuli Töwa famatuasa 14 Iwa ono si’alawe fondra’u damo 6 paun emas Famabu’u mboni 15 Ono sa’a Jimatua 5 paun emas Famalua Faoli ba Fowato 16 Böröli 5 paun emas Famuli Nukha 17 Tuho li 6 paun emas JUMLAH 1 Ambö 100 Batu Sumber : Tim Penggali dan Perumus Fondrakö Nias Selatan, 2006 Setelah ketetapan di atas disetujui oleh seluruh peserta musyawarah, maka Ere Börönadu memimpin ritual dengan menembangkan Hoho lalu Universitas Sumatera Utara mengambil seekor babi putih dan ayam jantan putih sebagai simbolis si pelanggar Fondrakö dan meletakkannya di atas suatu patung Siraha 78 Gambar 3:1 dan memukul-mukulnya dengan lidi hingga menjerit-jerit. Setelah itu dipotongnyalah leher binatang tersebut sambil mengucapkan kata-kata kutukan kepada si pelanggar tersebut. Seperti binatang inilah dia tidak akan berakar di bumi dan tak berpucuk di langit. Darah kedua binatang itu ditumpahkan di Böröfösi di Hiliwamöda Danö. Babi dan ayam tersebut dibelah. Bagian yang pertama dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang dalam bersama 9 butir telur beras pulut. Sedangkan bagian kedua disertai 9 butir telur beras pulut, Bulu lato daun jalang, Farada emas batangan diletakkan di atas mezbah untuk persembahan bakaran. Maka bangkitlah Ere itu di hadapan seluruh peserta musyawarah untuk memberitakan segala larangan para dewa dan arwah leluhur. Kemudian masing-masing peserta menyerahkan seekor babi dan ayam pilihan untuk diserahkan kepada Ere untuk dilepaskan, dibiarkan lagi sebagai persiapan persembahan yang akan dipergunakan pada upacara yang sama dimasa yang akan datang. Pada penutupan musyawarah Fondrakö, tiba-tiba muncullah Si’ulu berperan sebagai kepala panglima perang untuk mengkoordinir pertunjukan Famadaya Harimao untuk pengesahan hasil musyawarah amandemen Fondrakö sebagai landasan hidup masyarakat Maenamölö dalam mewujudkan kehidupan yang penuh dengan keharmonisan. 78 Siraha merupakan patung yang bercabang dua. Dalam pengesahan Fondrakö patung tersebut berfungsi sebagai tempat untuk menghukum sekaligus tempat untuk menuturkan segala hasil musyawarah Fondrakö. Universitas Sumatera Utara 2. Sebagai media pemulihan, pembaharuan restorasi totalitas kehidupan manusia seutuhnya. Menurut Waris Duha, 1996, mendefinisikan Famatö Harimao adalah sebagai reuni bagi seluruh penduduk desa se-Maenamölö di Nias Selatan berkumpul di suatu tempat yang biasa untuk melaksanakan upacara yang dimaksud. 79 Senada dengan pendapat tersebut, Peter Suzuki, 1959:108, menambahkan bahwa baik upacara Börönadu, Famadaya Saembu dan Famatö Harimao adalah suatu puncak dari semua kegiatan adat yang mencakup totalitas masyarakat suku Nias. 80 79 Waris Duha, 1996, Famadaya Saembu dan Harimao di Nias Selatan, Medan: Makalah Seminar Nasional Kebudayaan Nias I Pada puncak pelaksanaan upacara Famatö Harimau, maka seluruh penduduk Maenamölö berkumpul di pinggir sungai Gomo, Jumali tetapi jika situasi tidak kondusif maka diselenggarakan secara bergiliran. Johannes M Hämmerle, 2010:189, 80 Peter Suzuki, 1959, The Religious System and Culture of Nias-Indonesia, Graventage: Vitgeverij, hlm.108. Universitas Sumatera Utara menjelaskan bahwa karena Fau adalah anak sulung maka keturunannyalah yang pertama sekali pergi melaksanakan Famatö Harimao. Selanjutnya pada hari yang kedua, adalah giliran desa kampung keturunan Takhi sedangkan pada hari ketiga, adalah giliran kampung keturunan Boto, berikutnya pada hari keempat, giliran kampung keturunan Sarumaha dan terakhir pada hari kelima, yakni giliran kampung keturunan marga Hondrö. Para rombongan dari masing-masing kampung itu mengenakan busana dan asesoris yang indah-indah. Bilamana sudah hampir tiba dekat pinggiran sungai Gomo di Jumali maka semua rombongan berarak-arakkan. Kemudian menyerahkan patung itu kepada Ere untuk diritualkan. Setelah dipastikan bahwa suasana sudah mulai tenang, lalu Ere Börö Nadu mengawalinya dengan memukul-mukul Fondrahi tambur sembari melantunkan Hoho sebagaimana sumber dari tulisan Johannes M. Hämmerle, 2012:191, berikut di bawah ini: Biarlah kupukul Fondrahi aren, Biarlah kupukul Fondrahi nibung Wahai Lawalani Sanetua, Wahai Tuan Salawa Howatua Wahai tunas firman yang agung, Wahai tunas Si-fa-ha-la-ta Sesungguhnya berilah jiwa, Sesungguhnya tiuplah Dengan restu salawa Holia, Dengan restu Silewe Amozua Dengan restu Hia Walani Adu, Dengan restu Samihara Luo Universitas Sumatera Utara Dengan restu Tuan Sedawa, Dengan restu Simadulo Hosi Howatua Dengan restu Tuan Mölö, Dengan restu Nandrua Ziliwu Bawalah ke muara segala kerugian, Bawalah ke muara kesialan Mintalah dari hulu rezeki, Mintalah dari hulu kemuliaan Singkirkanlah penyakit merana, Singkirkanlah di pekarangan pembunuh Berkatilah segala milik, Berkatilah kehidupan kami, Sampai di sini kami mengakhirinya , Sampai di sini persembahan 81 Hasil penelitian Tugas Duha, 2004:50, mengutip beberapa pendapat bahwa setelah dipastikan bahwa para pujaan telah tiba, lalu Ere memberikan sesajen berupa; daging babi, ayam bahkan emas murni dan sebagainya. Sehabis menyair Ere melepaskan seluruh tali pengikat mematah-matahkan leher, kaki dan meremuk-remukkan seluruh tubuh patung Harimao lalu membuangnya dengan cara menenggelamkannya ke kedalaman sungai itu sambil berkata: “Pergilah, engkau menjadi pembela kami, Pergilah engkau menanggung seluruh kesalahan kam .” Selanjutnya, melepaskan sepasang babi dan ayam di bawah Borofosi dan apabila sudah mencapai 7 tahun kelak, maka penduduk akan menangkap dan mengumpulkan babi itu sebagai persembahan pada upacara yang sama yakni 7 atau 14 tahun yang 81 Johannes M. Hämmerle, 2012, Ritus Patung Harimau, Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, hlm.191 Universitas Sumatera Utara akan datang. 82 Gambar 3:2 Dipenghujung upacara, Ere menampung satu perian air dari sungai Gomo di Jumali dan memerciknya kepada semua orang sambil memberkati mereka: Ya’odöwa-döwa dengan sejahtera, Ya’okafu-kafu dengan kesejukan, Öndru Löfö mintalah berkat, Moroi ba gabölata luo dari arah terbitnya matahari, Moroi ba gaekhula luo dari arah terbenamnya matahari. Sambil menerima berkat, tiap-tiap orang memberikan persembahannya kepada Ere kemudian meninggalkan tempat itu pulang ke kampungnya masing-masing. 3. Sebagai media penobatan status seseorang. Owasa merupakan upacara adat masyarakat suku Nias, seperti pesta kelahiran, pernikahan, kematian, menaikkan status sosial dan sebagainya yang bertujuan untuk memperoleh kehormatan di tengah-tengah masyarakat. Pandangan masyarakat Maenamölö terhadap gelar adat bukanlah hal yang 82 Tugas Duha, 2004, Kepercayaan Agama Suku dalam Kehidupan Masyarakat Nias Selatan dan Wadah Pembaharuan Famatö Harimao , Gunungsitoli: STT BNKP Sundermann, Skripsi, hlm.50 Universitas Sumatera Utara baru. Sifat keambigusan untuk meraih gelar adat begitu kuat walaupun untuk mencapai itu harus membutuhkan pengujian yang sangat ketat, membutuhkan waktu yang cukup lama termasuk bersedia untuk mengorbankan harta bendanya. Menurut Sadieli Telaumbanua, yang dikutip oleh Tim Penyusun Kumpulan Artikel Dan Opini, 2011:136, mengatakan bahwa seseorang yang ambisi menjadi bangsawan harus mempersiapkan diri terutama dari sisi finansial, memiliki moralitas yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi seluruh warga kampung, memiliki karya yang bermanfaat bagi seluruh warga kampung, mampu melindungi dan mengayomi seluruh warga kampung. 83 83 Tim Penyusun, 2011, Pusaka Nias dalam Media Warisan, Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, Kumpulan Artikel Dan Opini, hlm.136 Setiap orang yang hendak mengadakan pesta Owasa, bertahun-tahun ia harus bersusah payah, bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah, memelihara ternak demikian juga lahan padinya diperluas. Jikalau jumlah babi-babi itu sudah mencapai antara 100 ke 200 ekor demikian juga lumbung padinya sudah mulai penuh maka sebelum Owasa dilangsungkan, terlebih dahulu membayar para serdadu kampung untuk pergi mengayau. Tawanan itu nantinya akan dijadikan tumbal persembahan. Yang lebih sempurna lagi adalah ketika orang yang melaksanakan Owasa dapat menyempatkan diri memamerkan seluruh kekayaannya dengan mengenakan berupa; topi, pakaian, kalung yang dibuat dari emas murni dan sebagainya. Bagi masyarakat Maenamölö setiap gelar yang diberikan kepada seseorang harus sesuai dengan kompetensi dan performasi yang dimiliki oleh seseorang dan tidak boleh namanya lebih Universitas Sumatera Utara megah dari gelar orangtuanya. pemberian gelar adat tidak hanya diperuntukkan bagi anggota masyarakat saja bahkan bagi orang luar akan terbuka kemungkinan untuk dinobatkan atas penilaian jasa-jasanya terhadap kepentingan masyarakat, biasanya gelar yang diberikan harus sesuai dengan kompetensi dan performasi yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, diantaranya adalah penobatan mantan Gubernur Sumatera Utara, Almarhum Raja Inal Siregar sebagai marga Wau yang dilaksanakan di desa Bawömataluo pada tahun 1993 lalu, penobatan mantan Gubernur Sumatera Samsul Arifin dengan marga Duha saat melakukan kampanyenya sebagai calon Gubernur Sumatera Utara 2008-2013 yang dilaksanakan di kota Telukdalam Kabupaten Nias Selatan Utara pada tahun 2008 yang lalu. Hal yang sama dilakukan oleh Idealisman Dachi, selaku Bupati Nias Selatan periode 2011-2016, dinobatkan oleh masyarakat Kabupaten Nias Selatan dengan nama kebesaran Tuha Samaeri Nahönö Tuan Pengayom Sejagat. Untuk memperoleh keabsahan gelar adat tersebut maka ia harus melalui proses upacara adat istiadat dan kepercayaan masyarakat Maenamölö yakni mengundang seluruh masyarakat Nias Selatan bahkan dari Kabupaten tetangga dan menjamu mereka sepuas- puasnya. Dalam rangka pengesahan gelar adat yang diberikan kepadanya para serdadu kampung mengusung suatu patung Harimao sembari berarak- arakkan dengan tari-tarian tradisional. Gambar 3:3 Universitas Sumatera Utara 4. Sebagai media penghormatan adat. Menurut Bamböwö Laiya, 2006:14, bahwa puncak dari keseluruhan kehidupan sepanjang peradaban masyarakat suku Nias adalah untuk memperoleh kehormatan. Dengan demikian, setiap orang yang ingin dihormati maka ia harus menghormati orang lain terlebih dahulu. 84 84 Bamböwö Laiya, 2006, Böwö ba Sumane Ni’orisi, Telukdalam: Yayasan BAMPERMADANI Berkaitan dengan pendapat di atas, salah satu kebiasaan masyarakat Maenamölö adalah setiap orang yang berkunjung di desa maka kewajiban utama sebagai warga masyarakat yang berbudaya harus mencerminkan sikap menghormati sesama sesuai dengan norma adat yang berlaku supaya setiap tamu yang datang dapat menikmati suasana interaksi yang positif serta kelanggenan semakin mencair. Wawancara dengan Bamböwö Laiya, 2013, menguraikan bahwa pada saat Gubernur General Belanda Universitas Sumatera Utara berkunjung ke Nias Selatan pada tahun 1918 lalu, Hamengkubuwono-IX saat berkunjung di desa Bawömataluo, ketika wakil Presiden Republik Indonesia bernama Adam Malik melakukan kunjungan kerja di kepulauan Nias, ketika Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal bernama Helmy Faishal, saat berkunjung ke desa Bawömataluo Kabupaten Nias Selatan penduduk menyongsongnya sesuai dengan tata cara adat istiadat masyarakat setempat, salah satunya adalah Famadaya Harimao. 85 Gambar 3:4

3.3. Makna Famadaya Harimao